Quote:
Jakarta - Data produksi dan kebutuhan pangan yang tidak akurat, masih jadi masalah klasik banyaknya kebijakan yang tidak tepat sasaran. Terbaru, yakni melambungnya harga serta kelangkaan jagung akibat data yang simpang siur pasca pelarangan impor.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kementan), Muladno beralasan, kesulitan terbesar perolehan data yang akurat terjadi karena skala usaha tani yang sangat kecil.
"Petani jumlahnya banyak, tapi skalanya kecil-kecil. Sama kayak di peternakan, kepemilikannya kecil, peternak ayam dari Sabang sampai Merauke hanya punya 2 atau 3 ekor ayam, sulit hitungnya," katanya, saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IV, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (2/2/2016).
Data internal yang simpang siur tersebut, ujar Muladno, membuat Kementan terpaksa mengandalkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) yang keakuratannya juga masih diragukan.
"Kalau data BPS keluar saya mau tidak mau harus percaya benar. Kalau nggak terima (data BPS) dan suruh hitung sendiri malah babak belur kita," ungkapnya.
Muladno mengungkapkan, negara-negara dengan hitungan data yang akurat umumnya memiliki skala usaha pertanian dan peternakan dengan skala besar.
"Dibandingkan negara-negara eksportir (pangan), bisa dikatakan 100% datanya benar, karena skalanya besar, mudah hitungnya. Data produksi semua orang nggak percaya karena sulit hitung, sementara data impor bisa dikatakan 1.000% benar," paparnya.
Muladno menuturkan, pihaknya mengusulkan agar di tingkat petani perlu dikonsolidasikan sebagaimana rencananya mengkonsolidasikan peternak, lewat Sentra Peternakan Rakyat (SPR).
"Konsolidasi di petani belum ada, di peternak akan saya coba lewat SPR. Pemerintah harus hadir buat paksa petani konsolidasi, di negara maju ternyata dengan konsolidasi model SPR panen besar, gampang nampung (data). Kalau yang kecil-kecil dikonsolidasikan 1.000 hektar gampang pasti hitungnya," pungkasnya.
http://m.detik.com/finance/read/2016...-ini-alasannya
Weladalah....