; memapah ingat, mengeja lagi perbincangan serta doadoa kita yang tak akan pernah selesai, ketika kau tiada, .....

Ada tangis tawa luka sepi juga hangat nafasmu di sana. Hingga kopi tak lagi pernah kuseduh dan gelas itu kubiarkan tengkurap.

Mengumpulkan sajaksajak yang kau suka, sementara kau peziarah detik, bukan lelaki puitis yang justru selalu kuharap kau memang tak pernah menulis diksi, buatku. ”Aku tak suka lelaki puitis”. Cukup aku. Dan kau segeralah duduk dengan ronamu, senyum yang kau janjikan, kita mulai lagi menulis peristiwa di kota ini, tuhan, udara, angin, hujan, dan bingkai jendela yang sama. Aku, kamu, le.

Jekardah, 2013