- Beranda
- The Lounge
[SHARE] BERAWAL DARI UJUNG SENAPAN ANGIN
...
TS
123langgeng123
[SHARE] BERAWAL DARI UJUNG SENAPAN ANGIN
Selamat Malam buat agan semuanya,dan selamat datang di thread ane.
Di tahun baru ini, ane pengen berbagi sebuah certia dari seseorang yang ane ga mau sebut namanye kalo ntu ane sendiri
Monggo di scroll down gan
Quote:
Disini, ane pengen share cerita ane. Singkat perkenalan, ane adalah remaja tingkat akhir dengan hobi berburu binatang seperti tupai/bajing, burung, ayam alas, rusa, dll. Ane tinggal di daerah pedesaan di sebuah daerah kecil di Jawa Tengah. Modal ane cuman senapan angin dengan teleskop lengkap dengan peredap di ujung larasnya serta sekantung peluru kecil seharga Rp90.000,- dengan isi 500 biji. Hobi berburu ini sudah ane lakoni selama hampir 4 tahun gan, semejak ane SMA dulu. Perburuan ini ane lakuin kalo ada waktu senggang diantara jadwal sekolah ane dulu atau kuliah ane sekarang.
Pertama kali ane berburu, hutan dibelakang rumah ane masih penuh sesak dengan suara hewan yang tinggal di dalamnya. Riuh suara burung berkicauan kian kemari. Ane berjalan dari rumah dengan senapan angin yang ane tenteng di lengan kanan. Sampai di tengah hutan itu, terlihat seekor tupai melompat dari satu pohon ke pohon yang lain. Tele kemudian ane arahkan ke tupai itu, sslaaakkkk, tidak ada darah ataupun suara hewan jatuh dari atas pohon. Hanya terlihat sepotong ekor tupai tadi yang jatuh ke tanah. Malangnya, sore itu hanya ekornya yang saya dapat, itupun cuma sepotong saja. Singkatnya ane pulang dengan dua jasad burung tekukur dan satu EKOR bajing, memang cuma ekornya saja.
Disekolah ane dulu ane ikut komunitas temen-temen ane yang memang penggiat senapan angin dan berburu gan. Disitulah ane dapat berbagai ilmu baru tentang perburuan. Mulai dari jenis-jenis onderdil senapan yang berkualitas namun dengan harga agak miring serta letak tokonya, sampai tutuorial membidik target dengan power secukupnya dan hasil yang sebohay bohaynya . anepun ikut mereka berburu ke tempat dimana mereka biasanya melakukan perburuan. Alhasil, anepun jadi keluarga disana.
Lembaran demi lembaran Soekano –Hata¬ pun ane gelontorkan demi mencapai spek mumpuni untuk senapan angin ane. Alhasil semangat berburu ane pun meningkat dan melesat jauh. Sekarang setiap sore pun ane berlatih menembak target dari kaleng yang cukup besar, hingga sebuah tusuk gigi di seberang jalan. Perburuan ane lanjutkan di hutan belakang rumah. Setiap sore ane pasti selalu membawa paling tidak seekor jasad burung lengkap, bukan hanya potongan tubuhnya saja seperti bajing yang ane tembak dulu. Pernah dulu ane mendapati sepasang ayam alas tewas ditangan ujung peluru ane. Karena seringnya berburu dan semakin luasnya wilayah jajahan ane di sekeliling desa, warga sering memanggil ane dengan sebutan “tukang mbedhil” a.k.a The Hunter, atau umumnya ya Si Pemburu.
Ane sedikit geram karena di musim panas 2015 kemaren, yang panasnya mencapai hampi 42 derajat celcius dan banyak daun berguguran, ada juga orang yang membakar daun-daun kering dan merembet ke hutan dibelakang rumah ane. Mereka berdalih karena daun-daun kering itu hanya menjadi sampah dan dapat menjadi tempat tinggal hewan-hewan berbahaya seperti ular, kalajengking, kelabang, dan lain lain. Bahkan jika dibakar malah abunya dapat menjadi pupuk untuk tanah. Mereka tidak sadar bahwa hal yang mereka lakukan itu mengganggu ekosistem hewan hutan di belakang rumah ane itu. Kebakaran itu terjadi selama hampir seminggu. Sebuah rumah kayu reyot milik seorang warga hampir rubuh karena ikut terkena jalaran si jago merah.
Sebagian besar warga yang tinggal di pesisir hutan memilih mengungsi ke rumah sanak saudara karena tidak tahan akan panas yang ditimbulkan, sedangkan ane dan beberapa warga lain memilih untuk tinggal dan berusaha mengurangi risiko perambatan api dengan mematikan api yang menjalar mendekati permukiman warga. Selama upaya pemadaman seadanya ini, kami dibantu beberapa tim dari kepolisian dan TNI di lokasi setempat. Ane kaget bukan kepalang, lantaran ketika melakukan pemadaman itu ane menemukan beberapa bangkai hewan yang habis terlalap api. Ane juga menemukan seekor tupai tewas terpanggang, namun ekornya hanya separuh. Ane sempat berpikir mungkin ini adalah tupai yang dulu ane tembak dan kehilangan separuh ekornya. Tapi pikiran ane itu lekas hilang karena perburuan waktu itu sudah berjalan hampir 4 tahun, mana mungkin tupai itu masih hidup dengan hanya separuh ekor saja. Ada juga seekor induk ular yang mati terpanggang dengan posisi melingkar diatas telur-telur yang menurut ane itu adalah telurnya, ane pikir pasti induknya itu sengaja tidak lari menyelamatkan diri dan memilih untuk tetap tinggal di hutan untuk melindungi calon anaknya walaupun akhirnya tidak ada yang selamat. Ane dan beberapa relawan saat itu kaget dan tercengang, kami merasa bahwa kamilah yang bertanggung jawab atas matinya ular beserta telurnya tersebut. Betapa kejamnya mereka yang menyulut api di tempat ini tanpa memikirkan siapa yang akan dirugikan, pikir ane.
Musim hujan pun datang, api pun hilang. Hujan yang mengguyur hutan dibelakang rumah ane seakan memberikan harapan bagi pepohonan yang menghitam untuk kembali hijau dan memberikan tempat tinggal lagi bagi para penghuninya yang telah lama bermigrasi. Kawasan yang dulunya dari atas bukit terlihat seperti tumpukan abu pembakaran, sekarang mulai menghijau kembali. Mulai kembali terdengar kicauan burung yang hinggap diatas pohon memulai hidup baru.
Setelah hampir 4 bulan tidak mendapatkan hasil buruan karena adanya kebakaran dan hilangnya hewan di hutan, ane pun kembali mengongkang senapan ane dan berangkat ke hutan untuk kembali berburu. Sejenak ketika ane mengarahkan tele senapan peluru pertama ane ke seekor tupai yang sedang menggerogoti kelapa diatas pohon, ane teringat tentang kebakaran kemarin. Kembali ane turunkan senapan ane dan melepaskan peluru itu ke target kosong di tanah. Ane pulang.
Ane duduk di belakang rumah dengan secangkir teh anget dan senapan tersandar di samping kursi tempat ane duduk, melihat ke arah hutan yang masih hijau muda. Sesruput teh itu mengalir di tenggorokan ane pelan. Terdengar kepakan burung diatas genting rumah dan terbang mengarah ke hutan. Ane diam melongo dengan keadaan saat ini. And a thought crossed my mind, ketika dulu waktu kebakaran ane kesal karena hewan hutan menghilang menghindari api, kenapa ketika mereka kembali ane malah memburu mereka satu per satu? Bukankah ane sama jahatnya dengan mereka yang membakar hutan itu? Bagaimana jika ane terus berburu, bukankah hutan akan kembali sepi seperti ketika setelah kebakaran itu? Ane juga teringat sebuah petikan kalimat yang ane baca dari media online sebelah dulu, “only when the last tree has been cut down, the last fish been caught, and the last stream poisoned, will we realize we cannot eat money.” Ketika pohon terakhir telah ditebang, ikan terakhir telah ditangkap, dan sungai terakhir telah diracuni, akankah kita sadar bahwa kita tidak bisa memakan uang?
Semenjak pagi itu, ane mulai berhenti membidik hewan di hutan. Tembakan ane hanya ane sasarkan pada tusuk gigi di seberang jalan untuk memastikan bahwa posisi tele ane tidak bergeser, dan kadang ane nembak tokek yang sembarangan buang hajat tanpa permisi. Ane sadar bahwa perbuatan ane bakal mengganggu ekosisitem alam di hutan. Ane mulai ikut menanam pohon di hutan dan panggilan warga ke ane “tukang mebdhil” telah lama tak terdengar hingga kini. Ane masih sering ikut komunitas senapan angin SMA dulu, tapi untungnya mereka paham alasan kenapa ane sudah tak lagi berburu. Ane hanya ikut kejuaraan menembak tingkat kabupaten setahun sekali bersama senapan tua ane.
Pertama kali ane berburu, hutan dibelakang rumah ane masih penuh sesak dengan suara hewan yang tinggal di dalamnya. Riuh suara burung berkicauan kian kemari. Ane berjalan dari rumah dengan senapan angin yang ane tenteng di lengan kanan. Sampai di tengah hutan itu, terlihat seekor tupai melompat dari satu pohon ke pohon yang lain. Tele kemudian ane arahkan ke tupai itu, sslaaakkkk, tidak ada darah ataupun suara hewan jatuh dari atas pohon. Hanya terlihat sepotong ekor tupai tadi yang jatuh ke tanah. Malangnya, sore itu hanya ekornya yang saya dapat, itupun cuma sepotong saja. Singkatnya ane pulang dengan dua jasad burung tekukur dan satu EKOR bajing, memang cuma ekornya saja.
Disekolah ane dulu ane ikut komunitas temen-temen ane yang memang penggiat senapan angin dan berburu gan. Disitulah ane dapat berbagai ilmu baru tentang perburuan. Mulai dari jenis-jenis onderdil senapan yang berkualitas namun dengan harga agak miring serta letak tokonya, sampai tutuorial membidik target dengan power secukupnya dan hasil yang sebohay bohaynya . anepun ikut mereka berburu ke tempat dimana mereka biasanya melakukan perburuan. Alhasil, anepun jadi keluarga disana.
Lembaran demi lembaran Soekano –Hata¬ pun ane gelontorkan demi mencapai spek mumpuni untuk senapan angin ane. Alhasil semangat berburu ane pun meningkat dan melesat jauh. Sekarang setiap sore pun ane berlatih menembak target dari kaleng yang cukup besar, hingga sebuah tusuk gigi di seberang jalan. Perburuan ane lanjutkan di hutan belakang rumah. Setiap sore ane pasti selalu membawa paling tidak seekor jasad burung lengkap, bukan hanya potongan tubuhnya saja seperti bajing yang ane tembak dulu. Pernah dulu ane mendapati sepasang ayam alas tewas ditangan ujung peluru ane. Karena seringnya berburu dan semakin luasnya wilayah jajahan ane di sekeliling desa, warga sering memanggil ane dengan sebutan “tukang mbedhil” a.k.a The Hunter, atau umumnya ya Si Pemburu.
Ane sedikit geram karena di musim panas 2015 kemaren, yang panasnya mencapai hampi 42 derajat celcius dan banyak daun berguguran, ada juga orang yang membakar daun-daun kering dan merembet ke hutan dibelakang rumah ane. Mereka berdalih karena daun-daun kering itu hanya menjadi sampah dan dapat menjadi tempat tinggal hewan-hewan berbahaya seperti ular, kalajengking, kelabang, dan lain lain. Bahkan jika dibakar malah abunya dapat menjadi pupuk untuk tanah. Mereka tidak sadar bahwa hal yang mereka lakukan itu mengganggu ekosistem hewan hutan di belakang rumah ane itu. Kebakaran itu terjadi selama hampir seminggu. Sebuah rumah kayu reyot milik seorang warga hampir rubuh karena ikut terkena jalaran si jago merah.
Sebagian besar warga yang tinggal di pesisir hutan memilih mengungsi ke rumah sanak saudara karena tidak tahan akan panas yang ditimbulkan, sedangkan ane dan beberapa warga lain memilih untuk tinggal dan berusaha mengurangi risiko perambatan api dengan mematikan api yang menjalar mendekati permukiman warga. Selama upaya pemadaman seadanya ini, kami dibantu beberapa tim dari kepolisian dan TNI di lokasi setempat. Ane kaget bukan kepalang, lantaran ketika melakukan pemadaman itu ane menemukan beberapa bangkai hewan yang habis terlalap api. Ane juga menemukan seekor tupai tewas terpanggang, namun ekornya hanya separuh. Ane sempat berpikir mungkin ini adalah tupai yang dulu ane tembak dan kehilangan separuh ekornya. Tapi pikiran ane itu lekas hilang karena perburuan waktu itu sudah berjalan hampir 4 tahun, mana mungkin tupai itu masih hidup dengan hanya separuh ekor saja. Ada juga seekor induk ular yang mati terpanggang dengan posisi melingkar diatas telur-telur yang menurut ane itu adalah telurnya, ane pikir pasti induknya itu sengaja tidak lari menyelamatkan diri dan memilih untuk tetap tinggal di hutan untuk melindungi calon anaknya walaupun akhirnya tidak ada yang selamat. Ane dan beberapa relawan saat itu kaget dan tercengang, kami merasa bahwa kamilah yang bertanggung jawab atas matinya ular beserta telurnya tersebut. Betapa kejamnya mereka yang menyulut api di tempat ini tanpa memikirkan siapa yang akan dirugikan, pikir ane.
Musim hujan pun datang, api pun hilang. Hujan yang mengguyur hutan dibelakang rumah ane seakan memberikan harapan bagi pepohonan yang menghitam untuk kembali hijau dan memberikan tempat tinggal lagi bagi para penghuninya yang telah lama bermigrasi. Kawasan yang dulunya dari atas bukit terlihat seperti tumpukan abu pembakaran, sekarang mulai menghijau kembali. Mulai kembali terdengar kicauan burung yang hinggap diatas pohon memulai hidup baru.
Setelah hampir 4 bulan tidak mendapatkan hasil buruan karena adanya kebakaran dan hilangnya hewan di hutan, ane pun kembali mengongkang senapan ane dan berangkat ke hutan untuk kembali berburu. Sejenak ketika ane mengarahkan tele senapan peluru pertama ane ke seekor tupai yang sedang menggerogoti kelapa diatas pohon, ane teringat tentang kebakaran kemarin. Kembali ane turunkan senapan ane dan melepaskan peluru itu ke target kosong di tanah. Ane pulang.
Ane duduk di belakang rumah dengan secangkir teh anget dan senapan tersandar di samping kursi tempat ane duduk, melihat ke arah hutan yang masih hijau muda. Sesruput teh itu mengalir di tenggorokan ane pelan. Terdengar kepakan burung diatas genting rumah dan terbang mengarah ke hutan. Ane diam melongo dengan keadaan saat ini. And a thought crossed my mind, ketika dulu waktu kebakaran ane kesal karena hewan hutan menghilang menghindari api, kenapa ketika mereka kembali ane malah memburu mereka satu per satu? Bukankah ane sama jahatnya dengan mereka yang membakar hutan itu? Bagaimana jika ane terus berburu, bukankah hutan akan kembali sepi seperti ketika setelah kebakaran itu? Ane juga teringat sebuah petikan kalimat yang ane baca dari media online sebelah dulu, “only when the last tree has been cut down, the last fish been caught, and the last stream poisoned, will we realize we cannot eat money.” Ketika pohon terakhir telah ditebang, ikan terakhir telah ditangkap, dan sungai terakhir telah diracuni, akankah kita sadar bahwa kita tidak bisa memakan uang?
Semenjak pagi itu, ane mulai berhenti membidik hewan di hutan. Tembakan ane hanya ane sasarkan pada tusuk gigi di seberang jalan untuk memastikan bahwa posisi tele ane tidak bergeser, dan kadang ane nembak tokek yang sembarangan buang hajat tanpa permisi. Ane sadar bahwa perbuatan ane bakal mengganggu ekosisitem alam di hutan. Ane mulai ikut menanam pohon di hutan dan panggilan warga ke ane “tukang mebdhil” telah lama tak terdengar hingga kini. Ane masih sering ikut komunitas senapan angin SMA dulu, tapi untungnya mereka paham alasan kenapa ane sudah tak lagi berburu. Ane hanya ikut kejuaraan menembak tingkat kabupaten setahun sekali bersama senapan tua ane.
Quote:
Disini ane bukan bermaksud menyinggung para pecinta dan penggiat senapan angin di jagad kaskus. Ane cuma pengen berbagi cerita ane kepada semua orang disini, baik mereka yang ga punya ID kaskus, silent reader, sampai mereka yang rela menghijaukan trit ini dengan gelas cendolnya. Ane juga request para agan/aganwati untuk rate thread ini, berapapun ane terima.
Quote:
Biarkan mereka membaca, biarkan mereka mengambil apa yang ada didalamnya.
BTW ane kaga nolak cendol gan, kaga nolak rate, dan kaga nerima bata
mohon maaf kalau berantakan,
mohon maaf kalau berantakan,
Terima kasih.
0
14.2K
Kutip
126
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
923.4KThread•84.5KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya