- Beranda
- The Lounge
Karate, Jagat Lain yang Terus Ditekuni Musisi Legendaris Iwan Fals
...
![jakmania48](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
jakmania48
Karate, Jagat Lain yang Terus Ditekuni Musisi Legendaris Iwan Fals
Assalamualaikum Agans2 sekalian. Ane mau coba cerita tentang pengalaman main ke rumah Bang Iwan Fals. Selama ini kita tau kalau Bang Iwan dari sudut pandang musisi. Tapi, belum banyak yang tau sisi lain beliau.
![Karate, Jagat Lain yang Terus Ditekuni Musisi Legendaris Iwan Fals](https://s.kaskus.id/images/2015/12/25/5236040_20151225084115.jpg)
CEKIDOT Yuk Gans
SORE itu, kediaman Iwan Fals di Leuwinanggung, Depok, dipadati puluhan tamu. Sebagian tamu tersebut berpakaian trendi. Sebagian lainnya memakai karategi, seragam karate. Tetamu trendi dan berkarategi sibuk dengan kegiatan masing-masing. Para tamu berpenampilan trendi itu repot dengan alat-alat musik yang berjajar di sekeliling mereka. Kebetulan, sore itu Iwan menggelar latihan menjelang konser bertajuk Untukmu Indonesia di Istora Senayan, Jakarta Pusat.
Sementara itu, mereka yang berkarategi sibuk di dojo. Para karateka terlihat asyik mengikuti gerakan yang dicontohkan sempai (pengajar). Sebelum memulai persiapan konser, Iwan menyempatkan diri menengok para karateka. Bahkan, dia turut membimbing murid-muridnya. Namun, yang dia bimbing bukan para karateka senior, melainkan kohai (siswa) berusia di bawah 15 tahun. ’’Kamu jangan mau kalah. Kalau sulit, coba lakukan ushiro-geri,’’ ujar Iwan kepada para kohai cilik. Itu adalah teknik tendangan yang cukup sulit lantaran diarahkan kepada lawan yang terletak sedikit di belakang.
Penembang Manusia Setengah Dewa tersebut memang tidak bisa melewatkan kesibukannya tanpa berkecimpung di karate. Baik melatih maupun berlatih. Bagi Iwan, seni bela diri asal Jepang itu sudah mendarah daging. Pria kelahiran Jakarta, 3 September 1961, tersebut menekuni karate sejak usia 19 tahun. ’’Saya kecil dulu justru belajar judo. Waktu itu, diperkenalkan ibu (Lies Suudijah). Saya juga sempat berlatih silat,’’ kenang suami Rosana tersebut lantas tersenyum.
Iwan bercerita, ketertarikan terhadap karate diawali dari keamanan hidupnya yang terancam. Saat itu, musisi yang merintis karir dari pengamen jalanan tersebut tinggal di Warung Buncit, Jakarta Selatan. Menurut dia, di sekitar tempat tinggalnya, banyak pemuda yang iseng. Iwan sering diganggu. Tak hanya itu, perabotan rumahnya juga sering dirusak. ’’Ngeri juga kan? Apalagi, saat itu, kami keluarga kecil. Jadi, ada pikiran buat berlatih,’’ tuturnya.
Lalu, ayah almarhum Galang Rambu Anarki, Annisa Cikal Rambu Bassae, dan Raya Rambu Rabbani tersebut mulai berlatih karate. Dalam mendalami seni karate, pria yang semasa kecil pernah bersekolah di Jeddah, Arab Saudi, selama delapan bulan itu berguru kepada banyak sensei (guru). Antara lain, sensei Barino, Tajudin, dan Siangtaman. ’’Saya pernah belajar di Funakoshi dan Wadokai. Jadi, guru saya banyak,’’ terang musisi dengan 37 album tersebut.
Dengan ditempa banyak sensei, Iwan tumbuh menjadi karateka andal. Kihon (teknik dasar), kata (seni keserasian jurus), dan kumite (seni bertarung) dikuasai dengan baik. Skill bela diri Iwan makin teruji kala berprestasi di kejuaraan bebas DKI. Saat itu, dia menjadi delegasi Wadokai. Tak hanya itu, penembang Sore Tugu Pancoran tersebut juga berprestasi di kancah nasional. ’’Tapi, waktu kejurnas di Wadokai saya juara dua. Waktu itu, zaman ketua FORKI masih Pak Rudini,’’ kenangnya lalu tertawa.
Kepribadian sebagai musisi dan karateka lantas membuat aktivitas Iwan kian padat. Sebab, pencipta lagu Ujung Aspal Pondok Gede tersebut tak hanya mendapat job manggung. Dia juga diminta melatih karate. Salah satu tempat yang pernah disulap menjadi tempat latihan karate oleh Iwan adalah halaman parkir produsen musik, Musica Studio. Murid-muridnya adalah para karyawan label musik ternama itu.
Pria yang sempat tinggal di Condet, Jakarta Timur, tersebut bercerita, meski berlatih di halaman parkir, suasana tetap kondusif. Murid-murid Iwan sangat serius dan konsisten dalam berlatih. Apalagi dia membuat program pelatihan berjenjang. Termasuk mengadakan ujian untuk kenaikan tingkat obi (sabuk). ’’Latihan di sana sampai sabuk cokelat. Setelah itu, stop. Ya, yang penting, anak-anak enggak terserang flu saja,’’ ujar musisi dengan fanbase bernama Orang Indonesia tersebut.
Terhentinya latihan di Musica tidak membuat Iwan ikut stop menurunkan ilmu karate. Musisi yang terkenal dengan karya bertema kritik sosial itu bahkan menjadi lebih serius dalam melatih. Nyatanya, Iwan mendirikan sebuah dojo atau tempat latihan karate sendiri. Dojo yang diberi nama Tiga Rambu tersebut dibangun di halaman rumahnya. ’’Sampaikan walau satu ayat. Itu kewajiban saya sebagai muslim. Saya punya itu, ya saya kasih itu,’’ ungkapnya dengan bijak.
Pendirian Dojo Tiga Rambu menjadi berkah bagi warga sekitar. Sebab, ratusan warga berbondong-bondong ingin dilatih karate oleh musisi dengan nama asli Virgiawan Listanto tersebut. Namun, dengan aktivitas manggung yang padat, Iwan tidak bisa full melatih. Jika berhalangan, pelatihan karate dipimpin para sempai yang notabene murid-murid Iwan. ’’Kalau ada konser di luar kota, saya pandu via telepon,’’ terangnya.
Meski sering ditinggal Iwan manggung berkeliling Indonesia, pembinaan di Dojo Tiga Rambu tetap berjalan. Bahkan, untuk meningkatkan skill para karateka, dibuat kejuaraan empat bulanan. Kejuaraan itu bersifat internal. Namun, peserta bukan teman versus teman. Para peserta kejuaraan datang dari para anak perguruan Dojo Tiga Rambu. Saat ini, dojo yang didirikan pada Januari 2014 tersebut telah memiliki lima anak perguruan.
Iwan menerangkan, dalam kejuaraan internal itu, Dojo Tiga Rambu sering menjadi juara umum. Namun, untuk sekarang, dojo tersebut belum dapat menelurkan karateka yang berprestasi di tingkat nasional. ’’Sementara ini, kejurnas untuk melihat sejauh mana hasil latihan anak-anak,’’ jelasnya. ’’Buat saya, tentu musik yang utama. Alhamdulillah murid-murid saya ada yang sudah DAN I, II, III. Mereka bisa jalan sendiri tanpa saya,’’ sambungnya.
Ya, sebagai musisi legendaris papan atas di Indonesia, Iwan memang memiliki jadwal konser yang segunung. Baik on air maupun off air. Namun, kalau waktunya sedang luang, Iwan pasti turun gunung untuk mengajar para murid. Biasanya, dalam memimpin latihan, dia menghabiskan waktu 2–2,5 jam. Itu pun lebih banyak melatih para karyawan yang bernaung di bawah manajemen PT Tiga Rambu. Latihan dimulai pukul 20.00.
Iwan menerangkan, karate memang menjadi kesibukan di sela-sela jadwal konser yang padat. Bagi dia, karate sangat penting. Sebagai seorang musisi, Iwan harus kuat fisik dan mental. Kalau dua hal itu tidak terjaga, semua aktivitasnya tentu tidak dapat dilalui dengan baik. Selain berfungsi sebagai penjaga kebugaran, Iwan menilai karate sebagai hiburan. ’’Kalau penat, saya latihan kata atau kumite. Alhamdulillah persoalan kehidupan bisa terlampaui,’’ ujarnya senang.
Kecintaan Iwan terhadap karate kemudian dituangkan melalui lagu berjudul Tangan Kosong. ’’Awalnya putih murni dan suci. Seperti bayi baru lahir. Ia lemah sekaligus liat. Energinya berlipat-lipat. Pertumbuhannya tergantung sang guru.’’ Lalu, ’’Kuning bak matahari yang memberikan semangat. Hari baru menyambutnya. Ia bersinar bagi sekitar. Kepribadiannya tumbuh dan ingin segera bertarung.’’ ’’Itu makna sabuk putih sampai hitam,’’ jelasnya.
Namun, kecintaan Iwan terhadap karate tidak diikuti kedua anaknya, Cikal dan Raya. Padahal, keduanya telah diajak untuk berlatih. Cikal, misalnya. Dara yang namanya dijadikan lagu berjudul Cikal dan Annisa tersebut sebenarnya telah menguasai kihon. Bahkan, Cikal pernah mengikuti pertandingan karate di sekolah. Namun, pertandingan itu justru membuatnya trauma untuk kembali berlatih karate. Sebab, tangannya patah.
Iwan bercerita, pada pertandingan yang diikuti putri semata wayangnya tersebut, Cikal bertemu dengan lawan yang lebih siap. Akibat insiden itu, dia jadi malas berlatih karate. Dara kelahiran Januari 1985 tersebut juga sempat berlatih basket. Namun, sewaktu berlatih, kepalanya sempat sakit. Sejak itu, dia juga enggan berlatih basket. ’’Cikal memang beda. Tidak bisa digembleng keras, mesti pelan-pelan. Raya juga begitu,’’ tutur Iwan.
Alumnus Sekolah Tinggi Publisistik (STP) tersebut mengakui kesulitan dalam melatih anak-anaknya. Sebab, sewaktu Cikal kecil, Iwan masih menjadi karateka aktif. Karena itu, dia tidak begitu tahu metode melatih anak sendiri. Menurut Iwan, melatih anak harus lebih banyak bermain. Kalau dibentak, hati anak akan sakit. ’’Tapi, saya yakin mereka pelan-pelan akan merekamnya. Sebab, saya di rumah sering latihan sendiri,’’ ujar Iwan.
![Karate, Jagat Lain yang Terus Ditekuni Musisi Legendaris Iwan Fals](https://s.kaskus.id/images/2015/12/25/5236040_20151225084115.jpg)
CEKIDOT Yuk Gans
Spoiler for Cerita Ane Nih Gans:
SORE itu, kediaman Iwan Fals di Leuwinanggung, Depok, dipadati puluhan tamu. Sebagian tamu tersebut berpakaian trendi. Sebagian lainnya memakai karategi, seragam karate. Tetamu trendi dan berkarategi sibuk dengan kegiatan masing-masing. Para tamu berpenampilan trendi itu repot dengan alat-alat musik yang berjajar di sekeliling mereka. Kebetulan, sore itu Iwan menggelar latihan menjelang konser bertajuk Untukmu Indonesia di Istora Senayan, Jakarta Pusat.
Sementara itu, mereka yang berkarategi sibuk di dojo. Para karateka terlihat asyik mengikuti gerakan yang dicontohkan sempai (pengajar). Sebelum memulai persiapan konser, Iwan menyempatkan diri menengok para karateka. Bahkan, dia turut membimbing murid-muridnya. Namun, yang dia bimbing bukan para karateka senior, melainkan kohai (siswa) berusia di bawah 15 tahun. ’’Kamu jangan mau kalah. Kalau sulit, coba lakukan ushiro-geri,’’ ujar Iwan kepada para kohai cilik. Itu adalah teknik tendangan yang cukup sulit lantaran diarahkan kepada lawan yang terletak sedikit di belakang.
Penembang Manusia Setengah Dewa tersebut memang tidak bisa melewatkan kesibukannya tanpa berkecimpung di karate. Baik melatih maupun berlatih. Bagi Iwan, seni bela diri asal Jepang itu sudah mendarah daging. Pria kelahiran Jakarta, 3 September 1961, tersebut menekuni karate sejak usia 19 tahun. ’’Saya kecil dulu justru belajar judo. Waktu itu, diperkenalkan ibu (Lies Suudijah). Saya juga sempat berlatih silat,’’ kenang suami Rosana tersebut lantas tersenyum.
Iwan bercerita, ketertarikan terhadap karate diawali dari keamanan hidupnya yang terancam. Saat itu, musisi yang merintis karir dari pengamen jalanan tersebut tinggal di Warung Buncit, Jakarta Selatan. Menurut dia, di sekitar tempat tinggalnya, banyak pemuda yang iseng. Iwan sering diganggu. Tak hanya itu, perabotan rumahnya juga sering dirusak. ’’Ngeri juga kan? Apalagi, saat itu, kami keluarga kecil. Jadi, ada pikiran buat berlatih,’’ tuturnya.
Lalu, ayah almarhum Galang Rambu Anarki, Annisa Cikal Rambu Bassae, dan Raya Rambu Rabbani tersebut mulai berlatih karate. Dalam mendalami seni karate, pria yang semasa kecil pernah bersekolah di Jeddah, Arab Saudi, selama delapan bulan itu berguru kepada banyak sensei (guru). Antara lain, sensei Barino, Tajudin, dan Siangtaman. ’’Saya pernah belajar di Funakoshi dan Wadokai. Jadi, guru saya banyak,’’ terang musisi dengan 37 album tersebut.
Dengan ditempa banyak sensei, Iwan tumbuh menjadi karateka andal. Kihon (teknik dasar), kata (seni keserasian jurus), dan kumite (seni bertarung) dikuasai dengan baik. Skill bela diri Iwan makin teruji kala berprestasi di kejuaraan bebas DKI. Saat itu, dia menjadi delegasi Wadokai. Tak hanya itu, penembang Sore Tugu Pancoran tersebut juga berprestasi di kancah nasional. ’’Tapi, waktu kejurnas di Wadokai saya juara dua. Waktu itu, zaman ketua FORKI masih Pak Rudini,’’ kenangnya lalu tertawa.
Kepribadian sebagai musisi dan karateka lantas membuat aktivitas Iwan kian padat. Sebab, pencipta lagu Ujung Aspal Pondok Gede tersebut tak hanya mendapat job manggung. Dia juga diminta melatih karate. Salah satu tempat yang pernah disulap menjadi tempat latihan karate oleh Iwan adalah halaman parkir produsen musik, Musica Studio. Murid-muridnya adalah para karyawan label musik ternama itu.
Pria yang sempat tinggal di Condet, Jakarta Timur, tersebut bercerita, meski berlatih di halaman parkir, suasana tetap kondusif. Murid-murid Iwan sangat serius dan konsisten dalam berlatih. Apalagi dia membuat program pelatihan berjenjang. Termasuk mengadakan ujian untuk kenaikan tingkat obi (sabuk). ’’Latihan di sana sampai sabuk cokelat. Setelah itu, stop. Ya, yang penting, anak-anak enggak terserang flu saja,’’ ujar musisi dengan fanbase bernama Orang Indonesia tersebut.
Terhentinya latihan di Musica tidak membuat Iwan ikut stop menurunkan ilmu karate. Musisi yang terkenal dengan karya bertema kritik sosial itu bahkan menjadi lebih serius dalam melatih. Nyatanya, Iwan mendirikan sebuah dojo atau tempat latihan karate sendiri. Dojo yang diberi nama Tiga Rambu tersebut dibangun di halaman rumahnya. ’’Sampaikan walau satu ayat. Itu kewajiban saya sebagai muslim. Saya punya itu, ya saya kasih itu,’’ ungkapnya dengan bijak.
Pendirian Dojo Tiga Rambu menjadi berkah bagi warga sekitar. Sebab, ratusan warga berbondong-bondong ingin dilatih karate oleh musisi dengan nama asli Virgiawan Listanto tersebut. Namun, dengan aktivitas manggung yang padat, Iwan tidak bisa full melatih. Jika berhalangan, pelatihan karate dipimpin para sempai yang notabene murid-murid Iwan. ’’Kalau ada konser di luar kota, saya pandu via telepon,’’ terangnya.
Meski sering ditinggal Iwan manggung berkeliling Indonesia, pembinaan di Dojo Tiga Rambu tetap berjalan. Bahkan, untuk meningkatkan skill para karateka, dibuat kejuaraan empat bulanan. Kejuaraan itu bersifat internal. Namun, peserta bukan teman versus teman. Para peserta kejuaraan datang dari para anak perguruan Dojo Tiga Rambu. Saat ini, dojo yang didirikan pada Januari 2014 tersebut telah memiliki lima anak perguruan.
Iwan menerangkan, dalam kejuaraan internal itu, Dojo Tiga Rambu sering menjadi juara umum. Namun, untuk sekarang, dojo tersebut belum dapat menelurkan karateka yang berprestasi di tingkat nasional. ’’Sementara ini, kejurnas untuk melihat sejauh mana hasil latihan anak-anak,’’ jelasnya. ’’Buat saya, tentu musik yang utama. Alhamdulillah murid-murid saya ada yang sudah DAN I, II, III. Mereka bisa jalan sendiri tanpa saya,’’ sambungnya.
Ya, sebagai musisi legendaris papan atas di Indonesia, Iwan memang memiliki jadwal konser yang segunung. Baik on air maupun off air. Namun, kalau waktunya sedang luang, Iwan pasti turun gunung untuk mengajar para murid. Biasanya, dalam memimpin latihan, dia menghabiskan waktu 2–2,5 jam. Itu pun lebih banyak melatih para karyawan yang bernaung di bawah manajemen PT Tiga Rambu. Latihan dimulai pukul 20.00.
Iwan menerangkan, karate memang menjadi kesibukan di sela-sela jadwal konser yang padat. Bagi dia, karate sangat penting. Sebagai seorang musisi, Iwan harus kuat fisik dan mental. Kalau dua hal itu tidak terjaga, semua aktivitasnya tentu tidak dapat dilalui dengan baik. Selain berfungsi sebagai penjaga kebugaran, Iwan menilai karate sebagai hiburan. ’’Kalau penat, saya latihan kata atau kumite. Alhamdulillah persoalan kehidupan bisa terlampaui,’’ ujarnya senang.
Kecintaan Iwan terhadap karate kemudian dituangkan melalui lagu berjudul Tangan Kosong. ’’Awalnya putih murni dan suci. Seperti bayi baru lahir. Ia lemah sekaligus liat. Energinya berlipat-lipat. Pertumbuhannya tergantung sang guru.’’ Lalu, ’’Kuning bak matahari yang memberikan semangat. Hari baru menyambutnya. Ia bersinar bagi sekitar. Kepribadiannya tumbuh dan ingin segera bertarung.’’ ’’Itu makna sabuk putih sampai hitam,’’ jelasnya.
Namun, kecintaan Iwan terhadap karate tidak diikuti kedua anaknya, Cikal dan Raya. Padahal, keduanya telah diajak untuk berlatih. Cikal, misalnya. Dara yang namanya dijadikan lagu berjudul Cikal dan Annisa tersebut sebenarnya telah menguasai kihon. Bahkan, Cikal pernah mengikuti pertandingan karate di sekolah. Namun, pertandingan itu justru membuatnya trauma untuk kembali berlatih karate. Sebab, tangannya patah.
Iwan bercerita, pada pertandingan yang diikuti putri semata wayangnya tersebut, Cikal bertemu dengan lawan yang lebih siap. Akibat insiden itu, dia jadi malas berlatih karate. Dara kelahiran Januari 1985 tersebut juga sempat berlatih basket. Namun, sewaktu berlatih, kepalanya sempat sakit. Sejak itu, dia juga enggan berlatih basket. ’’Cikal memang beda. Tidak bisa digembleng keras, mesti pelan-pelan. Raya juga begitu,’’ tutur Iwan.
Alumnus Sekolah Tinggi Publisistik (STP) tersebut mengakui kesulitan dalam melatih anak-anaknya. Sebab, sewaktu Cikal kecil, Iwan masih menjadi karateka aktif. Karena itu, dia tidak begitu tahu metode melatih anak sendiri. Menurut Iwan, melatih anak harus lebih banyak bermain. Kalau dibentak, hati anak akan sakit. ’’Tapi, saya yakin mereka pelan-pelan akan merekamnya. Sebab, saya di rumah sering latihan sendiri,’’ ujar Iwan.
Diubah oleh jakmania48 25-12-2015 13:41
0
5.2K
Kutip
33
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
![The Lounge](https://s.kaskus.id/r200x200/ficon/image-21.png)
The Lounge![KASKUS Official KASKUS Official](https://s.kaskus.id/kaskus-next/next-assets/images/icon-official-badge.svg)
923.4KThread•84.4KAnggota
Urutkan
Terlama
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya