Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

buburayakAvatar border
TS
buburayak
Warsito ponari atau bukan
"WARSITO ATAU PONARI BUKAN"

karena melihat berita tentang Pak Warsito ada komen yang sedikit menggelitik (geli-geli semut) emoticon-Ngakak (S) yang intinya menyamakan dengan ponari he he he apakah benar Pak Warsito itu peneliti atau sekelas PONARI
serta juga liat di berbagai timeline berita beberapa hari terakhir sih, kesimpulan saya:
Banyak banget yang dukung produk pak warsito. Karya anak bangsa. Kita harus support SDM lokal yang luar biasa, kan? Cinta produk dalam negeri.
Tapi di sisi lain, kok ya Kemenkes ngasih surat. “Klinik” Dr. Warsito disuruh tutup warung. Saya cuma seorang masyarakat umum yang sedang tidak bersekolah. Jadi jelas ilmu saya tidak sehebat Pak Warsito. Akan tetapi saya senang menulis dan suka sekali belajar tentang bagaimana caranya meneliti. Kalau seorang dokter ditanya pasien (atau dalam kasus ini papa dokternya emoticon-Stick Out Tongue), dokter harus yakin bahwa ia menjawab dengan bukti ilmiah. Bukan ilmu “kira-kira”. Praktik seperti ini yang sering kita sebut kedokteran berbasis bukti atau “evidence based medicine”.
Di mana kita mencari buktinya? Kalau dulu sih dari buku. Tapi hari gini masih baca buku doang? Ya kalah update lah sama pasien. Jaket antikanker Pak Warsito kan ngga ada di buku. Internet menyediakan segala informasi. Tapi mana informasi yang bisa kita percaya? Koran? Twitter? Facebook teman? Group WA? Pendapat profesor?
Bukan.
Seorang dokter atau masyarakat umum dan handai taulan wajib mencari bukti ilmiah. Bukti ilmiah ini ada tingkat kepercayaannya. Mulai dari yang paling rendah (seperti pendapat ahli) sampai berbagai jenis penelitian. Sebelum suatu obat atau jenis tindakan baru diterapkan untuk mengobati penyakit, ia harus terbukti efektif, melalui berbagai tahapan riset. Secara singkat, terapi ini harus terbukti efektif dalam penelitian lab, percobaan hewan, hingga pada ratusan hingga ribuan manusia. Dengan demikian, dokter tersebut yakin bahwa terapi tersebut memang benar aman dan efektif. Jadi, dokter sebaiknya tidak menganjurkan terapi berdasarkan “testimoni”.
Biasanya para dokter dan peneliti (tidak harus dokter), mempublikasikan hasil penelitiannya dalam jurnal. Oleh karena itu, saya yakin Pak Warsito ini pasti sudah mempublikasikan penelitiannya di jurnal terkait teknologi temuannya.

Saya melakukan searching tentang hal tersebut. Inilah hasilnya emoticon-Smilieemoticon-Malu (S)
Spoiler for hasil searching google scholar:

Dari Google Scholar, ada beberapa penelitian yang melibatkan Dr. Warsito. Dari Pubmed, hanya ada 1 penelitian mengenai ECVT yang melibatkan Dr. Warsito. Sayangnya, saya hanya mendapatkan 1 artikel yang dapat saya akses isi lengkapnya secara gratis. Berikut adalah artikel yan[g ditulis oleh Dr. Warsito.

Spoiler for gambar.1:

Tulisan pertama (Gambar 1) merupakan sebuah “Review”. Tulisan ini dimuat di Sensors, sebuah jurnal sains dan teknologi. Berdasarkan jurnal Sensors disebutkan:
Reviews: review manuscripts provide concise and precise updates on the latest progress made in a given area of research.

Jadi, tulisan di atas merupakan pemaparan kemajuan dari sebuah penelitian, bukan merupakan hasil akhir. Info lain yang didapat dari gambar pertama adalah ECVT merupakan suatu teknik imaging atau pencitraan alias bagaimana menampilkan gambar suatu benda. Dalam kedokteran, imaging ini erat kaitannya dengan radiologi untuk diagnosis suatu penyakit. Sepertinya, dasar inilah yang digunakan Dr. Warsito untuk mengembangkan ECVT sebagai teknik untuk mendiagnosis kanker. Akan tetapi, abstrak tulisan pertama ini, tidak sedikit pun menyebut penggunaannya dalam bidang kanker. Tapi ini masih bagian abstrak saja, lho. Mungkin di bagian lain akan disebut. Jadi, saya tidak boleh berkecil hati.
Spoiler for gambar.2:

Masih dari tulisan yang sama, di bagian Introduction atau Pendahuluan, ECVT dikembangkan dari teknologi ECT yang selama ini sudah digunakan untuk kepentingan industri, seperti mengukur konsentrasi minyak dan pneumatic conveyors. (guna ECVT untuk kanker belum kunjung disebut. Mungkin di bagian berikutnya)
Spoiler for gambar.3:

Saya lanjutkan membaca ke bagian isi (gambar 3). Dapat diketahui bahwa potensi penggunaan ECVT adalah untuk melihat gambaran gas, cairan, dan benda padat (kanker belum disebut juga di bagian isi). Tulisan ini penuh dengan istilah bidang teknik yang saya tidak mengerti.
Spoiler for gambar.4:


Nah, ini menarik. Saya pernah membaca bahwa penemuan Pak Warsito ini juga ingin dikembangkan oleh NASA. Wah, ternyata memang benar. NASA mengembangkan ECVT ini untuk pengukuran bahan bakar (measurement of fuel gauge) di tempat dengan gravitasi nol alias luar angkasa. Saya tadinya sempat bingung, apa hubungannya NASA dengan teknologi untuk pengobatan kanker. Ternyata memang tidak ada hubungannya. emoticon-Frown

setelah selesai membaca tulisan Pak Warsito yang saya temukan pertama kali ini, saya tidak menemukan satu pun kata kanker, maupun istilah medis. Karena sepertinya memang tulisan pertama ini merupakan tulisan tentang ECVT untuk bidang teknologi ya.

Saya beranjak ke Google Scholar. Saya cukup senang karena tulisan Pak Warsito berikutnya yang saya temukan, akhirnya berhubungan dengan medis (Gambar 5)
Spoiler for gambar.5:

Pak Warsito menulis bahwa ia melakukan penelitian mengenai penggunaan ECVT untuk mendeteksi aktivitas otak (belum ada kata kanker di sini). Dalam penelitian ini, Pak Warsito menggunakan phantom. Yang saya ketahui, phantom adalah boneka berbentuk manusia yang sering kami gunakan di dunia kedokteran. Pak Warsito meneliti dengan menggunakan phantom, bukan dengan sel makhluk hidup, ataupun hewan, ataupun manusia.
Tulisan Pak Warsito berikutnya membuat saya semakin berharap. Pak Warsito meneliti ECVT untuk deteksi kanker payudara! Wah! (Gambar 6)
Spoiler for gambar.6:

Akan tetapi, dalam penelitian kali ini, beliau melakukan penelitian deteksi kanker payudara pada (lagi-lagi) phantom alias boneka alias benda mati. Jaringan payudara dibuat dari paraffin (untuk jaringan payudara normal) dan karet (untuk jaringan payudara yang mengalami kanker). Penelitian ini (lagi-lagi) tidak menggunakan sel makhluk hidup ataupun hewan ataupun manusia. Tetapi saya tidak mau berputus asa. Saya pun membaca tulisan beliau berikutnya, mengenai deteksi tumor menggunakan ECVT (Gambar 7).
Spoiler for gambar.7:

Dari penelitian yang ditulis Pak Warsito di Gambar 7, kali ini beliau melibatkan subjek manusia! Sebanyak lima orang. Beliau membandingkan hasil deteksi kanker menggunakan ECVT dengan CT-scan dan MRI pada LIMA pasien. Beliau kemudian berkesimpulan bahwa ECVT merupakan peluang yang baik untuk alternatif teknik diagnosis kanker otak (atau tumor? ngomong-ngomong apa bedanya ya Pak?) tanpa radiasi. Kesimpulan itu diambil dari penelitian terhadap lima orang manusia. Sementara itu, penggunaan CT scan dan MRI melibatkan banyak sekali penelitian yang membuktikan keakuratannya dalam mendiagnosis, sebelum akhirnya ditetapkan sebagai pemeriksaan standard tumor otak.Setelah melihat berbagai tulisan Pak Warsito, saya merasa Pak Warsito punya harapan besar untuk kemajuan teknologi ECVT ini. Saya pribadi akan mendukung hal tersebut, dengan beberapa “saran” (yang saya yakin Pak Warsito dapat memenuhinya):
Sebenarnya, mana yang Pak Warsito inginkan, ECVT atau ECCT? Untuk diagnosis, terapi, atau keduanya? Karena setahu saya, jalur atau mekanisme penelitiannya, nanti akan berbeda.
Tapi setidaknya tulisan-tulisan Pak Warsito diatas membuktikan bahwa ternyata bukan ponari emoticon-Ngakak (S)

Warsito ponari atau bukan

ternyata dia telah menulis 37 publikasi internasional
dan tulisan dia jadi referensi bagi 964 tulisan lainnya secara internasional


maaf klo panjang kepada para agan dan aganwati no offense just share emoticon-Shakehand2
[URL="https://chalkme.wordpress.com/2015/12/03/telaah-riset-pak-warsito/ "]sumber:[/URL]

Tambahan buat agan dan aganwati
Spoiler for tambahan:

dari Universitas INDONESIA gan
Spoiler for 1:

Spoiler for 2:

Spoiler for 3:


UPDATE
klinik di jepang yang memakai teknologi pak warsito untuk treathment kanker
Spoiler for klinik jepun:

harganya $10.000 USD padahal di bumi Indonesia yang tercintah ini tidak segitu bahkan bisa free buat yg tidak mampu berdasarkan info dan sumber
Diubah oleh buburayak 16-12-2015 04:16
0
9.8K
70
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.3KThread84.3KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.