Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

  • Beranda
  • ...
  • The Lounge
  • kisah anggota polantas yang menghentikan iring iringan mobil guberner NTT

vickyartopoAvatar border
TS
vickyartopo
kisah anggota polantas yang menghentikan iring iringan mobil guberner NTT
siang emoticon-Traveller
mau share berita hero,
maap kalo ane repost,ane cuma mau ngasih berita yg belum denger,kalo udah pernah baca,ane jangan di timpukin ya emoticon-Sorry
kalo ente ente pada suka jangan lupa emoticon-Rate 5 Star dikasih cendol juga kagak nolak
langsung aja ni beritanya


Kisah Dua Polantas Yang Menghentikan
Iring-Iringan Mobil Gubernur NTT


Saya sangat tertarik untuk
menuliskan cerita ini begitu membaca headlinenya di
Tribunnews.com kemarin. Ceritanya Dua anggota
Satlantas Polres Kupang, Aiptu Piet Ena dan Aipda Mess
Nite, menghentikan perjalanan Gubernur NTT Frans Lebu
Raya dan rombongannya, usai melakukan kunjungan
kerja di wilayah Kabupaten Kupang, Kamis (10/12013).
Penghentian dilakukan polisi saat gubernur melintasi
Jalan Timor Raya di Noelbaki, karena kendaraan yang
mengawalnya membunyikan sirene.

Spoiler for :



Gubernur Frans Lebu Raya pun turun dari mobil
dinasnya, lalu menghampiri dan menegur dua anggota
Satlantas yang sedang bertugas. "Pak Gubernur turun
dari oto (mobil) dan tanya saya. Kamu tahu tidak saya
Gubernur NTT, kenapa kalian tahan? Saya hanya bilang,
kami tidak tahan bapak. Kami hentikan kendaraan yang
mengawal bapak karena membunyikan sirene, dan itu
melanggar aturan. Lalu Pak Gubernur bilang biarkan
saya lewat, nanti saya sampaikan ke Kapolda," kata Piet
menirukan ucapan gubernur. Hal senada disampaikan
Aipda Mess Nite. Menurutnya, sekitar belasan mobil
rombongan gubernur yang dihentikan. Bahkan, ada
sebagian dari rombongan yang menendang papan rambu
lalu lintas yang bertuliskan pemeriksaan kendaraan.
Namun, keduanya mengaku prosedur yang dijalankan
saat menghentikan kendaraan merujuk pada aturan lalu
lintas, yakni UU Nomor 22 Tahun 2009.
Menanggapi kejadian ini, Kapolda NTT Brigjen Ricky
Sitohang mengatakan, berdasarkan aturan perundang-
undangan yang berlaku, rombongan gubernur
seharusnya dikawal oleh Polisi Lalu Lintas. Menurut
Sitohang, itu diatur dalam UU 22/2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan Raya (LLAJ). Dalam undang-
undang itu dijelaskan, pengawalan terhadap kepala
daerah seperti gubernur, wali kota, dan bupati, termasuk
yang menggunakan konvoi voorijder dilakukan oleh
polisi. "Tidak ada aturan Satpol PP kawal gubernur saat
menggunakan jalan raya tanpa ada pengawalan polisi.
Jangan bikin aturan sendiri, dan jangan salah kaprah
terhadap UU. Seharusnya, rombongan Gubernur NTT
dikawal oleh Polisi Lalu Lintas. Satpol PP bisa saja ada,
tapi mereka ikut dari belakang," tutur Sitohang.
Terhadap polisi yang 'menahan' voorijder sipil, Kapolda
Sitohang memberikan apresiasi. "Polisi seharusnya
seperti itu. Saat menegakkan aturan, polisi jangan takut
karena dia dilindungi UU. Saya senang melihat polisi
yang paham dan bertanggung jawab terhadap
tupoksinya. Terima kasih kepada polisi yang sudah
laksanakan tugasnya itu. Dia sangat luar biasa, dia tahu
tupoksi," puji Sitohang. Dalam melaksanakan tugas,
jelas Sitohang, polisi harus tegas, namun humanis.
"Jangan arogan, jangan menunjukkan kekuasaan.
Jalankan aturan perundangan dengan cara yang santun.
Polisi jangan membentak-bentak, memaki-maki, apalagi
menganiaya. Kalau polisi membiarkan terjadi
pelanggaran lalu lintas, maka polisinya sontoloyo,"
bebernya.
Menyimak cerita ini saya langsung teringat kisah masa
dulu saat seorang polantas bernama Brigadir Royadin
yang menghentikan dan menilang mobil yang saat itu
ditumpangi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Ceritanya pada pertengahan 1960-an itu, Royadin
bertugas di pos lantas yang seingatnya kalau tidak di
pertigaan depan Stasiun Poncol Semarang, di Simpang
Lima, ataupun daerah Jalan MT Haryono. Tiba-tiba
Royadin melihat ada mobil melanggar jalan searah. Ia
langsung mencegat. Ternyata pengemudinya orang yang
sama sekali tidak asing. Royadin tersentak, tapi ia tetap
memilih menilang orang besar itu. Sultan HB IX menurut
Royadin tidak marah dan memberikan surat-surat
kelengkapan yang diminta sesuai peraturan. Berikut
nukilan ceritanya yang membuat saya terharu, kagum
sekaligus bangga dengan figur seorang pemimpin
Yogyakarta.
Ketika Sri Sultan HB IX Ditilang Seorang Polantas
Becak dan delman amat dominan masa itu ,
persimpangan Soko mulai riuh dengan bunyi kalung
kuda yang terangguk angguk mengikuti ayunan cemeti
sang kusir. Dari arah selatan dan membelok ke barat
sebuah sedan hitam ber plat AB melaju dari arah yang
berlawanan dengan arus becak dan delman . Brigadir
Royadin memandang dari kejauhan ,sementara sedan
hitam itu melaju perlahan menuju kearahnya. Dengan
sigap ia menyeberang jalan ditepi posnya, ayunan
tangan kedepan dengan posisi membentuk sudut
Sembilan puluh derajat menghentikan laju sedan hitam
itu. Sebuah sedan tahun lima puluhan yang amat jarang
berlalu di jalanan pekalongan berhenti dihadapannya.
Saat mobil menepi , brigadir Royadin menghampiri sisi
kanan pengemudi dan memberi hormat. “Selamat pagi!”
Brigadir Royadin memberi hormat dengan sikap
sempurna . “Boleh ditunjukan rebuwes!” Ia meminta
surat surat mobil berikut surat ijin mengemudi kepada
lelaki di balik kaca , jaman itu surat mobil masih
diistilahkan rebuwes.
Perlahan , pria berusia sekitar setengah abad
menurunkan kaca samping secara penuh. “Ada apa pak
polisi ?” Tanya pria itu. Brigadir Royadin tersentak
kaget , ia mengenali siapa pria itu . “Ya Allah…sinuwun!”
kejutnya dalam hati . Gugup bukan main namun itu
hanya berlangsung sedetik , naluri polisinya tetap
menopang tubuh gagahnya dalam sikap sempurna.
“Bapak melangar verbodden , tidak boleh lewat sini, ini
satu arah !” Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah
Sultan Jogja, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dirinya
tak habis pikir , orang sebesar sultan HB IX mengendarai
sendiri mobilnya dari jogja ke pekalongan yang jauhnya
cukup lumayan., entah tujuannya kemana.
Setelah melihat rebuwes , Brigadir Royadin
mempersilahkan Sri Sultan untuk mengecek tanda
larangan verboden di ujung jalan , namun sultan
menolak. “ Ya ..saya salah , kamu benar , saya pasti
salah !” Sinuwun turun dari sedannya dan menghampiri
Brigadir Royadin yang tetap menggengam rebuwes tanpa
tahu harus berbuat apa.
“ Jadi…?” Sinuwun bertanya , pertanyaan yang singkat
namun sulit bagi brigadir Royadin menjawabnya .
“Em..emm ..bapak saya tilang , mohon maaf!” Brigadir
Royadin heran , sinuwun tak kunjung menggunakan
kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi
dengannya, jangankan begitu , mengenalkan dirinya
sebagai pejabat Negara dan Rajapun beliau tidak
melakukannya.
“Baik..brigadir , kamu buatkan surat itu , nanti saya ikuti
aturannya, saya harus segera ke Tegal !” Sinuwun
meminta brigadir Royadin untuk segera membuatkan
surat tilang. Dengan tangan bergetar ia membuatkan
surat tilang, ingin rasanya tidak memberikan surat itu
tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi tidak boleh
memandang beda pelanggar kesalahan yang terjadi di
depan hidungnya. Yang paling membuatnya sedikit
tenang adalah tidak sepatah katapun yang keluar dari
mulut sinuwun menyebutkan bahwa dia berhak
mendapatkan dispensasi. “Sungguh orang yang besar…!”
begitu gumamnya.
Surat tilang berpindah tangan , rebuwes saat itu dalam
genggamannya dan ia menghormat pada sinuwun
sebelum sinuwun kembali memacu Sedan hitamnya
menuju ke arah barat, Tegal. Beberapa menit sinuwun
melintas di depan stasiun pekalongan, brigadir royadin
menyadari kebodohannya, kekakuannya dan segala
macam pikiran berkecamuk. Ingin ia memacu sepeda
ontelnya mengejar Sedan hitam itu tapi manalah
mungkin. Nasi sudah menjadi bubur dan ketetapan
hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada
siapapun berhasil menghibur dirinya.
Saat aplusan di sore hari dan kembali ke markas , Ia
menyerahkan rebuwes kepada petugas jaga untuk
diproses hukum lebih lanjut.,Ialu kembali kerumah
dengan sepeda abu abu tuanya. Saat apel pagi esok
harinya , suara amarah meledak di markas polisi
pekalongan , nama Royadin diteriakkan berkali kali dari
ruang komisaris. Beberapa polisi tergopoh gopoh
menghampirinya dan memintanya menghadap komisaris
polisi selaku kepala kantor.
“Royadin , apa yang kamu lakukan ..sa’enake dewe ..ora
mikir ..iki sing mbok tangkep sopo
heh..ngawur..ngawur!” Komisaris mengumpat dalam
bahasa jawa , ditangannya rebuwes milik sinuwun
pindah dari telapak kanan kekiri bolak balik.
“ Sekarang aku mau tanya , kenapa kamu tidak lepas
saja sinuwun..biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia ,
ngerti nggak kowe sopo sinuwun?” Komisaris tak
menurunkan nada bicaranya. “ Siap pak , beliau tidak
bilang beliau itu siapa , beliau ngaku salah ..dan
memang salah!” brigadir Royadin menjawab tegas.
“Ya tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia ..ojo kaku
kaku , kok malah mbok tilang..ngawur ..jan ngawur….Ini
bisa panjang , bisa sampai Menteri !” Derai komisaris.
Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian
Negara.
Brigadir Royadin pasrah , apapun yang dia lakukan
dasarnya adalah posisinya sebagai polisi , yang
disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa
saja ..memang Koppeg(keras kepala) kedengarannya.
Kepala polisi pekalongan berusaha mencari tahu dimana
gerangan sinuwun , masih di Tegalkah atau tempat lain?
Tujuannya cuma satu , mengembalikan rebuwes. Namun
tidak seperti saat ini yang demikian mudahnya bertukar
kabar , keberadaa sinuwun tak kunjung diketahui hingga
beberapa hari. Pada akhirnya kepala polisi pekalongan
mengutus beberapa petugas ke Jogja untuk
mengembalikan rebuwes tanpa mengikut sertakan
Brigadir Royadin.
Usai mendapat marah , Brigadir Royadin bertugas seperti
biasa , satu minggu setelah kejadian penilangan, banyak
teman temannya yang mentertawakan bahkan ada isu
yang ia dengar dirinya akan dimutasi ke pinggiran kota
pekalongan selatan.
Suatu sore , saat belum habis jam dinas , seorang kurir
datang menghampirinya di persimpangan soko yang
memintanya untuk segera kembali ke kantor. Sesampai
di kantor beberapa polisi menggiringnya keruang
komisaris yang saat itu tengah menggengam selembar
surat.
“Royadin….minggu depan kamu diminta pindah !” lemas
tubuh Royadin , ia membayangkan harus menempuh
jalan menanjak dipinggir kota pekalongan setiap hari ,
karena mutasi ini, karena ketegasan sikapnya
dipersimpangan soko .
“ Siap pak !” Royadin menjawab datar. “Bersama
keluargamu semua, dibawa!” pernyataan komisaris
mengejutkan , untuk apa bawa keluarga ketepi
pekalongan selatan , ini hanya merepotkan diri saja.
“Saya sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan,
semua keluarga biar tetap di rumah sekarang !” Brigadir
Royadin menawar.
“Ngawur…Kamu sanggup bersepeda pekalongan –
Jogja ? pindahmu itu ke jogja bukan disini, sinuwun
yang minta kamu pindah tugas kesana , pangkatmu mau
dinaikkan satu tingkat.!” Cetus pak komisaris ,
disodorkan surat yang ada digengamannya kepada
brigadir Royadin.
Surat itu berisi permintaan bertuliskan tangan dari Sri
Sultan HB IX yang intinya :
“ Mohon dipindahkan brigadir Royadin ke Jogja ,
sebagai polisi yang tegas saya selaku pemimpin
Jogjakarta akan menempatkannya di wilayah
Jogjakarta bersama keluarganya dengan meminta
kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu
tingkat.” Ditanda tangani sri sultan
hamengkubuwono IX.
Tangan brigadir Royadin bergetar , namun ia segera
menemukan jawabannya. Ia tak sangup menolak
permntaan orang besar seperti sultan HB IX namun dia
juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota
pekalongan .Ia cinta pekalongan dan tak ingin
meninggalkan kota ini .
“ Mohon bapak sampaikan ke sinuwun , saya berterima
kasih, saya tidak bisa pindah dari pekalongan , ini tanah
kelahiran saya , rumah saya . Sampaikan hormat saya
pada beliau ,dan sampaikan permintaan maaf saya pada
beliau atas kelancangan saya !”
Brigadir Royadin bergetar , ia tak memahami betapa
luasnya hati sinuwun Sultan HB IX , amarah hanya
diperolehnya dari sang komisaris namun penghargaan
tinggi justru datang dari orang yang menjadi korban
ketegasannya.
Kalau kita membaca 2 kisah yang berbeda ini yaitu Kisah
Dua Polantas Yang Menghentikan Iring-Iringan Mobil
Gubernur NTT dan kisah Brigadir Royadin yang menilang
Sri Sultan HB IX maka terlihat jelas perbedaan sikap
meskipun kedua subyeknya sama-sama Gubernur.
Gubernur NTT melalui ucapannya bisa disimpulkan
mewakili figur penguasa masa modern dengan segala
arogansinya, sedangkan sikap yang dilakukan oleh
Sultan HB IX mencerminkan figur seorang pemimpin
rakyat yang patut dicontoh dan dikenang sepanjang
masa. Dan apa yang di lakukan Brigadir Royadin telah
memberi contoh yang harus diteladani. Bagaimana
seorang Polisi bersikap dan berani bertindak
menegakkan peraturan tanpa kompromi siapa yg
melanggar.
Sumber:
http://www.tribunnews.com/2013/01/11/dua-polantas-
hentikan-iring-iringan-gubernur-ntt#comment/
articles/1311342/5
http://jogjakini.wordpress.com/2011/12/09/kisah-
nyata-ketika-sri-sultan-hb-ix-terkena-tilang-di-
pekalongan/


Spoiler for :
0
11.8K
106
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.1KThread83.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.