Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

amihamzahAvatar border
TS
amihamzah
Belajar Ilmu Agama Bikin Madesu?
Agan Sista tahu Madesu..?

Masa depan suram.

Demikianlah kesimpulan yang kerap kali terpikirkan oleh sebagian orang sebagai tanggapan atas yang ingin mendalami ilmu agama.

Bagi sebagian orang, ilmu agama hanya ilmu yang ringan.

Asal tidak berbentur dengan akal, selaras dengan rasional, maka mempelajari ilmu agama bukan lagi suatu yang special.

Jika titel dunia telah didapat, otomatis gelar ustadz kan hinggap.

Ilmu agama seakan tak punya lagi derajat. Hmmm..

Agan Sista, bagaimana kiranya jika ada ada seorang buta akan ilmu kedokteran akan tetapi dia mengaku-aku sebagai ahli kedokteran?

Dengan kapasitasnya, dia berani mengisi seminar-seminar tentang kedokteran, dia pun tak segan untuk membuka praktek pengobatan di rumahnya.

Maka apakah tanggapan kita tentang orang ini?


Akankah kita maklumi jika ada salah satu kerabat atau tetangga kita yang sakit untuk berobat kepada orang yang mengaku-aku dokter tersebut?

Tentu kita tidak!

Kita takut jika kerabat atau tetangga kita tersebut mendapat sesuatu yang merugikan.

Jika contoh di atas berkenaan dengan ilmu pengobatan maka bagaimana jika berkenaan dengan ilmu agama?

Salah penanganan dalam pengobatan maka taruhannya nyawa, akan tetapi jika salah dalam jalan beragama, maka taruhannya adalah neraka. Wal ‘iyyadzubillah.

Demikianlah yang seharusnya di perhatikan.

Ilmu agama bukan ilmu yang biasa. Ilmu agama adalah ilmu yang luar biasa. Tidak akan suram bagi orang-orang yang menekuninya.

Jika kita mau sedikit meluangkan waktu untuk membuka lembaran sejarah orang-orang berilmu nan shalih, niscaya kita akan dapati tebaran kisah yang menakjubkan dari keutamaan-keutamaan mereka dibanding para raja dan penguasa di masanya. 

Sulaiman ibn Abdil Malik, seorang penguasa tertinggi di masanya.

Beliau suatu saat melakukan perjalanan ke Mekkah untuk melaksanakan haji.

Tibalah sang khalifah tersebut di kota kelahiran Rasulullah.

Dengan membawa kedua putra mahkotanya, khalifah tersebut mendatangi seorang tabi’in yang bernama Atha’ ibn Abi Rabbah untuk bertanya suatu permasalahan seputar ibadah haji.

Tahukah siapa Atha’?

Dia adalah seorang mufti (pemberi fatwa) masalah-masalah seputar ibadah haji di Mekkah.

Ternyata sang khalifah tidak bisa langsung untuk bertemu dengan Atha’.

Atha’ saat itu sedang menunaikan shalat sunnah di kediamannya. Rumahnya dijaga oleh pembantunya yang setia menjaga rumah tuannya dari gangguan manusia yang ingin menemuinya.

Memanglah keadaanya.

Atha’ selalu rutin bermunajat kepada Rabbnya di kala dhuha tiba.

Manusia yang ingin menemuinya mau tidak mau harus menunggu atha’ selesai dari shalatnya. Tidak terkecuali sang khalifah.

Dia pun bersama kedua putra mahkotanya, bergabung dengan rakyatnya sabar antri menunggu giliran.

Sang khalifah menunggu dan terus menunggu.

Dengan penuh kesabaran, selesailah Atha’ dari munajatnya.

Atha’ mulai menerima dan melayani orang-orang yang ingin bertanya.

Satu persatu datang orang-orang bertanya. Satu persatu pula jawaban diberikan.

Tibalah giliran sang khalifah bertanya.

Sulaiman ibnu Abdil Malik mendatangi atha’ dan mulai bertanya tentang hukum-hukum syar’i seputar haji.

Namun ketika Atha’ menjawab, beliau menjawab pertanyaan sang khalifah dengan membuang muka.

Ada apa gerangan?

Ya.

Seorang tabi’in yang mulia nan wara’ tersebut berlaku demikian karena ingin menunjukkan bahwa di mata beliau kedudukan sang khalifah adalah hina di hadapannya.

Mendapat perlakuan yang demikian maka sang khalifah berkata kepada kedua putra mahkotanya: “Wahai putraku, janganlah engkau lemah dalam menuntut ilmu (agama). Karena sesungguhnya aku tidak akan pernah melupakan kejadian ini. Dimana aku demikian rendahnya di hadapan bekas budak ini”.

Subhanallah!

Perhatikanlah, siapakah yang bisa melakukan hal yang demikian?

Yang bisa membuat khalifah dan kedua putra mahkotanya berdiri antri di teriknya panas kota.

Yang bisa menjadikan seorang khalifah butuh kepadanya.

Yang bisa menghinakan seorang khalifah dan putra mahkota sekaligus di hadapannya.

Yang bisa melakukan semua itu tentu orang yang lebih tinggi dan lebih mulia kedudukannya di sisi khalifah.

Ya.

Merekalah para ulama rabbani. Merekalah orang-orang yang mendapat janji Allah sebagaimana ayat Allah yang berbunyi (artinya): *“Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang yang diberi ilmu beberapa derajat” (Al-Mujadilah: 11)*.

Jika Allah telah mengangkat derajat seorang hamba, maka siapakah yang bisa merendahkannya?

Pembaca yang semoga dirahmati Allah, demikian salah satu kisah yang bisa menjadi contoh bahwa ilmu agama adalah ilmu yang mulia.

Lebih mulia dari sekedar ilmu-ilmu dunia yang bersumber kepada hasil-hasil penelitian atau hasil pengalaman para cendikia.

Ilmu agama yang shahih adalah ilmu yang bersumber dari wahyu Allah baik Al-Qu’ran maupun As-Sunnah.

Ilmu adalah warisannya para hamba pilihan Allah, sebagaimana hadits yang artinya:*“Para ulama adalah pewaris para nabi dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dirham atau dinar. Akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya, berarti dia telah mengambil bagian yang banyak” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami)*

Maka dengan catatan ringan ini, semoga kita bisa lebih semangat lagi dalam mencari ilmu agama dan tidak ada lagi anggapan ‘madesu’ pada orang yang belajar mendalami ilmu agama.

Tentunya ilmu agama yang benar.

Piss
0
2.7K
35
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.4KThread84.4KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.