Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

devcorpAvatar border
TS
devcorp
OPINI : Apa yang Tersisa dari Agama?
OPINI : Apa yang Tersisa dari Agama?

Quote:
Jika agama hanya menawarkan ritual dan fanatisme sesat, agama gagal menjalankan tugasnya. Pertanyaan lanjutan bisa berupa apakah agama memperkaya etika? Herman Cohen (dalam La Religion dans Les Limites de La Philosophie, CERF, Paris, 1990), berusaha menjawab pertanyaan tersebut.

Ia menjelaskan bahwa agama bukan memperkaya etika namun agama menspesifikasi tindakan etika secara khas, karena agama dalam etika menjadi penjaga kekhasan individu. Agama menempatkan etika di dalam komunitas konkret (bukan abstrak “kemanusiaan”) dengan organisasi, tradisi, ritus, institusi, teologi dan individu-individu anggotanya.

Namun, jika yang terjadi setiap kali di Indonesia adalah konflik yang beralaskan nama agama, maka agama sebagai penerjemah etika tidak berjalan sama sekali. Setelah perayaan HUT ke-70 kemerdekaan RI yang diwarnai dengan konflik di Tolikara, Papua, kini konflik tersebut terjadi kembali dalam kurun waktu yang tidak terlalu berjauhan.

Aceh yang biasa dikenal publik dengan gerakan separatisnya, kini sudah diwarnai dengan konflik agama, bahkan hingga menelan korban jiwa. Beberapa hari yang lalu, salah satu tempat ibadah di Aceh Singkil dibakar massa dengan mengatasnamakan agama.

Dari berbagai diskusi yang ada, mulai dari diskusi distribusi kekuasaan di bidang ekonomi dan sosial, diskusi lain yang tidak kalah pentingnya adalah membaca substansi agama secara lebih mendalam.

Kekhasan agama adalah menspesifikasi etika yang menjadi landasan dasar kehidupan manusia. Tulisan ini sekaligus sebagai “candu” bagi setiap orang dalam melihat agama secara lebih benar, adil, sekaligus cerdas.

Membangun Universalitas Konkret
Agama selalu menampilkan dua sisi yang kadang bertentangan satu dengan yang lainnya. Di satu sisi, agama memberikan rasa aman, damai, dan upaya hidup secara lebih bermoral antara satu dengan yang lainnya.

Di sisi lain, agama “memberi ruang” bagi timbulnya kekerasan dengan mengatasnamakan suatu agama. Di Indonesia, kekerasan dan perselisihan antaragama bukanlah hal yang baru. Beberapa realitas di atas menunjukkan bagaimana agama kadang menjadi momok yang bisa mempersatukan sekaligus memisahkan sebuah bangsa.

Tesis dasar yang harus dimaknai dengan tepat adalah bahwa keberadaan agama sebenarnya membantu mengkonkretkan jalannya etika.
Namun demikian kekerasan hadir ketika peran sebuah agama dipahami dalam mekanisme yang keliru.

Haryatmoko dalam bukunya Etika: Politik dan Kekuasaan (64: 2010), menjelaskan bahwa ada tiga peran agama yang rentan terhadap kekerasan. Pertama, agama berperan sebagai acuan ideologi. Di sini, setiap agama menumbuhkan pemahaman dan panafsiran tersendiri yang kadang “menutup mata” terhadap kebenaran umum.

Pemaknaan dan penafsiran kadang menyembunyikan kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Penyembunyian kepentingan ini terkait dengan peran ideologis agama, dalam arti sebagai faktor integrasi dan pembenaran dominasi. Kedua, agama berperan sebagai identitas. Identitas dapat dideinisikan sebagai kepemilikan pada kelompok sosial tertentu.

Dalam keseharian hidup, orang sering juga menyebut identitas suku sama dengan agama. Orang sering menyebut identitas etnis seperti Aceh Muslim, Flores Katolik, Timor Protestan, Bali Hindu, dan sebagainya.

Hal ini menjadi rentan terhadap kekerasan, sebab ketika sebuah identitas etnis terganggu, agama pun ikut terganggu di dalamnya.
Agama pun sering dihubungkan dengan status dan keberadaan setiap pemiliknya. Ketiga, agama menjadi legitimasi etis hubungan sosial.

Berbeda dengan peran agama sebagai kerangka penafsiran, peran agama yang ketiga ini bukan sakralisasi hubungan sosial, namun suatu tatanan sosial mendapat dukungan dari agama.

Identitas sistem sosial, politik atau ekonomi tertentu dengan nilai-nilai agama tertentu, bisa memancing penolakan dari agama lain. Nilai-nilai HAM yang sering diidentifikasikan dengan Kristianisme sering mendapat penolakan oleh agama lain.

Selain itu, berdirinya kelompok ISIS sering disamakan dengan Islam di seluruh negara, termasuk di Indonesia, sehingga menimbulkan rasa benci dari agama lainnya.

Ketiga pemahaman tersebut sering menjadi dasar bagi setiap pemeluk agama untuk melakukan kekerasan kepada pemeluk agama lainnya, juga terhadap atribut agama tertentu. Untuk itu, urgensi dalam membangun sebuah kehidupan yang lebih baik dan adil adalah menuntut seluruh pemeluk agama dalam menkonkretkan etika kehidupan.

Itulah yang disebut dengan sebuah universalitas konkret. Agama bukanlah sebuah hal yang abstrak, yang suci sakaligus tak tersentuh. Agama adalah sebuah ungkapan diri manusia (universalitas) yang konkret sekaligus partikular.

Konkret merujuk pada sikap hidup nyata yang bermoral universal, sedangkan partikular merujuk pada sikap hidup moral tersebut menjadi gambaran nyata ajaran agama-agama.

Membangun agama dalam terang universalitas konkret bukanlah sebuah perkara yang mudah. Setiap orang harus berupaya untuk menyadari keberadaan agama dalam sebuah skala global sekaligus holistik atau menyeluruh. Yang disayangkan adalah sering terjadi, para pemuka agama dan juga pemeluknya, menutupi aspek negatif dari sebuah agama.

Dengan demikian, kekerasan, penindasan, pembakaran, bahkan pembunuhan atas nama agama tidak terelakkan. Kita pastinya tidak ingin agama yang kita anut hanyalah agama “mati” yang tidak berbicara banyak bagi tumbuhnya kehidupan umum yang lebih baik sekaligus bermoral.
Semoga tulisan ini membuka mata kita untuk menghayati agama secara lebih benar, adil, sekaligus cerdas.

Original Post

emoticon-I Love Indonesia
0
4.7K
60
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672.1KThread41.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.