- Beranda
- The Lounge
Mengenal tentang budaya Suku "Dayak Kaharingan"
...
TS
walue
Mengenal tentang budaya Suku "Dayak Kaharingan"
Quote:
Assalamuallaikum wr. wb.
Selamat Pagi agan-agan dan aganwati sekalian.
Quote:
Hari ini ane akan membagi sebagian pengetahuan tentang salah satu suku bangsa yang ada di INDONESIA.
Yaitu suku Dayak Kaharingan.
Spoiler for Read Me!!!:
Informasi yang saya bagikan ini semata untuk pengetahuan dan informasi tentang adat budaya Dayak Kaharingan, tidak ada unsur sara atau rasis dalam hal-hal yang akan saya sampaikan.
"Terima kasih untuk para pembaca yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca thread sederhana ane ini".
"Terima kasih untuk para pembaca yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca thread sederhana ane ini".
Quote:
Kaharingan. Kata ini mungkin masih asing bagi kebanyakan orang. Tapi kalau menyebut kata Daya (Dayak), kemungkian besar semua orang akan tahu. Keterkaitan antara Kaharingan dan Daya ada pada sisi kepercayaan. Bahwa Kaharingan adalah kepercayaan Suku Dayak.
Kaharingan berasal dari bahasa engasn (Dayak kuno) yang akar katanya adalah ’’Haring’’ Haring berarti ada dan tumbuh atau hidup yang dilambangkan dengan Batang Garing atau Pohon Kehidupan.
Seperti halnya dengan agama lokal lainnya di Nusantara, keberadaan mereka nyaris terabaikan, dan terpinggirkan. Bagi sebagian orang, Kaharingan dianggap sebagai Agama Helo alias agama lama, Agama Huran alias agama kuno, atau Agama Tato-hiang alias agama nenek-moyang.
Kaharingan adalah kepercayaan tradisional suku Dayak di Kalimantan, ketika agama lain belum memasuki Kalimantan.
Istilah Kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan (air kehidupan),[3] maksudnya agama suku atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Ranying), yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh masyarakat Dayak di Kalimantan.
Pemerintah Indonesia mewajibkan penduduk dan warganegara untuk menganut salah satu agama yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia.
Oleh sebab itu, kepercayaan Kaharingan dan religi suku yang lainnya seperti Tollotang (Hindu Tollotang) pada suku Bugis, dimasukkan dalam kategori agama Hindu sejak 20 April 1980,[4], mengingat adanya persamaan dalam penggunaan sarana kehidupan dalam melaksanakan ritual untuk korban (sesaji) yang dalam agama Hindu disebut Yadnya.
Jadi mempunyai tujuan yang sama untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa, hanya berbeda kemasannya.
Tuhan Yang Maha Esa dalam istilah agama Kaharingan disebut Ranyig.
Kaharingan berasal dari bahasa engasn (Dayak kuno) yang akar katanya adalah ’’Haring’’ Haring berarti ada dan tumbuh atau hidup yang dilambangkan dengan Batang Garing atau Pohon Kehidupan.
Seperti halnya dengan agama lokal lainnya di Nusantara, keberadaan mereka nyaris terabaikan, dan terpinggirkan. Bagi sebagian orang, Kaharingan dianggap sebagai Agama Helo alias agama lama, Agama Huran alias agama kuno, atau Agama Tato-hiang alias agama nenek-moyang.
Kaharingan adalah kepercayaan tradisional suku Dayak di Kalimantan, ketika agama lain belum memasuki Kalimantan.
Istilah Kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan (air kehidupan),[3] maksudnya agama suku atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Ranying), yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh masyarakat Dayak di Kalimantan.
Pemerintah Indonesia mewajibkan penduduk dan warganegara untuk menganut salah satu agama yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia.
Oleh sebab itu, kepercayaan Kaharingan dan religi suku yang lainnya seperti Tollotang (Hindu Tollotang) pada suku Bugis, dimasukkan dalam kategori agama Hindu sejak 20 April 1980,[4], mengingat adanya persamaan dalam penggunaan sarana kehidupan dalam melaksanakan ritual untuk korban (sesaji) yang dalam agama Hindu disebut Yadnya.
Jadi mempunyai tujuan yang sama untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa, hanya berbeda kemasannya.
Tuhan Yang Maha Esa dalam istilah agama Kaharingan disebut Ranyig.
Spoiler for Sandung:
Sandung Dayak Pesaguan di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Perhatikan arca naga di bagian atas.
Perhatikan arca naga di bagian atas.
Quote:
Sandung Dayak Pebihingan, bersisian dengan dua makam. Kabupaten Ketapang
Kaharingan ini pertama kali diperkenalkan oleh Tjilik Riwut tahun 1944, saat ia menjabat Residen Sampit yang berkedudukan di Banjarmasin. Tahun 1945, pendudukan Jepang mengajukan Kaharingan sebagai penyebutan agama Dayak. Sementara pada masa Orde Baru, para penganutnya berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan. Pemilihan integrasi ke Hindu ini bukan karena kesamaan ritualnya. Tapi dikarenakan Hindu adalah agama tertua di Kalimantan.
Lambat laun, Kaharingan mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Kitab suci agama mereka adalah Panaturan dan buku-buku agama lain, seperti Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawar (petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), dan sebagainya.
Hingga kini penganut Kaharingan masih memperjuangkan hak, yaitu Kaharingan yang merupakan kepercayaan nenek moyang secara turun-temurun agar diakui sebagai agama di Indonesia. Belum diakuinya Kaharingan sebagai agama menyulitkan masyarakat adat Meratus. Ketika membuat E-KTP masyarakat adat Dayak Meratus harus mengosongkan kolom agama. Berdasarkan catatan Kedamangan Dayak Meratus, komunitas tersebut hingga 2003 mempunyai 60.000 orang anggota, sekitar dua persen dari penduduk Kalsel yang sekarang berjumlah 3,6 juta jiwa.
Di Malaysia Timur (Sarawak dan Sabah), kepercayaan Dayak ini tidak diakui sebagai bagian umat beragama Hindu, jadi dianggap sebagai masyarakat yang belum menganut suatu agama apapun justerunya juga masyarakat Dayak di Malaysia tidak mengakui agama Hindu. Kebanyakan Dayak di Malaysia beragama Kristen.[butuh rujukan]
Pada tanggal 20 April 1980 Kaharingan dimasukan ke dalam agama Hindu Kaharingan.
Organisasi alim ulama Hindu Kaharingan adalah Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) yang pusatnya di Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
Kaharingan ini pertama kali diperkenalkan oleh Tjilik Riwut tahun 1944, saat ia menjabat Residen Sampit yang berkedudukan di Banjarmasin. Tahun 1945, pendudukan Jepang mengajukan Kaharingan sebagai penyebutan agama Dayak. Sementara pada masa Orde Baru, para penganutnya berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan. Pemilihan integrasi ke Hindu ini bukan karena kesamaan ritualnya. Tapi dikarenakan Hindu adalah agama tertua di Kalimantan.
Lambat laun, Kaharingan mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Kitab suci agama mereka adalah Panaturan dan buku-buku agama lain, seperti Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawar (petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), dan sebagainya.
Hingga kini penganut Kaharingan masih memperjuangkan hak, yaitu Kaharingan yang merupakan kepercayaan nenek moyang secara turun-temurun agar diakui sebagai agama di Indonesia. Belum diakuinya Kaharingan sebagai agama menyulitkan masyarakat adat Meratus. Ketika membuat E-KTP masyarakat adat Dayak Meratus harus mengosongkan kolom agama. Berdasarkan catatan Kedamangan Dayak Meratus, komunitas tersebut hingga 2003 mempunyai 60.000 orang anggota, sekitar dua persen dari penduduk Kalsel yang sekarang berjumlah 3,6 juta jiwa.
Di Malaysia Timur (Sarawak dan Sabah), kepercayaan Dayak ini tidak diakui sebagai bagian umat beragama Hindu, jadi dianggap sebagai masyarakat yang belum menganut suatu agama apapun justerunya juga masyarakat Dayak di Malaysia tidak mengakui agama Hindu. Kebanyakan Dayak di Malaysia beragama Kristen.[butuh rujukan]
Pada tanggal 20 April 1980 Kaharingan dimasukan ke dalam agama Hindu Kaharingan.
Organisasi alim ulama Hindu Kaharingan adalah Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) yang pusatnya di Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
Quote:
Sebagian dari kita mungkin baru mendengar tentang Kaharingan apalagi jika kata itu disandingkan dengan kata “agama”. Wajar, karena Kaharingan sebagai agama hanya dianut oleh masyarakat Dayak Meratus yang berada di Kalimantan Selatan, oleh Dayak Tunjung, Benuaq (Kalimantan Timur), Dayak Ngaju yang berada di Kalimantan Tengah, Dayak Luangan Ma’anyan, Tumon, dan Siang. Kaharingan juga dianut oleh Dayak Uud Danum (Ot Danum) di Embalau dan Serawai (Kalimantan Barat) yang menggelar upacara penguburan kedua (Tiwah).
Sebagai agama, Kaharingan sudah ada beribu-ribu tahun di Kalimantan bahkan sebelum datangnya agama Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen. Sebagai agama “peninggalan leluhur”, Kaharingan sangat erat kaitannya dengan aktivitas keseharian masyarakat dayak pada masa lalu, baik dalam upaya merambah hutan, berladang, berburu, dan kehidupan sosial mereka lainnya.
Sebagai kepercayaan, Agama Kaharingan memuat aturan bagi kehidupan. Nilai dan isinya bukan sekadar kungkungan adat-istiadat yang dirahasiakan sembari harus dilaksanakan, Kaharingan justru merupakan ajaran untuk berperilaku yang harus disampaikan secara lisan dan dimengerti secara menyeluruh.
Secara sepintas Agama Kaharingan sering dikaitkan dengan keyakinan yang mempercayai “banyak Dewa”. Seperti dewa yang menguasai tanah, dewa penguasa sungai, penguasa pohon, penguasa batu, dan dewa-dewa yang berkuasa di tempat atau kejadian lainnya. Akan tetapi, banyak yang tidak tahu kalau kepercayaan ini percaya kepada satu penguasa tertinggi.
Kaharingan berasal dari bahasa Sangiang (Dayak kuno) Haring yang berarti hidup. Kaharingan dapat juga diartikan sebagai kehidupan yang abadi dari Ranying Mahatalla Langit. Ranying, merupakan nama yang mengacu kepada Zat Tunggal Yang Mutlak. Dalam keyakinan Dayak Ngaju, Agama Kaharingan telah ada semenjak awal penciptaan, yaitu saat Ranying Hatalla Langit menciptakan semesta.
Perjalanan Sejarah
Dahulu, orang-orang non-Dayak menyebut agama Kaharingan sebagai agama Dayak atau agama Tempon, “agama heiden” dan juga “agama helo”. Nama Kaharingan baru populer pada pertengahan abad ke-20.
"Pemerintah Kolonial Belanda"dalam menyikapi agama Kaharingan erat kaitannya dengan strategi penguasaan wilayah Kalimantan yang memiliki hasil bumi yang melimpah. Orang-orang Belanda itu tahu betul hukum adat orang Dayak yang tanpa pandang bulu akan menjaga wilayahnya dari para pendatang yang dinilai merusak alam mereka. Pemerintah Belanda atas dasar keamanan dan keselamatan, dan juga kepentingan politik-ekonomi, melakukan pendekatan etik dan halus dengan maksud terselubung terhadap tetua adat, sesepuh, tokoh masyarakat, damang (kepala adat), pisur, dan lainnya di berbagai komunitas Dayak.
Salah satu diantara pendekatan halus pemerintah Kolonial Hindia-Belanda adalah melalui proyek misionaris, “missi Zending”. Melalui para misionaris ini pemerintahan Kolonial melakukan taktik penghapusan ritual-ritual Kaharingan.
"Pada zaman Jepang", pendekatan yang dilakukan sangat bertolak belakang dengan yang telah dilakukan kolonial Belanda. Untuk menarik simpati dan juga dukungan dari masyarakat Dayak, pemerintah militer Jepang bahkan menyatakan agama Kaharingan ada kaitannya dengan agama Shinto.Pemerintahan Jepang di Indonesia memberikan penghormatan kepada kepercayaan Kaharingan dan memberikan apresiasi sebagai bagian dari peradaban dan kebudayaan lokal.
Maka dari itu, pada zaman Jepang lah pertama kali agama orang Dayak ini diterima keberadaannya sebagai agama dan bahkan oleh militer Jepang dijadikan partner serius mereka dalam menangani masalah kebudayaan setempat. Tidak tanggung-tanggung konon pemerintah militer Jepang juga membuat semacam pusat penelitian bernama Bagian Penyelidik Adat dan Kebudayaan Kalimantan sebagai langkah guna mengetahui seluk-beluk keagamaan serta kebudayaan Dayak.
"Pada masa pemerintahan Indonesia". keberadaannya yang sejak ribuan tahun silam, sebagai salah satu kepercayaan yang cukup tua di Nusantara yang bahkan diakui oleh Pemerintah Jepang, ternyata pasca Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Kaharingan tidak mendapat tempat alias tidak diakui oleh pemerintah Indonesia. Hingga kini telah lebih dari 68 tahun meredeka, Pemerintah Indonesia belum dapat memberikan pengakuan resmi terhadap Kaharingan sebagai “agama”.
pada tahun 1979 pemerintah menetapkan sebuah kebijakan bahwa dalam pengisian KTP (Kartu Tanda Penduduk), untuk kolom “agama” selain Islam, Kristian, Buddha, dan Hindu, harus diisi dengan tanda strip (-) yang berarti bukan penganut agama, tapi hanya aliran kepercayaan.
Tahun 20 Februari 1980 para penganut Kaharingan “dipaksa” berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan. Pemerintah Indonesia pada masa itu mewajibkan penduduknya untuk menganut salah satu agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia. Kaharingan–dan juga beberapa religi suku lainnya–kemudian “dimasukkan” dalam kategori agama Hindu karena dinilai adanya persamaan dalam tatacara beribadahnya. Penyamarataan ini konon juga dikarenakan karena Hindu adalah agama tertua di Kalimantan dan mempunyai kedekatan sejarah dengan wilayah itu.
Perlahan namun pasti meskipun tidak mempunyai “status yang jelas”, Kaharingan nyatanya mampu berdiri sendiri hingga mempunyai tempat ibadah “resmi” yang dinamakan Balai Basarah (Balai Kaharingan). Pada tahun 2006 tercatat ada 212 Balai basarah. Kitab-kitab suci agama mereka pun disusun dan diberi nama Panaturan, Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawar (tatacara berdoa), Pemberkatan, Perkimpoian, dan Buku Penyumpahan atau Pengukuhan (Pengambilan sumpah pengukuhan jabatan). Juga mereka bisa mendefinisikan waktu ibadah rutin dari Agama Kaharingan yang biasanya dilakukan setiap hari Kamis atau pada malam Jumat. Sedangkan untuk hari raya merujuk pada ritual penting agama Kaharingan yaitu upacara Tiwah dan Basarah.
Hingga tahun 2007, Badan Pusat Statistik Kalimantan Tengah mencatat ada sekitar 223.349 orang penganut Kaharingan di Indonesia. Ada pun organisasi para pemuka agama Kaharingan disebut Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) yang berpusat di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Kekinian, penganut Kaharingan kembali harus memperjuangkan haknya agar kepercayaan yang telah mengakar bergenerasi itu diakui sebagai agama di Indonesia. Tidak diakui atau tercantumnya Kaharingan sebagai agama menyulitkan masyarakat penganutnya ketika membuat E-KTP. Masyarakat Dayak penganut Kaharingan terpaksa harus mengosongkan kolom agama mereka. Kaharingan dan juga agama-agama asli Indonesia kurang lebih bernasib sama. Mereka penganutnya, secara tidak langsung masih dianggap sebagai masyarakat yang belum atau tidak menganut agama.
Terancam “punah”
Kaharingan sendiri berarti “tumbuh” atau “hidup”. Bagi mereka penganutnya, agama Kaharingan dipercaya telah ada beribu-ribu tahun sebelum datangnya Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen. Kedatangan agama-agama baru itu lah yang mendorong Kaharingan dipandang sebagai agama helo atau “agama lama”, agama huran “agama kuno”, atau agama tato-hiang “agama nenek-moyang”.
Seperti keyakinan-keyakinan “asli” lainnya di Nusantara, ajaran-ajaran dari agama Kaharingan memang tidak dikembangan untuk dituangkan dalam kitab suci, melainkan tersebar melalui tradisi bertutur yang disampaikan tetuha adat atau mereka yang memang dianggap memiliki kemampuan untuk hal itu. Agama Kaharingan yang dianut Dayak Meratus (Kalimantan Selatan) bahkan dinyatakan terancam kehilangan tempatnya. Jumlah tetuha adat Dayak Meratus yang dinilai menguasai dan dapat menuturkan ajaran-ajaran Kaharingan jumlahnya makin sedikit.
Agama Kaharingan Dayak Meratus masih dituturkan secara khusus oleh orang-orang yang terpilih dan konon tidak semua orang bisa dan bahkan mampu mempelajarinya. Selain itu, pada masyarakat adat Dayak Meratus memang tidak ada guru yang bertugas secara khusus dalam memberikan pelajaran Kaharingan secara berkesinambungan. Berbeda dengan yang terjadi di Kalimantan Tengah. Di Kota Palangkaraya telah berdiri sekolah khusus agama Kaharingan.
Sementara itu, generasi muda Suku Dayak yang berpendidikan perhatiannya kebanyakan terkonsentrasi pada masalah pengakuan dan perjuangan akan hak-hak masyarakat adat dan sebagian lupa akan kewajibannya. Seiring waktu berjalan, upacara-upacara keagamaan itu sepertinya telah mengalami pergeseran dan mulai kehilangan tempatnya.
Ketiadaan pengakuan pemerintah atas Kaharingan sebagai “agama” juga patut diperhatikan karena hal ini berdampak besar bagi penganut agama Kaharingan. Dalam banyak kasus, mereka kerap tersisihkan dalam pendidikan, kesulitan memperoleh pekerjaan, dan bahkan dikucilkan dalam pergaulan. Lebih jauh lagi bahkan tidak jarang mereka didiskriminasikan atas haknya sebagai warga negara. Celakanya ini justru mengakibatkan orang Dayak yang menganut Kaharingan kerap dianggap sebagai kaum marjinal yang perlahan namun pasti hal itu telah meruntuhkan harga diri mereka.
Sebagai agama, Kaharingan sudah ada beribu-ribu tahun di Kalimantan bahkan sebelum datangnya agama Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen. Sebagai agama “peninggalan leluhur”, Kaharingan sangat erat kaitannya dengan aktivitas keseharian masyarakat dayak pada masa lalu, baik dalam upaya merambah hutan, berladang, berburu, dan kehidupan sosial mereka lainnya.
Sebagai kepercayaan, Agama Kaharingan memuat aturan bagi kehidupan. Nilai dan isinya bukan sekadar kungkungan adat-istiadat yang dirahasiakan sembari harus dilaksanakan, Kaharingan justru merupakan ajaran untuk berperilaku yang harus disampaikan secara lisan dan dimengerti secara menyeluruh.
Secara sepintas Agama Kaharingan sering dikaitkan dengan keyakinan yang mempercayai “banyak Dewa”. Seperti dewa yang menguasai tanah, dewa penguasa sungai, penguasa pohon, penguasa batu, dan dewa-dewa yang berkuasa di tempat atau kejadian lainnya. Akan tetapi, banyak yang tidak tahu kalau kepercayaan ini percaya kepada satu penguasa tertinggi.
Kaharingan berasal dari bahasa Sangiang (Dayak kuno) Haring yang berarti hidup. Kaharingan dapat juga diartikan sebagai kehidupan yang abadi dari Ranying Mahatalla Langit. Ranying, merupakan nama yang mengacu kepada Zat Tunggal Yang Mutlak. Dalam keyakinan Dayak Ngaju, Agama Kaharingan telah ada semenjak awal penciptaan, yaitu saat Ranying Hatalla Langit menciptakan semesta.
Spoiler for Tambahan Pertama:
POHON KEHIDUPAN
Agama Kaharingan sering dilambangkan dengan Batang Haring atau Batang Garing yang berarti Pohon Kehidupan. Pohon Kehidupan ini memiliki makna filosofis keseimbangan atau keharmonisan hubungan antara sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Sebuah triangulasi.
Pohon Batang Haring dengan Balanga atau Kataladah (guci/pot/wadah) itu menyimbolkan dua dunia yang berbeda tetapi terikat oleh satu kesatuan yang berhubungan dan membutuhkan. Dunia atas dilambangkan dengan pohon dan dunia bawah yang dilambangkan melalui guci. Sementara buah yang terdapat pada Batang Haring itu melambangkan kelompok besar dari umat manusia. Buah Batang Haring yang menghadap arah atas dan bawah adalah pengingat bagi manusia agar senantiasa menghargai dua sisi yang berbeda dengan seimbang.
Tempat bertumpu Batang Haring dinamakan Pulau Batu Nindan Tarung. Pulau tempat kediaman manusia pertama kali sebelum diturunkan ke bumi. Di bagian puncaknya terdapat burung enggang dan matahari yang merupakan lambang-lambang dari Ranying Hatalla Langit, sumber segala kehidupan. Dengan demikian manusia diingatkan bahwa dunia yang sekarang ini adalah tempat tinggal sementara karena tempat asal manusia yang sebenarnya berada di dunia atas, Lawu Tatau.
Agama Kaharingan sering dilambangkan dengan Batang Haring atau Batang Garing yang berarti Pohon Kehidupan. Pohon Kehidupan ini memiliki makna filosofis keseimbangan atau keharmonisan hubungan antara sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Sebuah triangulasi.
Pohon Batang Haring dengan Balanga atau Kataladah (guci/pot/wadah) itu menyimbolkan dua dunia yang berbeda tetapi terikat oleh satu kesatuan yang berhubungan dan membutuhkan. Dunia atas dilambangkan dengan pohon dan dunia bawah yang dilambangkan melalui guci. Sementara buah yang terdapat pada Batang Haring itu melambangkan kelompok besar dari umat manusia. Buah Batang Haring yang menghadap arah atas dan bawah adalah pengingat bagi manusia agar senantiasa menghargai dua sisi yang berbeda dengan seimbang.
Tempat bertumpu Batang Haring dinamakan Pulau Batu Nindan Tarung. Pulau tempat kediaman manusia pertama kali sebelum diturunkan ke bumi. Di bagian puncaknya terdapat burung enggang dan matahari yang merupakan lambang-lambang dari Ranying Hatalla Langit, sumber segala kehidupan. Dengan demikian manusia diingatkan bahwa dunia yang sekarang ini adalah tempat tinggal sementara karena tempat asal manusia yang sebenarnya berada di dunia atas, Lawu Tatau.
Spoiler for Batang Haring:
Spoiler for Tambahan Kedua:
Perjalanan Sejarah
Dahulu, orang-orang non-Dayak menyebut agama Kaharingan sebagai agama Dayak atau agama Tempon, “agama heiden” dan juga “agama helo”. Nama Kaharingan baru populer pada pertengahan abad ke-20.
Spoiler for Image I:
Spoiler for Image II:
Spoiler for Image III:
Spoiler for Tambahan Ketiga:
"Pemerintah Kolonial Belanda"dalam menyikapi agama Kaharingan erat kaitannya dengan strategi penguasaan wilayah Kalimantan yang memiliki hasil bumi yang melimpah. Orang-orang Belanda itu tahu betul hukum adat orang Dayak yang tanpa pandang bulu akan menjaga wilayahnya dari para pendatang yang dinilai merusak alam mereka. Pemerintah Belanda atas dasar keamanan dan keselamatan, dan juga kepentingan politik-ekonomi, melakukan pendekatan etik dan halus dengan maksud terselubung terhadap tetua adat, sesepuh, tokoh masyarakat, damang (kepala adat), pisur, dan lainnya di berbagai komunitas Dayak.
Salah satu diantara pendekatan halus pemerintah Kolonial Hindia-Belanda adalah melalui proyek misionaris, “missi Zending”. Melalui para misionaris ini pemerintahan Kolonial melakukan taktik penghapusan ritual-ritual Kaharingan.
"Pada zaman Jepang", pendekatan yang dilakukan sangat bertolak belakang dengan yang telah dilakukan kolonial Belanda. Untuk menarik simpati dan juga dukungan dari masyarakat Dayak, pemerintah militer Jepang bahkan menyatakan agama Kaharingan ada kaitannya dengan agama Shinto.Pemerintahan Jepang di Indonesia memberikan penghormatan kepada kepercayaan Kaharingan dan memberikan apresiasi sebagai bagian dari peradaban dan kebudayaan lokal.
Maka dari itu, pada zaman Jepang lah pertama kali agama orang Dayak ini diterima keberadaannya sebagai agama dan bahkan oleh militer Jepang dijadikan partner serius mereka dalam menangani masalah kebudayaan setempat. Tidak tanggung-tanggung konon pemerintah militer Jepang juga membuat semacam pusat penelitian bernama Bagian Penyelidik Adat dan Kebudayaan Kalimantan sebagai langkah guna mengetahui seluk-beluk keagamaan serta kebudayaan Dayak.
"Pada masa pemerintahan Indonesia". keberadaannya yang sejak ribuan tahun silam, sebagai salah satu kepercayaan yang cukup tua di Nusantara yang bahkan diakui oleh Pemerintah Jepang, ternyata pasca Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Kaharingan tidak mendapat tempat alias tidak diakui oleh pemerintah Indonesia. Hingga kini telah lebih dari 68 tahun meredeka, Pemerintah Indonesia belum dapat memberikan pengakuan resmi terhadap Kaharingan sebagai “agama”.
pada tahun 1979 pemerintah menetapkan sebuah kebijakan bahwa dalam pengisian KTP (Kartu Tanda Penduduk), untuk kolom “agama” selain Islam, Kristian, Buddha, dan Hindu, harus diisi dengan tanda strip (-) yang berarti bukan penganut agama, tapi hanya aliran kepercayaan.
Tahun 20 Februari 1980 para penganut Kaharingan “dipaksa” berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan. Pemerintah Indonesia pada masa itu mewajibkan penduduknya untuk menganut salah satu agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia. Kaharingan–dan juga beberapa religi suku lainnya–kemudian “dimasukkan” dalam kategori agama Hindu karena dinilai adanya persamaan dalam tatacara beribadahnya. Penyamarataan ini konon juga dikarenakan karena Hindu adalah agama tertua di Kalimantan dan mempunyai kedekatan sejarah dengan wilayah itu.
Perlahan namun pasti meskipun tidak mempunyai “status yang jelas”, Kaharingan nyatanya mampu berdiri sendiri hingga mempunyai tempat ibadah “resmi” yang dinamakan Balai Basarah (Balai Kaharingan). Pada tahun 2006 tercatat ada 212 Balai basarah. Kitab-kitab suci agama mereka pun disusun dan diberi nama Panaturan, Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawar (tatacara berdoa), Pemberkatan, Perkimpoian, dan Buku Penyumpahan atau Pengukuhan (Pengambilan sumpah pengukuhan jabatan). Juga mereka bisa mendefinisikan waktu ibadah rutin dari Agama Kaharingan yang biasanya dilakukan setiap hari Kamis atau pada malam Jumat. Sedangkan untuk hari raya merujuk pada ritual penting agama Kaharingan yaitu upacara Tiwah dan Basarah.
Hingga tahun 2007, Badan Pusat Statistik Kalimantan Tengah mencatat ada sekitar 223.349 orang penganut Kaharingan di Indonesia. Ada pun organisasi para pemuka agama Kaharingan disebut Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) yang berpusat di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Kekinian, penganut Kaharingan kembali harus memperjuangkan haknya agar kepercayaan yang telah mengakar bergenerasi itu diakui sebagai agama di Indonesia. Tidak diakui atau tercantumnya Kaharingan sebagai agama menyulitkan masyarakat penganutnya ketika membuat E-KTP. Masyarakat Dayak penganut Kaharingan terpaksa harus mengosongkan kolom agama mereka. Kaharingan dan juga agama-agama asli Indonesia kurang lebih bernasib sama. Mereka penganutnya, secara tidak langsung masih dianggap sebagai masyarakat yang belum atau tidak menganut agama.
Spoiler for Tambahan Keempat:
Terancam “punah”
Kaharingan sendiri berarti “tumbuh” atau “hidup”. Bagi mereka penganutnya, agama Kaharingan dipercaya telah ada beribu-ribu tahun sebelum datangnya Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen. Kedatangan agama-agama baru itu lah yang mendorong Kaharingan dipandang sebagai agama helo atau “agama lama”, agama huran “agama kuno”, atau agama tato-hiang “agama nenek-moyang”.
Seperti keyakinan-keyakinan “asli” lainnya di Nusantara, ajaran-ajaran dari agama Kaharingan memang tidak dikembangan untuk dituangkan dalam kitab suci, melainkan tersebar melalui tradisi bertutur yang disampaikan tetuha adat atau mereka yang memang dianggap memiliki kemampuan untuk hal itu. Agama Kaharingan yang dianut Dayak Meratus (Kalimantan Selatan) bahkan dinyatakan terancam kehilangan tempatnya. Jumlah tetuha adat Dayak Meratus yang dinilai menguasai dan dapat menuturkan ajaran-ajaran Kaharingan jumlahnya makin sedikit.
Agama Kaharingan Dayak Meratus masih dituturkan secara khusus oleh orang-orang yang terpilih dan konon tidak semua orang bisa dan bahkan mampu mempelajarinya. Selain itu, pada masyarakat adat Dayak Meratus memang tidak ada guru yang bertugas secara khusus dalam memberikan pelajaran Kaharingan secara berkesinambungan. Berbeda dengan yang terjadi di Kalimantan Tengah. Di Kota Palangkaraya telah berdiri sekolah khusus agama Kaharingan.
Sementara itu, generasi muda Suku Dayak yang berpendidikan perhatiannya kebanyakan terkonsentrasi pada masalah pengakuan dan perjuangan akan hak-hak masyarakat adat dan sebagian lupa akan kewajibannya. Seiring waktu berjalan, upacara-upacara keagamaan itu sepertinya telah mengalami pergeseran dan mulai kehilangan tempatnya.
Ketiadaan pengakuan pemerintah atas Kaharingan sebagai “agama” juga patut diperhatikan karena hal ini berdampak besar bagi penganut agama Kaharingan. Dalam banyak kasus, mereka kerap tersisihkan dalam pendidikan, kesulitan memperoleh pekerjaan, dan bahkan dikucilkan dalam pergaulan. Lebih jauh lagi bahkan tidak jarang mereka didiskriminasikan atas haknya sebagai warga negara. Celakanya ini justru mengakibatkan orang Dayak yang menganut Kaharingan kerap dianggap sebagai kaum marjinal yang perlahan namun pasti hal itu telah meruntuhkan harga diri mereka.
Spoiler for Tambahan Kelima:
Kaharingan yang sudah dianut sebagai kepercayaan sejak zaman leluhur itu terbagi dalam dua jenis. Kaharingan murni yang sangat spesifik mempraktikkan ritualnya, dan Kaharingan campuran, yang sudah berbaur dengan agama lain, namun masih menjaga kepercayaan asli. Meski begitu, perbedaan keduanya tak terlalu mencolok.
Menurut kepercayaan ini, suku Dayak mempercayai banyak dewa. Seperti dewa penguasa tanah, sungai, pohon, batu, dan sebagainya. Dewa tertinggi memiliki sebutan berbeda di antara sub suku Dayak. Dayak Ot Danum, misalnya, menyebut dewa tertinggi “Mahatara”, sedangkan Dayak Ngaju menyebutnya “Ranying Mahatalla Langit”.
Penganut kepercayaan Kaharingan memiliki tempat pertemuan yang berfungsi semacam tempat ibadah disebut dengan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Juga memiliki waktu Ibadah rutin yang dilakukan setiap Kamis atau malam Jumat. Sedangakan untuk hari raya atau ritual penting dari agama Kaharingan adalah upacara Tiwah yaitu ritual kematian tahap akhir dan upacara Basarah,
Sebagai kepercayaan, Kaharingan memuat aturan hidup. Nilai dan isinya bukan sekadar adat-istiadat, tapi juga ajaran berperilaku yang disampaikan secara lisan turun temurun. Aturan hidup tersebut terdapat dalam sejumlah buku suci yang memuat ajaran dan juga seperangkat aturan adalah: Panaturan (sejenis kitab suci), Talatah Basarah (kumpulan doa), Tawar (petunjuk tata cara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), Pemberkatan Perkimpoian dan Buku Penyumpahan / Pengukuhan untuk acara pengambilan sumpah jabatan.
Sebagai agama kepercayaan masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, Kaharingan telah ada beribu-ribu tahun sebelum datangnya agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Bedasarkan BPS, pada tahun 2007, di Kalimantan Tengah yang terdiri dari 13 Kabupaten dan 1 Kotamadya terdapat 223.349 orang penganut agama kepercayaan tersebut.
Kaharingan yang disimbolkan dengan Pohon Kehidupan memiliki rincian makna filosofis sebagai berikut: pemahaman pada Pohon Batang Garing yang menyimbolkan antara pohon sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia bawah merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat oleh satu kesatuan yang saling berhubungan.
Simbol pada Buah Batang Garing, melambangkan tiga kelompok besar manusia sebagai keturunan Maharaja Sangiang, Maharaja engasn, dan Maharaja Nunu. Sementara Buah garing yang menghadap arah atas dan bawah mengajarkan manusia untuk menghargai dua sisi yang berbeda secara seimbang atau dengan kata lain mampu menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Tempat bertumpu Batang Garing adalah Pulau Batu Nindan Tarung yaitu pulau tempat kediaman manusia pertama sebelum manusia diturunkan ke bumi. Di sinilah dulunya nenek moyang manusia, yaitu anak-anak dan cucu Maharaja Bunu hidup, sebelum sebagian dari mereka diturunkan ke bumi ini.
Dengan demikian orang-orang Dayak diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas, yaitu di Lawu Tatau. Dengan demikian sekali lagi diingatkan bahwa manusia janganlah terlalu mendewa-dewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi.
Pada bagian puncak terdapat burung enggang dan matahari yang melambangkan bahwa asal-usul kehidupan ini adalah berasal dari atas. Burung enggang dan matahari merupakan lambang lambang-lambang Ranying Mahatala Langit yang merupakan sumber segala kehidupan.
Jadi inti lambang dari pohon kehidupan ini adalah keseimbagan atau keharmonisan antara sesama manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan.
Menurut kepercayaan ini, suku Dayak mempercayai banyak dewa. Seperti dewa penguasa tanah, sungai, pohon, batu, dan sebagainya. Dewa tertinggi memiliki sebutan berbeda di antara sub suku Dayak. Dayak Ot Danum, misalnya, menyebut dewa tertinggi “Mahatara”, sedangkan Dayak Ngaju menyebutnya “Ranying Mahatalla Langit”.
Penganut kepercayaan Kaharingan memiliki tempat pertemuan yang berfungsi semacam tempat ibadah disebut dengan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Juga memiliki waktu Ibadah rutin yang dilakukan setiap Kamis atau malam Jumat. Sedangakan untuk hari raya atau ritual penting dari agama Kaharingan adalah upacara Tiwah yaitu ritual kematian tahap akhir dan upacara Basarah,
Sebagai kepercayaan, Kaharingan memuat aturan hidup. Nilai dan isinya bukan sekadar adat-istiadat, tapi juga ajaran berperilaku yang disampaikan secara lisan turun temurun. Aturan hidup tersebut terdapat dalam sejumlah buku suci yang memuat ajaran dan juga seperangkat aturan adalah: Panaturan (sejenis kitab suci), Talatah Basarah (kumpulan doa), Tawar (petunjuk tata cara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), Pemberkatan Perkimpoian dan Buku Penyumpahan / Pengukuhan untuk acara pengambilan sumpah jabatan.
Sebagai agama kepercayaan masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, Kaharingan telah ada beribu-ribu tahun sebelum datangnya agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Bedasarkan BPS, pada tahun 2007, di Kalimantan Tengah yang terdiri dari 13 Kabupaten dan 1 Kotamadya terdapat 223.349 orang penganut agama kepercayaan tersebut.
Kaharingan yang disimbolkan dengan Pohon Kehidupan memiliki rincian makna filosofis sebagai berikut: pemahaman pada Pohon Batang Garing yang menyimbolkan antara pohon sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia bawah merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat oleh satu kesatuan yang saling berhubungan.
Simbol pada Buah Batang Garing, melambangkan tiga kelompok besar manusia sebagai keturunan Maharaja Sangiang, Maharaja engasn, dan Maharaja Nunu. Sementara Buah garing yang menghadap arah atas dan bawah mengajarkan manusia untuk menghargai dua sisi yang berbeda secara seimbang atau dengan kata lain mampu menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Tempat bertumpu Batang Garing adalah Pulau Batu Nindan Tarung yaitu pulau tempat kediaman manusia pertama sebelum manusia diturunkan ke bumi. Di sinilah dulunya nenek moyang manusia, yaitu anak-anak dan cucu Maharaja Bunu hidup, sebelum sebagian dari mereka diturunkan ke bumi ini.
Dengan demikian orang-orang Dayak diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas, yaitu di Lawu Tatau. Dengan demikian sekali lagi diingatkan bahwa manusia janganlah terlalu mendewa-dewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi.
Pada bagian puncak terdapat burung enggang dan matahari yang melambangkan bahwa asal-usul kehidupan ini adalah berasal dari atas. Burung enggang dan matahari merupakan lambang lambang-lambang Ranying Mahatala Langit yang merupakan sumber segala kehidupan.
Jadi inti lambang dari pohon kehidupan ini adalah keseimbagan atau keharmonisan antara sesama manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan.
Spoiler for :
Quote:
Jadi demikianlah sebagian informasi tentang Suku bangsa Dayak Kaharingan, dan sekian pula thread dari ane.
Spoiler for Tambahan, dll.:
Dan ane juga gak menolak dikasih cendol gan
Spoiler for Sumur Bor:
http://www.wacananusantara.org/kahar...hur-suku-daya/
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak
http://kebudayaanindonesia.net/kebud...aan-suku-dayak
Thread lain mengenai dayak :
Quote:
Diubah oleh walue 07-10-2015 14:28
0
22.4K
Kutip
44
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
923.4KThread•84.5KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya