Waktu jaga bapak mertua di RSAL minggu kemarin 23-24 Agustus 2015, aku jalani dengan tenang. Bapak masuk kelas 1 di pavilyun 4. Ada dua tempat tidur dalam satu kamar. Kebetulan pikirku dan aku berharap tidak akan cepat terisi pasien melihat kamar-kamar sebelah ada beberapa yang kosong.

Sayang, dalam kamar tercium bau jempol kaki yang menyengat dan lamat-lamat tercium pula bau amis. Penasaran juga aku dibuatnya. Mulailah aku bergaya anjing pelacak, cium sana-sini. Ternyata bau berasal dari tempat tidur kosong. Aku berusaha untuk mencari kotoran apa yang menimbulkan bau tak sedap tapi tak berhasil. Aku menanyakan kepada perawat dan dokter yang masuk untuk ikut membauinya. Tapi semua mengatakan tidak membaui apa-apa. Petugas kebersihan pun berkata begitu walapun dia bersedia untuk membersihkan kamar terutama pada daerah tempat tidur kosong sampai dua kali pel. Ya sudahlah, mungkin bau-bau itu berasal dari luar kamar. Akhirnya aku tidak mempedulikannya. Makan dan minum dengan tenang meski hidung ini tetap protes dengan bau tak sedap.

Kemarin waktu pertemuan keluarga, kami bercerita tentang keadaan orang tua kami pada saat dirawat di RSAL. Salah seorang keponakan bercerita bahwa di kamar tempat bapak dirawat ada beberapa penduduk tetapnya. Keponakan kami itu dikaruniai kemampuan melihat dimensi lain dan berinteraksi dengan masyarakatnya. Penduduk tetap yang dia maksud ada beberapa, salah satunya adalah seorang kakek yang menempati tempat tidur kosong tersebut. Kakek itu selalu mengurut-urut kakinya yang sakit. Kata keponakan kami menjelaskan bahwa kakinya sudah membusuk. Rupanya dari situlah bau jempol kaki menyengat yang sempat menggangguku. Ada banyak darah yang berceceran bahkan cenderung menggenang di sana-sini. Ternyata bau amisnya tetap bertahan hingga sekian dasawarsa. Syukurlah aku tidak mendengarkan ceritanya sebelum aku terkena giliran jaga.

RSAL memang terkenal dengan keangkerannya. Orang boleh tidak mempercayainya namun pengalaman banyak pasien dan keluarga pasien adalah kenyataannya.