SuperABLUAvatar border
TS
SuperABLU
jepang butuh 5 tahun, china 3 tahun saja
Jakarta - China dan Jepang menawarkan proposal proyek kereta cepat Jakarta-Bandung kepada pemerintahan Presiden Jokowi. Keduanya sudah mengajukan proposal dan sedang dinilai oleh konsultan independen, dan tim penilai dari pemerintah.

Berdasarkan data dari berbagai sumber, Selasa (1/9/2015), yang dikutip detikFinance kedua negara punya teknologi kereta yang masing-masing, yaitu CRH380A dari China, dan Shinkansen E5 dari Jepang. Kedua kereta ini diasumsikan akan dipakai pada jalur kereta cepat Jakarta-Bandung dengan rute di atas 100 km.

Dari jarak tempuh, masing-masing negara punya jalur yang berbeda sehingga mempengaruhi jarak rel yang akan dibuat. Dalam asumsi kereta cepat untuk CRH380A dirancang mencapai 150,5 km Jakarta-Gedebage (Bandung), sedangkan Shinkansen E5 hanya 140 km.

Yang menarik, meski Jepang memiliki rencana jarak rel yang lebih pendek, justru perkiraan waktu penyelesaian konstruksi butuh 5 tahun. Sedangkan China yang memiliki jarak lebih panjang, waktu penyelesaian konstruksinya hanya butuh waktu 3 tahun.

Namun kedua negara mempunyai asumsi penggunaan operasi kereta cepat mereka yang akan mereka tawarkan. Kereta cepat CRH380A dan Shinkansen E5 masing-masing punya masa operasi berbeda, CRH380A hanya beroperasi maksimal 40 tahun, sedangkan Shinkansen E5 masa operasinya lebih panjang hingga 50 tahun.

Sementara itu, masa pembayaran utang atau cicilan kedua negara sama-sama 40 tahun, dengan masa jeda cicilan (grace periode) selama 10 tahun. Selain itu, penetapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Value Added Tax dan PPh Badan (Corporate Tax) sama-sama, 10% dan 25% per tahun.

Selain itu, dari sisi proyeksi asumsi jumlah penumpang, masing-masing negara punya perkiraan peningkatan jumlah penumpang. Untuk periode 2019 kereta CRH380 mampu mengangkut 28.872 orang/hari, sedangkan dengan Shinkansen E5 mampu mengangkut 45.325 orang/hari. Hingga pada 2050, jumlah penumpang masing-masing sebanyak 156.920 orang/hari untuk CRH, dan 132.090 orang/hari untuk Shinkansen E5.

Kini, China sedang bersaing dengan Jepang untuk mendapatak proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang nilainya mencapai Rp 78-87 triliun, untuk panjang lintasan 150 km. Pemenang proyek ini rencananya akan diumumkan pada 2 September 2015, setelah hasil tim penilai dari pemerintah yang dipimpin oleh Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution.

http://finance.detik.com/read/2015/0...-hanya-3-tahun

komen ts:
kesimpulanya, satu lebih cepat dan lebih murah, lainya lebih lama lebih mahal. pilih mana?
kalau ane boleh pilih, bikin diluar jawa dong. ntar daerah lain pasti cemburu

tambahan

Kereta Api Cepat (High Speed Train), Kebutuhan atau Pencitraan?
Catatan Agus Pambagio

Jakarta - Sebuah negara dengan jumlah penduduk sangat besar, seperti Indonesia, harus mempunyai infrastruktur angkutan publik yang memadai untuk melayani pergerakan manusia setiap saat. Salah satu angkutan publik yang paling cocok adalah kereta api atau angkutan publik yang berbasiskan rel, seperti kereta komuter, Mass Rapid Transit (MRT), Light Rail Transit (LRT) dan sebagainya.

Negara-negara yang sudah lama mengandalkan dan bergantung pada angkutan publik berbasis rel, baik untuk penumpang maupun barang, adalah Jepang, negara-negara Eropa, China, Singapore dan lain-lain.

Mereka menghabiskan miliaran dollar untuk pengembangan angkutan publik berbasis rel ini. Dampaknya, ekonomi mereka kuat dan pelayanan publiknya optimal.

Hari-hari ini Pemerintah Indonesia tengah demam pembangunan high speed train/rail (HST/HSR) atau kereta cepat yang menghubungkan Jakarta-Bandung. Untuk itu sudah ada dua negara yang bersedia membantu Indonesia mewujudkannya, yaitu Jepang dan China. Persaingannya sudah melibatkan kekuasaan administrasi negara dan politik yang jika tidak hati-hati akan merugikan rakyat Indonesia ke depan.

Pembangunan infrastruktur harus dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara lebih merata, khususnya di luar Jawa. Pertanyaannya, apakah kita memang sudah membutuhkan kereta api cepat (HST/R) di P. Jawa (Jakarta – Bandung – Surabaya) ? Untuk pemerataan pertumbuhan, bukannya lebih baik jika anggaran pemerintah (APBN) untuk membangun HST/R digunakan untuk membangun infratruktur non HST/R di Sumatra dan atau pulau-pulau lain, supaya partumbuhan ekonomi di Indonesia merata? Mari kita bahas singkat dan padat keberadaan HST/R bagi kita.


Perlukah Kereta Api Cepat Jakarta – Bandung Dibangun?

Rencana pembangunan HST/R memunculkan dua pendapat yang berbeda, setuju dan tidak setuju. Yang setuju tidak perlu dibahas lebih lanjut karena alasannya perjalanan kita dengan HST/R akan lebih efisien dan cepat karena kereta api biasa banyak obstacle-nya dan angkutan jalan raya sudah parah macetnya. Selain gengsi. Jakarta-Bandung dapat ditempuh dalam waktu sekitar 35 menit. Lalu apa alasan para pihak yang tidak setuju HST/R dibangun saat ini?

HST/R tahap I yang akan dibangun adalah Jakarta-Bandung, hanya sepanjang sekitar 140 Km (Jepang) atau 173 Km (China). Saya baru saja selesai membaca dua Feasibility Study (FS) dari HST/R milik Jepang dan China sedikit terkesima karena isinya mirip. Saya tidak tahu siapa mencontek siapa. Silakan publik mengira-ngira sendiri.

Besaran investasinya pun tidak berbeda jauh, Jepang sekitar USD 6,223 juta atau Rp 87 Triliun dan China sekitar USD 5,585 atau Rp.78 Triliun (1 USD = Rp 14 ribu). Begitu pula dengan tarif (dihitung saat 1 USD sekitar Rp. 11.000). Untuk tahap awal tarif/pax sekitar Rp. 130.000 – Rp. 200.000 ribu (dengan kurs 1 USD masih di bawah Rp. 13.000) dari Jakarta (Gambir) ke Bandung (Stasiun Gedebage). Pertanyaannya, mau berapa puluh tahun modal tersebut kembali dengan EIRR sebesar 12% (Data dari FS yang dibuat JICA)?

Kalau investasi sebesar lebih dari Rp 75 triliun itu diambil dari APBNP (multi years) dan berasal dari utang, tentu saya dan beberapa pihak sangat keberatan. Bisa dibayangkan betapa dasyatnya jika dana sebesar itu digunakan untuk meningkatkan sarana kereta api yang ada, sehingga kecepatan kereta api bisa meningkat hingga 160 km/jam. Selain itu dana tersebut juga dapat digunakan untuk membangun sarana kereta api di daerah lain demi pemerataan pertumbuhan ekonomi.

Katakan setiap tahun hingga tahun 2019 (masa akhir tugas Kabinet Kerja), per tahunnya dialokasikan oleh APBN dana sebesar Rp 30 triliun untuk pembangunan infrastruktur kereta api non HST/R. Tentunya selain akan memperbaiki kualitas pelayanan kereta api yang sekarang ada di Pulau Jawa, juga bisa dipakai untuk membangun jaringan kereta api, misalnya di Sumatera. Mari kita buat hitung-hitungan kasar secara sederhana.

Untuk meningkatkan kemampuan rel dan fasilitas yang ada diperlukan Rp 1 triliun, kemudian untuk peningkatan persinyalan dibutuhkan investasi sebesar Rp 1 triliun, peningkatan jembatan sebesar Rp 1 triliun, pelebaran radius lengkung sebesar Rp 1 triliun. Kemudian untuk pembelian/pembuatan 10 rangkaian kereta baru seharga Rp 1,2 triliun dan penambahan 10 lokomotif baru seharga total Rp 500 miliar. Maka total biaya untuk peningkatan prasarana dan sarana kereta api yang ada hanya diperlukan Rp 5,7 triliun.

Jadi sisa dana yang ada sekitar Rp 24 triliun di tahun 2016 yang bisa digunakan untuk membangun jaringan kereta api sekelas yang ada sekarang di Pulau Sumatra (yang sebagian sudah ada tetapi belum tersambung dari Lampung sampai Banda Aceh). Jika dimulai pada APBN 2016 maka pada 2019 akan ada dana untuk pembangunan prasarana dan sarana kereta api sekitar 3 x Rp 30 triliun + Rp 24 triliun = Rp 114 triliun. Bayangkan berapa potensi pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan jika jaringan rel di P. Sumatra atau bahkam lainnya terbangun. Dari pada membenamkan dana sekitar Rp. 80 Triliun hanya untuk HST/R Jakarta – Bandung.

Langkah yang Harus Dilakukan Pemerintah

Membangun HST/R di saat situasi perekonomian tidak menguntungkan dapat kontraproduktif. Kita tidak memerlukan pencitraan dan gengsi yang tidak ada manfaatnya bagi kebanyakan rakyat Indonesia.

Selain itu untuk membangun HST/R memerlukan pasokan listrik yang tidak kecil, sementara jaringan listrik Jawa-Madura-Bali (Jamali) per tahun 2017 akan defisit karena naiknya kebutuhan publik dan gagal/tertundanya pembangunan PLTU Batang (2 x 1.000 MW). Kondisi ini membuat persoalan baru ketika ketenagalistrikan yang kurang di Pulau Jawa masih harus berkurang karena digunakan untuk HST/R.

Melihat kondisi tersebut pembangunan HST/R dapat dilanjutkan jika dibangun dengan menggunakan 100% investasi swasta tanpa jaminan Pemerintah, namun Pemerintah bisa memberikan konsesi TOD (Transit Oriented Development) kepada investor.

Indonesia belum mampu secara finansial membangun dan mengoperasikan HST/R saat ini karena tidak dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara merata, kecuali menjadi kebanggaan semu dan "makelarisasi" sekelompok orang di Republik ini.

AGUS PAMBAGIO (Pemerhati Kebijakan Publik dan Konsumen
http://us.news.detik.com/kolom/30066...tau-pencitraan

berita terkait
kokowi mo bikin rel sampe papua, dananya ada dananya ada!!
Diubah oleh SuperABLU 01-09-2015 15:07
0
12.7K
155
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.2KThread40.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.