Quote:
TEMPO.CO, Surakarta - Nilai tukar rupiah yang terus melemah terhadap dolar, yang kini menembus Rp 14 ribu per dolar, ternyata tidak serta-merta disambut gembira oleh kalangan eksportir yang seharusnya bisa menangguk untung. Eksportir mebel di Solo dan sekitarnya, misalnya, justru ikut mengeluh lantaran sepinya order dari luar negeri.
"Krisis ini juga dialami oleh negara-negara yang biasa menjadi tujuan ekspor para perajin mebel," kata Bendahara Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Solo Rany Permatasari, Kamis, 27 Agustus 2015. Konsumen dari berbagai negara tujuan ekspor tersebut memilih menahan diri dan tidak membeli barang-barang dari luar negeri.
Selain itu, konsumen di luar negeri terus memantau nilai tukar dolar terhadap rupiah. "Mereka tahu bahwa dolar sedang tinggi," ujarnya. Ujung-ujungnya, para konsumen meminta diskon yang cukup besar kepada para eksportir asal Indonesia.
Menurut Rany, diskon yang biasa diminta para konsumen juga cukup besar. "Bisa mencapai 15 persen," tuturnya. Kondisi itu membuat eksportir justru mengeluh di tengah tingginya nilai tukar dolar ini. "Kami sering harus mengabulkan permintaan diskon lantaran penjualan memang sepi."
Dia mengatakan kondisi krisis saat ini memang berbeda dengan krisis pada 1998. Saat itu banyak eksportir mebel yang menuai keuntungan besar lantaran tingginya nilai tukar dolar. "Sedangkan sekarang sangat susah lantaran persaingan antarnegara cukup ketat," ucapnya.
Apalagi para eksportir mebel juga harus berhadapan dengan berbagai regulasi yang cukup rumit. Salah satunya adalah regulasi Forest Law Enforcement Governance and Trade-voluntary Partnership Agreement (FLEGT-VPA), yang merupakan syarat untuk bisa mengekspor mebel ke wilayah Eropa. Rany mengatakan regulasi itu kemungkinan akan diberlakukan tahun depan.
AHMAD RAFIQ
sumur
Lahh katanya bagus utk export kalau dolar kuat, bagaimana nih