pummAvatar border
TS
pumm
Presiden Jangan Mimpi Terus
IndonesianReview.com -- Bila pemerintah tetap memaksa program infrastruktur besar-besaran, maka dolar AS akan berpotensi ke level Rp 15.000.

Menteri Keuangan Bambang PS Brojonegoro dalam keterangan kepada media pekan lalu mengatakan bahwa pelemahan rupiah merupakan tanggung jawab Bank Indonesia (BI). Pernyataan sang menteri seakan-akan ingin cuci tangan dalam pelemahan mata uang Garuda terhadap dolar AS.

Pelemahan rupiah sebenarnya disebabkan dua faktor. Pertama, disebabkan perekonomian global, terutama Amerika Serikat (AS). Kedua, disebabkan perekonomian dalam negeri. Untuk faktor global, memang kita tidak bisa berbuat banyak. Sedangkan, faktor dalam negeri disebabkan kebijakan moneter dan fiskal Indonesia.

BI memang bertanggung jawab dalam pelemahan rupiah, tapi hanya dari sisi kebijakan moneter. Sedangkan kebijakan fiskal merupakan tanggung jawab pemerintah.

Kebijakan BI ketika menurunkan BI rate sebesar 25 bps pada bulan Februari tahun ini memang memacu dolar AS semakin liar. Tapi, ada isu beredar bahwa kebijakan tersebut adalah intervensi dari pemerintah. Isu tersebut semakin dipercaya ketika Wapres Jusuf Kalla (JK) setelah rapat antara Pemerintah dan BI pada hari Rabu (6/5/2015), mengatakan bahwa pemerintah telah menginstruksikan BI untuk menurunkan BI rate.

Padahal independesi BI diatur oleh UU. Artinya, pemerintah, dalam hal Wapres JK telah melanggar UU. Untungnya, BI tidak menuruti kemauan pemerintah. BI tetap mempertahankan BI rate di level 7,5%. Kalau BI sampai menuruti kemauan sang Wapres, tidak kebayang bagaimana nasib rupiah.

BI dengan terpaksa tetap mempertahankan suku bunga tinggi untuk meredam pelemahan rupiah. Suku bunga tinggi itu juga disebabkan inflasi tahun ke tahun Indonesia masih terus naik. Untuk menjaga rupiah dengan terpaksa BI juga harus melepas cadangan devisanya. Akibatnya, dalam 5 bulan ini, cadangan devisa turun sebesar US$ 7,5 miliar.

Celakanya, usaha BI untuk mempertahankan rupiah tidak didukung oleh pemerintah. Dengan sombongnya, pemerintah masih terus ngotot mengeluarkan kebijakan ekstraktif dengan cara membangun infrastruktur besar-besaran. Padahal, industri penunjangnya tidak mendukung. Akibatnya, ketika kita mulai membangun infrastruktur, impor barang modal melonjak.

Di tengah ekspor yang sedang lesu darah, karena melorotnya harga komoditas andalan kita, kenaikkan impor akan semakin menekan rupiah. Neraca perdagangan dalam tahun ini memang masih positif, tapi nilai ekspor kita terus melemah.

Akibatnya, Debt Service Ratio/DSR (perbandingan antara nilai ekspor dengan cicilan dan bunga utang) sudah hampir mencapai 57%. Tingginya DSR mengindikasikan likuiditas devisa bangsa ini dalam taraf sangat mengkhawatirkan. Karena, lebih dari setengah hasil ekspor kita hanya untuk membayar utang dan bunga.

Kebijakan ekstraktif memang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, situasi dan kondisi sedang tidak mendukung. Bila, pemerintah tetap memaksa program infratruktur besar-besaran, maka dolar AS akan berpotensi ke level Rp 15.000.

Daripada menyalahkan BI, sebaiknya Menteri Keuangan menasehati Presiden Jokowi dengan mengatakan,"Bapak Presiden, bangun dong, jangan mimpi terus."



emoticon-Selamat bangun Pak
0
1.3K
20
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.8KThread40.8KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.