Rimanews - Presiden Joko Widodo menegaskan pentingnya menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap kepala negara yang telah dicabut oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 lalu.
"Justru dengan pasal-pasal yang lebih jelas seperti itu, kalau kamu mengkritisi, kalau kamu berikan koreksi terhadap pemerintah malah jelas. Kalau tidak ada pasal itu malah bisa dibawa ke pasal-pasal karet," kata Presiden Jokowi di Istana Bogor, Jawas Barat, Rabu (5/8/2015).
Jokowi menganggap wajar adanya pro-kontra penghidupan pasal tersebut. "Tanya 100 orang kan pendapatnya beda-beda, tanya 1.000 orang pendapatnya beda-beda," ungkapnya.
Ia kembali mangatakan bahwa pasal tersebut nantinya akan digunakan untuk melindungi seorang kepala negara. Bukan bertujuan melindungi Presiden secara pribadi.
"Kalau saya pergi ke negara lain, di sana saya dicaci maki, mau nggak? Bukan Jokowinya loh. kamu mau? kamu mau? kamu mau?," tandas Jokowi.
Saat disinggung mengenai potensi dari aparat keamanan akan bertindak reaktif atas lolosnya pasal tersebut, Presiden Jokowi menyerahkan kepada institusi yang bersangkutan. "Nanti diserahkan ke penegak hukumnya," pungkasnya.
Bahasa Inggris Jokowi Jadi Olokan Media Singapura
05 AGS 2015
Presiden Jokowi di Singapura
Rimanews- Ketidakmampuan Jokowi berbicara dalam bahasa Inggris dengan fasih kembali menjadi bahan olokan. Kali ini, yang mengolok Jokowi adalah media online ternama Singapura, Mothership.SG. Mereka menulis Jokowi tidak mampu bicara bahasa Inggris, grogi dan terlihat lima kali melihat catatan dalam video Straits Times yang berdurasi hanya satu menit.
"Malunya, saya malu jadi orang Indonesia punya Presiden yang tidak bisa bahasa Inggris. Apalagi sekarang pakai diolok oleh orang Singapura. Mereka pasti pikir, bahasa Inggris aja tidak bisa, bagaimana mau pimpin negara 250 juta orang?" ujar pengamat politik dari NCID Jajat Nurjaman.
Jajat mengingatkan, masalah Jokowi yang tidak bisa bahasa Inggris sebenarnya sudah pernah menjadi isu hangat saat masa kampanye pilpres lalu. Kemampuan berbahasa Inggris seorang kepala negara penting untuk menjaga dan meningkatkan wibawa bangsa Indonesia di kancah internasional.
"Sayang banyak orang yang masih belum paham hal ini. Kok bisa-bisanya orang yang tidak bisa bahasa Inggris dipilih jadi presiden. Sekarang karena sudah terlanjur, daripada terus buat malu dan menjatuhkan citra bangsa Indonesia di luar negeri, lebih baik Jokowi mundur secara sukarela. Serahkan mandat kepada orang lain yang lebih mampu berbahasa dan lebih mampu kelola negara," komentar Jajat.
Sebelumnya, hari Selasa, 4 Agustus 2015 malam beredar luas di media sosial Indonesia, artikel Mothership.SG dengan judul “Nation-building Straits Times releases unflattering Jokowi video”. Artikel yang ditulis oleh Martino Tan menampilkan video wawancara Jokowi dengan Straits Times yang direkam di Istana Bogor pada akhir Juli lalu. Sampai dengan berita ini terbit, artikel masih dapat diakses di
http://mothership.sg/2015/07/nation-...-jokowi-video/
source:
http://nasional.rimanews.com/politik...edia-Singapura
Media Australia Sebut Presiden Jokowi tidak Tahu Apa-Apa
Kamis, 19 Februari 2015, 06:04 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Media Australia kembali mengusik kewibawaan pemerintah Indonesia terkait rencana eksekusi mati duo Bali Nine, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Presiden Joko Widodo disebut tidak mengetahui apapun tentang dokumen kasus sejumlah terpidana mati yang telah ditolak grasinya.
"Mr Joko dilantik sebagai presiden pada bulan Oktober dan menolak grasi dari Sukumaran dan Chan. Pendahulunya Susilo Bambang Yudhoyono telah gagal untuk mempertimbangkan grasi mereka selama bertahun-tahun, dan, setelah ia lengser, dokumentasi lengkap untuk tawaran grasi tidak diteruskan kepada staf Mr Joko," tulis laporan Sydney Morning Herald, Kamis (19/1).
Bahkan, Sunday Morning Herald menuliskan laporan, Presiden Joko Widodo disebut tidak memiliki sejumlah catatan tentang rehabilitasi Sukumaran dan Andrew. Padahal, lanjut laporan tersebut, kedua terpidana mati itu telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk sembuh dan menginspirasi para narapidana lain untuk lepas dari kecanduan narkoba.
Sydney Morning Herald mengutip laporan Fairfax Media yang menyebut bahwa Jokowi, hanya mengantongi informasi yang paling sedikit hanya berisi keterangan nama, kebangsaan, usia ketika mereka ditangkap dan dijatuhi hukuman, status banding hukum, dan provinsi di mana mereka dipenjara.
Sementara itu menteri luar negeri Australia, Julie Bishop berkeyakinan bahwa peluang dua warganya untuk lolos dari hukuman mati, masih terbuka lebar.
http://www.republika.co.id/berita/na...ak-tahu-apaapa
Media Australia Sebut Tindakan Jokowi Barbar
Rabu, 29 April 2015 - 08:46 wib
SIDNEY - The Sydney Morning Herald (SMH) memuat pemberitaan negatif soal Presiden Joko Widodo (Jokowi). Berita yang ditayangkan mencitrakan Jokowi sebagai sosok yang kejam.
Editorial SMH Rabu (29/4/2015) mengatakan hukuman mati yang dilakukan Jokowi tidak berperikemanusiaan. Dalam artikel itu, disebutkan Jokowi gagal menunjukkan sifat dasar manusia yaitu pengampun dan pengasih.
"Kemanusiaan dirusak oleh tindakan barbar yang dilakukan demi memperoleh keuntungan politik," tegas editorial SMH.
Jokowi lantas dianggap gagal meningkatkan citra Indonesia di mata dunia seperti yang diungkapkan pada pelantikannya, 20 Oktober 2014 lalu,
"Kita juga ingin hadir di antara bangsa-bangsa dengan kehormatan, dengan martabat, dengan harga diri. Kita ingin jadi bangsa yang menyusun peradaban sendiri, bangsa yang kreatif, yang bisa mengembangkan peradaban global," ujar Jokowi saat itu.
Menurut berita tersebut, pemerintah Indonesia pantas menerima konsekuensi serius seperti kehilangan diplomasi regional, penghentian bantuan Australia, dan absennya pengakuan kedaulatan negara.
Kemarahan Australia dipicu oleh eksekusi mati dua warga negaranya, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Duo gembong narkoba Bali Nine itu ditembak mati dini hari tadi di Lembaga Permasyarakatan Besi, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
http://news.okezone.com/read/2015/04...-jokowi-barbar
Media Malaysia: Jokowi Boneka Amerika Serikat
Sabtu, 29 November 2014, 08:48 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, PUTRA JAYA -- Instruksi tegas Presiden Jokowi untuk tidak mentoleransi kapal asing yang mencuri kapal di perairan Indonesia membuat pemerintah Malaysia meradang. Apalagi, disebutkan pihak berkuasa Indonesia telah menangkap 200 kapal nelayan Malaysia.
Jokowi memerintahkan agar kapal asing yang kedapatan mencuri ikan lebih baik langsung ditenggelamkan saja. Sontak saja, Menteri Luar Negeri Malaysia, Datuk Seri Anifah Aman mengingatkan bahwa negaranya dan Indonesia terikat kerjasama.
Malaysia dan Indonesia telah menandatangani memorandum kesepakatan (MoU) berkaitan Garis Panduan Bersama Tentang Layanan Terhadap Nelayan oleh Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (Maritim Malaysia) dan pihak berkuasa maritim Indonesia pada 27 Januari 2012.
Dengan kesepakatan itu, menurut Anifah Aman, pihak berwenang hanya mengusir dan tidak menahan nelayan yang didapati menangkap ikan di perbatasan maritim Malaysia dan Indonesia.
Media Utusan Malaysia versi daring langsung menggambarkan Jokowi sebagai pemimpin yang sedikit angkuh lantaran memilih pendekatan konfrontasi. Tidak hanya itu, Jokowi juga disebut memilih untuk mengusung kebijakan 'Ganyang Malaysia' yang dicetuskan presiden Sukarno.
Karena itu, media tersebut menilai Jokowi pintar mengambil kesempatan di atas semangat anti-Malaysia yang berkembang di masyarakat Indonesia. Padahal, mayoritas masyarakat belakangan ini tengah marah kepada Jokowi lantaran kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi sangat memberatkan rakyat kecil. Ironisnya, mereka itulah yang ketika kampanye melabeli Jokowi sebagai wakil rakyat kecil.
"Walaupun Jokowi belum melaksanakan pelan pengurangan defisit negara cara mudah itu, tetapi rakyat sudah memberikan tekanan kepada pentadbirannya. Secara perbandingan, kenaikan harga petrol sebanyak 20 sen seliter di Malaysia yang taraf ekonomi jauh lebih tinggi berbanding Indonesia dianggap besar, bayangkan nilai 80 sen seliter di Indonesia?" ulas Utusan Malaysia.
Tidak hanya itu, media tersebut yang mengangkat artikel 'MAAF CAKAP, INILAH JOKOWI' juga menyinggung hubungan dekat Jokowi dengan Amerika Serikat. Bahkan, Jokowi disebut merupakan proxy negeri Paman Sam. Proxy sendiri secara jamak dapat diartikan sebagai boneka atau kepanjangan tangan AS.
"Satu lagi yang perlu diketahui tentang Jokowi ialah hubungan dengan AS. Semasa berkampanye dulu pernah tercetus isu bahawa Jokowi adalah proksi AS, tetapi dia menafikan. Bagaimanapun Duta AS di Indonesia, Robert Orris Blake mengesahkan AS bersedia menjalinkan kerjasama ketenteraan dan maritim pada era Jokowi," kata Utusan Malaysia.
"Ini seolah-olah mengiyakan Presiden Indonesia ini ada hubungan istimewa dengan AS kerana sejak 1991 Kongres AS mengharamkan penjualan senjata kepada Indonesia berikutan isu Timor Leste. Kini AS sanggup menyediakan sistem pertahanan dan pemantauan berteknologi tinggi di perairan Indonesia termasuk Selat Melaka."
http://www.republika.co.id/berita/in...merika-serikat
Media Asing Nilai Kilau Jokowi Memudar
Sabtu, 24 Januari 2015
JAKARTA - Kilau Presiden Joko Widodo (Jokowi) di mata internasional mulai pudar. Gambaran itu tecermin dari perubahan pandangan harian The New York Times dalam edisi Minggu (18/1) kemarin.
Media tersebut menilai Jokowi kini sedang tersandera politik oleh partai koalisinya. Dalam artikel berjudul ‘For Indonesians, PresidentFor Indonesians, Presidents Political Outsider Status Loses Its Luster ‘ yang ditulis oleh Joe Cochrane ini memaparkan bagaimana perjalanan Jokowi dari dia berkampanye, lalu menjadi presiden dan kini tersandera oleh koalisi partai politiknya sendiri.
Pada akhirnya, saat ini citra mantan gubernur DKI itu terus merosot. New York Times pada masa kampanye menyebut Jokowi sebagai Political Outsider, yakni pejabat yang mampu mendobrak sistem yang sudah ada, mengubah birokrasi Indonesia, dan membawa sistem baru yang dianggap sebagai harapan baru.
Dukungan dari dunia internasional semakin menambah harapan publik akan keajaiban yang dibawa oleh pemerintahan Jokowi. Sementara itu, koalisi oposisi memprediksi pemerintahan Jokowi tidak akan bertahan hingga satu tahun. Terbukti, pasca-100 hari kepemimpinan Jokowi tak ada keajaiban sehingga ramalan tim oposisi makin mendekati kenyataan.
New York Times tidak bisa membaca bagaimana arah politik Jokowi, hanya satu yang New York Times nilai sebagai sebuah kepastian yakni ketidakpastian itu sendiri. “Langkah-langkah Jokowi menunjukkan bagaimana ia menjadi sandera dalam kabinetnya sendiri,” terang Edward Aspinall, profesor politik dari Australian National University.
New York Times mengungkapkan secara jelas Jokowi mulai kehilangan cahaya dan rakyat mulai mempertanyakan kinerja serta keseriusannya menjadi presiden. Jikapada masakampanye koalisi oposisi menjadi ancaman terbesar Jokowi, sebaliknya menurut New York Times saat ini justru Jokowi khawatir terhadap koalisinya sendiri yang kerap menjadi sumber konflik.
Penunjukan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon kapolri adalah salah satu contohnya. Jokowi bersikeras menunjuk Gunawan di tengah status tersangka Gunawan yang terlibat dalam kasus suap bernilai miliaran rupiah. Ironisnya kendati sudah mendapat kritik dari banyak pihak, Jokowi tidak berniat membatalkan penunjukannya, namun justru hanya menundanya hingga kasus Gunawan selesai.
New York Times berpendapat penunjukan Gunawan masih ada kaitannya dengan mantan Presiden dan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri. Apalagi Gunawan sendiri pernah menjadi ajudan saat Megawati menjadi presiden. Menurut New York Times, penunjukan Gunawan sebagai kapolri membuat citra Jokowi semakin menurun dan memperlihatkan bagaimana Jokowi mulai lupa dengan janji-janjinya di masa kampanye yang menginginkan kabinetnya diisi orang-orang bersih.
Kebijakan Jokowi lainnya yang menjadi bumerang menurut New York Times adalah keputusannya mengisi separuh kabinetnya dari kalangan partai. Memasukkan Puan Maharani yang merupakan putri Megawati untuk menjadi menteri, lalu menunjuk HM Prasetyo yang merupakan anggota Partai NasDem menjadi jaksa agung.
Padahal sekali lagi, di awal masa kampanye, Jokowi menjanjikan kabinetnya adalah orang-orang profesional nonpartai. Hal ini melahirkan spekulasi bahwa Megawati mencoba untuk mengontrol Presiden dari balik layar. “Saat menjadi presiden, fokusnya adalah membangun hubungan yang baik dengan oposisi di DPR, padahal masalah sebenarnya adalah koalisinya sendiri,” lanjut Aspinall.
Kendati menyoroti bagaimana rapuhnya Jokowi di depan koalisinya sendiri, New York Times juga mengapresiasi keberanian Jokowi dalam memotong subsidi bahan bakar minyak (BBM). New York Times mengatakan bahwa Jokowi sebagai orang pertama yang berani melakukan pemotongan subsidi bahkan di tengah harga minyak dunia sedang turun.
Majalah Time pernah menjadikan Jokowi sebagai cover halaman depan yang menyebut sebagai “Harapan Baru” masyarakat Indonesia. Edisi majalah tersebut menggambarkan bagaimana harapan-harapan masyarakat terhadap Presiden Jokowi. Sementara itu, hasil survei Pusat Studi Sosial dan Politik (Puspol) menyebutkan kinerja Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dalam 100 hari pertama pemerintahan belum mampu memenuhi harapan publik.
Ketidakpuasan tersebut dipicu sejumlah kebijakan kontroversial Jokowi dan menteri Kabinet Kerja. “Sebanyak 74,60% yang menyatakan tidak puas terhadap kepemimpinan Jokowi-JK, dan hanya 25,40% yang merasa puas,” ungkap Direktur Eksekutif Puspol Indonesia Ubedilah Badrun.
Beberapa kebijakan menteri Kabinet Kerja juga dinilai negatif oleh publik, misalnya kebijakan Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah yang menghentikan Kurikulum 2013. Berdasarkan survei, 26,98% yang menilai perubahan itu menimbulkan ketidakjelasan kurikulum, 19,05% menilai perubahan itu menyulitkan guru dan siswa, dan hanya 25,4% yang setuju perubahan dilakukan.
http://www.koran-sindo.com/read/9551...dar-1422080588