- Beranda
- Berita dan Politik
Gunung Raung Meraung Raung Pertanda Lahirnya Penantang Jokowi?
...
TS
salahminumobat
Gunung Raung Meraung Raung Pertanda Lahirnya Penantang Jokowi?
Quote:
Jakarta - Gunung Raung meraung. Mengikuti jejak Gunung Sinabung di Tanah Karo dan diikuti Gunung Gamalama di Ternate. Gunung-gunung 'strata kecil' itu seperti kompak. Mereka berteriak, menunjukkan diri masih punya eksistensi. Ini juga disambut Gunung Lawu di Jawa Tengah yang mulai batuk-batuk. Tengara lahirnya penantang Jokowi?
Dalam pakem Jawa, pergolakan alam tidak terpisahkan dengan kehidupan manusia. Alam goyah, tata hidup manusia terganggu. Tidaklah salah jika kaidah metafisika mendefinisikan itu sebagai gejolak urut kacang Jagad Air, Jagad Api dan Jagad Manusia. Ketiganya saling berinteraksi. Satu beraksi, yang lain akan mereaksi.
Ini sebenarnya cerminan harmonisasi jagad. Kepercayaan klasik (Jawa) itu berpaham manusia itu wayang. Dalang (Tuhan), pasti mengalahkan yang salah, memenangkan yang benar. Jika ada jagad yang goyah, itu ditafsir sebagai 'turunnya Dalang' mengatasi masalah, akibat 'wayang-wayang' telah berpolah. Ambisius dan arogan, lupa bahwa dia hanya sekadar wayang. Untuk itu agar kembali selaras, kegoncangan harus terjadi, merata di tiga jagad yang ada.
Jagad Api (gunung) yang biasa dianggap memberi tengara soal itu adalah Gunung Merapi, Gunung Kelud, dan Gunung Semeru. Gunung-gunung itu jika meletus dipercaya membawa pesan mistis. Bakal terjadi perubahan besar dalam tata hidup manusia. Dari sekadar huru-hara, suksesi, hingga identifikasi calon pemimpin manusia yang bakal hadir.
Namun sejauh ini jarang gunung 'strata kecil' meletus bersamaan seperti sekarang. Gunung-gunung itu kecenderungan pasif. Kalau meletus, terbanyak mengikuti gunung-gunung 'besar' yang sudah terbaptis dalam Babad Tanah Jawa atau Serat Kanda. Untuk itu gunung-gunung ikutan itu acap diasumsikan sebagai penggembira. Tidak sebagai tengara utama.
Gunung meletus memang biasa. Sebagai bisul Bumi, gemuruh di inti dan perubahan yang ada di lapis luar akan mereaksi. Kompleksitas yang rumit itu dalam antropologi simbol diterjemahkan dengan bahasa yang ringan. Itu perlambang (tengara). Sinyal akan terjadinya gonjang-ganjing negara dan mereka yang sedang berkuasa. Adakah gunung-gunung 'strata kecil' itu juga membawa pesan yang sama? Mari kita sedikit bertualang ke negeri antah-berantah.
Hakekatnya, gunung, kecil atau besar mengusung simbol perubahan. Letusannya membawa dampak buruk bagi rakyat yang hidup di sekitarnya. Implisitas dari kejadian ini diyakini, bahwa secara sosio politik, perubahan itu juga akan terjadi. Perubahan bersifat konstruktif maupun destruktif.
Jika ditarik benang merah dari tiga gunung yang meletus bersamaan dan satu lagi yang sedang 'batuk-batuk' itu, maka didapat simpulan, ini sinyal 'Jawa'. Kuasa dan kekuasaan masih di Jawa, dan kalaulah hadir penantang, itu tetap ada di Pulau Jawa.
Maaf, yang bukan Jawa jangan sewot dulu. Ini hanya karena pisau analisisnya kebetulan dari serat-serat Jawa. Toh kita sadar, sudah jarang yang asli Jawa, Sunda, Batak, Ambon dan sejenisnya. Semuanya sudah campur-aduk.
Pembenarannya, jika kita baca Tuanku Rao, maka Karo itu adalah 'Batak Jawa'. Di sini Gunung Sinabung berdiri. 'Kejawaan' itu masih terbaca dari bahasa, seni, dan budayanya. Ini mirip dengan mitos Dara Petak di Sumatera Barat, Pujakesuma di Medan, dan beberapa daerah lain di Pulau Andalas. Semua itu dikonotasikan sebagai percampuran etnis setempat dengan 'Jawa dari keturunan Majapahit'. Mungkin juga seperti Suku Borgo di Manado (Belanda-Minahasa).
Di Ternate (Gamalama), sejarah besar tidak bisa dipisahkan dengan kawasan ini. The Silk Road (Jalur Sutera) menyisakan bekasnya. Mereka meninggalkan keturunannya di area ini. China-China Ternate yang sudah lupa asal-usulnya itu, dulu nenek-moyangnya adalah petualang pemburu cengkeh.
Sedang Portugis dan Spanyol mentahbiskan Bumi itu bulat juga di kawasan ini. Dua bangsa bertetangga yang berseteru itu mengarungi laut dari arah yang berbeda, dan keduanya bertemu di area ini untuk mendapatkan rempah-rempah.
Sayang, demi dagangan itu mereka mengadu domba kerajaan bersaudara yang ada di kawasan ini. Membangun benteng-benteng, menciptakan perang demi perang, hingga Suku Moro eksodus ke Filipina di malam buta, yang kini dikenal sebagai Suku Islam Moro (MNLF). Itu analisis saya. Sedang keyakinan penduduk setempat, Suku Moro berpindah ke alam lain. Alam kegaiban.
Di Ternate dan sekitarya, 'paham Jawa' menghijau ketika agama Islam tumbuh mekar di daerah ini. Ulama-ulama dari Demak, Jepara, Pati, Tuban dan Gresik didatangkan. Mengajarkan Islam, dan terjadi arus kedatangan ke Jawa dan sebaliknya. Maka jika mau teliti, ini menyisakan fam (marga) di daerah ini. Sangaji, Kiai Demak, dan masih banyak lagi, itu adalah catatan yang tidak terhapuskan.
Kalau dilihat dengan kacamata sekarang, semua itu memang terkesan tidak masuk akal. Tapi percayakah Anda jika marga Dumatubun dan sejenisnya itu berkat Dit Ratngil 'orang Bali'? Baca hukum adat Larvul Ngabal (Darah dan Tombak Bali) yang masih banyak disimpan para tetua adat di Kepulauan Aru dan Kepulauan Kei.
Sedang Gunung Lawu dan Gunung Raung memang berada di Pulau Jawa. Gunung Lawu dianggap sebagai 'manjing' (menyatu, mokswa) raja Majapahit. Sedang Gunung Raung merupakan tempat tinggal harimau Jawa yang melegenda. Harimau Jawa bagi orang Jawa adalah spirit. Sumber kekuatan phisik dan fisis. Binatang ini masih ada atau sudah punah tetap dianggap ada. Itu setidaknya bersemayam dalam batin manusia Jawa.
Gunung tempat spirit itu adalah Raung. Gunung yang tidak banyak berulah, tetapi bagi yang percaya, di sini tempat mencari wangsit, kuasa dan tanda yang bersifat keduniawian. Makutharama alternatif. Calon pemimpin yang sedikit berangasan, tetapi berwatak ksatria
Jika gunung ini meletus, maka ada dua tanda yang bisa dibaca. Pertama penantang Jokowi sudah hadir. Sukses lima tahun memerintah, berhasil sampai dua dekade, atau mandeg di tengah jalan, penantang itu sudah muncul ke permukaan. Dia berasal dari Jawa, datang dari sebelah timur Jokowi, dan berjenis kelamin laki-laki.
Tetapi itu bisa pula ditafsir, letusan gunung ini sebagai tanda kebijakan Jokowi menakutkan banyak pihak. Sebagai tengara mercusuarnya negeri ini memasuki zaman keemasan (Kalasuba), yang rakyat dan negara perkasa di dalam pun di luar, mandiri, serta berkecukupan.
Dari Raung yang meraung-raung, kita dipaksa untuk merenung. Itu agar tidak kaget jika kelak terjadi 'geger ngoyak macan', ribut berebut kuasa. Ramai-ramai bertarung menjadi pemimpin bangsa, tanpa mengindahkan norma dan etika. Atau itu juga sinyal pilkada serempak di tahun ini bakal menggoncangkan negeri? Entahlah.
Detik
Jikalau benar, Berani betul menantang Bapak Infrastruktur Kita
0
2.5K
Kutip
25
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
676.2KThread•45.6KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya