Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

  • Beranda
  • ...
  • The Lounge
  • Miris Gan! Mental Korupsi Dan Kerja Malas Mikir Sudah Tertanam Sejak SMU

cahyomediaAvatar border
TS
cahyomedia
Miris Gan! Mental Korupsi Dan Kerja Malas Mikir Sudah Tertanam Sejak SMU
Ingin korupsi diberantas tuntas di negeri ini? Atau ingin negeri semakin maju? Tunggu dulu kawan. Ternyata jiwa korupsi dan kerja malas mikir sudah begitu menggurita dan dapat ditemui mulai dari sosok muda dan rakyat kecil sekalipun. Itu yang sekiranya penulis ketahui dari pandangan masyarakat sekarang ini.
Salah satu contoh, beberapa waktu lalu saya diminta mengantarkan salah seorang tetangga untuk periksa di rumah sakit. Tetanggaku ini termasuk keluarga kurang mampu. Ia hanya bekerja serabutan dan mempunyai 4 anak yang kesemuanya lelaki. Syukurlah, ketiga anaknya dapat lulus SMK dan bekerja di Jakarta sebagai pekerja proyek konstruksi. Satu anak masih bersekolah kelas 1 SMK.

Hal yang mengejutkan terjadi saat saya bercakap-cakap dengan anak yang masih kelas 1 SMK ini. Dia mengambil jurusan akuntansi. Waktu itu, tidak jauh dari ruang tunggu, terlihat pekerja administrasi rumah sakit sedang bekerja. Saya bilang bahwa minimal ia kelak bekerja seperti admin rumah sakit itu. Dia langsung menolak, “Ah, nggak mau! Kerja seperti itu harus mikir!”
Saya kaget (sebenarnya tidak begitu kaget, karena sudah sering saya dengar orang enggan kerja mikir). Saya tahu bahwa jurusan akuntansi dan pekerja administrasi memang berbeda. Tapi bolehlah, setidaknya minimal kerja seperti itu untuk lulusan akuntansi. “Lalu mau kerja apa?” Tanyaku.
Dia menjawab, “Lebih enak jadi kasir di Indoma*et. Hanya tinggal menempelkan barang yang dibeli ke ‘alat laser’, harganya langsung keluar di mesin kasir. Nggak usah pakai mikir!”

Ekspresi dalam benak saya (hanya dalam benak) adalah tepuk jidat. Dia pikir, pekerjaan seperti itu tidak perlu berpikir. Saya tidak meremehkan ataupun merendahkan pekerja kasir. Saya tahu bahwa dibalik pekerjaannya itu menyimpan tanggung jawab besar. Tapi kenyataan bahwa seorang pemuda kelas 1 SMK lebih memilih pekerjaan seperti itu_yang dia pikir tidak perlu berpikir daripada seorang admin rumah sakit, sungguh membuat hati miris!

Kenapa anak ini tidak mau kerja yang pakai ‘mikir’? Apakah menurutnya begitu susah bekerja sebagai administrasi rumah sakit? Lalu apakah disekolahnya_jurusan akuntansi tidak diharuskan berpikir? Dan yang lebih parah, apakah hanya sampai segitu antusias dan ambisi seorang anak kelas 1 SMU? Hanya sebagai pekerja kasir? Tidak punya cita-cita yang lebih tinggi? Jika memang tidak ingin meneruskan kuliah, apakah tidak punya rencana masa depan yang lebih seru dan ambisius?
Dia pun menambahkan lagi, “Di rumah sakit tidak ada yang bisa dikorupsi. Di Indoma*et kalau ada kesempatan dikit-dikit, bisa korupsi.”
Astaga (tepuk jidat lagi)! Saya tidak tahu apakah bekerja di Indoma*et ataupun di rumah sakit bisa melakukan korupsi atau tidak. Entah darimana pula anak ini mendapat pikiran seperti itu. Hal ini semakin membuat saya miris!
Saya jawab, “Ngapain korupsi segala? Dosa! Lebih baik cari yang rezeki yang halal saja.”
“Kalau nggak korupsi, nggak bisa untuk mencukupi kebutuhan hidup!” jawabnya.
“Pendapatan sedikit nggak papa, yang penting kan ‘berkah’… Makan hasil korupsi itu tidak akan jadi daging lho! Hanya akan membuat stress...” kataku lagi.
“Nggak papa, apalagi nanti kalau sudah punya istri. Kebutuhan semakin besar.” Jawabnya.
“Nanti pasti ada rezeki dari Tuhan jika sudah punya istri. Daripada kena dosa...”
“Nggak papa. Nanti abis korupsi, shalat yang rajin biar dosanya hilang.” Jawabnya.

Astaga Naga (tepuk jidat ketiga kalinya, agak kencang, tapi hanya dalam benak)!

Inilah pemikiran sesat yang berkembang di masyarakat sekarang. Rajin beribadah untuk menebus dosa yang dilakukan secara sadar. Saya tidak memojokkan ajaran Islam, saya sendiri seorang muslim. Meskipun saya tahu ada ritual-ritual ibadah yang bisa menghilangkan dosa-dosa yang pernah dilakukan, tapi tentunya bukan untuk itu tujuan Tuhan mengajarkannya. Para nabi pun mungkin juga geleng-geleng kepala di surga sana.

Saya tidak tahu apakah ini juga yang menjadi alasan kementrian agama terlibat korupsi. Apakah para pejabat beragama diatas sana juga berpandangan sama seperti anak kelas 1 SMK ini?
Meskipun anak keluarga miskin ini baru mempunyai rencana saja (dan mungkin masih bisa diluruskan), tapi sungguh sangat memprihatinkan. Bibit korupsi sudah tertanam pada generasi muda rakyat kecil. Tanpa menutup mata, korupsi rakyat kecil dapat kita jumpai dimana-mana. Berapa banyak pedagang di pasar yang mencurangi timbangannya?

Kembali ke persoalan “Malas Kerja Mikir”. Ternyata ini juga merupakan salah satu penyakit masyarakat yang semakin meluas. Sudah sering sekali saya jumpai para generasi muda yang malas kerja mikir. Mungkin anda juga pernah menjumpainya di lingkungan sekitar.
Selain anak tadi, saya juga menjumpai beberapa di kampung saya. Salah-satunya seorang tetangga yang jauh lebih muda daripada saya. Ia lulusan SMK. Sosoknya begitu enerjik, antusias, lumayan smart dan berbakat musik. Ia keluar dari pekerjaannya sebagai (kalau tidak salah) ‘Quality Control’ di sebuah waralaba fried chicken lokal, dan memilih kerja sebagai kuli angkutan pabrik susu. Pekerjaannya adalah mengangkuti stok-stok susu, hanya itu, selebihnya tidur-tiduran di pabrik. Ketika saya tanyakan kenapa lebih memilih pekerjaan itu, dia menjawab, “Sudah malas kerja mikir!”

Begitu halnya dengan tetangga saya yang lain. Ia beberapa tahun lebih muda dari saya dan lulusan setingkat SMU. Ia bekerja di sebuah pabrik tas. Pekerjaannya adalah menjahit dan menyablon tas. Saat kami berbincang dan menanyakan pekerjaanku, saya jawab sebagai ; illustrator musik film animasi, audio editor dan pembantu pengarah dubber, dia pun berkomentar ; wah kerja-nya harus mikir terus ya?!
Lalu saat kuceritakan bahwa saya juga menulis buku dan membuat komik untuk penerbit ataupun online. Mereka juga berkomentar ; pasti mikir terus ya?!

Gubrak! Ada apa dengan negeri ini? Kenapa memangnya dengan kerja mikir? Apakah begitu takutnya generasi muda kita untuk berpikir? Saya suka berpikir. Saya selalu berpikir sejak sekolah. Bahkan sejak kecil. Tidakkah semua orang begitu?
Pekerjaan saya memang harus berpikir, tapi justru lebih menggunakan perasaan dan kreatifitas untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu. Saya pun menikmatinya seperti bermain-main saja karena memang bekerja di bidang yang saya sukai. Dan saya tidak keberatan sama-sekali untuk berpikir. Lalu kenapa mereka takut untuk ‘berpikir’? Apakah selama ini mereka tidak pernah berpikir?

Lain lagi saat saya memimpin rapat pemuda-pemudi di kampung. Waktu itu kami membahas cara untuk menambah pemasukan dana kas Karang Taruna. Mereka yang menghadiri rapat kebanyakan menenteng HP android dan blackberry. Sesekali mereka melengok ponsel dan berceloteh tentang update terbaru dari twitter. Lalu apa usulan terbaik mereka untuk menambah dana kas pemuda ; yaitu adalah ; menjual barang-barang bekas! (Rasanya lutut ini lemas!)

Saat saya mengarahkan untuk memperluas bisnis pemuda yang semula menyewakan tenda, kursi dan jlagrak (panggung & background pengantin) yang sudah dimiliki kampung, dengan menambahkan jasa fotografi, video, hiburan (sejenis organ tunggal), dan lama-lama mendirikan Wedding Organizer, mereka bahkan tak paham sama sekali arahnya. Lalu saat saya mengusulkan membuat event atau bisnis lain yang menghasilkan keuntungan, mereka takut kurang modal dan tidak kembali modal.

Saya tahu kalau menjual barang-barang bekas dapat menghasilkan uang. Tapi ayolah, hei, hampir semua yang hadir menenteng android dan blackberry, melek internet dan medsos, tapi itukah ide terbaik yang mereka usulkan? Beberapa kampung lain sudah menjual barang bekas (rongsokan) bertahun-tahun lalu, dan itulah yang menjadi rujukan mereka. Teknis pelaksanaannya adalah mengumpulkan barang-barang bekas milik warga yang tidak terpakai dan menjualnya.

Saya pun juga pernah dengar beberapa orang yang berbisnis barang bekas menjadi kaya-raya. Itu memang mudah dan menguntungkan, tapi apakah generasi layar sentuh tak punya ide yang lebih kreatif dan berbeda? Tidak inginkah pemuda kampung saya jadi pioneer yang memulai sesuatu yang baru dan lebih cerdas? (Bahkan kucing saya lebih kreatif dari itu, just kidding)

Kasus lain saya jumpai pada rekan kerja saya di studio film animasi. Ia wanita berumur dua tahun lebih muda dari saya dan merupakan lulusan kuliah broadcasting. Dulunya ia bekerja sebagai produser di salah satu stasiun TV lokal di Jogja. Di studio kami, ia dipercaya sebagai sutradara dan pengarah dubber. Kami berdua pun sempat diembani tugas menulis naskah untuk proyek film animasi berikutnya. Waktu itu, ditengah proyek film serial animasi yang cukup besar, manajeman studio kacau karena sang pemilik studio menggelapkan uang perusahaan (busyet, lagi-lagi korupsi!). Aktifitas studio sempat terganggu dan terhenti. Kami berdua pun keluar dari studio itu.
Saat saya berbincang kembali dengan mantan rekan saya itu apakah dia sudah bekerja lagi, ia menjawab belum. Saya mengajak untuk membuat produksi acara sendiri (sebuah demo animasi atau program acara untuk dijual ke TV) tapi dia enggan. Lalu saya usulkan agar dia mendaftar di stasiun televisi lain karena di Jogja bermunculan tv lokal. (Ia toh berpendidikan dan berpengalaman di bidang produksi acara) Tapi coba tebak apa yang ia jawab, “Sudah malas kerja pakai mikir!”
(Astaga lagi)

“Lalu pingin kerja apa?” tanyaku.
Ia jawab, “Kerja yang nggak usah pakai mikir, tapi menghasilkan banyak uang.”
Waduh, ternyata wabah kerja malas mikir sudah menyerang dari warga miskin setingkat SMU sampai ia yang berpendidikan tinggi. Apa menariknya kerja tanpa berpikir, tanpa berimajinasi dan berkreasi? Apakah rela menjadikan diri sendiri sebagai robot (atau zombie?) yang bekerja tanpa mikir dan melakukan pekerjaan yang sama berulang-ulang?
Saya bukanlah orang paling kreatif di dunia ini. Saya juga belum menghasilkan karya sebesar The Raid. Tapi setidaknya kita hargai proses kreatifitas pikiran kita sendiri yang dianugerahkan oleh Tuhan. Bahkan dalam hal kecil sehari-hari.

Saya tidak merendahkan atau menghina pekerja kasir atau pabrik (atau rongsokan). Tapi yang memprihatinkan adalah : bahwa pekerjaan itu dipilih oleh banyak generasi muda hanya karena malas untuk kerja mikir. Apakah mereka bisa merasakan hidup menjadi lebih hidup dengan bekerja tanpa berpikir? Kapan negeri ini bisa maju jika generasi muda-nya memilih kerja tanpa berpikir? Bukankah hanya akan jadi budak selamanya? Sementara negara-negara lain sangat kreatif memajukan negara mereka di berbagai bidang.

Dan tingkatan wabah yang paling tinggi adalah penyakit PNS. Ini bahkan menyerang banyak diantara teman-teman kuliah saya di universitas terfavorit di Jogja. Mereka yang lulusan S2 sekalipun banyak juga yang masih berambisi mendaftar CPNS. Jika tujuannya adalah untuk mengaplikasikan ilmu yang mereka peroleh, tentu tidak masalah. Tapi coba tanyakan apa tujuan mereka. Kebanyakan akan menjawab demi ‘gaji tetap dan uang pensiun’. Agar masa depan mereka aman. (Astaga yang kesekian kalinya!)
Inilah yang menjadi keprihatinan kita bersama. Ayolah kawan, kita ini generasi super! Untuk apa anugerah berpikir dan berkreasi Tuhan jika hanya untuk memilih jadi robot dan budak kemapanan? Kemajuan teknologi dan pendidikan seharusnya menjadikan generasi muda berpikiran bebas dan independen, bukan malas berpikir.

Tulisan ini tidak bermaksud merendahkan siapapun, tapi mengajak generasi kita untuk berpikiran lebih maju dibidang masing-masing. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih sudah membaca my friends. 
Cahyo Putra
0
5.6K
56
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.4KThread84.6KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.