Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

zitizen4rAvatar border
TS
zitizen4r
Jangan Hujat MUI. BPJS itu bukan hanya Harom, Seharusnya Bubar krn Tak Konstitusionil
MUI Benarkan Keluarkan Fatwa BPJS Tak Sesuai Syariah Islam
Kamis, 30 Juli 2015 | 06:45 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin membenarkan adanya fatwa yang menyatakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak sesuai syariah Islam. Fatwa tersebut keputusan ijtima atau forum pertemuan Komisi Fatwa MUI di Pondok Pesantren At-Tauhidiyyah Cikura, Bojong, Tegal, Jawa Tengah, pada Juni 2015 lalu. (Baca: Said Aqil: MUI Terlalu Mudah Obral Fatwa)

"Fatwa BPJS itu sudah keputusan ijtima di Tegal," kata Ma'ruf, saat dikonfirmasi Kompas.com, Rabu (29/7/2015) malam.

Ma'ruf mengungkapkan, forum tersebut dibuka oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam forum itu, hadir anggota Komisi Fatwa MUI dari seluruh Indonesia. Dengan adanya fatwa ini, Komisi Fatwa MUI mendorong pemerintah membuat sis­tem BPJS K­esehatan agar sesuai dengan prinsip syar­iah. (Baca: Diminta Bentuk BPJS Syariah, pemerintah Akan Diskusi dengan Para Ulama)

Fatwa MUI tentang BPJS Kesehatan yang tidak sesuai syariah muncul karena kebijakan tersebut dinilai mengandung unsur gharar, maisir dan riba. Alasan lainnya, kepesertaan BPJS Kesehatan juga dianggap tidak adil karena masih membedakan latar belakang peserta. (Baca: MUI Minta Pembentukan BPJS Syariah, Ini Tanggapan Jusuf Kalla)

"Ada bunga, ada akad yang tidak sesuai syariah dan dana yang diinvestasikan itu diinvestasikan ke mana? Karena itu keluar fatwa BPJS tidak sesuai syariah," ujarnya.

Forum pertemuan Komisi Fatwa MUI di Tegal itu membahas tiga topik yaitu masalah strategis kebangsaan, masalah fiqih kontemporer, serta hukum dan perundang-undangan.

Untuk masalah strategis kebangsaan, Komisi Fatwa di antaranya membahas kepatuhan terhadap pemimpin yang tidak menaati janji kampanye, serta radikalisme dalam kehidupan berbangsa dan penanggulangannya.

Topik fiqih kontemporer di antaranya meliputi pembahasan tentang hukuman mati, status dana pensiun, dan hak pengasuhan anak bagi pasangan yang bercerai karena perbedaan agama.

Sementara, dalam topik hukum dan perundang-undangan, Komisi Fatwa akan mendiskusikan ekonomi syariah, pengelolaan BPJS sesuai dengan ketentuan syariah, revisi KUHP dan KUHAP, rancangan undang-undang tentang minuman beralkohol, serta pembangunan kebijakan wisata syariah.
http://nasional.kompas.com/read/2015....Syariah.Islam


Ini solusi MUI bagi warga yang sudah pegang kartu BPJS
Rabu, 29 Juli 2015 18:54

Merdeka.com - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan haram. Pengharaman ini dilakukan karena lembaga asuransi milik pemerintah tersebut tidak sesuai dengan syariah dalam Islam.

Keputusan itu ditetapkan usai digelarnya Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V yang diselenggarakan di Pondok Pesantren at-Tauhidiyah, Cikura, Tegal, Jawa Tengah pada tanggal 7-10 Juni 2015 lalu. BPJS merupakan salah satu bagian yang dibahas di dalamnya.

Dalam, beberapa penilaian, BPJS Kesehatan mengandung unsur gharar, maisir dan riba. Tak hanya itu, denda administrasi yang dibebankan bagi peserta yang menunggak juga termasuk dalam riba.

Berikut wawancara merdeka.com dengan Ketua Komisi Fatwa MUI, Ma'ruf Amin, Rabu (29/7):

Mengapa MUI mengharamkan BPJS Kesehatan?

Itu kan berdasarkan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia. Ada beberapa agenda yang dibahas oleh ulama seluruh Indonesia saat bertemu di Tegal.

Masalah yang utama adalah perundang-undangan, itu salah satunya BPJS. BPJS yang ada itu tidak sesuai syariah karena belum ada BPJS Syariah. Karena itu kita meminta supaya ada BPJS syariah.

Apa alasan yang menjadikan para ulama lantas setuju BPJS Kesehatan itu haram?

Karena akadnya tidak sesuai syariah, tidak menggunakan cara syariah, dan syariah itu kan ada polisnya. Sifatnya itu ada dana yang kita sebut tabarru', kemudian digunakan untuk menjamin mereka yang memiliki polis itu. Itu semua sesuai dengan fatwa.

Selain itu, MUI juga mengharamkan denda administrasi sebesar 2 persen bagi peserta yang terlambat membayar, mengapa?

Ya tidak sesuai, karena memang kalau di dalam sistem syariah dana yang dipakai, dana yang digunakan adalah dana yang disepakati atau yang dikumpulkan para pemegang polis. Itu kan asuransi.

Jadi syariah wajib didirikan? Lalu bagaimana dengan BPJS yang konvensional?

Ya, BPJS Syariah wajib dibentuk sehingga ada tidak mengganti yang konvensional. Segera adakan, tapi ada juga syariah. Ada dua yang beroperasi.

Lalu, bagaimana dengan umat Islam yang sudah terlanjur mendaftar? Apakah harus segera keluar dari BPJS konvensional?

Sekarang ini terpaksa karena itu kewajiban, dan itu dianggap sebagai darurat. Ini merupakan masalah, tapi tidak bisa diteruskan, harus dihentikan segera mungkin.

Jadi apakah boleh tetap menjadi anggota atau wajib keluar?

Ya nantinya kan dia pindah ke syariah. Sementara di tempat sama dulu.
http://www.merdeka.com/peristiwa/ini...artu-bpjs.html


UU BPJS Digugat Ke MK, Akankah Batal Diberlakukan?
Minggu, 15/03/2015 14:14 WIB



Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah elemen masyarakat menggugat Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ke Mahkamah Konstitusi.

Dua perusahaan pemberi kerja, dua perusahaan asuransi dan dua warga mengajukan gugatan uji materi terhadap UU BPJS itu ke MK.

Dalam sidang ke-6 di MK pekan ini, pemohon menghadirkan dua saksi ahli yakni Yaslis Elyias (Ahli Kesehatan Masyarakat, Asuransi Kesehatan dan SDM dari Universitas Indonesia) dan Hestu Cipto Handoyo (Ahli Perundang-undangan dan HAM).

Majelis hakim MK dipimpin langsung oleh Ketua MK Arief Hidayat.

Yaslis Elyias mengemukakan di negara lain tidak ada lembaga penjamin kesehatan yang bersifat tunggal, sentralistik, dan jumlah kepersertaan yang luar biasa banyaknya seperti BPJS.

Bila diteruskan, program BPJS diprediksi oleh Elyias akan merekrut 250 juta orang. Dengan jumlah yang sangat besar tersebut serta potensi yang sedemikian luar biasa, paparnya, perlu kehati-hatian dalam menyikap keberadaan BPJS.

Terlebih, wilayah Indonesia sangat luas dengan masyarakat yang heterogen sehingga beban kerja untuk melayani masyarakat yang hendak menggunakan fasilitas jaminan kesehatan juga akan sangat berat.

Dengan kondisi demikian, Elyias memprediksi akan terdapat sekitar 800 juta hingga 1 Miliar kunjungan rawat jalan per tahunnya di Indonesia dengan menggunakan fasilitas BPJS.

“Apakah mungkin dengan PPK yang terbatas, jumlah puskesmas yang terbatas, rumah sakit yang terbatas akan mampu melayani? Ada 200 kunjungan spesialis, mana mungkin bisa dikerjakan seperti ini kalau distribusi dokter spesialis sangat terbatas hanya di kota-kota besar,” ujar Elyias khawatir.

Kondisi Darurat

Menurutnya, beban kerja BPJS Kesehatan akan luar biasa beratnya sehingga menimbulkan kondisi darurat. "Oleh karena itu, sifat tunggal BPJS selaku penyedia jasa penyelenggara jaminan kesehatan perlu dipikirkan kembali".

Ilyias juga menyampaikan kondisi kepesertaan yang diatur dlam Permenkes Nomor 28 Tahun 2004. Dalam Permenkes tersebut, bayi baru lahir kepesertaannya harus didaftarkan selambat-lambatnya 3x24 jam.

Menurut Ilyias aturan tersebut justru menyengsarakan rakyat, alih-alih memberikan jaminan pelayanan kesehatan bagi rakyat. Sebab, regulator saat membentuk peraturan tersebut tidak mendasarkan pada fakta di lapangan.

Contohnya saja, untuk pengurusan Nomor Induk Kependudukan (NIK) bayi yang baru lahir memerlukan waktu dua minggu. Bila bayi yang baru dilahirkan mengalami kondisi kesehatan yang buruk dan membutuhkan pelayanan kesehatan yang segera dan gawat darurat saat itu juga, BPJS tidak akan memberikan perlindungan apa-apa karena belum terdaftar. “Apakah akan dibiarkan menjemput maut di depan para ahli kesehatan?” tanya Ilyias retoris.

Langgar Konstitusi

Sementara itu, Hestu Cipto Handoyo menyampaikan UU BPJS mengandung kerancuan dalam perspektif HAM. Dalam pembukaan UUD 1945, tepatnya pada alinea keempat ditegaskan bahwa pemerintahan negara yang melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

"Aliena tersebut menegaskan bahwa negara adalah pelayan masyarakat (public service) dalam rangka menciptakan kesejahteraan umum dengan cara mengembangkan jaminan sosial".

Dengan kata lain, jaminan sosial secara nyata dijamin oleh Konstitusi. Maka sudah seharusnya sesuai Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, perlindungan, pengajuan penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.

Dengan demikian, katanya, UU BPJS yang secara substantif merumuskan berbagai ketentuan yang mempergunakan frasa “wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta BPJS” telah melanggar Konstitusi.

Handoyo juga menyampaikan ada ketidaksesuaian ketentuan wajib daftar BPJS dalam dua pasal, yaitu Pasal Pasal 4 huruf g dan Pasal 15 ayat (1) UU BPJS. Pasal 4 hurf g menyatakan kepesertaan bersifat wajib. Namun, Pasal 15 makna wajib dipersempit menjadi wajib mendaftar kepada BPJS.

Prinsip yang demikian ini jelas telah membalikkan pemahaman jaminan sosial sebagai hak yang sifatnya opsional bagi pemegang hak untuk memilih pemenuhan hak atas jaminan sosialnya, menjadi kewajiban yang sifatnya memaksa.

"Jika tidak diindahkan (perintah wajib mendaftar) menimbulkan sanksi bagi yang melanggar. Cara pendekatan perumusan prinsip seperti ini jelas akan mematikan kebebasan para peserta termasuk badan penyelenggara jaminan sosial yang sampai saat ini masih ada,” tegas Handoyo.
http://finansial.bisnis.com/read/201...l-diberlakukan


Timbulkan Monopoli dan Diskriminasi, UU BPJS Digugat
Rabu, 07 Januari 2015 | 20:27 WIB

Enam Pemohon yang terdiri dari dua perusahaan pemberi kerja, dua perusahaan jasa penyedia layanan kesehatan (perusahaan asuransi), dan dua orang warga negara Indonesia selaku pekerja mengajukan pengujian terhadap ketentuan yang mewajibkan memilih BPJS sebagai penyelenggara jaminan sosial bagi pekerja. Para Pemohon secara berurutan, yaitu PT Papan Nirwana, PT Cahaya Medika Health Care, PT Ramamuza Bhakti Husada, PT Abdiwaluyo Mitrasejahtera, Sarju, dan Imron Sarbini. Sidang perdana perkara nomor 138/PUU-XII/2014 itu digelar Rabu (7/1) di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Para Pemohon merasa ketentuan Pasal 15 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), ayat (2) huruf c, dan ayat (4), Pasal Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 55 Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam permohonannya, Para Pemohon menyatakan kewajiban untuk mendaftarkan kepada BPJS menyebabkan pemberi kerja (Pemohon I dan Pemohon II) tidak bisa untuk memilih penyelenggara jaminan sosial (jaminan kesehatan) lainnya. Padahal, masih dalam permohonan Para Pemohon, jaminan sosial lainnya yang nyata-nyata lebih baik dari BPJS.

Sebagai pemberi kerja (perusahaan, red) merasa dirugikan dengan kewajiban mendaftarkan pekerja/karyawannya ke BPJS, terlebih dikarenakan adanya sanksi administratif kepada pemberi kerja bila tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS. Sanksi administratif tersebut tercantum dalam Pasal 17 ayat (1), ayat (2) huruf c, dan ayat (4) UU BPJS yang digugat oleh Para Pemohon.

Monopoli

Tidak hanya itu, adanya kewajiban untuk memilih BPJS sebagai sebagai penyelenggara jaminan sosial pekerja menyebabkan monopoli dalam penyelenggaraan jasa layanan sosial. Padahal, penyelenggaraan jasa layanan sosial harus dilaksanakan secara demokratis. Monopoli ini berimbas langsung kepada penyedia jasa layanan kesehatan lainnya (perusahaan asuransi lainnya, red) seperti yang dialami Pemohon III dan Pemohon IV. PT Ramamuza Bhakti Husada dan PT Abdiwaluyo Mitrasejahtera selaku Pemohon III dan IV tidak lagi dapat berpartisipasi dalam memberikan pelayanan kesehatan.

Aan Eko Widiarto selaku kuasa hukum Para Pemohon dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi Aswanto mengatakan Pemohon I dan II tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik dari BPJS untuk pekerjanya. “Pemohon I dan II setidak-tidaknya mengalami kerugian yang diderita yaitu tidak bisa memberikan pelayanan yang lebih baik daripada yang disediakan oleh BPSJ. Dan itu sebenarnya sudah dijamin dalam Pasal 28H ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” ujar Aan.

Diskriminatif

Selain itu, Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang BPJS juga dianggap memberi sanksi bersifat diskriminatif terkait kewajiban mendaftarkan BPJS bagi para pekerja. Sebab, pada pasal a quo dinyatakan pemberi kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan untuk mendaftarkan BPJS bagi pekerjanya dikenai sanksi administratif. Pasal tersebut diartikan oleh Pemohon bahwa penyelenggara negara tidak dikenai sanksi administratif bila tidak mendaftarkan BPJS bagi pekerja/pegawainya.

“Itu (ketentuan Pasal 17 ayat (1), red) ada perlakuan yang diskriminatif untuk perbuatan yang sama dalam konteks pengenaan sanksinya. Ini juga melanggar hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28I ayat (2). Lebih lanjut juga terkait dengan sanksi berupa tidak mendapat pelayanan publik tertentu bagi pemberi kerja. Ini kami pandang juga telah melanggar Pasal 28I ayat (1) bahwa setiap pribadi diakui sama di hadapan hukum,” tegas Aan yang juga memaparkan nominal kerugian finansial yang diderita Para Pemohon
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/...0#.VbnGSPOqqko


Empat perusahaan gugat aturan BPJS Kesehatan
Rabu, 07 Januari 2015 | 15:37 WIB

JAKARTA. Empat perusahaan menggugat kewajiban mendaftarkan pekerja menjadi peserta BPJS Kesehatan seperti diatur dalam UU Nonor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Empat perusahaan tersebut adalah PT Papan Nirwana, PT Cahaya Medika Health Care, PT Ramamuza Bakti Usaha, PT Abdiwaluyo Mitrasejahtera.

Setidaknya ada empat pasal dalam UU BPJS yang digugat. Pertama, pasal 15 ayat 1 yang mengatur kewajiban bagi perusahaan untuk mendaftarkan karyawan mereka menjadi peserta BPJS. Kedua, pasal 17 ayat 1, 2C, dan 4 yang mengatur ketentuan sanksi administrasi bagi perusahaan yang tidak mau mendaftarkan karyawannya menjadi peserta BPJS Kesehatan.

Ketiga, pasal 19 ayat 1 dan 2 yang mengatur kewajiban bagi perusahaan untuk memungut iuran dari pekerjanya serta membayarkan iuran yang menjadi tanggung jawab perusahaan kepada BPJS. Dan keempat, pasal 55 yang mengatur ketentuan sanksi pidana dan denda bagi perusahaan yang tidak mau membayarkan iurannya dan karyawannya ke BPJS.

Kuasa hukum dari ke empat perusahaan Aan Eko Widiarto mengatakan, ada beberapa alasan yang digunakan oleh kliennya untuk menggugat pasal- pasal tersebut. Dalam kaitannya dengan pasal 15 ayat 1, perusahaan merasa bahwa pasal tersebut telah membatasi ruang gerak bagi para perusahaan untuk memberikan jaminan kesehatan yang lebih baik bagi karyawan.

"Kewajiban ini membuat perusahaan tidak bisa minta bantuan kepada pihak penyedia jaminan kesehatan selain BPJS untuk menjamin kesehatan pekerjanya," kata Aan kepada KONTAN di Gedung MK Rabu (7/1).

Bukan hanya membatasi ruang gerak perusahaaan pemberi kerja saja, ketentuan yang terdapat dalam pasal 15 ayat 1 tersebut juga berpotensi menyuburkan praktik monopoli. Pasalnya ketentuan tersebut hanya mengatur peran BPJS dalam pemberian jaminan kesehatan pekerja perusahaan. Perusahaan penyedia jaminan kesehatan lain tidak diberikan ruang oleh negara untuk ikut serta.
"Negara mau jamin kesehatan masyarakatnya silahkan, tapi dalam konteks ini jangan hilangkan peran masyarakat dan penyedia jaminan untuk bisa ikut berperan," kata Aan.

Sementara itu untuk gugatan yang menyangkut sanksi, uji materi diajukan karena pemberlakuan sanksi terhadap perusahaan yang tidak mendaftarkan karyawannya menjadi peserta BPJS. Ketentuan itu dinilai membahayakan bagi perusahaan karena pemberi kerja yang tidak mendaftarkan karyawannya bisa kena sanksi tidak diberi pelayanan publik tertentu. "Ini lebih kejam dari pidana, sebab batas waktu tidak ada, ini bisa ancam pengurusan ijin usaha, pemrosesan IMB dan lain sebagainya," katanya.

Aan berharap MK bisa mengabulkan seluruh gugatan yang diajukan oleh klien- kliennya dengan menyatakan pasal- pasal yang digugat tersebut tidak mempunyai hukum mengikat.

Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dalam tanggapannya atas materi gugatan meminta penjelaskan keabsahan sebagai badan hukum dengan menunjukkan bukti izin dari Kementerian Hukum dan HAM. Selain itu, Parialis juga meminta kepada perusahaan menjelaskan secara lebih rinci lagi kerugian yang mereka alami. "Misalnya soal partisipasi, apakah dengan berlakunya UU ini, partisipasi masyarakat, khususnya penyedia jaminan kesehatan dilarang," katanya.
http://nasional.kontan.co.id/news/em...bpjs-kesehatan

--------------------------------

Sebenarnya idea lahirnya BPJS itu adalah karena Pemerintah tak mau terlalu dibebani biaya kesehatan untuk rakyatnya yang semakin besar saja setiap tahunnya. Besarnya biaya subsidi kesehatan itu tercermin dari dana yang dikeluarkan untuk sektor kesehatan dalam APBN. Dengan sistem BPJS itu, penduduk yang mampu karena berpenghasilan tetap (misalnya buruh, PNS atau pensiunan), bisa diajak mengumpulkan dana secara gotong royong berupa setoan premi asuransi kesehatan yang dipotongkan langsung dari gaji/penerimaannya setiap bulannya. Dana yang terkumpul lalu dipakai dengan sistem subsdi silang bagi kalangan penduduk yang tidak mampu (miskin) yang tak sanggup membayar premi asuransi kesehatan itu.

Disitulah keanehan mulai muncul, sebab menurut UUD 1945 pasal 34, fakir miskin dan anak terlantar itu menjadi tanggungan Negara sepenuhnya, termasuk biaya kesehatannya bila dia sakit. Jadi bukan malahan dibebankan kepada rakyat lainnya, yang kebetulan dianggap mampu, lalu Negara mau lepas tangan terhadap biaya kesehatan kaum fakir miskin dan anak terlantar itu. Nah, akibat kebijakan asuransi sosial kesehatan model BPJS itu, justru penyetor asuransi utama yaitu buruh dan PNS, tidak mendapatkan layanan maksimal dan bahkan layanan yang mereka dapatkan cenderung lebih buruk ketimbang dulu mereka memakai asuransi sejenis ASKES misalnya. Inilah yang menyebabkan munculnya ketidak-puasan itu. Belum lagi tarif yang dipakai pukul rata sehingga banyak Rumah Sakit peserta BPJS itu yang mengeluhkan iuran yang bisa mereka terima dari BPJS. Rumah Sakit itu harus melayani membanjirnya pasien-pasien yang miskin (bahkan pasien mampu yang mengaku miskin agar tak terkena premi asuransi BPJS). Akhirnya BPJS mulai tekor, dan layanan semakin buruk aja.

Oleh sebab itu, kembalikan seperti sedia kala saja. Pemerintah tetap harus bertanggung jawab penuh untuk pelayanan keehatan kalangan miskin itu, dengan dana penuh dari APBN/APBD. Sementara Buruh dan PNS, biarkan mereka menikmati layanan dari institusi asuransi pilihan mereka sendiri, baik itu dari lembaga asuransi milik BUMN seperti BPJS atau lembaga asuransi kesehatan milik Swasta (yang bersyariah atau yang Konvensional).
0
7.3K
68
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.3KThread41.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.