Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

aghilfathAvatar border
TS
aghilfath
[Iwan J Piliang] Masalah di Tolikara

Indra J. Piliang,
Dewan Pendiri Sang Gerilya Institute

Penyerangan yang dilakukan sekelompok orang terhadap umat Islam ketika melakukan salat Idul Fitri di Tolikara, Papua, membawa babak baru dalam penanganan masalah Papua. Seusai penyelesaian masalah Aceh lewat memorandum of understanding di Helsinki, Finlandia, saya sudah beberapa kali menulis tentang pentingnya penyelesaian masalah Papua secara komprehensif. Untuk pendekatan kalangan separatis, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah memberikan surat tugas kepada dr Farid Husain, tokoh di belakang layar dalam penyelesaian masalah Aceh. Dalam sebuah diskusi di The Indonesian Institute, dr Farid menunjukkan sejumlah foto kegiatannya di hutan-hutan Papua.

Masalahnya, dr Farid sama sekali tidak dilengkapi dengan perangkat lain, di luar sepucuk surat tugas lusuh yang diperlihatkan kepada saya. Komunikasi dr Farid dengan Presiden SBY (waktu itu) terbatas, begitu juga pihak terkait. Di luar dr Farid, pemerintah membentuk satuan tugas khusus, yakni Badan Percepatan Pembangunan Kawasan Papua. Sama dengan dr Farid, badan ini pun tidak memiliki kewenangan yang jelas. Dalam pemerintahan baru, badan ini malah tidak berfungsi lagi.

Informasi terakhir, Presiden Jokowi sudah menyiapkan kelembagaan baru menyangkut Papua. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mendapat tugas untuk mengesahkan bentuk kelembagaan badan yang dimaksud. Namun, sampai insiden di Tolikara, saya belum pernah mendengar pembahasan tentang rencana pembentukan badan ini. Saya hanya mendapat informasi bahwa rancangan badan ini sedang disiapkan di kantor Staf Kepresidenan yang dikepalai Luhut Panjaitan.

Adapun keberadaan badan ini memang didesak oleh berbagai pihak, terutama Kaukus Papua DPR RI dan DPD RI. Di luar itu, BPKRI juga mendorong keberadaan badan ini. Berdasarkan audit keuangan dana otonomi khusus oleh BPK RI, terlihat sekali dana itutidak mengubah indeks pembangunan manusia di Papua. Beragam penyimpangan terjadi. Tapi BPK RI menyadari betapa program pembangunan di Papua layak diteruskan. Tinggal perbaikan dari sisi manajemen, termasuk manajemen keuangan dan sumber daya manusianya.

Dibandingkan dengan penyelesaian masalah Aceh, terasa sekali minimnya desakan dunia internasional terhadap Papua. Kementerian Luar Negeri memang bekerja keras agar masalah Papua tidak mengalami internasionalisasi. Indonesia dengan cepat menanggapi persoalan Papua yang coba dibincangkan oleh anggota Kongres Amerika Serikat asal Samoa Amerika, Eni Faleo-Mavaega. Kepentingan AS dengan PT Freeport sejak Papua bergabung dengan Indonesia menjadi catatan serius. Pengalaman Timor Timur memperlihatkan betapa keterlibatan dunia internasional justru menempatkan Indonesia pada posisi yang lemah.

Padahal masalah Papua datang dalam kurun yang lebih lama daripada Aceh, yakni ketika memutuskan bergabung dengan Indonesia. Hanya, perhatian terhadap Papua begitu kurang akibat perbedaan-perbedaan prioritas di Indonesia dan jauhnya Papua dari Jakarta. Masyarakat Indonesia secara umum juga tidak memiliki pengetahuan ihwal Papua. Papua ditangani secara tertutup, termasuk pembatasan akses kepada publik nasional dan internasional.

Barulah pemerintahan Presiden Jokowi berani kembali membuka Papua, termasuk bagi pers internasional. Tanpa persiapan-persiapan yang cukup, Papua bisa saja dibedah dan dicabik-cabik dengan pisau analisis orang-orang yang datang. Keterbukaan membawa dinamika tersendiri, termasuk interaksi yang terjadi antara orang-orang asing dan masyarakat Papua. Sudut pandangmasing-masing pihak bisa saja berbeda, apalagi kalau dibumbui motif-motif di luar kepentingan masyarakat Papua, secara khusus, dan kepentingan nasional, secara umum.

Pemerintah Indonesia idealnya perlu menyusun skema yang tepat bagi Papua, sebelum benar-benar membuka Papua bagi masyarakat internasional. Kalaupun sudah dibuka, skema itu layak dijadikan barometer penting. Cina, misalnya, pernah menjalankan model dualisme ekonomi, yakni membuka wilayah pesisir dan menutup wilayah daratan. Dilihat dari sisi itu,insiden Tolikara tidak terlepas dari dimensi internasional, yakni kegiatan yang disebut "seminar internasional" yang dilakukan komunitas agama. Kita tahu, di belahan negara mana pun, kegiatan misionaris menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah panjang Eropa. Pun demikian bagi penganut agama lain, termasuk Islam.

Jadi, potret Papua ke depan sudah terbuka, yakni para ahli agama darimana pun, termasuk dari komunitas internasional, bakal menjadikan Papua sebagai tujuan ibadah. Apalagi kalau ada anggapan bahwa masyarakat adat Papua masih menganut agama sinkretis, di satu sisi penganut agama formal, di sisi lain masih menjalankan ritual tradisional. Kita bakal melihat riuh-rendahnya Papua dengan kedatangan banyak komunitas religius ini. Tidak ada satu pun kitab suci di dunia ini yang melarang penganut agamanya mengembangkan diri.

Dalam masyarakat tradisional mana pun, kehadiran tokoh-tokoh agama dari luar seakan dianggap sebagai "pemurnian". Percaya atau tidak, orang luar dianggap lebih tinggi "tingkat keimanan"-nya dibanding masyarakat setempat. Di sinilah lahir populisme dalam bentuk yang lain, yakni kehadiran para pesohor di dunia religi.

Kondisi ini memerlukan kehadiran pemerintah, terutama Kementerian Agama. Di Indonesia, agama masih merupakan kewenangan pemerintah pusat. Daerah tidak bisa menafsirkan sendiri regulasi di sektor keagamaan, kecuali di Aceh, yang memang mendapatkan diskresi, yakni pemberlakuan syariat Islam sebagai bagian dari otonominya. Pemerintah, mau tidak mau, suka tak suka, perlu melibatkan diri untuk mengontrol kegiatan keagamaan di Papua. Apalagi kalau Papua masih dianggap sebagai wilayah yang belum beragama. Insiden di Tolikara membuka dimensi itu, termasuk reaksi sesudahnya. Komunitas muslim, misalnya, sudah mulai mengagendakan penguatan pengaruh di bumi Papua.

Papua selama ini didefinisikan sebagai tanah damai. Konflik berkepanjangan terkait dengan separatisme dan konflik sumber daya alam tidak lantas membuat masyarakat adat Papua berhenti berjibaku demi perdamaian. Lingkaran konflik dan spiral kekerasan di Papua selama ini bukan bersumber pada agama. Bara di Tolikara tidak akan hadir apabila pemerintah mengambil peran yang lebih aktif, ketika pintu Papua sudah dibuka lebar.

Sumber : http://m.tempo.co/read/kolom/2015/07...ah-di-tolikara

Sejalan dengan pemikiran ane, stop misionaris asing, gantikan dg mengirim penginjil lokal yg tdk membawa muatan2 politik dlm misi keagamaannya emoticon-I Love Indonesia
0
1.5K
5
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.8KThread41.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.