Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

s4nit0reAvatar border
TS
s4nit0re
Peristiwa Tolikara, Terkait dengan Janji Referendum Jokowi di Papua?
Peristiwa Tolikara, Terkait Dengan Janji Referendum Jokowi di Papua?
22 Juli 2015 11:35 AM



Jakarta, Aktual.com – Direktur The Community Of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya tidak menampik jika peristiwa tentang intoleransi yang dibungkus dalam agama sebagai bentuk letupan awal terkait dugaan soal kabar janji Jokowi menengai referendum di tanah Papua, saat pemilihan presiden (Pilpres) 2014 kemarin.

“Iya, ada muatan pesan salah satunya itu (janji referendum),” kata Harits, di Jakarta, Rabu (22/7).

Diakui Harits, kejadian di Tolikara, Papua antara umat kristiani GIDI dengan umat muslim minoritas disana sangat sarat dengan kepentingan politik.

“Tragedi Tolikara yang biadab menurut analisa saya adalah muara dari kepentingan-kepentingan politis yang dibungkus dengan sentimen agama dan ekonomi sebagai pemicunya,” ucap dia.

Lebih lanjut, ketika ditanyakan sejauhmana ia mengetahui akan desas desus yang sempat santer ketika Jokowi berkampanye di Papua, hingga menjanjikan referendum tersebut?. Pemerhati kontra-terorisme mengatakan bahwa kejadian itu bentuk belum adanya janji Jokowi yang terealisasi.

“Janji Jokowi saat kampanye itu tidak semudah realisasinya. Biasa itu, soal citra dan suara,” tandasnya.

Berdasarkan informasi yang beredar, dalam Pelaksanaan Pilpres 2014 lalu, disebut-sebut mantan Gubernur DKI Jakarta itu menjanjikan untuk melakukan referendum di tanah Papua. Hal itu sebagai janji, jika kader PDI Perjuangan itu memenangkan pemilu dan duduk sebagai orang nomor satu di Indonesia.

Untuk diketahui, Referendum (dari bahasa Latin) atau jajak pendapat adalah suatu proses pemungutan suara semesta untuk mengambil sebuah keputusan, terutama keputusan politik yang memengaruhi suatu negara secara keseluruhan. Misalnya seperti adopsi atau amendemen konstitusi atau undang-undang baru, atau perubahan wilayah suatu negara.

Pada sebuah referendum, masyarakat yang memiliki hak pilih dimintai pendapatnya. Hasil referendum bisa dianggap mengikat atau tidak mengikat. Sebuah referendum dianggap mengikat apabila pemerintah harus mengikuti seluruh jawaban rakyat yang ada dalam hasil referendum. Apabila referendum tidak mengikat, berarti referendum itu hanya digunakan sebagai fungsi penasihat saja, dimana hasil yang ada tidak harus diikuti, namun menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan selanjutnya.
http://www.aktual.com/peristiwa-toli...kowi-di-papua/


Ribuan Warga Papua Tuntut Referendum
SENIN, 20 FEBRUARI 2012 | 13:27 WIB



Puluhan warga papua saat aksi demo menuntut Referendum di Gedung Majelis Rakyat Papua, Senin (20/2). TEMPO/Jerry Omona
TEMPO.CO, Jayapura - Ribuan warga Papua yang tergabung dalam Komite Nasional Papua Barat menduduki gedung Majelis Rakyat Papua di Kotaraja, Jayapura, Senin, 20 Februari 2012. Pengunjuk rasa menuntut referendum dan meminta pencabutan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat.

“Kami bukan mau UP4B, kami bukan mau otonomi khusus, kami mau referendum,” kata Mako Tabuni, juru bicara Komite Nasional, Senin, 20 Februari 2012.

Ia mengatakan, kemerdekaan bagi Papua adalah harga mati. Otonomi khusus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 telah gagal menyejahterakan rakyat Papua. “Otsus gagal. Unit itu juga tidak akan berhasil. Itu hanya gula-gula politik Jakarta bagi Papua,” katanya.

Ribuan demonstran berjalan kaki dari Waena hingga Kotaraja, ke gedung Majelis Rakyat Papua. Mereka membawa spanduk bertuliskan "Referendum". Massa juga menyerukan "Papua" dan disambut dengan teriakan "Merdeka". “Indonesia telah gagal. Hari ini kita buktikan bahwa rakyat Papua ingin merdeka di tanahnya sendiri,” kata Alfius, seorang demonstran.

Dari pantauan Tempo, sedikitnya dua truk polisi mengawal aksi damai tersebut. Akibat aksi unjuk rasa ini, jalan utama Sentani-Jayapura macet total. Sejumlah pertokoan dan stasiun pengisian bahan bakar tutup. “Ya, takut kalau terjadi apa-apa saja, jadi kita tutup,” kata Marni, seorang pemilik toko.

Setiba di gedung MRP, massa sempat berarak menggunakan motor mengelilingi kantor majelis. Namun, tidak ada seorang pun anggota MRP yang datang menemui demonstran.

Hingga berita ini diturunkan, pendemo masih membanjiri halaman gedung MRP. “Amanlah, tidak anarkis, kita turunkan seratus personil untuk mengamankan massa,” kata Kepala Kepolisian Resor Kota Jayapura, Ajun Komisaris Besar Polisi Alfred Papare.
http://nasional.tempo.co/read/news/2...tut-referendum


Jokowi Janjikan Dialog di Papua
Senin, 29 Desember 2014, 12:00 WIB

JAYAPURA -- Presiden Joko Widodo (Jokoi) mengatakan, pemerintah akan menggunakan pendekatan lain di Papua. Ia menjanjikan adanya proses dialog antara pusat dan Papua terkait berbagai persoalan yang membelit wilayah tersebut.

"Saya melihat rakyat Papua tidak hanya butuh pelayanan kesehatan, tidak hanya butuh pelayanan pendidikan, tidak hanya pembangunan jalan, jembatan, dan pelabuhan saja. Tapi, juga butuh didengar dan diajak bicara," kata Presiden Jokowi pada perayaan Natal nasional di Lapangan Mandala, Kota Jayapura, Sabtu (28/12) malam.

Lebih lanjut, ia mengatakan, kekerasan dan konflik yang marak terjadi di Papua juga harus disudahi. "Kita akhiri konflik. Jangan ada kekerasan, marilah kita bersatu. Yang masih di dalam hutan, yang masih di atas gunung-gunung, marilah kita bersama-sama membangun Papua sebagai tanah yang damai," lanjutnya.

Setelah dituntut sejumlah pihak, Jokowi juga akhirnya mengeluarkan komentar terkait penembakan yang menewaskan lima warga sipil di Enarotali, Paniai, Papua, awal bulan lalu. Menurutnya, kasus tersebut harus diselesaikan selekasnya dan jadi momentum perdamaian di Papua.

Presiden menegaskan, dialog adalah jalan terbaik menyelesaikan persoalan-persoalan di Papua. "Semua harus mau dialog, berbicara dengan masyarakat. Karena, dengan berbicara itulah kita bisa tahu betul akar masalahnya itu apa. Tetapi, saya meyakini, dengan sebuah dialog syukur bisa pendek, persoalan itu bisa selesai," kata Presiden.

Papua termasuk salah satu daerah paling rawan di Indonesia. Masih aktifnya gerakan separatis bersenjata di daerah itu dan penerjunan pasukan militer besar-besaran kerap menjadi pemicu kekerasan. Proses dialog di Papua beberapa kali diusulkan, tapi belum pernah dilaksanakan karena dinilai memfasilitasi kepentingan gerakan separatis.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif LSM Imparsial Poengky Indarti mendesak Presiden Jokowi segera mempersiapkan dialog damai guna mengurai permasalahan yang membelit Papua. Terlebih, berdasarkan penelitian yang dipublikasikan organisasinya pada 2012, di Papua telah terjadi sekuritisasi TNI yang berlebihan sehingga berdampak pada terjadinya pelanggaran HAM di Papua.

Menurutnya, penyelesaian kasus Papua harus dilakukan dengan hati, bukan dengan cara-cara kekerasan. "Upaya ini sangat ditunggu-tunggu masyarakat Papua sejak dulu karena pemerintahan-pemerintahan sebelumnya masih saja mengedepankan kekerasan bersenjata dalam menangani konflik di Papua," kata Poengky.
http://www.republika.co.id/berita/ko...ialog-di-papua


Jokowi Didesak Dialog Jakarta-Papua Jadikan Agenda Utama
Minggu, 05 Oktober 2014 06:18


Para Pembicara pada diskusi bertema "Masa Depan Papua dalam Pemerintahan Jokowi-JK" di halaman kantor KontraS, Jumat (03/10/14). Foto: Renatha

Jakarta, MAJALAH SELANGKAH -- Presiden dan Wakil Presiden Indonesia terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla didesak sejumlah pihak untuk menjadikan dialog Jakarta-Papua sebagai agenda dan fasilitas utama dalam penyelesaian konflik di Papua yang sudah berlangsung lebih dari 50 tahun itu.

Desakan itu mengemuka dalam diskusi publik bertema "Masa Depan Papua dalam Pemerintahan Jokowi-JK' yang digelar di kantor Komisi Tindak Kekerasan dan Orang Hilang (KontraS), Borobudur Nomor 14, Menteng, Jakarta Pusat Jumat, (03/10/14).

Salah satu pembicara dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabet menilai, Dialog Jakarta-Papua adalah sebuah fasilitas yang biasa yang bisa digunakan untuk mencari solusi atas konflik yang berkepanjangan di Papua oleh Jokowi dan JK.

"Semoga Jokowi dan JK bisa tuntaskan masalah Papua lewat dialog. Jangan ada air mata orang Papua lagi," pinta Adriana Elisabet.

Hal senada juga disampaikan Marinus Yaung, Pengamat Hukum Internasional dari Universitas Cenderawasih (Uncen).

"Konflik di Papua itu diciptakan lalu dipelihara. Soal ini kita bisa lihat dari tidakan negara dalam melihat persoalan Papua. Saat kunjungan petinggi negara di Papua, bukan menteri ekonomi dan menteri pendidikan yang datang tapi Menkopolhukham, Menpan dan setaranya," kata Marinus.

Menurut Yaung, penyelesaikan konflik Papua dibutuhkan pendekatan dialogis yang diminta oleh orang Papua. "Jangan tarik menarik lagi, dialog Papua-Jakarta harus diwujudkan, bukan lagi ditawar kembali dengan konsep yang disusun oleh negara."

Koordinator Nasional Papua Solidarity (Napas), Zely Ariane memaparkan dasar masalah Papua yang hingga saat ini belum berakhir.

"Pelanggaran hak asasi manusia, penekanan hak berkumpul dan hak ekspresi atas nama negara di Papua sudah bermula dari tahun 1961. Hingga sekarang belum selesai," tutur Zely.

Maka, kata Zely, Jokowi-JK perlu mencari pendekatan baru, yakni melalui dialog Jakarta-Papua yang melibatkan semua pihak di Papua dan Jakarta.

Salah satu akademisi dan peneliti isu Papua, Budi Hermawan mengemukan sejumlah hal atas kajiannya yang menjadi dasar mengapa dialog Jakarta-Papua sangat mendesak dan penting.

Desakan dialog disampaikan juga oleh Ketua Sinode Kingmi Papua, Pendeta Benny Giay pada diskusi publik ini. (baca: Tanah Papua Sedang Dibuat Situs Pertumpahan Darah).

Atas desakan itu, Rini M Soemarno, Ketua Tim Transisi Jokowi-JK mengatakan, pihaknya sudah menampung semua aspirasi masyarakat Papua baik pada saat diskusi maupun yang telah disampaikan oleh sejumlah kelompok dari Papua.

Rini M Soemarno berjanji, pihaknya akan menyampaikan sejumlah masukan itu kepaa Jokowi-JK
http://majalahselangkah.com/content/...n-agenda-utama

Jokowi Jangan Salah Artikan Dialog Jakarta-Papua
Selasa, 13 Januari 2015 19:00


Dari kiri ke kanan, Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi); Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen TNI Fuad Basya; Koordinator Jaringan Damai Papua, Dr. Neles Tebay; Ketua Dewat Adat Meepago Ruben Edoway; Anggota Komisi A DPRP Bidang Hukum dan HAM, Ruben Magai; Koordinator ALDP, Anum Siregar; Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik FISIP Universitas Cenderawasih Jayapura, Marinus Yaung; Pastor Jhon Jonga. Foto: Dok MS

Jayapura, MAJALAH SELANGKAH -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menghadiri Natal Nasional di Lapangan Mandala, Kota Jayapura, Papua, Sabtu (28/12/2014) lalu, menjanjikan, pemerintah akan menggunakan pendekatan lain di Papua.

"Saya melihat rakyat Papua tidak hanya butuh pelayanan kesehatan, tidak hanya butuh pelayanan pendidikan, tidak hanya pembangunan jalan, jembatan, dan pelabuhan saja. Tapi, juga butuh didengar dan diajak bicara," kata Presiden saat itu.

"Kita akhiri konflik. Jangan ada kekerasan, marilah kita bersatu. Yang masih di dalam hutan, yang masih di atas gunung-gunung, marilah kita bersama-sama membangun Papua sebagai tanah yang damai," pinta Jokowi ketika itu. (Baca: Jokowi Janjikan Dialog di Papua)

Empat hari kemudian, Kamis (1/1/15), Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen TNI Fuad Basya menyebutkan, TNI akan selalu mendukung dan mengikuti kebijakan politik yang akan dilakukan pemerintah, termasuk dengan rencana dialog antara pemerintah pusat dengan berbagai kelompok masyarakat di Papua.

"Dialog antara pemerintah pusat dengan kelompok masyarakat di Papua, termasuk dengan kelompok-kelompok separatis merupakan salah satu kebijakan dan langkah politik yang diambil pemerintah," ujar Mayjen TNI Fuad Basya dikutip republika.co.id, Kamis (1/1/15) menanggapi janji Jokowi pada orang Papua soal dialog Jakarta-Papua.

"Kami ikut dengan kebijakan politik pemerintah. Nanti kami tinggal menyesuaikan (dengan pemerintah)," kata Fuad (Baca: TNI Dukung Dialog Pemerintah dengan Kelompok Separatis di Papua)

Setelah 10 hari janji Jokowi dan 6 hari dukungan TNI Mayjen TNI Fuad Basya soal dialog Jakarta-Papua, The Wall Street Journal, edisi 7 January 2015 merilis sebuah laporan wawancara dengan Wakil Presiden Indonesia, Jusuf Kalla.

Dalam wawancara itu, Wapres Jusuf Kalla mengatakan, pihaknya akan coba memulai "dialog lagi" di Papua, yang kerap diguncang pertikaian berskala kecil sejak menjadi bagian NKRI pada 1969. (Baca: Jusuf Kalla Ingin Akhiri Konflik Papua).

Tanggapan Hangat

Pada hari yang sama (Rabu, 7 Januari 2015) dengan pernyataan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla di The Wall Street Journal, Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP), Neles Tebay merilis sebuah artikel berjudul Jokowi Harapan Papua di Kompas.com.

Pada artikel tersebut, Neles Tebay menulis bahwa saat Jokowi datang merayakan Natal Nasional di Jayapura, ia (Jokowi) tampil sebagai harapan bagi rakyat Papua.

"Kunjungannya membangkitkan harapan, memberikan energi dan kekuatan baru dalam membangun perdamaian, serta menghidupkan daya imajinasi dan kreativitas rakyat Papua dalam mewujudkan perdamaian di Tanah Papua melalui dialog. Presiden Jokowi telah merebut kepercayaan dari rakyat Papua. Kepercayaan ini merupakan modal utama untuk tentu saja bersama rakyat menyelesaikan aneka permasalahan dan membangun perdamaian di Tanah Papua," tulis Neles dalam artikelnya itu.

Siang tadi, Selasa (13/1/15) di Nabire, Ketua Dewan Adat Wilayah Meepogo, Ruben B. Edoway kepada majalahselangkah.com mengungkapkan apresiasinya dan mengingatkan agar niat baik Pemerintah Indonesia ini, Jokowi dan Jusuf Kalla, harus sejalan dengan keinginan rakyat Papua.

"Selama 52 tahun ini, Jakarta pahami konflik Papua sebagai akibat dari ketidakpuasan pembangunan, soal makan dan minum. Tapi, akar masalahnya adalah soal politik, ada masalah ideologi, ada masalah sejarah," kata Ruben.

"Kami mau niat baik Pak Presiden dan Wakil Presiden ini tidak boleh disalahartikan oleh bawahannya. Nanti membelok menjadi dialog pembangunan. Jokowi datang bicara-bicara dengan DPRP, Gubernur, datang ke pasar baru dia bicara-bicara dengan mama-mama Papua. Lalu, kembali ke Jakarta bikin jumpa pers dan dia kastau sudah dialog dengan rakyat Papua, serta dia buat program. Itu bukan yang diinginkan rakyat Papua," katanya.

Kata dia, yang diinginkan rakyat Papua adalah penyelesaian masalah Papua yang berumur 52 tahun lebih ini secara komprehensif.

"Kami tidak mau, Jokowi gagal seperti SBY yang gagal tepati janjinya. Kami ingat to, SBY juga janji kami tapi dia tipu. Jokowi jangan tipu orang Papua," pintanya.

"Semua pihak duduk bicara, Jakarta, Rakyat Papua yang diwakili oleh orang-orang yang telah ditunjuk pada konferensi, Tentara Pembebasan Nasional, Organisasi Papua Merdeka (TPN, OPM) pimpinan Goliat Tabuni, dan dilakukan di negara yang netral dan disaksikan oleh pihak ketiga yang netral," tegas Ruben.

Dialog: Jakarta dan Papua Setara

Tidak hanya Ruben Edoway, belum lama ini, tokoh Gereja Katolik di tanah Papua, Pastor Jhon Jonga, menegaskan, syarat utama dialog antar Jakarta dengan orang Papua adalah, masing-masing menempatkan posisi secara setara, dan dilakukan secara terbuka.

"Jokowi datang itu bukan berdialog seperti yang selama ini kami maksudkan, Presiden Jokowi harus bertemu dengan lima perwakilan orang Papua yang ditentukan dalam Konfrensi Perdamaiaan Papua dua tahun lalu," kata Pater Jhon, dikutip suarapapua.com, Senin (5/01/2015) lalu.

Keinginan dialog Jakarta-Papua yang disampaikan Jokowi tersebut disambut hangat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Papua.

Anggota Komisi A DPRP Bidang Hukum dan HAM, Ruben Magai, mengungkapkan, rakyat Papua sejak beberapa waktu lalu sudah mengusulkan dialog damai. Namun kala itu, kata dia, Presiden RI sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono, tidak juga merespon usulan tersebut.

Karena itu, kata Ruben, pihaknya mendukung upaya Jokowi untuk berdialog. "Jokowi harus melibatkan semua pihak di Papua, termasuk TPN, OPM," kata Ruben.

DPRP Segera Undang Koordinator JDP

Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik FISIP Universitas Cenderawasih Jayapura, Marinus Yaung menanggapi pernyataan DPRP Papua melalui Anggota Komisi A DPRD Bidang Hukum dan HAM, Ruben Magai.

Kata Marinus Yaung, melibatkan OPM, itu harus jelas OPM mana? Apakah OPM yang berjuang untuk mempertahankan ideologi Papua merdeka atau OPM peliaraan negara/kelompok milisi berkedok OPM atau OPM cari makan yang sering menjual isu Papua merdeka untuk kepentingan perutnya atau kepentingan politiknya.

Marinus meminta DPRP segera mengundang Koordinator Jaringan Damai Papua, Neles Tebay, dan Koordinator ALDP, Anum Siregar dan semua rekan kerjanya yang selama ini sudah memulai pra dialog damai Papua-Jakarta.

"DPRP harus segera menjadwalkan pertemuan dengan JDP dan ALDP. Saya sebenarnya masih meragukan komitmen DPRP mendukung dialog. Sudah saatnya sikap politik NATO-No Action Talk Only dijauhkan dari wajah anggota DPRP yang baru," pinta Marinus dikutip bintangpapua.com belum lama ini.

Rakyat Konsisten

Kamis, 24 Juli s.d. Sabtu, 27 Juli 2013 lalu, rakyat Papua dari tujuh wilayah adat melalui wakil-wakilnya berkumpul dengan difasilitasi lembaga kultural mereka, MRP. Mereka melakukan evaluasi implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua versi orang asli Papua di Hotel Sahid Papua, Entrop, Jayapura.

Rakyat Papua merekomendasikan dua poin: (1) Otsus gagal dan menolak hasil evaluasi digunakan untuk legitimasi Otsus Plus; (2) Rakyat Papua meminta Dialog Jakarta-Papua yang dimediasi oleh pihak ketiga dan dilaksanakan di tempat netral. Selanjutnya, MRP telah menetapkan hasil dengar pendapat itu pada Pleno, Senin (12/08/13) dengan SK Nomor: 6/MRP/2013. (Baca: Menyimak Konsistensi Rakyat Papua Soal Dialog Jakarta-Papua)

Saol siapa yang mewakili rakyat Papua saat negosiasi, sebelumnya, pada Konferensi Papua Damai yang diadakan pada 2011 oleh Jaringan Damai Papua (Papua Peace Network) di Jayapura, secara demokratis lima orang dipilih sebagai Negosiator Papua Damai.

Mereka adalah Octovianus Mote (di USA), Rex Rumakiek (di Australia), DR. John Otto Ondawame (kini Almarhum), Benny Wenda (di Inggris), dan Leoni Tanggahma (di Belanda). Mereka ditetapkan berdasarkan 17 macam kriteria.

Kriteria dimaksud antara lain adalah harus mampu menggunakan bahasa Inggris standar (speaking, listening, reading and writing), memiliki kemampuan diplomasi dan bernegosiasi (bersertifikat), memahami proses sejarah perjuangan Papua, jururunding bukan pemimpin, tapi mendapat mandat dari pemimpin serta ada beberapa kriteria yang khusus dan penting
http://majalahselangkah.com/content/...-jakarta-papua

--------------------------------

Kasus Tolokara ternyata terus berkembang dan melebar kemana-mana ...

emoticon-Turut Berduka
0
3.5K
13
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.3KThread41.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.