- Beranda
- Berita dan Politik
Ada Teror kepala babi saat Ramadhan dan Lempar batu malam takbiran di Bitung
...
TS
panastakedan.
Ada Teror kepala babi saat Ramadhan dan Lempar batu malam takbiran di Bitung
Dikantor Polres Bitung, Sabtu siang (18/07), ratusan umat muslim yang berada diseluruh kalangan Kota Bitung yang terdiri dari Tokoh – Tokoh Muslim, Tokoh Masyarakat dan Mahasiswa Muslim Kota Bitung mendatangi kantor tersebut dengan melakukan demo damai dengan tujuan meminta pihak kepolisian agar melepaskan saudara mereka yang telah ditahan, Mnggu (19/07).
Kepolisian Bitung yang telah menahan Bari Palakua, warga Bitung Barat Dua, Kecamatan Maesa, membuat masyarakat muslim di Kota Bitung menilai, bahwa penahanan itu mereka menganggap tidaklah jelas. Untung suasana demo damai yang hampir saja memanas menjadi redah sehingga suasana di Kantor Polres Bitung aman dan kondusif.
Berita ini sampai diturunkan, karena hasil temuan oleh Reportase Sulut.com didemo damai menyaksikan bahwa permintaan mereka itu hanyalah pihak polisi mengeluarkan Bari Palakua, mereka juga berharap agar pelemparan batu dimalam pawai takbiran pada Kamis malam (16/07), segera ditangkap, karena inseden yang terjadi disaat malam takbiran sehingga terjadi baku pukul dengan sekelompok orang non muslim adalah pelemparan batu.
Disamping itu juga, mereka mengangkat kembali peristiwa yang terjadi lokasi pembangunan masjid di Kelurahan Girian Permai, Kecamatan Matuari tentang penabur kepala Babi dan ususnya sampai saat ini pelakunya belum juga tertangkap. Peristiwa – peristiwa yang terjadi seperti ini, kami minta polisi harus bersikap tegas untuk mengambil tindakan, kalaupun itu tidak tegas, kami anggap polisi telah lalai dalam menjalankan tugas negara yang sudah dilandaskan didalam Undang – Undang Dasar 1945, ucap para pendemo.
Suasana demo damai oleh ratusan orang umat muslim kemarin di Markas besar kepolisian Bitung pengamanannya diperketat dengan perlengkapan lengkap dan dibantu oleh Brimob Polda Sulawesi Utara yang berjaga – jaga diseputaran lokasi Kantor Polres Bitung untuk menjaga ada hal – hal yang tidak dinginkan.
http://www.reportasesulut.com/2015/0...gi-kantor.html
Meneror dengan meletakkan kepala babi dan Aksi pelemparan pawai takbiran
kok sama dengan yang ini ya
Masjid di Inggris "Diteror" dengan 4 Kepala Babi
Sekolah Islam di Teror kepala babi
Teror Kepala babi di mesjid Vienna
Teror kepala babi di mesjid yunani
Ormas Kristen adat minahasa Waraney
http://christianotololiudonnywullur....g-siap_17.html
https://www.facebook.com/milisi.waraney.1
Minahasa, Penganut Budaya Kekerasan?
Mungkin kita harus berbangga dengan kedamaian yang tercipta di Sulawesi-Utara, kerukunan yang kesolidannya luar biasa. Tapi dari rekaman sejarah yang ada, saya rasa kita harus malu. Mencermati berita-berita di harian kriminal lokal seperti Metro dan Posko. Secara kasat mata kita bisa melihat bahwa Sulawesi Utara khususnya Minahasa sesungguhnya adalah suatu budaya penuh kekerasan (a violent culture).
Mengapa Minahasa? Dilihat dari skala kejadian, para pelaku dan lokasi peristiwa kriminal dan kekerasan itu, umumnya berasal atau berada di wilayah Minahasa. Dalam tulisan saya dahulu di harian ini saya sempat mengatakan bahwa di Minahasa berlaku aturan bahwa tidak ada satu pun individu yang takluk kepada individu yang lain. Harus diakui, suka atau tidak, orang Minahasa moderen itu sekarang arogan dan pongah. “sapa ngana sapa kita?”, “baku abis jo!”, “Kiapa so?”, “Sei re’en?” Itulah ungkapan-ungkapan yang bisa dikonotasikan “cari hal”.
Telah terjadi degradasi dalam cara berpikir orang Minahasa yang semula rasional (lebih mengutamakan akal) menjadi emosional (lebih mengutamakan hati dan perasaan). Dari warisan budaya yang ada, suku Minahasa memiliki aliran darah kekerasan yang kuat. Ini bisa ditilik dari peninggalan seni budaya yang tersisa seperti tari Kabasaran (tari perang). Juga semboyan masyarakat Minahasa yang malah dijadikan lambang pemerintahan yakni i yayat u santi (yang secara harafiah bisa diartikan, “acungkan pedang!”), dan istilah-istilah seperti Waraney (panglima perang) dan Tonaas (pemimpin). Simbol yang digunakan pada patung-patung adat yang dibangun di kota-kota pun ditampilkan bersama sebilah sabel (parang) lengkap dengan atribut perang. Tapi apakah itu menjadi dasar satu-satunya untuk memvonis bahwa masyarakat Minahasa itu kejam? Tidak!
Dalam bukunya tentang Minahasa, N. Graafland seorang penulis sekaligus penginjil asal Belanda yang masuk ke Minahasa pada tahun 1860-an menyatakan bahwa orang Minahasa pada dasarnya penakut. Mereka tidak frontal dan perlu gesekan-gesekan terlebih dahulu baru kemudian baku hantam. Dan ketika mereka murka maka tidak satupun yang bisa mengendalikannya. Lantas setelah seratus lima puluh tahun lebih, mengapa masyarakat Minahasa itu tiba-tiba menjadi “kelewat” berani?
Jawabannya adalah Kebohongan! Kita selalu memanipulir tentang perfoma ekonomi orang Minahasa, sehingga orang Minahasa selalu digembar-gemborkan kaya dan sejahtera. Kita gengsi dan tidak mau berterus-terang akan kelemahan kita. Padahal kalau kita melihat betapa bibit kekerasan telah bersemai akibat ketimpangan ekonomi. Naluri untuk mencari kehidupan lebih baik membuat sebagian masyarakat Minahasa bermigrasi ke daerah Bolaang Mongondow dan wilayah subur lainnya. Dan keinginan menjadi kaya membuat putra-putra Minahasa tertarik menjadi penambang liar dengan harapan kelak “ta dumpul” (menemukan emas dalam jumlah besar).
Di penambangan emas liar, standar (grade) emas tidak selalu sama. Ada galian yang berstandar tinggi dan rendah. Galian yang berstandar tinggi ini kemudian memicu keserakahan untuk dikuasai, akibatnya hukum rimba berlaku, siapa yang kuat dia yang menang. Alhasil, berkelebatlah samurai dan panah wayer. Korban bertumbangan dan darah menjadi cairan yang biasa. Ada pengakuan dari seseorang yang pernah terlibat baku potong di tambang liar kepada saya bahwa ia merasa adrenalinnya mengalir deras dan semangatnya menyala ketika mencium bau darah yang mengalir di tanah pertambangan. Wiih... sadisnya.
Keinginan mencari penghidupan lebih baik yang melahirkan budaya kekerasan melalui penambangan emas itu bahkan sudah tergolong amat berani. Beberapa orang Minahasa bahkan nekad ekspansi ke propinsi lain. Dan memilukan, di awal tahun 2004 ini, salah seorang warga sulut yang juga berasal dari desa Imandi yakni Rusly Tungkagy tewas tertembus peluru aparat dalam demonstrasi bersama masyarakat setempat menentang operasi perusahaan di lokasi penambangan emas milik PT. Nusa Halmahera Minerals (Newcrest Australia).
Kondisi ini diperparah dengan paradigma masyarakat Minahasa yang telah menggondol sarjana tapi tidak memiliki daya saing. Mereka cenderung memilih tinggal di kampung halaman dengan harapan kelak menjadi pegawai negeri. Mereka kemudian menciptakan beban baru dan merampok peran rakyat yang lain. Minimnya daya saing itu mengakibatkan terciptanya instabilitas sosial pada saat ekonomi sulawesi utara goyah. Kita pun merengek-rengek meminta cengkih dinaikkan, dsb.
Di pihak lain, pemerintah yang sebenarnya harus serius menyediakan lapangan kerja malah sibuk dengan po’ot-nya sendiri. Para petani cap tikus di uber-uber sampai ke hutan. Tanpa ada solusi yang jelas untuk mengganti sumber penghidupan mereka. Buntutnya, mereka pun stress dan akhirnya cari cap tikus juga buat melepas stress. Setelah mabuk mereka pun mudah terpancing. Maka terjadilah adegan laksana sinetron angling darma.
Para politisi sibuk verifikasi, uji faktual dan nomor caleg. Judi dilegalkan dengan cara malu-malu, dan tokoh-tokoh agama asyik dengan kegiatan seremonial di ruangan ber-ac. Rakyat makin susah dan kekerasan kemudian lambat-laun menjadi budaya yang mengakar.
Perangkat hukum juga memiliki andil cukup besar dalam pembentukan budaya kekerasan di masyarakat Minahasa. Terkatung-katungnya penyelesaian banyak kasus, dan lebih berpihaknya hukum kepada kaum kapitalis membuat mereka memilih menempuh extra-judicial dengan jalan main hakim sendiri. Masyarakat ragu akan supremasi hukum. Dan bukan rahasia lagi bahwa banyak kasus penikaman dan pembunuhan lebih khusus di wilayah pertambangan tidak terselesaikan sehingga para pelaku lantas merasa besar kepala dan menganggap diri jagoan dan melakukan lagi berulang-ulang. Penggunaan istilah Mister X, adalah salah satu bukti nyata tidak jalannya supremasi hukum.
Keluarga si korban lalu menyimpan dendam dan lebih memilih tidak melaporkan ke yang berwajib “biar jo torang cari sandiri”, kata mereka. Lebih parah lagi, telah ada dalam pikiran masyarakat Minahasa bahwa kekerasan yang dilakukan bergerombol akan lebih sulit tersentuh hukum. Menurut Lewis Coser, kekerasan menjadi indikasi yang paling jelas bahwa dalam sistem politik, ekonomi, sosial dan hukum, terdapat masalah-masalah mendasar yang harus diperbaiki.
Masyarakat Minahasa moderen relatif temperamental dan tidak mau kalah. Sangat sulit merubah karakter manusia apabila itu telah terbentuk atau telah menjadi budaya. Adanya paralelitas antara faktor ekonomi, sosial, budaya dan hukum membuat kita harus sadar bahwa peristiwa antara desa Imandi dan Tambun itu, tidak terjadi begitu saja. Menurut Frans Magnis Suseno, apabila dalam suatu masyarakat intensitas kekerasan bertambah, berarti masyarakat itu sedang sakit. Kondisi inilah yang sedang terjadi di bumi Sulawesi Utara lebih khusus Minahasa.
Konfrontasi antar desa, lorong atau kampung ini jika dirunut, mulai marak sejak akhir tahun 1980-an. Di mana saat itu orde baru masih berkuasa dan tambang-tambang emas tradisional perlahan ditemukan lalu menjadi trend. Pada saat terjadi goncangan sosial dan ekonomi di Indonesia, sulawesi utara khususnya Minahasa tetap tegar. Sama sekali tidak terinfeksi oleh sikap kekerasan massa yang ramai terjadi. Di saat masyarakat sulut berdiam diri. Dan mestinya memperoleh apresiasi yang tinggi dari pemerintah, justru beban hidup dan sosial makin berat akibat dijadikannya sulut dalam hal ini Minahasa sebagai lokasi pengungsian konflik Poso, Ambon serta Ternate.
Ada kecemburuan pernah timbul di masyarakat sulut khususnya Minahasa perihal perhatian pemerintah yang lebih istimewa kepada pengungsi (bahkan diberikan tanah segala). Beberapa pengungsi secara herois menceritakan pengalaman saat bertempur kepada masyarakat kita yang perlahan termakan. Akhirnya para remaja yang relatif memiliki hormon asli Minahasa yang masih kuat lambat-laun terjangkit rumor-rumor yang patogenik itu. Hal ini rupanya tidak diperhatikan oleh pemerintah, dalam hal ini pemerintah sulawesi utara.
Indikator bahwa kita mulai terpengaruh dengan budaya luar dan termakan dengan isu-isu (dan konon ada sinyalemen diskema seperti itu oleh pihak tertentu), adalah terbentuknya kelompok pemuda berbau paramiliter seperti Legium Christum (LC), Milisi Waraney dan Brigade Manguni (BM). Terlepas dari keberadaan organisasi itu sebagai antisipasi kewaspadaan kita menghadapi bahaya dari luar. Tapi jelas terbaca bahwa kita mulai frustasi dan tidak percaya lagi pada sistem. Dan budaya kekerasan yang telah mendarah daging lewat waraney dan tonaas secara gradual dan diluar kontrol kembali berkobar. Sehingga bisa dikata bahwa telah terjadi perjodohan yang serasi. Kekerasan yang membudaya di sulawesi utara khususnya Minahasa bangkit kembali oleh akumulasi rasa kecewa, jengkel, kesal, marah, benci, dendam, perasaan tidak diperlakukan adil, dan kesewenang-wenangan.
Peristiwa antara desa Imandi dan Tambun sudah harus dijadikan pijakan bagi kita agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi dikemudian hari. Kita harus sadar bahwa ada api dalam sekam yang sedang bersemayam ditengah-tengah masyarakat kita. Dalam skala besar, kerusuhan massal di Jakarta pada tahun 1998 adalah contoh nyata yang layak dipelajari. Bahwa kekecewaan sosial tidak boleh dipelihara dan terakumulasi apalagi dibiarkan begitu saja. Dan ini merupakan tanggung jawab semua komponen dan elemen masyarakat sulut karena kita semua kelak yang rugi. Dalam pandangan saya, gejala politik, ekonomi, sosial maupun budaya di sulut saat ini telah mengarah kepada The New Orde Baru. Jarak interaksi sosial makin jauh, dan itu buruk. Terbukti dengan mulai banyaknya masyarakat dari kelas mampu mulai membangun pagar rumah yang tinggi-tinggi.
Disinilah peran lembaga adat Minahasa untuk pro-aktif mengantisipasinya, dan tidak semata untuk gagah-gagahan apalagi terbalut interes politik. Ini masalah budaya dan orientasi sosial yang perannya sangat krusial. Ketika saya hadir dalam Kongres Adat Minahasa di penghujung tahun 2003 lalu, belum sama sekali terlihat bahwa konflik seperti ini menjadi poin serius yang harus dibahas. Kembali kita hanya memangkas pucuk-pucuknya saja.
Pemerintah dan legislatif juga harus jujur dan lebih serius menyikapinya. Jangan cuma sibuk urus po’ot dan partai. Ekonomi mesti menjadi perhatian utama, berbagai ketimpangan sosial yang terjadi akibat gesekan, pola pikir dan kepentingan, seyogianya diatasi dengan tetap mengedepankan dan menyesuaikan dengan budaya dan karakter masyarakat kita. Tokoh agama dituntut tidak sekedar hadir pada acara seremonial tapi turun dan berbaur dengan masyarakat melalui program yang jelas. Tidak cuma berkoar-koar tentang makna kasih tapi hasilnya nol besar. Perangkat hukum diminta lebih tegas dalam menegakan supremasi hukum.
Tidak hanya saya, tapi seluruh masyarakat sulawesi utara tentunya mengharapkan damai yang tercipta di bumi nyiur melambai adalah damai yang hakiki. Kita merindukan keluar rumah dengan aman dan tenang. Tapi kenyataannya, di segala bilik kehidupan, bahaya mulai mengintai di mana-mana. Apakah kita mau hidup seperti itu? Saya juga tidak. Marilah kita semua merenung dan sadar, apalah artinya kekuasaan tanpa ketenangan, apalah artinya popularitas tanpa kedamaian, apalah artinya kekayaan jika kita dincar dimana-mana. Semoga damai yang sesungguhnya benar-benar tercipta di bumi nyiur melambai yang aku kasihi ini.
http://billykalalo.blogspot.com/2011...asan-oleh.html
TNI dan Polri harus waspada dengan ormas seperti ini
Kepolisian Bitung yang telah menahan Bari Palakua, warga Bitung Barat Dua, Kecamatan Maesa, membuat masyarakat muslim di Kota Bitung menilai, bahwa penahanan itu mereka menganggap tidaklah jelas. Untung suasana demo damai yang hampir saja memanas menjadi redah sehingga suasana di Kantor Polres Bitung aman dan kondusif.
Berita ini sampai diturunkan, karena hasil temuan oleh Reportase Sulut.com didemo damai menyaksikan bahwa permintaan mereka itu hanyalah pihak polisi mengeluarkan Bari Palakua, mereka juga berharap agar pelemparan batu dimalam pawai takbiran pada Kamis malam (16/07), segera ditangkap, karena inseden yang terjadi disaat malam takbiran sehingga terjadi baku pukul dengan sekelompok orang non muslim adalah pelemparan batu.
Disamping itu juga, mereka mengangkat kembali peristiwa yang terjadi lokasi pembangunan masjid di Kelurahan Girian Permai, Kecamatan Matuari tentang penabur kepala Babi dan ususnya sampai saat ini pelakunya belum juga tertangkap. Peristiwa – peristiwa yang terjadi seperti ini, kami minta polisi harus bersikap tegas untuk mengambil tindakan, kalaupun itu tidak tegas, kami anggap polisi telah lalai dalam menjalankan tugas negara yang sudah dilandaskan didalam Undang – Undang Dasar 1945, ucap para pendemo.
Suasana demo damai oleh ratusan orang umat muslim kemarin di Markas besar kepolisian Bitung pengamanannya diperketat dengan perlengkapan lengkap dan dibantu oleh Brimob Polda Sulawesi Utara yang berjaga – jaga diseputaran lokasi Kantor Polres Bitung untuk menjaga ada hal – hal yang tidak dinginkan.
http://www.reportasesulut.com/2015/0...gi-kantor.html
Meneror dengan meletakkan kepala babi dan Aksi pelemparan pawai takbiran
kok sama dengan yang ini ya
Masjid di Inggris "Diteror" dengan 4 Kepala Babi
Sekolah Islam di Teror kepala babi
Teror Kepala babi di mesjid Vienna
Teror kepala babi di mesjid yunani
Ormas Kristen adat minahasa Waraney
http://christianotololiudonnywullur....g-siap_17.html
https://www.facebook.com/milisi.waraney.1
Minahasa, Penganut Budaya Kekerasan?
Mungkin kita harus berbangga dengan kedamaian yang tercipta di Sulawesi-Utara, kerukunan yang kesolidannya luar biasa. Tapi dari rekaman sejarah yang ada, saya rasa kita harus malu. Mencermati berita-berita di harian kriminal lokal seperti Metro dan Posko. Secara kasat mata kita bisa melihat bahwa Sulawesi Utara khususnya Minahasa sesungguhnya adalah suatu budaya penuh kekerasan (a violent culture).
Mengapa Minahasa? Dilihat dari skala kejadian, para pelaku dan lokasi peristiwa kriminal dan kekerasan itu, umumnya berasal atau berada di wilayah Minahasa. Dalam tulisan saya dahulu di harian ini saya sempat mengatakan bahwa di Minahasa berlaku aturan bahwa tidak ada satu pun individu yang takluk kepada individu yang lain. Harus diakui, suka atau tidak, orang Minahasa moderen itu sekarang arogan dan pongah. “sapa ngana sapa kita?”, “baku abis jo!”, “Kiapa so?”, “Sei re’en?” Itulah ungkapan-ungkapan yang bisa dikonotasikan “cari hal”.
Telah terjadi degradasi dalam cara berpikir orang Minahasa yang semula rasional (lebih mengutamakan akal) menjadi emosional (lebih mengutamakan hati dan perasaan). Dari warisan budaya yang ada, suku Minahasa memiliki aliran darah kekerasan yang kuat. Ini bisa ditilik dari peninggalan seni budaya yang tersisa seperti tari Kabasaran (tari perang). Juga semboyan masyarakat Minahasa yang malah dijadikan lambang pemerintahan yakni i yayat u santi (yang secara harafiah bisa diartikan, “acungkan pedang!”), dan istilah-istilah seperti Waraney (panglima perang) dan Tonaas (pemimpin). Simbol yang digunakan pada patung-patung adat yang dibangun di kota-kota pun ditampilkan bersama sebilah sabel (parang) lengkap dengan atribut perang. Tapi apakah itu menjadi dasar satu-satunya untuk memvonis bahwa masyarakat Minahasa itu kejam? Tidak!
Dalam bukunya tentang Minahasa, N. Graafland seorang penulis sekaligus penginjil asal Belanda yang masuk ke Minahasa pada tahun 1860-an menyatakan bahwa orang Minahasa pada dasarnya penakut. Mereka tidak frontal dan perlu gesekan-gesekan terlebih dahulu baru kemudian baku hantam. Dan ketika mereka murka maka tidak satupun yang bisa mengendalikannya. Lantas setelah seratus lima puluh tahun lebih, mengapa masyarakat Minahasa itu tiba-tiba menjadi “kelewat” berani?
Jawabannya adalah Kebohongan! Kita selalu memanipulir tentang perfoma ekonomi orang Minahasa, sehingga orang Minahasa selalu digembar-gemborkan kaya dan sejahtera. Kita gengsi dan tidak mau berterus-terang akan kelemahan kita. Padahal kalau kita melihat betapa bibit kekerasan telah bersemai akibat ketimpangan ekonomi. Naluri untuk mencari kehidupan lebih baik membuat sebagian masyarakat Minahasa bermigrasi ke daerah Bolaang Mongondow dan wilayah subur lainnya. Dan keinginan menjadi kaya membuat putra-putra Minahasa tertarik menjadi penambang liar dengan harapan kelak “ta dumpul” (menemukan emas dalam jumlah besar).
Di penambangan emas liar, standar (grade) emas tidak selalu sama. Ada galian yang berstandar tinggi dan rendah. Galian yang berstandar tinggi ini kemudian memicu keserakahan untuk dikuasai, akibatnya hukum rimba berlaku, siapa yang kuat dia yang menang. Alhasil, berkelebatlah samurai dan panah wayer. Korban bertumbangan dan darah menjadi cairan yang biasa. Ada pengakuan dari seseorang yang pernah terlibat baku potong di tambang liar kepada saya bahwa ia merasa adrenalinnya mengalir deras dan semangatnya menyala ketika mencium bau darah yang mengalir di tanah pertambangan. Wiih... sadisnya.
Keinginan mencari penghidupan lebih baik yang melahirkan budaya kekerasan melalui penambangan emas itu bahkan sudah tergolong amat berani. Beberapa orang Minahasa bahkan nekad ekspansi ke propinsi lain. Dan memilukan, di awal tahun 2004 ini, salah seorang warga sulut yang juga berasal dari desa Imandi yakni Rusly Tungkagy tewas tertembus peluru aparat dalam demonstrasi bersama masyarakat setempat menentang operasi perusahaan di lokasi penambangan emas milik PT. Nusa Halmahera Minerals (Newcrest Australia).
Kondisi ini diperparah dengan paradigma masyarakat Minahasa yang telah menggondol sarjana tapi tidak memiliki daya saing. Mereka cenderung memilih tinggal di kampung halaman dengan harapan kelak menjadi pegawai negeri. Mereka kemudian menciptakan beban baru dan merampok peran rakyat yang lain. Minimnya daya saing itu mengakibatkan terciptanya instabilitas sosial pada saat ekonomi sulawesi utara goyah. Kita pun merengek-rengek meminta cengkih dinaikkan, dsb.
Di pihak lain, pemerintah yang sebenarnya harus serius menyediakan lapangan kerja malah sibuk dengan po’ot-nya sendiri. Para petani cap tikus di uber-uber sampai ke hutan. Tanpa ada solusi yang jelas untuk mengganti sumber penghidupan mereka. Buntutnya, mereka pun stress dan akhirnya cari cap tikus juga buat melepas stress. Setelah mabuk mereka pun mudah terpancing. Maka terjadilah adegan laksana sinetron angling darma.
Para politisi sibuk verifikasi, uji faktual dan nomor caleg. Judi dilegalkan dengan cara malu-malu, dan tokoh-tokoh agama asyik dengan kegiatan seremonial di ruangan ber-ac. Rakyat makin susah dan kekerasan kemudian lambat-laun menjadi budaya yang mengakar.
Perangkat hukum juga memiliki andil cukup besar dalam pembentukan budaya kekerasan di masyarakat Minahasa. Terkatung-katungnya penyelesaian banyak kasus, dan lebih berpihaknya hukum kepada kaum kapitalis membuat mereka memilih menempuh extra-judicial dengan jalan main hakim sendiri. Masyarakat ragu akan supremasi hukum. Dan bukan rahasia lagi bahwa banyak kasus penikaman dan pembunuhan lebih khusus di wilayah pertambangan tidak terselesaikan sehingga para pelaku lantas merasa besar kepala dan menganggap diri jagoan dan melakukan lagi berulang-ulang. Penggunaan istilah Mister X, adalah salah satu bukti nyata tidak jalannya supremasi hukum.
Keluarga si korban lalu menyimpan dendam dan lebih memilih tidak melaporkan ke yang berwajib “biar jo torang cari sandiri”, kata mereka. Lebih parah lagi, telah ada dalam pikiran masyarakat Minahasa bahwa kekerasan yang dilakukan bergerombol akan lebih sulit tersentuh hukum. Menurut Lewis Coser, kekerasan menjadi indikasi yang paling jelas bahwa dalam sistem politik, ekonomi, sosial dan hukum, terdapat masalah-masalah mendasar yang harus diperbaiki.
Masyarakat Minahasa moderen relatif temperamental dan tidak mau kalah. Sangat sulit merubah karakter manusia apabila itu telah terbentuk atau telah menjadi budaya. Adanya paralelitas antara faktor ekonomi, sosial, budaya dan hukum membuat kita harus sadar bahwa peristiwa antara desa Imandi dan Tambun itu, tidak terjadi begitu saja. Menurut Frans Magnis Suseno, apabila dalam suatu masyarakat intensitas kekerasan bertambah, berarti masyarakat itu sedang sakit. Kondisi inilah yang sedang terjadi di bumi Sulawesi Utara lebih khusus Minahasa.
Konfrontasi antar desa, lorong atau kampung ini jika dirunut, mulai marak sejak akhir tahun 1980-an. Di mana saat itu orde baru masih berkuasa dan tambang-tambang emas tradisional perlahan ditemukan lalu menjadi trend. Pada saat terjadi goncangan sosial dan ekonomi di Indonesia, sulawesi utara khususnya Minahasa tetap tegar. Sama sekali tidak terinfeksi oleh sikap kekerasan massa yang ramai terjadi. Di saat masyarakat sulut berdiam diri. Dan mestinya memperoleh apresiasi yang tinggi dari pemerintah, justru beban hidup dan sosial makin berat akibat dijadikannya sulut dalam hal ini Minahasa sebagai lokasi pengungsian konflik Poso, Ambon serta Ternate.
Ada kecemburuan pernah timbul di masyarakat sulut khususnya Minahasa perihal perhatian pemerintah yang lebih istimewa kepada pengungsi (bahkan diberikan tanah segala). Beberapa pengungsi secara herois menceritakan pengalaman saat bertempur kepada masyarakat kita yang perlahan termakan. Akhirnya para remaja yang relatif memiliki hormon asli Minahasa yang masih kuat lambat-laun terjangkit rumor-rumor yang patogenik itu. Hal ini rupanya tidak diperhatikan oleh pemerintah, dalam hal ini pemerintah sulawesi utara.
Indikator bahwa kita mulai terpengaruh dengan budaya luar dan termakan dengan isu-isu (dan konon ada sinyalemen diskema seperti itu oleh pihak tertentu), adalah terbentuknya kelompok pemuda berbau paramiliter seperti Legium Christum (LC), Milisi Waraney dan Brigade Manguni (BM). Terlepas dari keberadaan organisasi itu sebagai antisipasi kewaspadaan kita menghadapi bahaya dari luar. Tapi jelas terbaca bahwa kita mulai frustasi dan tidak percaya lagi pada sistem. Dan budaya kekerasan yang telah mendarah daging lewat waraney dan tonaas secara gradual dan diluar kontrol kembali berkobar. Sehingga bisa dikata bahwa telah terjadi perjodohan yang serasi. Kekerasan yang membudaya di sulawesi utara khususnya Minahasa bangkit kembali oleh akumulasi rasa kecewa, jengkel, kesal, marah, benci, dendam, perasaan tidak diperlakukan adil, dan kesewenang-wenangan.
Peristiwa antara desa Imandi dan Tambun sudah harus dijadikan pijakan bagi kita agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi dikemudian hari. Kita harus sadar bahwa ada api dalam sekam yang sedang bersemayam ditengah-tengah masyarakat kita. Dalam skala besar, kerusuhan massal di Jakarta pada tahun 1998 adalah contoh nyata yang layak dipelajari. Bahwa kekecewaan sosial tidak boleh dipelihara dan terakumulasi apalagi dibiarkan begitu saja. Dan ini merupakan tanggung jawab semua komponen dan elemen masyarakat sulut karena kita semua kelak yang rugi. Dalam pandangan saya, gejala politik, ekonomi, sosial maupun budaya di sulut saat ini telah mengarah kepada The New Orde Baru. Jarak interaksi sosial makin jauh, dan itu buruk. Terbukti dengan mulai banyaknya masyarakat dari kelas mampu mulai membangun pagar rumah yang tinggi-tinggi.
Disinilah peran lembaga adat Minahasa untuk pro-aktif mengantisipasinya, dan tidak semata untuk gagah-gagahan apalagi terbalut interes politik. Ini masalah budaya dan orientasi sosial yang perannya sangat krusial. Ketika saya hadir dalam Kongres Adat Minahasa di penghujung tahun 2003 lalu, belum sama sekali terlihat bahwa konflik seperti ini menjadi poin serius yang harus dibahas. Kembali kita hanya memangkas pucuk-pucuknya saja.
Pemerintah dan legislatif juga harus jujur dan lebih serius menyikapinya. Jangan cuma sibuk urus po’ot dan partai. Ekonomi mesti menjadi perhatian utama, berbagai ketimpangan sosial yang terjadi akibat gesekan, pola pikir dan kepentingan, seyogianya diatasi dengan tetap mengedepankan dan menyesuaikan dengan budaya dan karakter masyarakat kita. Tokoh agama dituntut tidak sekedar hadir pada acara seremonial tapi turun dan berbaur dengan masyarakat melalui program yang jelas. Tidak cuma berkoar-koar tentang makna kasih tapi hasilnya nol besar. Perangkat hukum diminta lebih tegas dalam menegakan supremasi hukum.
Tidak hanya saya, tapi seluruh masyarakat sulawesi utara tentunya mengharapkan damai yang tercipta di bumi nyiur melambai adalah damai yang hakiki. Kita merindukan keluar rumah dengan aman dan tenang. Tapi kenyataannya, di segala bilik kehidupan, bahaya mulai mengintai di mana-mana. Apakah kita mau hidup seperti itu? Saya juga tidak. Marilah kita semua merenung dan sadar, apalah artinya kekuasaan tanpa ketenangan, apalah artinya popularitas tanpa kedamaian, apalah artinya kekayaan jika kita dincar dimana-mana. Semoga damai yang sesungguhnya benar-benar tercipta di bumi nyiur melambai yang aku kasihi ini.
http://billykalalo.blogspot.com/2011...asan-oleh.html
TNI dan Polri harus waspada dengan ormas seperti ini
Diubah oleh panastakedan. 20-07-2015 13:01
0
13.2K
43
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
678.4KThread•47.5KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya