http://www.cnnindonesia.com/hiburan/...a-sastra-kini/
Jakarta, CNN Indonesia -- Entah bagaimana kesan masyarakat Betawi saat menonton sinetron-sinetron di televisi. Sebagian besar mungkin suka karena beberapa cerita mengisahkan masyarakat kampung dengan latar kental Betawi. Namun bagi yang kritis seperti JJ Rizal, mungkin mereka akan heran.
"Di televisi ide cerita semua tentang Betawi, tapi ngaco. Saya sebagai orang Betawi, lihat sinetron atau film tentang Betawi bertanya, 'Ini Betawi dari planet mana?'" ujar Rizal saat ditemui CNN Indonesia di kawasan Palmerah, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, penggambaran karakter Betawi di televisi telah keliru. Bahkan, ia berani menyebut ada pembunuhan karakter terhadap masyarakat Betawi dalam dunia sastra kita.
Karakter orang Betawi, katanya, hampir selalu ditampilkan seperti tidak berotak. "Kayak FBR, Haji Lulung, itu yang dibahas. Ditampilkannya selalu berkelahi. Representasinya tukang pukul, tukang kepruk, enggak pakai otak. Kalaupun ngomong juga enggak pakai otak, semaunya saja. Itu stereotip," ucap Rizal.
Menurut Rizal, penggambaran miring terhadap Betawi sudah terjadi sejak 1970-an. Kemunculan film-film laga seperti Si Pitung dan Jampang menurutnya adalah representasi ahistoris dari kebudayaan Betawi. Stereotip itu terus dihidupkan di media, film, sinetron.
"Tanpa tahu sejarahnya yang disebut jago Betawi itu kayak apa. Itu jadi diwarisi oleh FBR, FORKABI. Mereka merasa punya kuasa untuk menentukan," ujar Rizal. Seharusnya, ia melanjutkan, jika memakai nama Betawi, harus ada tanggung jawab sosiokultural terhadap Betawi. Tetapi yang ada justru "penghinaan."
Sebenarnya, ia mengatakan, jagoan ala Betawi tak harus pintar berkelahi atau ke mana-mana membawa golok bak Si Pitung. "Orang yang jagoan itu seperti wali. Untuk dapat itu harus puasa, bisa menulis Arab, dan sebagainya," ujar Rizal pada kesempatan yang lain.
Ironisnya, ia tidak melihat adanya institusi kebudayaan Betawi seperti Lembaga Kebudayaan Betawi atau Badan Musyawarah Masyarakat Betawi bertindak atas adanya pembunuhan karakter itu. Ia pun hanya bisa menganggap fenomena itu sebagai proses pembelajaran berbudaya.