Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

sarasswatiAvatar border
TS
sarasswati
Saat Media Bisa Membunuh!
Hari 29 mei 2015 lalu, kebetulan saya sedang mendapatkan tugas kelompok mata kuliah Teori Komunikasi. Kebetulan saya mendapat materi judul, “Peranan Media terhadap opini publik”. Kelompok kami ada 4 orang, Andi, Jaka, Barep dan saya Sindy. Awalnya kami tidak memiliki bahan bahasan untuk menjadi materi tugas saya dan teman-teman, walaupun banyak referensi tapi kami ingin sekali mendapatkan pengaruh yang paling mengena untuk pembahasan materi, agar nilai kami bagus tentunya.

Lalu saya dan rekan-rekan dalam kelompok temu janji di perpustakaan Nyi Ageng Serang, kuningan. saya menemukan artikel di penyimpanan koran-koran lama yang menarik, lain halnya teman saya yang sedang sibuk membahas masalah pengaruh media saat ini tentang pemberitaan BBM naik dan Pekerja seks kalangan artis. Akan tetapi kami terus berargumen tentang yang mana yang harus kami angkat dalam bahasan materi nanti, diantara kami mengusulkan pembahasan pengaruh media tentang Pilpres 2014 lalu dan yang lain ingin mengusung topik seputar artis.

Tapi saya memiliki pendapat berbeda, saya ingin pengaruh media dapat membuat sebuah badan hukum mengikuti kemauan arah pemberitaan media. Saskia teman kampus jurusan PR, pernah mengusut masalah hukum yang terjadi tahun lalu dan sempat geger di media dan dunia pendidikan, yaitu JIS (Jakarta Intercultural School). Banyak media referensi yang bisa didapat melalui internet maupun koran-koran yang terbit pada tahun 2014 maret lalu. Setelah itu saya mengusulkan materi kasus JIS ini dapat kita angkat untuk tugas kelompok dalam bahasan “Peranan media terhadap opini Publik.” Teman-teman yang lainnya setuju, karena mereka pikir semua informasi kasus tersebut pada awalnya sangat yakin dan menghakimi bahwa para tersangka JIS tersebut melakukan asusila atau kekerasan seksual pada anak. Akan tetapi setelah vonis dijatuhkan semua media sosial, media massa dan televisi memberitakan keraguan dan kejanggalan atas kasus JIS tersebut.

Kami menelusuri semua awal berita ini dibangun, dari awal laporan sampai jatuhnya vonis kepada 6 petugas kebersihan dari PT ISS, namun dalam kasus JIS ini ada dua guru yang dituduh melakukan kekerasan pada anak yang marak waktu itu menyebut-nyebut Pedofil pada dua guru JIS tersebut.

Saya pribadi beropini seperti ini, memangnya berapa orang sih sebenarnya yang melakukan tindak kekerasan seksual anak yang dituduhkan, saya rasa tidak mungkin memilki 8 orang melakukan hal tersebut pada anak kecil, terlebih dilakukan di lingkungan sekolah JIS yang notabene sekolah yang memiliki keamanan yang luar biasa. Tak hanya itu, saya juga tidak habis pikir kenapa orangtua korban tidak menyadari hal ini selama 2 minggu lamanya, padahal jika kita bicara kasar masalah ini, jika anak tersebut mendapat kekerasan seksual (sodomi) oleh lebih dari 5 orang secara bergantian, maka harusnya anak tersebut sudah dirawat di rumah sakit dengan kondisi kritis atau mungkin lebih parah dari itu.

Andi yang terlihat semangat mengumpulkan artikel tentang kasus-kasus sodomi yang telah terjadi di Indonesia sebelumnya itu, selalu di indikasikan satu orang pelaku tidak lebih dari itu dan kondisi dari anak tersebut sempat dirawat. Umumnya kalau kita berpikir logika, jika memang itu terjadi di JIS kenapa ya pelaku bisa 8 orang dewasa dan saya lebih kaget lagi salah satunya adalah wanita.

Saya sebagai wanita merasa apakah benar dia bisa melakukan sekeji itu? Kalaupun dia seorang yang membantu pelaku untuk melakukan kekerasan itu, apakah mungkin dari semua pelaku pria itu Pedofil? Sedangkan latar belakang mereka ada yang sudah menikah dan sedang memiliki anak, lain dengan tersangka wanita yang bernama Afrischa yang sedang merencanakan pernikahan apakah tega dia melakukan pada anak itu, yang mungkin nanti dia akan menjadi seorang Ibu dari anak? Pertanyaan ini selalu berputar di kepalaku, sampai akhirnya saya mendalami kasus tersebut dengan mengumpulkan artikel dan berusaha melihat kronologis yang bisa menggambarkan apa sih yang terjadi saat itu sebenarnya.

Namun sayang, saat saya membaca beberapa artikel seputar JIS, salah satu tersangka dinyatakan tewas bunuh diri di kantor Polda Metro. Kenapa hal ini bisa terjadi? Dalam penyidikan seharusnya tersangka benar-benar dijaga dan diamankan sampai persidangan berlangsung. Pro dan kontra seperti biasa bertaburan di media sosial, seperti mensyukuri bahwa dia telah mati sekaligus memaki ada juga Iba dan heran atas kematian tidak wajar salah satu tersangka pelaku JIS itu.

Awal media saat itu menyudutkan sekolah ternama itu, tapi kenapa mereka para Jurnalis tidak memiliki pikiran rasional dan logika saat mereka tahu bahwa mereka mendapatkan 8 tersangka yang melakukan kekerasan pada satu anak saja? Disini terbukti bahwa media juga bisa berakibat bahaya jika tidak ada pengontrolan yang baik dari pemerintah. Filter untuk membuat berita seharusnya objektif dan sesuai fakta yang ada, namun sekarang mereka para media massa tidak turut campur kembali untuk memulihkan nama-nama tersangka nanti jika mereka terbukti tidak bersalah, karena mereka tahu bahwa argument untuk membalikkan nama baik setelah mereka mendapat kasus seperti ini tidaklah mudah dan mungkin secara psikologis mereka akan mendapatkan tekanan dan kesulitan untuk bersosial kembali seperti normal di seputar kampung halaman mereka ataupun di wilayah rumah mereka sendiri.

Inilah bukti bahwa media bisa mempengaruhi opini masyarakat akan sesuatu hal, terlebih soal hukum dan beberapa lainnya, itu tercermin juga saat Pilpres 2014. Saya membuat tulisan ini hanya ingin menumpahkan pikiran-pikiran kalut ini tentang saat-saat saya sedang mengerjakan tugas kuliah, bahwa ternyata Media juga bisa membunuh.

0
3K
30
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.4KThread84.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.