Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

RedkeqAvatar border
TS
Redkeq
Tulisan Menarik Tentang Sepak Bola Indonesia Oleh Yudie Oktav


Chief Editor Sportsatu, pernah meliput World Cup 2002, Euro 2004, Community Shield 2005, final Champions League 2006 dan 2007, final FA Cup 2007, Confederations Cup 2010, dan berbagai pertandingan liga-liga di Eropa.
Facebook
Twitter
Instagram
Tantangan Untuk Menpora dan PSSI
17:52 PM by Yudie Oktav
78
SHARES

Suatu sore pada Maret 2011 ditemani kopi panas di sebuah sudut kota Dili, Timor Leste, Francisco Kalbuadi Lay bercerita betapa kaget dirinya bersama rombongan yang diutus Asosiasi Sepak Bola Asia (AFC) mewakili FIFA, disambut pernyataan keras oleh perwakilan keluarga Kerajaan Brunei Darussalam. Presiden Asosiasi Sepak Bola Timor Leste yang pernah aktif di organisasi Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) semasa Timor Leste masih tergabung dengan Republik Indonesia itu datang ke Brunei bersama rombongan dari AFC untuk melakukan pembicaraan dengan pihak Brunei menyangkut hukuman yang dijatuhkan FIFA kepada Football Association of Brunei Darussalam (FABD).

“This is my country! FABD harus tunduk pada hukum negara ini.” Suara lantang dengan nada keras dari pihak kerajaan Brunei itu mengagetkan utusan AFC hingga pembicaraan tak menemui hasil memuaskan dan ujungnya Brunei tetap dihukum oleh FIFA.

Kisah itu mirip dengan sikap keras Menteri Pemuda Olahraga Republik Indonesia, Imam Nahrawi, dalam pembekuan PSSI. Kebetulan perjalanan jatuhnya sanksi dari FIFA kepada Indonesia mirip dengan FABD yang juga diawali dengan sanksi organisasi oleh pemerintah Brunei. FABD dibekukan pada November 2008 oleh pemerintah melalui Registrar of Societies (RoS) Brunei yakni badan hukum yang mensahkan lembaga atau organisasi di Brunei karena gagal memberikan laporan keuangan tahunan pada 2008 yang ujungnya membuat RoS mencoret FABD.

Pada Desember 2008, beberapa kalangan yang didukung oleh Kementerian Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Brunei, membentuk Football Federation of Brunei Darussalam (FFBD). Tugas FFBD mirip Tim Transisi bentukan Imam Nahrawi di Indonesia yakni mengambil alih fungsi FABD. Sebulan kemudian FFBD bahkan diajukan ke AFC dan FIFA untuk menggantikan FABD. FIFA tidak merespon pendaftaran FFBD karena tetap mengakui FABD. FIFA melalui AFC sempat mengirimkan utusan untuk membantu penyelesaian, tetapi tidak ada titik terang sehingga FIFA menjatuhkan sanksi pada saat sidang Komite Eksekutif FIFA di Rio de Janeiro, Brasil, 29 September 2009, dengan penegasan bahwa pemerintah Brunei telah melakukan intervensi kepada FABD.

FIFA kemudian membentuk Komite Normalisasi, seperti ketika sepak bola Indonesia mengalami dualisme. Komite Normalisasi sepak bola Brunei ini diketuai oleh Sufri Bolkiah, salah satu adik dari Sultan Hassanal Bolkiah, yang juga Presiden Brunei Darussalam National Olympic Council (BNOC). Dalam perjalanannya, demi memperbaiki sepak bola Brunei, Komite Normalisasi bersama FABD sepakat mengganti nama organisasi dari FABD menjadi National Football Association of Brunei Darussalam (NFABD) dan dipimpin oleh Abdul Rahman Hj. Mohidin. Tidak ada pendirian organisasi baru karena menyangkut administrasi, data pendirian, anggota, dll. tetap memakai organisasi sebelumnya yang didirikan pada 1956 dan sudah terdaftar di FIFA sejak 1972.

Perubahan nama federasi sepak bola Brunei ini bukan yang pertama kali karena sebelumnya juga pernah beberapa kali berganti. Organisasi sepak bola Brunei didirikan pada 1952 memakai nama Brunei State Amateur Football Association (BSAFA) yang kemudian berubah dengan membuang kata State menjadi Brunei Amateur Football Association (BAFA) pada 1969 dan pada 1993 kata Amateur dihilangkan dan sejak itu BAFA memakai nama Football Association of Brunei Darussalam (FABD).

Proses yang dijalankan Komite Normalisasi di sepak bola Brunei atas supervisi FIFA akhirnya mendorong FIFA mencabut sanksi pada 30 Mei 2011. Selanjutnya melalui Kongres Luar Biasa pada Maret 2013, Sufri Bolkiah terpilih menjadi presiden NFABD menggantikan Abdul Rahman Hj. Mohidin. Catatannya tidak ada pembentukan organisasi baru dan ketika pihak pemerintah ingin menguasai organisasi tetap melalui proses kongres.

Beralih ke kasus sepak bola di tanah air, Menpora Imam Nahrawi membekukan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) melalui surat keputusan (SK) Nomor 01307 tahun 2015 tentang sanksi administratif terhadap PSSI setelah melewati berbagai perselisihan khususnya menyangkut peserta Liga Super Indonesia. SK tersebut memicu Komite Eksekutif FIFA menjatuhkan sanksi kepada Indonesia pada 30 Mei 2015.

Sanksi tersebut memuat konsekuensi yang merugikan sepak bola Indonesia yakni tim Indonesia baik itu tim nasional maupun klub dilarang melakukan kontak internasional termasuk berpartisipasi dalam seluruh kompetisi di bawah FIFA dan AFC termasuk dicabut dari jadwal keikusertaan dalam kualifikasi Piala Dunia 2018 dan Piala Asia 2019, Piala Asia U-19, Piala Asia U-16, dll.

Hukuman juga mencabut hak dan keuntungan untuk PSSI dari FIFA atau AFC dalam program pengembangan, kursus, dan pelatihan selama masa hukuman. Hanya saja Komite Eksekutif FIFA masih mengizinkan timnas Indonesia untuk berpartisipasi pada SEA Games 2015. Keputusan Komite Eksekutif FIFA sangat tegas dan sanksi akan dicabut dengan 4 syarat yakni Komite Eksekutif PSSI yang terpiih kembali menangani PSSI secara independen tanpa campur tangan pihak ketiga, termasuk menteri (atau agensinya), pengelolaan tim nasional dikembalikan kepada PSSI, tanggung jawab semua kompetisi PSSI dikembalikan kepada otoritas PSSI, serta semua klub berlisensi PSSI berkompetisi di bawah kompetisi PSSI.

Ada yang bersorak, tapi banyak yang menyayangkan sanksi tersebut jatuh karena dampaknya sangat besar bagi sepak bola kita. Sebagian besar masyarakat Indonesia pun pasti kian muak pada kondisi sepak bola nasional yang lebih banyak kisruhnya dibanding prestasinya. Kisruh sepak bola nasional dalam satu dekade terakhir dipicu oleh pengelolaan sepak bola oleh PSSI yang semrawut khususnya sejak era Nurdin Halid memimpin PSSI pada 2004 hingga 2011.

Politisi Golkar itu bahkan bisa tetap memimpin PSSI meski dipenjara akibat kasus korupsi dalam distribusi minyak goreng. Statuta PSSI pun bisa dipelintir untuk terus memuluskan jalan berkuasa hingga ujungnya memunculkan dualisme liga yakni Indonesia Super League dan Indonesia Premier League yang didukung oleh pengusaha Arifin Panigoro, dua federasi yakni PSSI dan Komite Penyelamat Sepakbola Seluruh Indonesia (KPSI), bahkan hingga ada dua tim nasional!

Dualisme sepak bola nasional yang menguras banyak energi para pelaku dan pecinta sepak bola baru berakhir pada 2013 setelah FIFA memberi banyak tekanan dan AFC turut memfasilitasi terjadinya rekonsiliasi dengan mendorong unifikasi liga, revisi statuta, pengangkatan kembali empat angota Komite Eksekutif PSSI yang dipecat, serta menggelar kongres dengan mengunakan voters yang diakui oleh FIFA di Solo pada 9 Juli 2011.

Federasi, kompetisi, dan tim nasional akhirnya kembali menjadi satu setelah PSSI melakukan Kongres Luar Biasa pada Maret 2013. Tak ada sanksi dari FIFA dan harapan perbaikan sepak bola nasional sempat mencuat tinggi. Namun, pada kenyataannya pengelolaan sepak bola tetap mengecewakan. Klub-klub peserta kompetisi banyak yang menunggak gaji pemain. Teriakan pemain yang menuntut haknya seperti angin lalu. Pengaturan hasil dianggap banyak terjadi terutama di kompetisi level bawah dan mungkin ini salah satu yang dimaksud mafia oleh Menpora, meski sepertinya belum serius untuk membasminya karena hanya menduga tapi tidak mengungkapnya.

Rusuh suporter yang kerap memakan banyak korban menjadi tradisi kompetisi dan hari pertandingan seperti neraka di kota penyelanggara terutama saat dua klub besar bertanding. Yang satu ini memang bukan tanggung jawab PSSI semata, terjadi juga di banyak negara dan tidak mungkin PSSI mengontrol gerombolan suporter di berbagai pertandingan, tetapi organisasi penguasa sepak bola nasional itu berada paling depan untuk menekan suporter melalui klub seperti yang dilakukan oleh banyak federasi. Klub pada kenyatannya tidak bisa lepas tangan dan tetap memilki konsekuensi dari aksi-aksi suporter.

Salah satu contoh terdekat adalah kasus di pertandingan dua klub Argentina dengan suporter paling bermusuhan di dunia, Boca Juniors dan River Plate, yang terjadi di babak 16 besar Copa Libertadores. Saat Boca Juniors menjadi tuan rumah pada 14 Mei 2015, suporter Boca diyakini menyemprotkan merica ke muka pemain River Plate saat memasuki lapangan setelah istirahat babak pertama, yang membuat mata para pemain River Plate keperihan hingga pertandingan tidak dilanjutkan.

Tak ada ampun, Federasi Sepak Bola Amerika Selatan, CONMEBOL, mengeluarkan Boca Juniors dari kompetisi, tidak boleh didukung suporter pada empat laga tandang di kompetisi selanjutnya, serta menjatuhkan denda 2,5 miliar rupiah. Hukum berat klubnya saat suporternya membuat ulah. Itu yang harus dilakukan federasi, sementara PSSI sering kali hanya memberikan hukuman ringan atau bahkan tidak menjatuhkan hukuman kepada klub yang suporternya membuat rusuh.

Transparansi keuangan dan pengelolaan tim nasional oleh PSSI banyak menjadi sorotan. PSSI seperti bergelimang uang yang didapat dari sponsor, hak siar kompetisi dan hak siar tim nasional, subsidi dari FIFA dan mungkin juga pemerintah, tetapi entah bagaimana uangnya menguap. Berapa sebetulnya pendapatan dari hak siar kompetisi dan tim nasional termasuk saat ‘memeras’ tenaga timnas U-19 menjelang Piala Asia U-19 pada 2014? PSSI seperti tidak sedang mempersiapkan timnas U-19 untuk meraih prestasi, tetapi menjadikan lumbung pendapatan dengan mengeruk uang dari hak siar timnas U-19.

PSSI bersama salah satu tv swasta membuat Tur Nusantara 1, Tur Nusantara II, Tur Timur Tengah, dan Tur Eropa dengan pertandingan yang sangat padat untuk timnas U-19 sehingga peak performance tidak muncul di kejuaraan sesungguhnya. Tim pemenang Piala AFF U-19 itu awalnya dipandang bisa berbuat banyak di Piala Asia U-19 di Myanmar, tetapi malah hancur lebur, tersingkir dengan menyakitkan, pulang dengan sama sekali tidak mendapatkan poin. Permainan Evan Dimas dkk. antiklimaks dan diyakini mengalami kelelahan akibat persiapan yang terlalu padat. PSSI menyatakan akan bertanggung jawab, tapi apa bentuk tanggung jawabnya? Adakah pengurus PSSI yang mundur dari kegagalan tersebut? Tidak ada! Yang ada malah pelatih Indra Sjafri yang sudah lebih dari dua tahun membentuk tim ini yang justru dipecat. Lantas berapa uang yang dihasilkan dari Tur Nusantara dan kemana mengalirnya?

***

Sepak bola Indonesia banyak ditangani oleh orang-orang yang tidak tepat termasuk terlalu banyak politisi yang terlibat karena sepak bola yang digandrungi oleh sebagian besar rakyat kita memang selalu seksi untuk menjadi alat bagi para politisi untuk mendapatkan simpati dan keuntungan politik baik di daerah maupun di skala nasional. Apakah para politisi dan pemerintah memberi banyak perhatian kepada cabang angkat besi, dayung, atau panahan misalnya? Padahal cabang-cabang itu yang kerap memberi kebanggaan di multi-event termasuk di Olimpiade.

PSSI pun selalu dikuasai politisi, bahkan Nurdin Halid sempat terang-terangan ’menjual kecap’ dengan menyebut kesuksesan tim nasional merupakan jasa dari partai politiknya. Para politisi yang terlibat di sepak bola kita lebih condong hanya menjadi beban, mungkin karena pada dasarnya mereka lebih suka berbicara, adu argumen, dan berkonflik karena itu bisa membuat mereka lebih dikenal dibanding prestasi dan para pemainnya. Siapa yang tahu para pengurus PSSI dan apa prestasinya sebelum mereka terlibat di PSSI? Siapa pula yang memberi perhatian kepada Menpora sebelum terlibat kisruh soal PSSI?

PSSI itu bobrok, tetapi apa yang dilakukan oleh Menpora tidak bisa dikatakan benar. Keputusan Menpora untuk menghukum PSSI dengan tidak mempertimbangkan keputusan FIFA merupakan tindakan kebabalasan. Banyak pemain dan pelaku sepak bola yang kecewa pada sikap Menpora tersebut. Banyak argumen berseliweran bahkan melenceng tiba-tiba hingga ke soal harkat bangsa, tidak boleh tunduk pada pihak lain, FIFA sendiri bobrok sedang bermasalah, mafia di PSSI, dan berbagai masukan kepada Menpora pun tidak dipedulikan. KONI dan KOI, tokoh-tokoh sepak bola, DPR, hingga wakil presiden tidak digubris, Imam Nahrawi tetap kukuh pada pendiriannya dan merasa menang langkah karena mendapat dukungan dari Presiden Joko Widodo. Menpora tetap menugaskan Tim Transisi untuk mengambil alih peran PSSI .

Saya bersama beberapa teman sempat bertemu Imam Nahrawi di rumah dinas Menpora beberapa pekan sebelum ia membekukan PSSI. Dari pertemuan tersebut saya melihat bahwa politisi dari PKB itu memang punya perhatian khusus dan bahkan ingin membuat gebrakan untuk sepak bola nasional. Ia pun berangan-angan lebih memasalkan sepak bola seperti turnamen sepak bola antar desa. Patut diapresiasi keinginan Menpora untuk membuat keriaan sepak bola tersebut, tetapi sayang, langkah yang diambil Imam Nahrawi ternyata tidak tepat. Ia mengorbankan dan menyakiti banyak orang yang benar-benar terlibat dan menggantungkan hidup di sepak bola khususnya para pemain, pegawai klub, berbagai pedagang di seputar stadion yang banyak tergantung pada pertandingan, dll.

Membekukan PSSI itu konyol, dan faktanya FIFA langsung menghukum Indonesia. Persipura yang tengah berkompetisi di Piala AFC pun langsung menjadi korban, dicabut keikutsertaannya oleh AFC. “Negara-negara lain kami kalahkan, tapi kami dikalahkan negara kami sendiri.” Sebuah Meme satir yang dimuat di social media klub Persipura menjadi contoh kekecewaan yang mendalam atas sikap Menpora. Tentu bukan hanya Persipura yang kecewa, karena hampir semua klub merugi dan terpaksa membubarkan tim akibat kompetisi yang tidak berjalan.

Sebelum jatuh sanksi, sebetulnya ada kesempatan bagi pemerintah untuk masuk menguasai PSSI saat Joko Driyono menjadi salah satu calon ketua PSSI. Jodri merupakan otak PT Liga, operator ISL karena ia memang yang paling menguasai teknis penyelenggaraan liga. Jokdri lebih mudah diajak berdikskusi untuk memajukan sepak bola karena ia memang orang profesional, bukan orang politik. Jokdri pun bisa lebih ‘nyambung’ dengan pihak Kemenpora dan Menpora pun kabarnya mendukung Jokdri untuk menjadi ketua PSSI.

Jika Jokdri menjadi ketua PSSI, pemerintah akan lebih mudah berkomunikasi dan bergandengan dalam perbaikan sepak bola. Akan tetapi ketika tiba waktunya menjelang Kongres Luar Biasa PSSI di Surabaya pada April lalu, tidak ada dukungan nyata dari Menpora. Jokdri dilepas sendiri di Surabaya, bahkan konon Jokdri sempat pulang balik ke Jakarta di sela-sela KLB hanya untuk memastikan dukungan dari pemerintah. Namun, dukungan tidak jelas sehingga Jokdri yang disebut-sebut mendapat tekanan menyetujui untuk mundur dari pencalonan ketua PSSI. Dan ketika La Nyalla Mattalitti yang terpilih menjadi ketua PSSI, Menpora langsung mengeluarkan sanksi administratif kepada PSSI yang kemudian disambut sanksi dari FIFA.

Entah apa yang sebetulnya di benak Menpora. Benarkah bertindak murni demi sepak bola? Menghentikan roda sepak bola yang kemudian membuat klub-klub terpaksa bubar, pemain kehilangan pekerjaan, dan anak-anak muda yang ingin menjadi pemain sepak bola kehilangan harapan, merupakan tindakan yang sulit dipahami. Tim Transisi bentukannya yang ditugaksan mengambil alih peran PSSI pun dikuasai para politisi dan orang-orang yang tidak berpengalaman di dunia sepak bola meski memang itu memang bukan tolak ukur utama, tetapi setidaknya tidak mempercepat proses, kenyatannya mereka tidak dianggap oleh FIFA. Padahal orang-orang yang terlibat di sepak bola bersama keluarganya membutuhkan kejelasan segera demi kelangsungan hidup mereka.

Tim Transisi memang merencanakan berbagai turnamen termasuk Piala Presiden, Piala Kemerdekaan, Piala Panglima TNI, dll. Banyak pertanyaan sederhana yang mencuat menyangkut berbagai turnamen tersebut. Siapa klub pesertanya? Siapa perangkat pertandingannya? Apakah BOPI akan melakukan verifikasi dengan standar seperti ke ISL yang justru membuat kisruh hingga sejauh ini? Sejujurnya saya tidak yakin BOPI akan melakukan hal itu karena mungkin bukan klub profesional yang akan mengikutinya. Bagaimana pula jenjang prestastinya? Apa jaminannya bagi klub profesional yang mengikuti tidak akan dihukum PSSI dan FIFA karena mengikuti kompetisi di luar sistem turunan FIFA?

Setelah situasi jauh seperti sekarang, lantas apa yang semestinya dilakukan? Suka tidak suka Menpora harus bertemu PSSI jika memang ingin memperbaiki sepak bola nasional. Jika tidak, masalah tidak akan selesai dan selama itu sanksi dari FIFA tidak akan dicabut yang artinya jenjang kompetisi juga tidak akan jelas. Buat perjanjian dengan pengurus PSSI agar PSSI berani memperbaiki diri terutama dalam pengelolaan kompetisi dan pembinaan, lebih transparan dalam pengelolaan keuangan, dan buat target prestasi yang terukur. Jika gagal, pengurus PSSI yang berkuasa berani mundur dan perjanjian tetap berlaku meski Menpora-nya berganti. Sebaliknya Menpora juga harus membuat program dukungan yang lebih jelas terutama dalam kebijakan dan penyediaan infrastruktur. Jangan hanya menuntut prestasi tetapi tidak memberikan dukungan infrastruktur. Berani tidak Menpora dan PSSI?

Jika tidak berani, berarti kalian sebetulnya bertindak tidak murni demi sepak bola dan mungkin benar apa yang dikatakan Wakil Ketua Komisi X DPR RI Ridwan Hisyam dalam sebuah diskusi bahwa kisruh PSSI dan Menpora ini merupakan buntut dari permasalah pribadi antara Imam Nahrawi dan La Nyalla Mattalitti. Menurutnya ada masalah di masa lalu yang tidak clear pada mereka berdua saat Imam Nahrawi menjadi ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan La Nyalla sebagai ketua Pemuda Pancasila. Jika ini alasannya, terlalu naif dan picik jika kebijakan nasional yang mempertaruhkan banyak orang dilandasi oleh urusan pribadi

http://www.sportsatu.com/kolomnis/tantangan-untuk-menpora-dan-pssi-126.html

Semoga ini menjadi renungan.

F*ck La Nyalla

0
4K
34
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672KThread41.7KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.