Oke, langsung aja, mari kita lihat perkembangan per-poligami-an di negeri kita.



Sebenernya poligami bukan hal baru di negeri kita, bahkan di seluruh dunia. Poligami secara singkat bisa diartikan seorang suami yang memiliki istri sah lebih dari satu. Alasannya bermacam-macam, mulai dari yg berpoligami karena ingin mengangkat derajat janda2 yg gak keurus, sampe yg berpoligami karena urusan syahwat.

Dulu, bahkan di jaman sebelum orde baru sampe jaman orde baru, poligami bukanlah hal yg menjadi bahan lelucon seperti sekarang ini. Mungkin karena banyak petinggi dan orang penting di negeri ini berpoligami, ane juga gak tau. Ditambah peran media yg bisa dibilang minim saat itu membuat masyarakat luas acuh dengan isu poligami.

Katika orde baru runtuh, para ustad dan mubaligh berjuang "mendinginkan" kondisi negeri ini dengan dakwah. Mereka memanfaatkan peran media untuk menyebarkan syiar Islam untuk membangun kembali bangsa ini. Tapi ibarat pagar makan tanaman, di satu sisi para media justru mengekspose kehidupan pribadi para pendakwah. Dan di situlah awal mula poligami mulai diperbincangkan.

Para pemuka agama yg seharusnya menjadi contoh dalam kehidupan sehari-hari, seolah tercoreng karena ada sebagian dari mereka "menduakan hati" istrinya. Meski mereka menikah secara sah secara agama, tetap saja, poligami dianggap merendahkan martabat kaum hawa. Yang lebih miris lagi, semakin banyak kasus poligami dibuka, justru sebagian besar pelakunya adalah orang2 yg latar belakang agamanya bagus. Dari situlah, citra ustad dan Kyai dianggap sebagai orang yg bermuka dua bagi kalangan yg bertentangan.

Lanjut ke masalah pramuriaan atau bahasa inteleknya prostitusi



Gak jauh beda dari poligami, prostitusi juga sudah terjadi bahkan sejak jaman penjajahan. Prostitusi, disini ane pake kata pramuriaan aja ye, adalah tindakan dimana seorang wanita menjajakan tubuh mereka ke para lelaki (atau sebaliknya) guna mendapatkan imbalan yg udah disepakati. Tanpa ikatan dan komitmen, transaksi "daging" itu pun seolah udah sah untuk dilakukan.

Di jaman sebelum orde baru sampai jaman orde baru, pramuriaan dianggap sebagai tindakan yg dipandang negatif, bahkan menjadi salah satu penyakit di masyarakat. karena itu, para pramuria sering main kucing2an dengan aparat masyarakat, dan pelakunya biasanya mendapat sanksi sosial di lingkungan masyarakat.

Di era setelah orde baru, dimana kebebasan seolah diberikan ke seluruh lapisan masyarakat, emansipasi wanita menjadi salah satu wujud kebebasan bagi kaum wanita untuk menentukan jalan hidupnya. Dengan berlandaskan semangat RA Kartini, para aktivis wanita berbondong-bondong muncul di permukaan seolah menunjukkan bahwa mereka pantas disejajarkan dengan kaum pria. Hal itu pun seolah memberikan "antibodi" bagi para pramuria untuk menunjukkan eksistensi mereka bahwa pramuriaan adalah jalan hidup yg mereka pilih.

Jika dulu pramuria dipandang sinis di masyarakat, justru sekarang mereka berani "angkat dagu" di masyarakat. Bermodal materi berlimpah yg didapat dari hasil melacur, mereka seolah membeli kehormatan mereka di masyarakat.

Wacana terbaru soal pramuriaan yg menuai kontroversi adalah dari Ahok, Gubernur DKI yg ingin memberikan sertifikat dan apartemen khusus bagi para pramuria. Ahok berdalih bahwa pramuriaan adalah profesi di bidang jasa yg dipilih oleh wanita. Beliau juga berpendapat karena pramuriaan sudah tidak bisa hilangkan, maka jalan satu2nya ya dilokalisasi dan dikoordinir dengan baik. Seolah gak peduli dengan norma agama dan adat, secara gak langsung Ahok membenarkan bahwa bentuk zinah melalui pramuriaan bukanlah tindakan melanggar hukum.