- Beranda
- The Lounge
EKSEKUSI MATI JILID 2..DUNIA BERSUJUD & BERSIMPUH MINTA AMPUNAN PADA INDONESIA...
...
TS
rayapcomunity
EKSEKUSI MATI JILID 2..DUNIA BERSUJUD & BERSIMPUH MINTA AMPUNAN PADA INDONESIA...
HARI INI MATA DUNIA TERTUJU PADA INDONESIA ,,KARENA HARI INI 9 TERPIDANA MATI AKAN MEREGANG NYAWA DI DEPAN REGU TEMBAK ,,HARI INI SELURUH KEKUATAN DIPLOMATIK INTERNASIONAL DI KERAHKAN UNTUK MELULUHKAN HATI DAN HUKUM DI INDONESIA ,,HARI INI KITA DI SANJUNG DAN CACI ,,DAN HARI INI KITA MEMANTI PUTARAN WAKTU YANG BERPUTAR TANPA HENTI,,,,DAN HARI INI.......PUKUL 00.00..
Jelang Eksekusi Mati, Amnesty Internasional Kirim Surat Terbuka ke Jokowi
Metrotvnews.com, Jakarta: Kian santernya informasi terkait pelaksanaan eksekusi mati, memunculkan sejumlah dukungan, salah satunya meminta agar 10 terpidana mati yang akan dieksekusi untuk diampuni.Hal itu disampaikan dalam surat terbuka dari 13 Direktur Amnesty International kepada Presiden Joko Widodo. Berdasarkan keterangan pers yang didapat Metrotvnews.com, "Atas nama tujuh juta pendukung Amnesty International di seluruh dunia, kami menulis surat ini untuk mengungkapkan keprihatinan besar kami akan eksekusi mati segera atas 10 terpidana – dari Indonesia, Australia, Brazil, Prancis, Ghana, Nigeria, dan Filipina – semua terkait kasus narkotika," beber surat terbuka itu, Selasa (28/4/2015).Dalam surat terbuka yang ditunjukan ke presiden itu juga menyinggung terkait eksekusi mati, terhadap dua warga negara Indonesia Karni binti Medi Tarsim dan Siti Zainab Binti Duhri Rupa, yang baru-baru ini dihukum mati.Dalam surat terbuka itu disebut, "Kami mendesak Anda untuk memberikan pengampunan kepada para terpidana mati yang menghadapi eksekusi mati dalam waktu dekat," jelasnya.Menurut Amnesty Internasional, hukuman mati yang diberlakukan di Indonesia tidak memberikan efek jera. "Atas nama para pendukung kami yang juga telah mengkampanyekan terpidana mati Indonesia yang menghadapi eksekusi, kami dengan hormat meminta Anda (Presiden Joko Widodo) untuk menghentikan rencana eksekusi mati. Lebih lanjut kami meminta Anda untuk melakukan moratorium terhadap semua eksekusi mati dengan pandangan untuk menghapus hukuman mati," tutup surat tersebut.Diketahui 13 Direktur Amnesty International adalah, Direktur Amnesty International Australia Claire Mallinson, Direktur Amnesty International Brazil Atila Roque, Direktur, Amnesty International Prancis Stephan Oberreit, Direktur Amnesty International India G. Ananthapadmanabhan, Direktur Amnesty International Jepang Hideki Wakabayashi, Direktur Amnesty International Malaysia Shamini Darshini, Direktur Amnesty International Nepal Rameshwar Nepal, Direktur Amnesty International Selendia Baru Grant Bayldon, Direktur Amnesty International Taiwan Bo Tedards, Direktur Amnesty International Thailand Piyanut Kotsan, Direktur Amnesty International Korea Selatan Catherine Hee-Jin Kim, Direktur Amnesty International Mongolia B Altantuya, dan Direktur Amnesty International Filipina Gemma Regina C. Cunanan.
DUNIA
Jelang Eksekusi Mati, Perwakilan RI di Luar Negeri Didemo
Publik berunjuk rasa di depan KBRI di Manila dan KJRI Sydney.
Senin, 27 April 2015 | 13:59 WIBJelang Eksekusi Mati, Perwakilan RI di Luar Negeri Didemo
Dua gembong narkoba Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran (REUTERS/Murdani Usman/Files)
VIVA.co.id - Kejaksaaan Agung RI berencana melakukan eksekusi terhadap 10 terpidana mati kasus narkoba dalam waktu dekat. Beberapa perwakilan RI di luar negeri pun menjadi sasaran protes dan kemarahan publik internasional.
Di Filipina, ratusan orang yang terdiri dari masyakarat umum dan buruh pada Minggu sore kemarin berdemo di depan gedung KBRI di Makati, Filipina. Aksi demo itu dilakukan sebagai bentuk protes dan permohonan terhadap Presiden Joko Widodo agar membatalkan eksekusi mati salah seorang warga Filipina, Mary Jane Felovoso.
Kejagung telah memberikan notifikasi terhadap masing-masing kedutaan negara asal pada Sabtu kemarin. Sementara, menurut aturan, terpidana mati dieksekusi, mereka akan diberikan notifikasi 72 jam sebelumnya. Artinya, kemungkinan besar proses eksekusi akan dilakukan hari Selasa dini hari nanti.Laporan reporter tvOne, Mario Dani, langsung dari depan gedung KBRI Manila menyebut aksi tersebut sudah kali keempat mereka lakukan. "Aksi sebelumnya dilakukan pada tanggal 8 April, 20 April dan 24 April 2015. Bahkan, rencananya massa berniat untuk menginap hingga eksekusi dihentikan yakni tanggal 28 April 2015," papar Mario.
Di depan gedung KBRI, terlihat sudah didirikan beberapa tenda tempat massa untuk beristirahat. Kakak Mary yang sempat diwawancarai tvOne mengaku tidak percaya jika adiknya bersalah. "Sebab, menurut dia adiknya merupakan korban dari dua tindak kejahatan yakni pelecehan seksual dan perdagangan manusia. Dia hanya merupakan korban sindikat narkoba internasional," kata Mario.
Sementara, pengamanan di depan gedung KBRI telah diperketat. Polisi setempat bahkan telah bernegosiasi dengan massa. Namun, mereka enggan beranjak dari depan gedung KBRI
5 Alasan Pemerintah Tak Perlu Gentar Melaksanakan Eksekusi Mati
Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan, Pemerintah RI tidak perlu gentar dan khawatir akan ancaman sejumlah negara terkait pelaksanaan eksekusi mati tahap 2. Ada 10 terpidana mati yang siap diekseksui mati dalam waktu dekat ini."Tekanan dari Perancis, Australia bahkan Sekjen PBB Ban Ki Moon tidak seharusnya mengendurkan kebijakan (Pemerintah RI) untuk merealisasikan putusan hukuman mati," kata Hikmahanto dalam pesan singkatnya kepada Liputan6.com, Senin 27 April 2015.Hikmahanto mengatakan, ada 5 alasan Pemerintah RI harus melaksanakan eksekusi mati. Pertama, Pemerintah RI yang baru saja sukses menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) ke-60, sedang diuji apakah pelaksanaan kedaulatan negara hanya sebatas retorika atau betul-betul direalisasikan.Sebab, kata Hikmahanto, dalam Dasa Sila Bandung--hasil KAA pertama 1955--prinsip non-intervensi terhadap negara-negara di Asia dan Afrika, merupakan prinsip yang masih relevan pada masa kini dan pada saat akan melaksanakan hukuman mati."Sekali pemerintah mundur dari kebijakan ini, maka Indonesia akan menjadi bahan tertawaan. Karena tidak mampu melaksanakan prinsip yang terdapat dalam Dasa Sila," ujar dia.Kedua, kata Hikmahanto, protes pemerintah Perancis dan Australia tidak lebih dari sikap negaranya yang tidak mengenal hukuman mati.Agar pemerintahnya dapat mempertanggungjawabkan mandat yang diberikan rakyatnya, mereka harus menyuarakan protes. Bahkan ancaman pelaksanaan hukuman mati.Menurut Hikmahanto, negara-negara tersebut tentu tidak dapat dicegah bila memprotes kebijakan Pemerintah RI, bahkan mereka dapat memanggil Dubesnya untuk kembali dan berkonsultasi. Namun setelah selesai eksekusi mati, hubungan akan cair kembali dan Dubes akan dikembalikan ke RI."Ini karena tidak akan ada pemerintahan asing yang berani untuk mempertaruhkan hubungan baik dan saling menguntungkan, demi membela warganya yang melakukan suatu kejahatan," ucap Hikmahanto.
Ketiga, lanjut Hikmahanto, suara keras dari pemerintah Perancis, Australia, dan Brazil disebabkan di negara tersebut sedang ada pertarungan politik untuk menduduki kursi kepemimpinan. Sehingga isu hukaman mati di Indonesia menjadi komoditas empuk.
"Sebenarnya hal ini patut disayangkan, mengingat mereka mengorbankan kepentingan Indonesia untuk ambisi politik para politisinya," jelas dia.Keempat, saat ini Indonesia sedang dipojokkan Perancis dan Australia terkait pelaksanaan hukuman mati. Tapi hal itu berbeda dilakukan Australia, di mana akhir Maret lalu Tiongkok melaksanakan hukuman mati atas warga Australia. Namun Australia tidak melakukan tekanan kepada Tiongkok seperti yang dilakukan terhadap Indonesia.Kelima, sambung Hikmahanto, soal pernyataan Sekjen PBB Ban Ki Moon yang membuat pernyataan di luar tugas dan fungsi sebagai Sekjen PBB. Sekjen PBB bukanlah presiden dari negara-negara dunia yang dapat mengeluarkan perintah."Tidak benar Konvenan Internasional Sipil dan Politik hanya membatasi kejahatan serius sebagai kejahatan internasional. Dalam Kovenan tersebut, secara tegas diserahkan kepada masing-masing negara anggota untuk menentukan kejahatan serius," tegas Hikmahanto.
Eksekusi Mati 28 April
Quote:
Selasa, 28/04/2015 09:35 WIB
Ketika Bangsa Indonesia Sepakat Hukum Mati Gembong Narkoba
Andi Saputra - detikNews
Halaman 1 dari 2 Ketika Bangsa Indonesia Sepakat Hukum Mati Gembong Narkoba
9 Terpidana Narkoba DieksekusiJakarta - Tersiar kabar Kejaksaan Agung akan mengeksekusi mati 9 orang terpidana kasus narkoba dalam hitungan jam. Hukuman ini dijatuhkan setelah pengadilan dalam berbagai tingkatan menjatuhkan hukuman mati kepada mereka.
Meski ada sekelompok orang yang menentang hukuman mati ini, tapi Kejaksaan sebagai eksekutor tidak goyah. Apalagi hukuman mati ini didukung oleh seluruh elemen bangsa Indonesia. Berikut rangkuman para pendukung hukuman mati sebagaimana dirangkum detikcom, Selasa (28/4/2015):
1. Kepala Negara Presiden Joko WidodoPresiden Joko Widodo menegaskan hukuman mati sah, apalagi mengingat setiap hari 50 orang meninggal dunia karena narkotika.
2. Mahkamah AgungLembaga peradilan dengan puncak tertinggi Mahkamah Agung (MA) menegaskan para terpidana itu sudah tidak ada hal yang meringankan. Dalam putusan kepada calon tereksekusi itu, para hakim agung berkeyakinan jika terpidana secara sah dan meyakinkan melakukan kejahatan serius yang membahayakan tidak hanya satu orang, tapi memberi dampak bagi bangsa Indonesia.
3. Mahkamah KonstitusiMK juga menegaskan hukuman mati tidak melanggar HAM, sah dan sesuai dengan ideologi bangsa. MK juga pernah mengadili soal hukuman mati yang diajukan oleh Rani Andriani, Andrew Chan dn Myuran Sukumaran. Dalam putusan Rani, MK menyatakan hukuman mati dalam kasus narkoba tidak melanggar nilai-nilai moral. Adapun Andrew dan Myuran, MK tidak menerima permohonan karena keduanya bukan WNI sehingga tidak bisa menggugat ke MK.
4. DPRSuara parlemen Indonesia juga tidak terpecah. Semua setuju jika hukuman mati kepada para gembong narkoba adalah sebuah cara untuk menyelamatkan generasi bangsa."Narkoba di Indonesia sudah pada level sangat berbahaya. Kejahatan narkoba merupakan salah satu kejahatan luar biasa sehingga layak pelakunya dihukum mati," anggota Komisi I DPR bidang Pertahanan, Luar Negeri, Komunikasi dan Informatika, Meutya Viada Hafid
Ketika Bangsa Indonesia Sepakat Hukum Mati Gembong Narkoba
Andi Saputra - detikNews
Halaman 1 dari 2 Ketika Bangsa Indonesia Sepakat Hukum Mati Gembong Narkoba
9 Terpidana Narkoba DieksekusiJakarta - Tersiar kabar Kejaksaan Agung akan mengeksekusi mati 9 orang terpidana kasus narkoba dalam hitungan jam. Hukuman ini dijatuhkan setelah pengadilan dalam berbagai tingkatan menjatuhkan hukuman mati kepada mereka.
Meski ada sekelompok orang yang menentang hukuman mati ini, tapi Kejaksaan sebagai eksekutor tidak goyah. Apalagi hukuman mati ini didukung oleh seluruh elemen bangsa Indonesia. Berikut rangkuman para pendukung hukuman mati sebagaimana dirangkum detikcom, Selasa (28/4/2015):
1. Kepala Negara Presiden Joko WidodoPresiden Joko Widodo menegaskan hukuman mati sah, apalagi mengingat setiap hari 50 orang meninggal dunia karena narkotika.
2. Mahkamah AgungLembaga peradilan dengan puncak tertinggi Mahkamah Agung (MA) menegaskan para terpidana itu sudah tidak ada hal yang meringankan. Dalam putusan kepada calon tereksekusi itu, para hakim agung berkeyakinan jika terpidana secara sah dan meyakinkan melakukan kejahatan serius yang membahayakan tidak hanya satu orang, tapi memberi dampak bagi bangsa Indonesia.
3. Mahkamah KonstitusiMK juga menegaskan hukuman mati tidak melanggar HAM, sah dan sesuai dengan ideologi bangsa. MK juga pernah mengadili soal hukuman mati yang diajukan oleh Rani Andriani, Andrew Chan dn Myuran Sukumaran. Dalam putusan Rani, MK menyatakan hukuman mati dalam kasus narkoba tidak melanggar nilai-nilai moral. Adapun Andrew dan Myuran, MK tidak menerima permohonan karena keduanya bukan WNI sehingga tidak bisa menggugat ke MK.
4. DPRSuara parlemen Indonesia juga tidak terpecah. Semua setuju jika hukuman mati kepada para gembong narkoba adalah sebuah cara untuk menyelamatkan generasi bangsa."Narkoba di Indonesia sudah pada level sangat berbahaya. Kejahatan narkoba merupakan salah satu kejahatan luar biasa sehingga layak pelakunya dihukum mati," anggota Komisi I DPR bidang Pertahanan, Luar Negeri, Komunikasi dan Informatika, Meutya Viada Hafid
Quote:
PBB Minta Jokowi Batalkan Eksekusi Terpidana Mati
PBB menganggap penyalahgunaan narkoba tak masuk kejahatan serius.
PBB menganggap penyalahgunaan narkoba tak masuk kejahatan serius.
Presiden Joko Widodo menyambut kedatangan Sekjen PBB Ban Ki-moon untuk melakukan pertemuan bilateral di sela-sela KTT ASEAN ke-25 di Myanmar, Kamis (13/11). (ANTARA/Widodo S. Jusuf)VIVA.co.id - Beberapa hari jelang pelaksanaan eksekusi mati, Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon kembali merilis permohonan agar eksekusi terhadap 10 terpidana mati dibatalkan. Tekanan kembali datang bertubi-tubi ke Indonesia, usai Kejaksaan Agung pada Sabtu kemarin memberikan notifikasi kepada masing-masing perwakilan kedutaan asing di mana warganya akan dieksekusi.Kantor berita Reuters, Sabtu, 25 April 2015, melansir PBB menentang pelaksanaan hukuman mati dalam semua keadaan. Juru bicara Sekjen mengatakan Ban telah mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mempertimbangkan pengumuman moratorium hukuman mati di Indonesia dan tujuan akhir menghapuskan hukuman tersebut.
"Di bawah hukum internasional, jika hukuman mati digunakan untuk semua tindak kejahatan, seharusnya hanya digunakan untuk tindak kejahatan yang tergolong paling serius, yakni mereka yang terlibat tindak pembunuhan berencana dan hanya dengan tindak perlindungan yang sesuai," ujar jubir Ban dalam sebuah keterangan tertulis.Sementara, tindak kejahatan penyalahgunaan narkoba, Jubir Ban menjelaskan, tidak termasuk ke dalam kategori tindak kejahatan serius.Desakan ini kembali disampaikan PBB, setelah sebelumnya pernyataan serupa diungkapkan pada 14 Februari. Ban disebut telah menghubungi Menteri Luar Negeri RI, Retno L.P Marsudi dan menyatakan keberatannya terhadap eksekusi mati yang baru-baru ini kembali dihidupkan oleh Pemerintah Indonesia.
"PBB menentang hukuman mati dalam segala situasi. Sekjen memohon kepada otoritas Indonesia agar eksekusi terhadap sisa terpidana kasus narkoba tidak dilakukan," ungkap Jubir Ban, Stephane Dujarric.Sementara, saat itu, Jubir Kementerian Luar Negeri RI, Arrmanatha Nasir, mengatakan Pemerintah Indonesia justru berpendapat narkoba adalah tindak kejahatan yang serius. Banyak orang yang menderita dan meregang nyawa tanpa pandang bulu karena mengonsumsi narkoba.Data yang pernah disampaikan oleh Presiden Jokowi ada 50 generasi muda setiap harinya yang meninggal akibat narkoba.
"Per tahun kalikan 360 hari berarti 18 ribu, ada 4,5 juta generasi muda yang harus direhabilitasi," kata Jokowi pada awal Maret lalu.
Pada tahun lalu, pemerintah hanya bisa menyembuhkan 18 ribu korban narkoba per tahun. Sementara, mantan Gubernur DKI Jakarta itu memprediksi akan 400 ribu pengguna narkoba."Ini harus dilakukan, kalau nggak kalah dengan kecepatan," ujar dia.
Dalam eksekusi gelombang kedua, Kejaksaan Agung akan mengeksekusi 10 terpidana mati. Sebanyak tujuh orang di antaranya merupakan warga asing. Namun, tanggal pelaksanaan eksekusi belum ditetapkan.Juru bicara Kejaksaan Agung, Tony Spontana, waktu pelaksanaan eksekusi akan ditetapkan ketika hasil pengajuan banding terpidana mati kasus narkoba, Zainal Abidin diketahui."Jika pengajuan banding Zainal ditolak, maka akan melengkapi (pengajuan banding) semua terpidana," kata Tony dan dikutip harian Sydney Morning Herald.
PBB menganggap penyalahgunaan narkoba tak masuk kejahatan serius.
PBB menganggap penyalahgunaan narkoba tak masuk kejahatan serius.
Presiden Joko Widodo menyambut kedatangan Sekjen PBB Ban Ki-moon untuk melakukan pertemuan bilateral di sela-sela KTT ASEAN ke-25 di Myanmar, Kamis (13/11). (ANTARA/Widodo S. Jusuf)VIVA.co.id - Beberapa hari jelang pelaksanaan eksekusi mati, Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon kembali merilis permohonan agar eksekusi terhadap 10 terpidana mati dibatalkan. Tekanan kembali datang bertubi-tubi ke Indonesia, usai Kejaksaan Agung pada Sabtu kemarin memberikan notifikasi kepada masing-masing perwakilan kedutaan asing di mana warganya akan dieksekusi.Kantor berita Reuters, Sabtu, 25 April 2015, melansir PBB menentang pelaksanaan hukuman mati dalam semua keadaan. Juru bicara Sekjen mengatakan Ban telah mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mempertimbangkan pengumuman moratorium hukuman mati di Indonesia dan tujuan akhir menghapuskan hukuman tersebut.
"Di bawah hukum internasional, jika hukuman mati digunakan untuk semua tindak kejahatan, seharusnya hanya digunakan untuk tindak kejahatan yang tergolong paling serius, yakni mereka yang terlibat tindak pembunuhan berencana dan hanya dengan tindak perlindungan yang sesuai," ujar jubir Ban dalam sebuah keterangan tertulis.Sementara, tindak kejahatan penyalahgunaan narkoba, Jubir Ban menjelaskan, tidak termasuk ke dalam kategori tindak kejahatan serius.Desakan ini kembali disampaikan PBB, setelah sebelumnya pernyataan serupa diungkapkan pada 14 Februari. Ban disebut telah menghubungi Menteri Luar Negeri RI, Retno L.P Marsudi dan menyatakan keberatannya terhadap eksekusi mati yang baru-baru ini kembali dihidupkan oleh Pemerintah Indonesia.
"PBB menentang hukuman mati dalam segala situasi. Sekjen memohon kepada otoritas Indonesia agar eksekusi terhadap sisa terpidana kasus narkoba tidak dilakukan," ungkap Jubir Ban, Stephane Dujarric.Sementara, saat itu, Jubir Kementerian Luar Negeri RI, Arrmanatha Nasir, mengatakan Pemerintah Indonesia justru berpendapat narkoba adalah tindak kejahatan yang serius. Banyak orang yang menderita dan meregang nyawa tanpa pandang bulu karena mengonsumsi narkoba.Data yang pernah disampaikan oleh Presiden Jokowi ada 50 generasi muda setiap harinya yang meninggal akibat narkoba.
"Per tahun kalikan 360 hari berarti 18 ribu, ada 4,5 juta generasi muda yang harus direhabilitasi," kata Jokowi pada awal Maret lalu.
Pada tahun lalu, pemerintah hanya bisa menyembuhkan 18 ribu korban narkoba per tahun. Sementara, mantan Gubernur DKI Jakarta itu memprediksi akan 400 ribu pengguna narkoba."Ini harus dilakukan, kalau nggak kalah dengan kecepatan," ujar dia.
Dalam eksekusi gelombang kedua, Kejaksaan Agung akan mengeksekusi 10 terpidana mati. Sebanyak tujuh orang di antaranya merupakan warga asing. Namun, tanggal pelaksanaan eksekusi belum ditetapkan.Juru bicara Kejaksaan Agung, Tony Spontana, waktu pelaksanaan eksekusi akan ditetapkan ketika hasil pengajuan banding terpidana mati kasus narkoba, Zainal Abidin diketahui."Jika pengajuan banding Zainal ditolak, maka akan melengkapi (pengajuan banding) semua terpidana," kata Tony dan dikutip harian Sydney Morning Herald.
Quote:
Perdana Menteri Australia Tony Abbot mengatakan ia telah menulis surat kepada PresidEN Joko Widodo dan meminta pengampunan bagi dua warga Australia yang akan dihukum mati.
Berbagi berita ini Tentang berbagi
Berbagi berita ini Tentang berbagi
Quote:
Jelang Eksekusi Mati, Amnesty Internasional Kirim Surat Terbuka ke Jokowi
Metrotvnews.com, Jakarta: Kian santernya informasi terkait pelaksanaan eksekusi mati, memunculkan sejumlah dukungan, salah satunya meminta agar 10 terpidana mati yang akan dieksekusi untuk diampuni.Hal itu disampaikan dalam surat terbuka dari 13 Direktur Amnesty International kepada Presiden Joko Widodo. Berdasarkan keterangan pers yang didapat Metrotvnews.com, "Atas nama tujuh juta pendukung Amnesty International di seluruh dunia, kami menulis surat ini untuk mengungkapkan keprihatinan besar kami akan eksekusi mati segera atas 10 terpidana – dari Indonesia, Australia, Brazil, Prancis, Ghana, Nigeria, dan Filipina – semua terkait kasus narkotika," beber surat terbuka itu, Selasa (28/4/2015).Dalam surat terbuka yang ditunjukan ke presiden itu juga menyinggung terkait eksekusi mati, terhadap dua warga negara Indonesia Karni binti Medi Tarsim dan Siti Zainab Binti Duhri Rupa, yang baru-baru ini dihukum mati.Dalam surat terbuka itu disebut, "Kami mendesak Anda untuk memberikan pengampunan kepada para terpidana mati yang menghadapi eksekusi mati dalam waktu dekat," jelasnya.Menurut Amnesty Internasional, hukuman mati yang diberlakukan di Indonesia tidak memberikan efek jera. "Atas nama para pendukung kami yang juga telah mengkampanyekan terpidana mati Indonesia yang menghadapi eksekusi, kami dengan hormat meminta Anda (Presiden Joko Widodo) untuk menghentikan rencana eksekusi mati. Lebih lanjut kami meminta Anda untuk melakukan moratorium terhadap semua eksekusi mati dengan pandangan untuk menghapus hukuman mati," tutup surat tersebut.Diketahui 13 Direktur Amnesty International adalah, Direktur Amnesty International Australia Claire Mallinson, Direktur Amnesty International Brazil Atila Roque, Direktur, Amnesty International Prancis Stephan Oberreit, Direktur Amnesty International India G. Ananthapadmanabhan, Direktur Amnesty International Jepang Hideki Wakabayashi, Direktur Amnesty International Malaysia Shamini Darshini, Direktur Amnesty International Nepal Rameshwar Nepal, Direktur Amnesty International Selendia Baru Grant Bayldon, Direktur Amnesty International Taiwan Bo Tedards, Direktur Amnesty International Thailand Piyanut Kotsan, Direktur Amnesty International Korea Selatan Catherine Hee-Jin Kim, Direktur Amnesty International Mongolia B Altantuya, dan Direktur Amnesty International Filipina Gemma Regina C. Cunanan.
Quote:
DUNIA
Jelang Eksekusi Mati, Perwakilan RI di Luar Negeri Didemo
Publik berunjuk rasa di depan KBRI di Manila dan KJRI Sydney.
Senin, 27 April 2015 | 13:59 WIBJelang Eksekusi Mati, Perwakilan RI di Luar Negeri Didemo
Dua gembong narkoba Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran (REUTERS/Murdani Usman/Files)
VIVA.co.id - Kejaksaaan Agung RI berencana melakukan eksekusi terhadap 10 terpidana mati kasus narkoba dalam waktu dekat. Beberapa perwakilan RI di luar negeri pun menjadi sasaran protes dan kemarahan publik internasional.
Di Filipina, ratusan orang yang terdiri dari masyakarat umum dan buruh pada Minggu sore kemarin berdemo di depan gedung KBRI di Makati, Filipina. Aksi demo itu dilakukan sebagai bentuk protes dan permohonan terhadap Presiden Joko Widodo agar membatalkan eksekusi mati salah seorang warga Filipina, Mary Jane Felovoso.
Kejagung telah memberikan notifikasi terhadap masing-masing kedutaan negara asal pada Sabtu kemarin. Sementara, menurut aturan, terpidana mati dieksekusi, mereka akan diberikan notifikasi 72 jam sebelumnya. Artinya, kemungkinan besar proses eksekusi akan dilakukan hari Selasa dini hari nanti.Laporan reporter tvOne, Mario Dani, langsung dari depan gedung KBRI Manila menyebut aksi tersebut sudah kali keempat mereka lakukan. "Aksi sebelumnya dilakukan pada tanggal 8 April, 20 April dan 24 April 2015. Bahkan, rencananya massa berniat untuk menginap hingga eksekusi dihentikan yakni tanggal 28 April 2015," papar Mario.
Di depan gedung KBRI, terlihat sudah didirikan beberapa tenda tempat massa untuk beristirahat. Kakak Mary yang sempat diwawancarai tvOne mengaku tidak percaya jika adiknya bersalah. "Sebab, menurut dia adiknya merupakan korban dari dua tindak kejahatan yakni pelecehan seksual dan perdagangan manusia. Dia hanya merupakan korban sindikat narkoba internasional," kata Mario.
Sementara, pengamanan di depan gedung KBRI telah diperketat. Polisi setempat bahkan telah bernegosiasi dengan massa. Namun, mereka enggan beranjak dari depan gedung KBRI
Quote:
5 Alasan Pemerintah Tak Perlu Gentar Melaksanakan Eksekusi Mati
Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan, Pemerintah RI tidak perlu gentar dan khawatir akan ancaman sejumlah negara terkait pelaksanaan eksekusi mati tahap 2. Ada 10 terpidana mati yang siap diekseksui mati dalam waktu dekat ini."Tekanan dari Perancis, Australia bahkan Sekjen PBB Ban Ki Moon tidak seharusnya mengendurkan kebijakan (Pemerintah RI) untuk merealisasikan putusan hukuman mati," kata Hikmahanto dalam pesan singkatnya kepada Liputan6.com, Senin 27 April 2015.Hikmahanto mengatakan, ada 5 alasan Pemerintah RI harus melaksanakan eksekusi mati. Pertama, Pemerintah RI yang baru saja sukses menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) ke-60, sedang diuji apakah pelaksanaan kedaulatan negara hanya sebatas retorika atau betul-betul direalisasikan.Sebab, kata Hikmahanto, dalam Dasa Sila Bandung--hasil KAA pertama 1955--prinsip non-intervensi terhadap negara-negara di Asia dan Afrika, merupakan prinsip yang masih relevan pada masa kini dan pada saat akan melaksanakan hukuman mati."Sekali pemerintah mundur dari kebijakan ini, maka Indonesia akan menjadi bahan tertawaan. Karena tidak mampu melaksanakan prinsip yang terdapat dalam Dasa Sila," ujar dia.Kedua, kata Hikmahanto, protes pemerintah Perancis dan Australia tidak lebih dari sikap negaranya yang tidak mengenal hukuman mati.Agar pemerintahnya dapat mempertanggungjawabkan mandat yang diberikan rakyatnya, mereka harus menyuarakan protes. Bahkan ancaman pelaksanaan hukuman mati.Menurut Hikmahanto, negara-negara tersebut tentu tidak dapat dicegah bila memprotes kebijakan Pemerintah RI, bahkan mereka dapat memanggil Dubesnya untuk kembali dan berkonsultasi. Namun setelah selesai eksekusi mati, hubungan akan cair kembali dan Dubes akan dikembalikan ke RI."Ini karena tidak akan ada pemerintahan asing yang berani untuk mempertaruhkan hubungan baik dan saling menguntungkan, demi membela warganya yang melakukan suatu kejahatan," ucap Hikmahanto.
Ketiga, lanjut Hikmahanto, suara keras dari pemerintah Perancis, Australia, dan Brazil disebabkan di negara tersebut sedang ada pertarungan politik untuk menduduki kursi kepemimpinan. Sehingga isu hukaman mati di Indonesia menjadi komoditas empuk.
"Sebenarnya hal ini patut disayangkan, mengingat mereka mengorbankan kepentingan Indonesia untuk ambisi politik para politisinya," jelas dia.Keempat, saat ini Indonesia sedang dipojokkan Perancis dan Australia terkait pelaksanaan hukuman mati. Tapi hal itu berbeda dilakukan Australia, di mana akhir Maret lalu Tiongkok melaksanakan hukuman mati atas warga Australia. Namun Australia tidak melakukan tekanan kepada Tiongkok seperti yang dilakukan terhadap Indonesia.Kelima, sambung Hikmahanto, soal pernyataan Sekjen PBB Ban Ki Moon yang membuat pernyataan di luar tugas dan fungsi sebagai Sekjen PBB. Sekjen PBB bukanlah presiden dari negara-negara dunia yang dapat mengeluarkan perintah."Tidak benar Konvenan Internasional Sipil dan Politik hanya membatasi kejahatan serius sebagai kejahatan internasional. Dalam Kovenan tersebut, secara tegas diserahkan kepada masing-masing negara anggota untuk menentukan kejahatan serius," tegas Hikmahanto.
Diubah oleh rayapcomunity 30-04-2015 06:45
0
45K
Kutip
436
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
924.9KThread•90KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya