Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

faisaleffendiAvatar border
TS
faisaleffendi
Menata Ulang Sepak Bola Kita
Di mana-mana, sepak bola, seperti cabang olahraga lainnya, merupakan ajang meraih prestasi setinggi-tingginya dengan menjunjung sportivitas. Namun, di negeri ini, sepak bola masih saja menjadi lahan pelampiasan syahwat para elite untuk terus cakar-cakaran berebut kekuasaan dengan mengorbankan prestasi. Minat publik menonton pertandingan sepak bola pun berbanding terbalik dengan apresiasi terhadap kepengurusan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia. Bila sepak bola sebagai tontonan semakin dicintai, sepak bola sebagai organisasi malah semakin dibenci.

Tidak mengherankan jika peringkat sepak bola kita pun terus berkubang di 'kasta bawah'. Indonesia berada di posisi 159 dari 209 negara dalam peringkat FIFA yang dikeluarkan awal April 2015 ini. Posisi Indonesia bahkan kalah dari Timor Leste. Negara baru yang pernah menjadi bagian dari Indonesia itu berada di peringkat ke-152 lantaran mengalami lonjakan 33 anak tangga. Karena itu, ketika Kementerian Pemuda dan Olahraga memutuskan untuk membekukan PSSI pada 17 April 2015, mestinya itu menjadi momentum awal untuk menata ulang sepak bola kita.

Kendati alasan utama pembekuan itu ialah PSSI membandel dengan tetap mengikutsertakan Persebaya dan Arema Cronus di ajang Indonesia Super Leage (kini menjadi QNB League) yang tak lolos rekomendasi Badan Olahraga Profesional Indonesia, alangkah bijak jika kita tak sekadar melihat dari sisi itu. Jebloknya prestasi sepak bola nasional dalam kurun lebih dari satu dasawarsa terakhir tak lepas dari salah urus PSSI. Di tangan para elite sepak bola yang mengelola sepak bola bak mengurus arisan dan proyek, gengsi kekuasaan jauh lebih berarti daripada prestasi.

Upaya Kemenpora melalui BOPI mendudukkan sepak bola nasional di level profesional mestinya layak disyukuri. Tidak mungkin sepak bola nasional beranjak menjadi industri dengan manajemen profesional jika banyak klub menunggak gaji pemain, pelatih, dan seluruh tim pendukung. Belum lagi kita bicara tunggakan pajak klub. Amat mustahil kita berbicara di level dunia jika mengurusi hal-hal elementer di klub yang menjadi dasar sepak bola profesional saja kita tidak punya kapasitas. Karena itu, keputusan pembekuan PSSI oleh Kemenpora mestinya bukanlah langkah terakhir.

Ia justru menjadi langkah awal menata kembali soal apa yang salah dengan sepak bola kita. Pembekuan itu juga tidak boleh menjadi ajang 'balas dendam' dari pihak-pihak yang pernah sakit hati karena terdepak dari kepengurusan lama, saat dualisme masih terjadi. Keputusan untuk membentuk tim transisi harus disertai tekad mulia membangun sepak bola nasional secara lebih beradab. Karena itu, untuk membersihkan organisasi sepak bola dari para 'penumpang gelap', Menpora Imam Nahrawi harus memastikan tim transisi yang akan dibentuk untuk menata ulang sepak bola tidak diisi elite yang pernah terlibat perseteruan di PSSI.

Penggemar sepak bola yang jumlahnya ratusan juta di Republik ini pasti tidak menghendaki permainan terpopuler sejagat itu terus diatur organisasi yang rusak dan dipelihara seperti kartel. Publik sudah lelah menyaksikan elite sepak bola menjadikan PSSI sebagai contoh peradaban formal manipulatif yang sangat mengabaikan peradaban kepatutan. Era seperti itu harus diakhiri. Sepak bola yang menjunjung tinggi sportivitas sebagai peradaban tidak boleh terus-menerus disepak-sepak elite yang mengurusinya.
0
1.3K
11
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.4KThread84.4KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.