- Beranda
- The Lounge
Andai aku perempuan!
...
![gilangmutahari](https://s.kaskus.id/user/avatar/2015/03/06/avatar7732718_2.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
gilangmutahari
Andai aku perempuan!
Jadi, sebelum agan/aganwati menelusuri lebih jauh tntang isi dalam thread ini, ane punya saran: Kalau agan/aganwati bukan termasuk orang yang suka membaca, sebaiknya agan urungkan niat untuk membuka satu-satunya spoiller di bawah kalimat ini. Sebab, jika agan/aganwati memang orang yang tidak suka membaca, Maka saya akan sama sekali tidak heran jika thread ini mendapatkan reply, "Thread ente bikin pusing." atau semacamnya.
Tapi ... Jika agan/aganwati adalah orang yang gemar membaca, silahkan menuju spoller.
![Cape d... (S) emoticon-Cape d... (S)](https://s.kaskus.id/images/smilies/capedes.gif)
Tapi ... Jika agan/aganwati adalah orang yang gemar membaca, silahkan menuju spoller.
![Cendol (S) emoticon-Cendol (S)](https://s.kaskus.id/images/smilies/cendols.gif)
Spoiler for Andai aku perempuan!:
Ini soal sudut pandang! Setelah dari segala sisi kutinjau, aku tak menemukan sedikitpun celah agar cerita yang akan kutuliskan ini bisa tetap disampaikan dengan sudut pandang seorang lelaki. Maka mau tak mau, aku harus menjadi seorang perempuan! Bukan, bukan … Itu tak seperti apa yang kalian pikirkan tentu saja. Ini hanya soal sudut pandang, sudut pandang seorang perempuan. Aku harus menulis cerita ini melalui sudut pandang seorang perempuan. Begini ceritanya:
Karena tak seorangpun dari kami mengaku, aku dan adikku terpaksa harus berdiri menghadap tembok. Sementara di belakang kami, ayah terus membentak-bentak agar salah satu dari kami bersedia mengakui perbuatannya.
“Siapa yang mencuri uang itu?!” Ayah benar-benar muntab, ia mengacung-ngacungkan tongkat bambu di tangannya. Disamping ia tak percaya kalau anaknya sudah mulai berani mencuri, ia berang bukan main karena ia memang tahu kalau salah satu diantara kami memang telah mencuri.
Saat itu aku masih berumur 12 tahun, lebih tua tiga tahun dari adik lelakiku, dia berumur 9 tahun. Aku lahir dari keluarga petani di sebuah desa yang kecil, sebuah desa di pegunungan. Sejak dulu, ayah dan ibu bekerja membajak sawah di tanah yang kering dan kuning. Penghasilan yang mereka dapatkan selalu tak banyak sekalipun setiap harinya mereka harus menghadapkan punggungnya kearah teriknya matahari.
“Kalau kalian tidak mau mengaku, baiklah, kalian berdua memang layak dipukul!”
Ayahku adalah tipikal orang pemarah. Ia tak pernah takut memukul kami, itu adalah cara bagaimana ia mendidik anak-anaknya. Karena ia tak mendengar seorangpun dari kami mengaku, ia mengangkat tongkat bambu di tangannya tinggi-tinggi. Adikku yang pertama mendapat pukulan bambu itu.
Cetash!!
Di tengah rasa takutku, aku terkejut mendengar adikku meringis, matanya ia pejam rapat-rapat, tangannya mencengkeram dinding, ia kesakitan. Namun demikian, aku masih tetap tak memiliki keberanian untuk mengakui perbuatanku. Akulah yang seharusnya di pukul, aku yang mencuri uang ayah dari laci meja di kamarnya. Uang itu kugunakan untuk membeli sebuah sapu tangan. Hampir semua gadis di desa ini memiliki sapu tangan, aku juga ingin memilikinya satu.
Ayah mengangkat tongkatnya lagi. Kali ini ia akan memukulku. Aku langsung menutup mata, aku ketakutan, pasti sakit sekali rasanya. Namun sebelum sempat ayah memukulku, adkikku mengangkat kedua tangannya,
“Ayah, ayah…” Teriaknya. “Aku yang mencuri uangnya. Pukul saja aku.”
Sekali lagi aku terkejut, aku langsung membuka mata dan melihat adikku. Ia mengakui kesalahan yang tidak pernah ia lakukan semata-mata agar ayah tak memukulku, ia melindungiku. Adikku memang menyayangiku lebih dari aku menyayanginya. Selanjutnya aku hanya melihatnya dipukuli ayah sampai berkali-kali, sampai ayah kehabisan nafas, sampai ayah tak sanggup memukul lagi. Beliau kemudian duduk di sebuah kursi di belakangnya, aku mendengarnya terengah-engah sambil terus menerus memarahi adikku.
“Kau sudah berani mencuri sekarang. Memalukan! Memalukan! Mau jadi apa kau nanti, ha? Tidak ada pencuri yang pantas hidup! Kau layak dipukul sampai mati!”
Malam harinya aku dan ibu memeluk adikku yang tengah meringis kesakitan. Melihat punggungnya yang penuh luka, aku menangis. Tepat saat malam hari yang hening, aku kembali menangis hebat menyadari kesalahanku, namun tiba-tiba adikku menutup mulutku.
“Kakak jangan menangis…” Bisiknya. “Kakak tidak boleh menangis.”
“Kenapa kau…” Kubekap wajahku. Aku sesenggukan, tak sanggup melanjutkan kalimatku.
“Sudah, kak. Semuanya sudah terjadi. Kakak jangan menangis lagi.”
Saat itu aku menyadari betapa mulianya hati adik lelakiku, aku sadar kalau ia benar-benar menyayangiku. Sampai bertahun-tahun lamanya, aku tak pernah melupakan kejadian itu. Aku mengingatnya seolah itu baru terjadi kemarin. Aku tak pernah melupakan wajahnya kesakitan menerima pukulan ayah hanya karena ia ingin melindungiku.
Bertahun-tahun telah lewat. Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Ia akan melanjutkan pendidikannya di bangku SMA. Sementara aku juga saat itu mendapatkan sebuah surat yang menyatakan bahwa aku di terima di sebuah universitas di kota. Sayangnya orang tuaku tak memiliki cukup uang untuk bisa membiayai kami berdua secara sekaligus, kecuali salah satu dari kami harus rela untuk tidak melanjutkan sekolahnya. Tak tahu kenapa, berat sekali rasanya bagiku untuk tidak melanjutkan pendidikanku, sebab banyak hal yang telah kulakukan agar aku bisa diterima di Universitas ini. Selagi aku masih bimbang memutuskan, adikku sudah lebih dulu mendatangi ayahku dan menyatakan kalau ia tak ingin melanjutkan sekolahnya.
“Ayah, aku tidak ingin sekolah lagi. Aku sudah membaca banyak sekali buku pelajaran sebelumnya, karena itu aku tidak ingin sekolah lagi. Ilmuku sudah cukup, aku ingin mencari uang untuk membantu ayah dan ibu.”
Ayah tak terima dengan pernyataan adikku barusan. Beliau marah dan memukul wajah adikku kuat-kuat.
“Lelaki macam apa kau ini? Apa yang bisa kau lakukan tanpa sekolah? Kami akan mencarikan uang untuk menyekolahkan kalian, apapun caranya! Tak peduli walaupun kami harus mengemis di jalanan. Singkirkan jiwa keparat macam itu! Kau harus tetap sekolah, tidak bisa tidak!”
Tidak berapa lama, ayahku langsung pergi keluar rumah, ia mendatangi tetangga satu persatu mencari pinjaman. Aku mendekati adikku dan menemukan wajahnya mulai membiru karena pukulan ayah.
“Kau tidak perlu berhenti sekolah karena aku.” Kataku padanya sambil mengobati wajahnya. “Kau laki-laki, kau lebih membutuhkan pendidikan itu dibanding aku. Jika ingin terlepas dari kemiskinan ini, kau harus sekolah. Aku sudah memutuskan kalau aku tidak akan melanjutkan pendidikanku di universitas.”
Demi mendengar itu, ia melihatku dengan matanya yang sendu. Ia diam, tak mengatakan apapun. Keesokan paginya, aku mendapati sebuah surat di samping bantalku. Rupanya tadi malam adikku meletakkannya secara diam-diam.
“Bukankah kakak sejak dulu memang menginginkan agar universitas itu menerima kakak? Aku tahu biaya disana tidak sedikit. Aku akan pergi dari rumah dulu sementara ini, aku akan mencari kerja dan mengirimkan uang pada kakak.”
Aku menangis sambil terus memandangi kertas yang ia tinggalkan tersebut. Lagi-lagi aku merasa bersalah. Adikku, sungguh mulia sekali hatinya.
Saat kuliah aku tinggal di sebuah asrama. Berkat uang dari orang tua dan kiriman dari adikku, aku sampai pada tingkat akhir di universitas ini. Kelu rasanya hatiku mengingat kalau uang yang dikirimkan oleh adikku itu adalah hasil dari bekerja sebagai pekerja bangunan. Setiap hari ia harus mengangkat pasir, setiap hari ia harus mengangkat begitu banyak batu. Tapi aku lega mendengar kalau ia sudah pulang ke rumah dan ayah tidak memarahinya, bahkan ayah memeluknya erat-erat.
Suatu hari, temanku memberitahu kalau seseorang dari desa mencariku. Orang tersebut berada jauh di depan gerbang asrama. Karena penasaran, aku datang menemuinya. Alangkah terkejutnya aku, jauh di depan gerbang itu berdiri seseorang, dia adikku, ia datang mengunjungiku. Aku berlari kearahnya dan langsung memeluknya erat-erat. Dalam pelukan itu aku tahu betapa kurusnya ia sekarang, wajahnya pucat sekali saat itu.
“Kenapa tidak bilang pada temanku kalau kau adalah adikku?” Aku bertanya.
“Lihat pakaianku, kak, bagaimana mungkin aku mengatakan itu.” Jawabnya. “Teman-temanmu pasti akan menertawakanmu jika mereka tahu aku adalah adikmu.” Ia tersenyum.
Sungguh, aku tak menyangka ia bisa sampai berpikiran begitu, kupeluk lagi ia erat-erat.
“Aku tak peduli bagaimanapun penampilanmu. Kau adalah adikku, sampai kapanpun kau tetap menjadi adikku, apapun keadaannya.”
“Aku membawa ini, kak. Aku melihat kalau semua perempuan di sini juga memakainya. Kau juga harus memilikinya. Pakailah”
Ia menyerahkan sebuah kerudung berwarna biru muda. Setiap ujung kerudung itu dihiasi dengan benang-benang kecil keemasan.
Kuterima kerudung itu lalu kupandangi ia lama-lama. Lagi-lagi kebaikan hatinya membuatku menangis, tak kuasa kutahan linangan air mataku. Saat itu aku berusia 22 tahun, sedangkan ia 19 tahun.
Setelah aku menikah, aku terpaksa tinggal di kota bersama suamiku. Aku termasuk sebagai seorang perempuan yang beruntung, suamiku adalah seorang direktur pabrik di kota tersebut. Beberapa kali aku mengajak keluargaku untuk tinggal di kota bersama-sama, tapi mereka menolak dengan alasan mereka tidak bisa bekerja jika meninggalkan desa. Adikku juga demikian, ia memutuskan untuk menjaga ayah dan ibu. Kemudian ia memintaku untuk tak perlu mengkhawatirkan mereka, ia justru mengharapkan agar aku bisa menjaga mertuaku sebaik mungkin.
Dalam beberapa kesempatan, aku menceritakan banyak hal pada suamiku tentang kebaikan-kebaikan adikku. Agaknya ia tertarik dan memutuskan untuk mengangkat adikku menjadi seorang manajer di pabriknya. Namun, dengan amat rendah hati adikku menolak tawaran yang hebat itu. Ia justru lebih memilih menjadi seorang reparasi listrik di desa.
Suatu ketika adikku terkena musibah, pekerjaannya sebagai reparasi listrik itu membuat ia harus dilarikan ke rumah sakit, ia tersengat listrik bertegangan tinggi. Aku dan suami secepatnya menjenguk dan menemukan adikku penuh dengan perban.
“Kenapa tidak di terima saja tawaran itu. Kau tidak harus menjadi seperti ini jika menerima tawaran menjadi manager. Kenapa kau tidak mendengar kami?” Kataku.
Ia tiba-tiba menatapku serius, kiranya ia tetap pada keputusannya. “Terima kasih, kak. Tapi itu tidak mungkin. Apa yang akan orang pikirkan jika aku menerima tawaran itu sementara aku ini bukan dari orang yang berpendidikan, kak.”
Mendengar itu, mata suamiku menjadi berkaca-kaca.
“Tapi … Tapi kau tidak berpendidikan juga karena aku ‘kan?” Aku menunduk dalam-dalam. Air mata mulai mengalir di pipiku.
Sambil tersenyum adikku menghapus air mataku, “Tidak ada yang salah dengan itu, kak, tidak ada yang salah.”
Saat adikku berumur 28 tahun, ia menikah dengan seorang gadis desa. Acara pernikahan diadakan dengan amat sederhana, tapi aku bisa melihatnya lebih bahagia dari biasanya. Karena kebahagiaan itu, seorang tamu tertarik untuk bertanya, ia sedikit berteriak.
“Hei … Bisakah kau menyebut siapa orang yang paling kau sayangi dan kau hormati?”
Kalau aku boleh menduga, tentu saja pertanyaan itu mengarah pada jawaban atas kebahagiaannya saat ini. Pertanyaan itu berharap agar ia menjawab bahwa orang yang ia sayangi adalah istrinya. Tapi, aku tak menyangka kalau jawabannya ternyata tidak demikian. Ia menjawab dengan sangat cepat tanpa terlihat berpikir.
“Kakakku …” Jawabnya.
Sontak seluruh tamu di acara itu terdiam, keadaan menjadi hening. Kemudian ia melanjutkan dengan menceritakan sebuah kisah yang hampir sama sekali tak kuingat.
“Dulu, saat saya dan kakak saya masih SD, kami selalu berangkat sekolah bersama-sama dengan berjalan kaki selama dua jam lamanya. Saat itu saya masih kecil, maka sepanjang perjalanan dia selalu memegangi tangan saya sampai sekolah. Pernah di satu kesempatan, saat akan berangkat ke sekolah, saya tidak menemukan jaket, saya kehilangan jaket, padahal hari itu adalah hari yang sangat dingin. Sebelum sempat saya melangkahkan kaki keluar rumah, kakak saya meminjamkan jaketnya pada saya, sedangkan ia tidak mengenakan jaket saat itu. Dan di hari itu, sepulang dari sekolah, sampai malam hari saya melihat kakak saya kedinginan, ia bahkan hampir tidak sanggup memegang sendoknya saat makan, tangannya bergetar-getar hebat, ia benar-benar kedinginan. Karena itu, saya berjanji akan selalu menjaganya, saya berjanji akan selalu melindunginya, saya berjanji akan terus menyayanginya, apapun yang terjadi! Selama saya masih hidup, saya akan terus menghormati kakak saya!”
Tepuk tangan bergemuruh saat itu juga. Semua tamu berpaling melihatku. Aku kelu untuk mengucapkan sesuatu.
“Dalam hidupku …” Aku tiba-tiba menangis, bahuku berguncang-guncang hebat. “Dalam hidupku … Aku akan terus mengasihi adikku, aku akan terus menyayanginya …” Sepintas aku melihat adikku dengan tumpah ruah airmata membanjiri pipiku. “… Aku akan terus menyayangi adikku …”
***
Astaga … Kalian tahu kalau seorang psikolog mashyur di sana, aku lupa siapa namanya, pernah mendedikasikan hampir seluruh hidupnya hanya untuk mempelajari karakter seorang perempuan. Tapi hasil yang ia dapat tak lebih dari kesimpulan kosong belaka, ia menyerah! Setelah sekian lama ia mempelajari bagaimana perempuan itu menggunakan perasaannya, ia tetap tak menemukan apa-apa.
“Perempuan adalah mahkluk yang sulit sekali di mengerti!” Katanya.
Jadi, bagaimana menurutmu? Semoga kalian segera paham mengapa cerita ini tak menarik. Itu semata-mata karena … Karena aku bukan perempuan! Tapi kalau ‘pun cerita ini menarik, itu masih tetap karena … Karena aku juga masih bukan perempuan!
Wassalam …
Karena tak seorangpun dari kami mengaku, aku dan adikku terpaksa harus berdiri menghadap tembok. Sementara di belakang kami, ayah terus membentak-bentak agar salah satu dari kami bersedia mengakui perbuatannya.
“Siapa yang mencuri uang itu?!” Ayah benar-benar muntab, ia mengacung-ngacungkan tongkat bambu di tangannya. Disamping ia tak percaya kalau anaknya sudah mulai berani mencuri, ia berang bukan main karena ia memang tahu kalau salah satu diantara kami memang telah mencuri.
Saat itu aku masih berumur 12 tahun, lebih tua tiga tahun dari adik lelakiku, dia berumur 9 tahun. Aku lahir dari keluarga petani di sebuah desa yang kecil, sebuah desa di pegunungan. Sejak dulu, ayah dan ibu bekerja membajak sawah di tanah yang kering dan kuning. Penghasilan yang mereka dapatkan selalu tak banyak sekalipun setiap harinya mereka harus menghadapkan punggungnya kearah teriknya matahari.
“Kalau kalian tidak mau mengaku, baiklah, kalian berdua memang layak dipukul!”
Ayahku adalah tipikal orang pemarah. Ia tak pernah takut memukul kami, itu adalah cara bagaimana ia mendidik anak-anaknya. Karena ia tak mendengar seorangpun dari kami mengaku, ia mengangkat tongkat bambu di tangannya tinggi-tinggi. Adikku yang pertama mendapat pukulan bambu itu.
Cetash!!
Di tengah rasa takutku, aku terkejut mendengar adikku meringis, matanya ia pejam rapat-rapat, tangannya mencengkeram dinding, ia kesakitan. Namun demikian, aku masih tetap tak memiliki keberanian untuk mengakui perbuatanku. Akulah yang seharusnya di pukul, aku yang mencuri uang ayah dari laci meja di kamarnya. Uang itu kugunakan untuk membeli sebuah sapu tangan. Hampir semua gadis di desa ini memiliki sapu tangan, aku juga ingin memilikinya satu.
Ayah mengangkat tongkatnya lagi. Kali ini ia akan memukulku. Aku langsung menutup mata, aku ketakutan, pasti sakit sekali rasanya. Namun sebelum sempat ayah memukulku, adkikku mengangkat kedua tangannya,
“Ayah, ayah…” Teriaknya. “Aku yang mencuri uangnya. Pukul saja aku.”
Sekali lagi aku terkejut, aku langsung membuka mata dan melihat adikku. Ia mengakui kesalahan yang tidak pernah ia lakukan semata-mata agar ayah tak memukulku, ia melindungiku. Adikku memang menyayangiku lebih dari aku menyayanginya. Selanjutnya aku hanya melihatnya dipukuli ayah sampai berkali-kali, sampai ayah kehabisan nafas, sampai ayah tak sanggup memukul lagi. Beliau kemudian duduk di sebuah kursi di belakangnya, aku mendengarnya terengah-engah sambil terus menerus memarahi adikku.
“Kau sudah berani mencuri sekarang. Memalukan! Memalukan! Mau jadi apa kau nanti, ha? Tidak ada pencuri yang pantas hidup! Kau layak dipukul sampai mati!”
Malam harinya aku dan ibu memeluk adikku yang tengah meringis kesakitan. Melihat punggungnya yang penuh luka, aku menangis. Tepat saat malam hari yang hening, aku kembali menangis hebat menyadari kesalahanku, namun tiba-tiba adikku menutup mulutku.
“Kakak jangan menangis…” Bisiknya. “Kakak tidak boleh menangis.”
“Kenapa kau…” Kubekap wajahku. Aku sesenggukan, tak sanggup melanjutkan kalimatku.
“Sudah, kak. Semuanya sudah terjadi. Kakak jangan menangis lagi.”
Saat itu aku menyadari betapa mulianya hati adik lelakiku, aku sadar kalau ia benar-benar menyayangiku. Sampai bertahun-tahun lamanya, aku tak pernah melupakan kejadian itu. Aku mengingatnya seolah itu baru terjadi kemarin. Aku tak pernah melupakan wajahnya kesakitan menerima pukulan ayah hanya karena ia ingin melindungiku.
Bertahun-tahun telah lewat. Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Ia akan melanjutkan pendidikannya di bangku SMA. Sementara aku juga saat itu mendapatkan sebuah surat yang menyatakan bahwa aku di terima di sebuah universitas di kota. Sayangnya orang tuaku tak memiliki cukup uang untuk bisa membiayai kami berdua secara sekaligus, kecuali salah satu dari kami harus rela untuk tidak melanjutkan sekolahnya. Tak tahu kenapa, berat sekali rasanya bagiku untuk tidak melanjutkan pendidikanku, sebab banyak hal yang telah kulakukan agar aku bisa diterima di Universitas ini. Selagi aku masih bimbang memutuskan, adikku sudah lebih dulu mendatangi ayahku dan menyatakan kalau ia tak ingin melanjutkan sekolahnya.
“Ayah, aku tidak ingin sekolah lagi. Aku sudah membaca banyak sekali buku pelajaran sebelumnya, karena itu aku tidak ingin sekolah lagi. Ilmuku sudah cukup, aku ingin mencari uang untuk membantu ayah dan ibu.”
Ayah tak terima dengan pernyataan adikku barusan. Beliau marah dan memukul wajah adikku kuat-kuat.
“Lelaki macam apa kau ini? Apa yang bisa kau lakukan tanpa sekolah? Kami akan mencarikan uang untuk menyekolahkan kalian, apapun caranya! Tak peduli walaupun kami harus mengemis di jalanan. Singkirkan jiwa keparat macam itu! Kau harus tetap sekolah, tidak bisa tidak!”
Tidak berapa lama, ayahku langsung pergi keluar rumah, ia mendatangi tetangga satu persatu mencari pinjaman. Aku mendekati adikku dan menemukan wajahnya mulai membiru karena pukulan ayah.
“Kau tidak perlu berhenti sekolah karena aku.” Kataku padanya sambil mengobati wajahnya. “Kau laki-laki, kau lebih membutuhkan pendidikan itu dibanding aku. Jika ingin terlepas dari kemiskinan ini, kau harus sekolah. Aku sudah memutuskan kalau aku tidak akan melanjutkan pendidikanku di universitas.”
Demi mendengar itu, ia melihatku dengan matanya yang sendu. Ia diam, tak mengatakan apapun. Keesokan paginya, aku mendapati sebuah surat di samping bantalku. Rupanya tadi malam adikku meletakkannya secara diam-diam.
“Bukankah kakak sejak dulu memang menginginkan agar universitas itu menerima kakak? Aku tahu biaya disana tidak sedikit. Aku akan pergi dari rumah dulu sementara ini, aku akan mencari kerja dan mengirimkan uang pada kakak.”
Aku menangis sambil terus memandangi kertas yang ia tinggalkan tersebut. Lagi-lagi aku merasa bersalah. Adikku, sungguh mulia sekali hatinya.
Saat kuliah aku tinggal di sebuah asrama. Berkat uang dari orang tua dan kiriman dari adikku, aku sampai pada tingkat akhir di universitas ini. Kelu rasanya hatiku mengingat kalau uang yang dikirimkan oleh adikku itu adalah hasil dari bekerja sebagai pekerja bangunan. Setiap hari ia harus mengangkat pasir, setiap hari ia harus mengangkat begitu banyak batu. Tapi aku lega mendengar kalau ia sudah pulang ke rumah dan ayah tidak memarahinya, bahkan ayah memeluknya erat-erat.
Suatu hari, temanku memberitahu kalau seseorang dari desa mencariku. Orang tersebut berada jauh di depan gerbang asrama. Karena penasaran, aku datang menemuinya. Alangkah terkejutnya aku, jauh di depan gerbang itu berdiri seseorang, dia adikku, ia datang mengunjungiku. Aku berlari kearahnya dan langsung memeluknya erat-erat. Dalam pelukan itu aku tahu betapa kurusnya ia sekarang, wajahnya pucat sekali saat itu.
“Kenapa tidak bilang pada temanku kalau kau adalah adikku?” Aku bertanya.
“Lihat pakaianku, kak, bagaimana mungkin aku mengatakan itu.” Jawabnya. “Teman-temanmu pasti akan menertawakanmu jika mereka tahu aku adalah adikmu.” Ia tersenyum.
Sungguh, aku tak menyangka ia bisa sampai berpikiran begitu, kupeluk lagi ia erat-erat.
“Aku tak peduli bagaimanapun penampilanmu. Kau adalah adikku, sampai kapanpun kau tetap menjadi adikku, apapun keadaannya.”
“Aku membawa ini, kak. Aku melihat kalau semua perempuan di sini juga memakainya. Kau juga harus memilikinya. Pakailah”
Ia menyerahkan sebuah kerudung berwarna biru muda. Setiap ujung kerudung itu dihiasi dengan benang-benang kecil keemasan.
Kuterima kerudung itu lalu kupandangi ia lama-lama. Lagi-lagi kebaikan hatinya membuatku menangis, tak kuasa kutahan linangan air mataku. Saat itu aku berusia 22 tahun, sedangkan ia 19 tahun.
Setelah aku menikah, aku terpaksa tinggal di kota bersama suamiku. Aku termasuk sebagai seorang perempuan yang beruntung, suamiku adalah seorang direktur pabrik di kota tersebut. Beberapa kali aku mengajak keluargaku untuk tinggal di kota bersama-sama, tapi mereka menolak dengan alasan mereka tidak bisa bekerja jika meninggalkan desa. Adikku juga demikian, ia memutuskan untuk menjaga ayah dan ibu. Kemudian ia memintaku untuk tak perlu mengkhawatirkan mereka, ia justru mengharapkan agar aku bisa menjaga mertuaku sebaik mungkin.
Dalam beberapa kesempatan, aku menceritakan banyak hal pada suamiku tentang kebaikan-kebaikan adikku. Agaknya ia tertarik dan memutuskan untuk mengangkat adikku menjadi seorang manajer di pabriknya. Namun, dengan amat rendah hati adikku menolak tawaran yang hebat itu. Ia justru lebih memilih menjadi seorang reparasi listrik di desa.
Suatu ketika adikku terkena musibah, pekerjaannya sebagai reparasi listrik itu membuat ia harus dilarikan ke rumah sakit, ia tersengat listrik bertegangan tinggi. Aku dan suami secepatnya menjenguk dan menemukan adikku penuh dengan perban.
“Kenapa tidak di terima saja tawaran itu. Kau tidak harus menjadi seperti ini jika menerima tawaran menjadi manager. Kenapa kau tidak mendengar kami?” Kataku.
Ia tiba-tiba menatapku serius, kiranya ia tetap pada keputusannya. “Terima kasih, kak. Tapi itu tidak mungkin. Apa yang akan orang pikirkan jika aku menerima tawaran itu sementara aku ini bukan dari orang yang berpendidikan, kak.”
Mendengar itu, mata suamiku menjadi berkaca-kaca.
“Tapi … Tapi kau tidak berpendidikan juga karena aku ‘kan?” Aku menunduk dalam-dalam. Air mata mulai mengalir di pipiku.
Sambil tersenyum adikku menghapus air mataku, “Tidak ada yang salah dengan itu, kak, tidak ada yang salah.”
Saat adikku berumur 28 tahun, ia menikah dengan seorang gadis desa. Acara pernikahan diadakan dengan amat sederhana, tapi aku bisa melihatnya lebih bahagia dari biasanya. Karena kebahagiaan itu, seorang tamu tertarik untuk bertanya, ia sedikit berteriak.
“Hei … Bisakah kau menyebut siapa orang yang paling kau sayangi dan kau hormati?”
Kalau aku boleh menduga, tentu saja pertanyaan itu mengarah pada jawaban atas kebahagiaannya saat ini. Pertanyaan itu berharap agar ia menjawab bahwa orang yang ia sayangi adalah istrinya. Tapi, aku tak menyangka kalau jawabannya ternyata tidak demikian. Ia menjawab dengan sangat cepat tanpa terlihat berpikir.
“Kakakku …” Jawabnya.
Sontak seluruh tamu di acara itu terdiam, keadaan menjadi hening. Kemudian ia melanjutkan dengan menceritakan sebuah kisah yang hampir sama sekali tak kuingat.
“Dulu, saat saya dan kakak saya masih SD, kami selalu berangkat sekolah bersama-sama dengan berjalan kaki selama dua jam lamanya. Saat itu saya masih kecil, maka sepanjang perjalanan dia selalu memegangi tangan saya sampai sekolah. Pernah di satu kesempatan, saat akan berangkat ke sekolah, saya tidak menemukan jaket, saya kehilangan jaket, padahal hari itu adalah hari yang sangat dingin. Sebelum sempat saya melangkahkan kaki keluar rumah, kakak saya meminjamkan jaketnya pada saya, sedangkan ia tidak mengenakan jaket saat itu. Dan di hari itu, sepulang dari sekolah, sampai malam hari saya melihat kakak saya kedinginan, ia bahkan hampir tidak sanggup memegang sendoknya saat makan, tangannya bergetar-getar hebat, ia benar-benar kedinginan. Karena itu, saya berjanji akan selalu menjaganya, saya berjanji akan selalu melindunginya, saya berjanji akan terus menyayanginya, apapun yang terjadi! Selama saya masih hidup, saya akan terus menghormati kakak saya!”
Tepuk tangan bergemuruh saat itu juga. Semua tamu berpaling melihatku. Aku kelu untuk mengucapkan sesuatu.
“Dalam hidupku …” Aku tiba-tiba menangis, bahuku berguncang-guncang hebat. “Dalam hidupku … Aku akan terus mengasihi adikku, aku akan terus menyayanginya …” Sepintas aku melihat adikku dengan tumpah ruah airmata membanjiri pipiku. “… Aku akan terus menyayangi adikku …”
***
Astaga … Kalian tahu kalau seorang psikolog mashyur di sana, aku lupa siapa namanya, pernah mendedikasikan hampir seluruh hidupnya hanya untuk mempelajari karakter seorang perempuan. Tapi hasil yang ia dapat tak lebih dari kesimpulan kosong belaka, ia menyerah! Setelah sekian lama ia mempelajari bagaimana perempuan itu menggunakan perasaannya, ia tetap tak menemukan apa-apa.
“Perempuan adalah mahkluk yang sulit sekali di mengerti!” Katanya.
Jadi, bagaimana menurutmu? Semoga kalian segera paham mengapa cerita ini tak menarik. Itu semata-mata karena … Karena aku bukan perempuan! Tapi kalau ‘pun cerita ini menarik, itu masih tetap karena … Karena aku juga masih bukan perempuan!
Wassalam …
Diubah oleh gilangmutahari 13-03-2015 04:30
0
5.2K
Kutip
80
Balasan
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
![The Lounge](https://s.kaskus.id/r200x200/ficon/image-21.png)
The Lounge![KASKUS Official KASKUS Official](https://s.kaskus.id/kaskus-next/next-assets/images/icon-official-badge.svg)
923.4KThread•84.5KAnggota
Urutkan
Terlama
![Guest](https://s.kaskus.id/user/avatar/default.png)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
Komentar yang asik ya