- Beranda
- Lounge Pictures
[MUSLIM ONLY] Sebuah Kisah, Sanggupkah Kita Jika Allah Menguji Kita Seperti Ini
...
TS
SPHINX2
[MUSLIM ONLY] Sebuah Kisah, Sanggupkah Kita Jika Allah Menguji Kita Seperti Ini
UJIAN ALLAH KEPADA MUSLIMAH DARI ETNIS TIONGHOA
Quote:
Kisah Cinta Mualaf Gadis Cantik Sebelum mulai, izinkan aku mohon maaf bila ada pihak tak berkenan terutama keluargaku. Untuk itu nama dan tempat disamarkan. Aku ucapkan terimakasih untuk Retno (samaran) mahasiswi Universitas T yang telah sudi menulis. Semoga menginspirasi pembaca atau menguatkan orang yang mengalami seperti aku. Allah limpahkan rahmat dan Hidayah-NYa pada kita, amiin!. Profile; Panggil aku Mawar usia 30-an lahir di kota P, pulau di seberang pulau Jawa sebagai bungsu dari 4 bersaudara. Kami keluarga Cina generasi ke-4 imigran ke Indonesia. Kakek buyut pendatang dari negeri jauh di utara pada awal abad 20. Menurut cerita, kakek buyut berjualan kebutuhan pokok gula, garam beras dll, keluar-masuk kampong dengan pikulan.
Bisnis keluarga berkembang pesat setelah pemerintah menggalakkan usaha yang dilakukan bangsa sendiri (pribumi). Saat itu ada istilah Ali-Baba. Ali panggilan pribumi dan Baba / pebisnis Cina. Pengusaha pribumi diberi kemudahan izin usaha bahkan izin impor, tapi umumnya kesulitan modal. Sementara banyak etnis Cina modalnya kuat membeli izin usaha dari pribumi, sehingga memudahkan bisnis expor-impor ke Singapura, Malaysia dan Hongkong yang dikuasai etnis kami. Bisnis keluarga makin besar, merambah semua bidang; pertambangan, emas, perkebunan dan lainnya. Kekayaan keluarga kami diatas rata-rata orang kaya Indonesia, above than ordinary rich. Harta keluarga amat melimpah hingga orangtua cemas seandainya kami sekeluarga (tiba-tiba) mati dan tidak ada yang mengurus harta kami. Untuk itu kami sekeluarga tidak pernah melakukan perjalanan pesawat bersama-sama. Bila liburan bersama, biasanya kami dibagi 2-3 flight. Papa-mama satu pesawat sisanya dibagi 2 flight. Sehingga bila terjadi musibah, ada anggota keluarga yang tetap melanjutkan bisnis. Aku bercerita tentang keluarga sebab sangat terkait dengan kisah selanjutnya. Papa lahir dan dibesarkan di kota P. Setelah lulus SMA studi bisnis di negeri H (Hongkong). Begitu kembali papa menjadi businessman handal, banyak relasinya di berbagai negara. Papa rendah-hati, pendiam, bicara terukur dan seperlunya serta jarang marah. Mama dari pulau lain yang menjadi karyawati perusahaan kakek sebelum bertemu papa. Mama orangnya keras, pintar, lincah, banyak pergaulan hingga kadang kami fikir, papa sepertinya takluk pada mama. Banyak kebijakan perusahaan berasal dari ide mama dan selalu sukses. Keduanya memang pasangan serasi dan saling mengisi. Mengenal Islam; Masa kecilku penuh kebahagiaan.
Dari SD hingga SMA aku sekolah swasta terkemuka, siswanya banyak anak bupati, gubernur atau pejabat. Aku pun berbaur tanpa memandang golongan, agama dan ras. Kadang aku diundang ke rumah mereka (anak bupati/gubernur) sehingga kenal dekat keluarganya dan kelak bermanfaat buat perusahaan kami. Di sekolahku ada pelajaran agama untuk setiap pemeluknya. Jika ada pelajaran agama tertentu, penganut agama lain diizinkan keluar, tetapi boleh juga tinggal. Misalnya ada pelajaran Islam, aku lebih suka tinggal di kelas mendengarkan apa yang diajarkan. Aku non-Muslim, setiap minggu ke tempat ibadah kami, tetapi aku lebih tertarik dengan Islam. Ada semacam panggilan dari hati paling dalam, Awalnya kupikir hanya perasaan ingin-tahu. Tapi setiap mendengar adzan, hati aku selalu bergetar. Rumah kami sangat besar. Sering aku sendirian, orangtua sibuk di Jakarta dan hanya beberapa hari di rumah dalam sebulan. Kakak-kakakku masih kuliah di LN, sehingga rumah dengan 6 kamar besar, hanya dihuni aku sendiri. Pembantu, sopir dan satpam tinggal di pavilion terpisah dengan rumah induk. Di kesunyian hati, aku merasa sejuk setiap mendengar ayat Quran yang kadang tidak sengaja aku dengarkan di TV. Aku makin tertarik dengan pelajaran Islam. Melihat ibu guru mengenakan kerudung dan wajah bersih bersinar membuat hati merasa sejuk. Dengan melihat wajah ibu guru saja, aku merasakan damai. Tanpa sadar akupun mencatat apa yang diajarkan, aku hapal ayat-ayat pendek. Semua terjadi begitu saja dan tak bisa dicegah.
Pernah ibu guru menghampiri aku yang secara refleks sedang mencatat pelajaran tentang HAJI di papan tulis. Beliau tahu aku non-muslim. Begitu mendekati tempat duduk aku. Jantung berdebar keras membayangkan diusir dari kelas. Ternyata hanya tersenyum ramah melihat catatanku. "Insya Allah kelak Mawar bersama ibu melaksanakan ibadah Haji ya…." Hubunganku dengan Ibu Aisyah (samaran) makin akrab, aku tidak sabar menanti hari pelajarannya. Hubungan itu bagai anak dan ibu. Meski aku juga tetap mengikuti pelajaran agamaku, tapi lebih banyak melamun bahkan tidak mencatat sama sekali. Sebagai gadis remaja tinggi 160 cm sedang mekar dan giat cari pacar. Banyak komentar teman; tubuhku indah, proporsional, wajah oriental dan akan banyak menarik perhatian laki. Tapi saat itu aku tak tertarik dengan pria seetnis. Sebaliknya setiap Jumat aku suka melihat siswa muslim ibadah shalat Jumat, hati langsung bergetar membayangkan andai salah satunya mau jadi pacarku. Dengan wajah bersih bersinar, basah tetesan air wudhu, melangkah ke masjid di seberang sekolah Ah...! Indahnya membayangkan wajah-wajah tersebut. Aku tahu diri, mana ada pribumi yang mau menjadi pacarku. Banyak yang masih membedakan ras. Pacaran dengan cina dianggap memalukan dan menjadi cemohan.
Aku pernah berpacaran dengan anak bupati. Dia memutuskan hubungan hanya karena ayahnya calon Gubernur yang tidak mau anggota keluarga bisa menghambat pencalonan, seperti anaknya berpacaran dengan cina. Alasannya sangat mengada- ada tapi aku sadar; orangtuanya tentu tidak rela anaknya berhubungan terlalu jauh denganku yang juga beda agama. Tapi hatiku sudah bulat kelak punya suami pribumi bahkan bersedia masuk Islam. Keputusan ini kelak membawa hidupku melewati perjalanan penuh ujian dan cobaan. Studi ke Australia dan Amerika Lulus SMA aku study ke Aussie (Australia) dan Amerika mengikuti 2 kakakku. Tak banyak yang perlu diceritakan. Hampir 5 tahun kemudian aku kembali dengan gelar Master dan mengabdi untuk bisnis keluarga. Dalam waktu singkat profit perusahaan meningkat pesat, terus membesar - merambah banyak sektor bisnis. Aku punya akses ke para elite daerah, karena semasa sekolah aku sudah mengenal keluarganya. Semua urusan perizinan aku selesaikan dengan mudah. Aku masih single di pertengahan usia 20-an. Banyak pria berusaha mendekatiku, dari pengusaha muda sukses hingga pemilik perusahaan besar. Namun hatiku tidak bergetar sama sekali. Mencari suami itu mudah tapi aku ingin mencari soulmate. Romantisme dalam Islam Suatu hari kantor mendapat staf baru dari kantor cabang di Jawa, 3 tahun lebih tua dariku, wajah bersih dan etnis Jawa. Tutur-kata lembut, sopan, tinggi proporsional dan ahhh...! Ini dia. Dia muslim taat. Wanita sekantor tidak habisnya membicarakan dan berlomba mendapatkan perhatiannya. Menurut laporan - dia amat rajin, jujur, berprestasi hingga dipromosikan ke posisi lebih tinggi dan satu divisi denganku. Awalnya aku jaga image sebagai anak Big Boss. Lama-lama hati enggak bisa bohong,..sedikit demi sedikit namun pasti...aku jatuh cinta. Suatu saat kami semobil dari kantor gubernur. Tiba-tiba dia meminta izin shalat Ashar di Masjid Raya. Dari dalam mobil, kucermati ia berwudhu, melangkah ke masjid, shalat...Ahhh!. Andai saja aku kelak bisa mengikuti di belakangnya.
Awalnya kami memanggil secara formal 'Pak' dan 'Ibu'. Tapi lama-lama secara tak sengaja aku memanggil "Mas" karena aku sering melihat orang Jawa memanggil yang lebih tua, suami atau kakak dengan sebutan "Mas". Dia rikuh, tetapi lama- kelamaan terbiasa. Tapi itu aku lakukan bila hanya berdua, tidak di kantor. Aku meminta dipanggil 'Dik' bukan 'Ibu Mawar.' Seperti pepatah Jawa, "Witing tresno jalaran kulino" terjemahan bebas "Cinta tumbuh karena terbiasa selalu bersama." Bayangkan bagaimana awal cinta kami!!! Kami duduk di belakang sopir mobilku. Awalnya membahas berkas kerja, kadang tidak sengaja tangan kami bersentuhan. Dia secara sopan segera menarik tangannya dan minta maaf. Ahh!...sebal rasanya. Padahal aku yang menginginkan. Tapi itu tidak berlangsung lama, Akhirnya dia takluk. Aku biarkan tangannya memegang berkas lalu aku pura-pura membahas sambil tanganku menyentuh jari dan tangannya. Aku tidak pandai pura-pura. Dengan berani kugenggam jemarinya, lama-lama dia (sebut saja Mas Fariz) merespon, menggenggam tanganku...ahh!...! Sering aku pura-pura minta supir kembali dari suatu tempat, seolah ada yang tertinggal ... padahal hanya ingin berlama-lama dengan dia. Suatu saat aku pura-pura ketinggalan sesuatu, meminta sopir ke rumah. Begitu memasuki rumah orangtuaku, wajah Mas Fariz pucat. Dia gugup karena khawatir papa (Big Boss) marah jika mengetahui pada jam kerja mampir ke rumahnya. Aku bilang tidak perlu takut, bukankah anak Big Boss yang membawanya. Setahun berlalu. Hubungan kami semakin erat tapi dia belum menyatakan cinta. Mungkin takut ditolak apalagi beda agama. Hingga suatu saat dia menelpon mengajak bertemu di restoran luar kota.
Dia meminta datang sendirian tanpa sopir. Di restoran itu dia menyatakan cinta...langsung saja kuterima. Kukatakan aku bersedia memeluk Islam dan sejak lama ingin masuk Islam, jadi mas Fariz semoga menjadi pembimbingku. Airmatanya meleleh. Seumur hidup baru kali ini seorang pria berlinangan airmata karena aku. Aku tidak kuasa menahan airmata dan yakin mendapatkan 'Soulmate.' Di kantor kami bekerja seperti biasa. Tapi di luar kantor kami sepasang kekasih. Dia mengajari shalat dan sedikit doa. Dia memang lelaki taat, menjaga kesopanan dan tidak pernah melewati batas. Sehingga kadang aku yang menggoda, namun dia selalu bilang, sabar!...tunggu waktunya. Seribu kali sayang, serapat apapun ditutupi, sedikit demi sedikit bocor juga rahasia kami hingga papa tahu ................
Tantangan Keluarga Suatu hari tiba-tiba papa datang ke ruangan aku, padahal amat sangat jarang terjadi, jika ada keperluan biasanya aku dipanggil. Mulanya papa tidak menanyakan hubungan aku dengan mas Fariz, tetapi sedikit demi sedikit topiknya mengarah kesana. Akhirnya papa menanyakan kebenaran hubungan itu. Aku tidak sanggup menjawab, wajah aku tertunduk. Papa menatap dan menunggu jawaban aku. Aku tidak sanggup berbohong atau menyangkal, sebaliknya jika bilang "iya" aku khawatirkan karir Mas Fariz. Aku hanya bisa menangis ... Esoknya, Mas
Fariz tidak hadir, dia dipindahkan ke Jawa. Akupun kehilangan kontak. Seminggu kemudian mas Fariz bercerita di telpon bahwa setelah papa menemuiku, dia langsung menemuinya. Esok paginya dia harus kembali ke kantor lama. Keadaan semakin parah, setiap karyawan di kantornya sudah tahu hubungan kami. Banyak tuduhan kalau mas Fariz mengincar harta dan kedudukan dengan memacariku. Berulangkali dia sebut nama Allah, bersumpah, cintanya kepadaku bukan karena itu. 2 minggu kemudian dia resign, tetapi kami masih berhubungan telpon. Dia mencari pekerjaan di perusahaan yang punya cabang di kota P agar bisa menemui aku. 3 bulan kemudian dia mendapatkannya dengan gaji jauh lebih kecil. Aku amat terharu, dia korbankan karirnya demi aku. Kami pun bebas berhubungan tidak peduli perkataan orang di kantor, tapi papa kembali mengetahui dan kali ini mama turun tangan. Mereka tidak bedakan ras dan tidak keberatan bergaul dengan siapapun, tapi tidak bisa diterima jika aku masuk Islam dan mereka sudah curiga.
Maka kujelaskan, aku sudah dewasa untuk mengambil keputusan hidup tanpa tergantung papa-mama - jawaban yang membuat mereka murka. Mereka berkata, banyak orang rela mati demi merasakan rumah mewah, sopir tersedia tiap saat, mobil mewah, uang melimpah dan dihormati. Mereka katakan, tanpa mereka aku tidak akan pernah bisa memperoleh kehidupan seperti ini. Aku hanya menangis. Tapi hatiku bertekad apapun yang terjadi aku tidak akan meninggalkan Mas Fariz. Aku giat mendalami Islam. Saat istirahat kantor, aku pergi ke tokobuku besar di Mal untuk membaca buku Islam. Pernah aku mengajak rekan kantor ke tokobuku. Aku langsung ke rak buku Islam, dia ingatkan kalau aku ada di bagian rak buku Islam. Aku bilang memang benar, aku mau membaca tentang Islam. Klimaks Kedua kakak laki-laki aku menikah dan menetap di Jakarta menjalankan bisnis kami dan papa-mama sekarang lebih banyak tinggal di kota kami bersama kakak perempuanku dan aku. Tapi hubungan aku dengan papa-mama semakin renggang, kakakku pun sudah terprovokasi dan menjauh. Aku dianggap bukan bagian keluarga dan tak diajak makan bersama di meja makan. Pembantu disuruh memanggilku untuk makan bila mereka selesai makan. Makanan yang ada adalah sisaan mereka dan pembantu tidak diperbolehkan menambah. Akhirnya aku makan makanan sisa. Jika mereka makan ayam, aku makan ceker dan kepala saja.
Bayangkan rasanya sakit hati. Aku bersabar dan mas Fariz selalu mengingatkan untuk berbakti pada orangtua. Bisa saja aku akan di restoran termahal di kota P. Kakak perempuanku sebenarnya kasihan padaku, sehingga kadang dia menyimpan sebagian makanan yang baru dimasak. Sehingga pada saat mama-papa selesai makan, diam-diam dihidangkan untuk aku. Secara tidak terduga, mereka kembali ke meja-makan dan memergoki. Langsung mama rebut piringnya dan melemparkan ke lantai. Sambil menyindir tidak perlu kasihan sebab aku sanggup hidup tanpa diberi makan mama-papa. Ohh..! Mereka rupanya sudah amat membenci. Hancur berkeping hati aku. Aku hanya menangis tetapi tidak menyesalI dan aku akan tetap bertahan. Mas Fariz menyarankan bicara baik-baik agar papa-mama luluh. Suatu malam ada kesempatan mendatangi mereka dan berbicara. Dengan tutur baik aku meminta maaf. Aku tumpahkan perasaan semuanya. Tapi justru itu membuat mereka bertambah murka. Mereka tuduh aku kena sihir dan menyarankan aku sadar. Ya Allah! Aku sehat, Insya Allah tidak ada satupun sihir. Semua keinginan murni dari panggilan jiwa yang tidak bisa aku cegah. Aku jelaskan lagi, bahwa aku sudah dewasa hingga apapun keputusan bisa kupertanggung-jawabkan. Aku bisa mandiri jika dikehendaki. Pendirian mereka pun tetap bahkan menantang, jika sanggup hidup mandiri, sekarang juga serahkan seluruh harta yang aku dapatkan selama hidup dengan mereka. Karena tekad bulat, malam itu seluruh kartu credit, ATM, buku bank aku serahkan. Uang yang aku punya hanya yang tinggal di dompet. Sepertinya tinggal menunggu waktu untuk meninggalkan rumah.
Esok paginya aku ada keperluan untuk membuka lemari besi tempat penyimpanan surat berharga keluarga. Berulangkali mencoba, aku tidak bisa membukanya. Ternyata nomor kombinasinya diubah. Padahal ada barang pribadi aku: Ijasah, perhiasan dan lain. Aku telpon papa tapi jawabannya sinis. Papa menyindir kalau sanggup hidup mandiri, mengapa mau membuka lemari besi keluarga, pasti ada barang yang mau dijual. Aku dikucilkan. Mereka menyiksa dengan caranya sehingga aku menyerah. Aku mengadu ke mas Fariz dan mengatakan akan minggat. Dia diam, lalu berpesan jangan sampai putus hubungan keluarga. Beberapa hari kemudian aku tinggalkan rumah dan kos di dekat kantor. Aku berpamitan baik-baik pada mama-papa. Tetapi mereka menoleh pun tidak. Aku masih ada cukup uang di dompet. Aku bersumpah tidak akan meminta uang mereka. Aku bertekad hidup mandiri. Selama bekerja di perusahaan papa, secara formal aku digaji sesuai dengan posisiku. Tapi disamping itu setiap bulan, aku mendapat uang- saku dari papa hampir 20x lipat gaji resmi. Sehingga penghasilan sebulan cukup untuk hidup mewah selama setahun. Seluruh simpanan bank, mencapai 10 digit. Mungkin cukup biaya seumur hidup. Sekarang aku tetap bekerja dengan harapan masih digaji. Tapi akhir bulan aku tidak mendapat sepeserpun. Saat kutanyakan ke pembayaran gaji, ada perintah menahan gajiku.
Ya Allah, mereka lakukan cara apapun agar menyerah. Saat itu juga kutinggalkan perusahaan papa selamanya. Start from Zero; Saat kuadukan ke mas Fariz dia teramat sedih dan meminta maaf, karena dia hidupku menderita. Dia rela andai aku tak kuat untuk mundur. Aku peluk dia dan kupastikan keputusanku tidak berubah. Akupun semakin ingin hidup bersamanya. Saat itu hanya dia sandaranku. Dengan berurai airmata, dia tanya lagi, apakah rela menjadi muslimah dan menjadi istrinya. Kuciumi tangannya kukatakan kukorbankan kehidupanku hanya untuk bisa hidup bersamanya dan tidak akan menyesali. Singkat cerita, dengan diantar mas
Fariz aku mengucapkan kalimat syahadat di sebuah masjid disaksikan imam dan beberapa jemaah masjid. Dia mengajak segera menikah di kota kelahirannya. Kebetulan tugasnya dipindahkan ke pulau Jawa. Sebelum menikah kami datangi rumah papa-mama. Tapi satpam di pintu gerbang mengatakan kalau dia diperintahkan tidak boleh membuka pintu bila kami datang.
Sebenarnya ia mau membuka pintu. Tapi aku larang, khawatir mencelakai pekerjaan Biarlah aku saja yang menderita. Aku tinggalkan secarik surat yang isinya mohon doa restu bahwa aku akan menikah dengan Mas Fariz. Aku beritahukan ke pak satpam aku sudah muslimah. Matanya berkaca-kaca saat kukatakan aku mualaf. Keluarga mas Fariz menanyakan ketidakhadiran keluargaku di pernikahan kami. Tapi setelah mas Fariz bercerita, mereka memahami. Kami menikah secara sederhana. Keluarganya amat sangat menerimaku dengan hangat tanpa mempermasalahkan keturunan Cina. Ibu mertuaku amat sayang kepadaku.
Aku amat sangat bahagia menjadi istrinya. Aku hidup di rumah sederhana, kulalui dengan penuh kebahagiaan dan aku tidak mengeluh sedikitpun dengan yang mas Fariz berikan. Aku tidak lagi bekerja, karena aku ingin mengabdi pada suamiku. Disamping itu semua ijasah masih tersimpan di lemari besi, aku tidak bisa melamar pekerjaan. Aku pun ingin membuktikan bisa mandiri dengan suamiku. Mas Fariz amat sangat menyayangiku tiap pagi sebelum berangkat kantor dia memelukku. Tiap hari kubawakan 'lunch box' makan siang karena aku tidak mau dia makan makanan masakan orang lain. Aku sangat posesif, ingin memiliki dan melayani secara total. Tiap hari aku bangun sebelum dia bangun dan tidur setelah dia benar-benar tidur untuk memastikan dia sudah benar-benar tidak perlu aku layani lagi. Aku siapkan celana, baju, kaus kakinya tiap pagi sebelum berangkat kerja. Sehingga dia tidak perlu memikirkan pakaian apa yang harus dia pakai. Bahkan aku potong kukunya bila sudah panjang. Dia kujadikan pangeran bagi diriku. Tiap malam sebelum tidur, kami ngobrol dan saling mengajarkan bahasa. Dia mengajari bahasa jawa, sedangkan aku mengajari bahasa mandarin. Dia amat cepat belajar mandarin dalam waktu singkat dia menguasai kata-kata yang umum diucapkan, kadang mengajakku bicara mandarin di rumah.
Memang perusahaan tempatnya bekerja milik etnis Cina dan banyak berhubungan dengan keturunan Cina, sehingga bila berbahasa mandarin akan memberi keuntungan tambahan. Suatu saat dia pulang membawa motor, kantornya memberi pinjaman cicilan motor. Memang hanya motor, tapi aku bahagia sekali dengan yang dia dapatkan. Berulangkali dia minta-maaf tak bisa membeli mobil seperti yang pernah kumiliki. Aku katakan motor yang kita miliki jauh lebih mewah dari mobilku dulu. Karena motor ini bukan sekedar dibeli dengan uang, tapi juga dengan cinta. Kehidupan perkimpoian kami teramat indah, kalau di rumah nyaris kami tidak bisa berjauhan. Tiap hari bagi kami adalah bulan madu. Setahun kemudian lahir anak kami. Bayi itu sebut saja 'Faisal'. Mas Fariz yang membacakan Azan dan iqomat sesaat setelah lahir. Aku merasa lengkap kebahagiaanku. Setiap hari bertambah bahagia bisa merasakan 2 orang "Fariz" dalam rumahku. Saat mas Fariz ke kantor, aku di temani Fariz kecil. Aku mencintai 2 orang yang sama darah dagingnya. 3 tahun anak kami hadir. Mas Fariz bercita-cita mendatangi orangtuaku, oma- opanya Faisal. Dia ingin perkenalkan cucu mereka dan menyatukan aku dengan papa-mama. Dia berharap dengan kehadiran Faisal, akan meluluhkan hati orangtuaku. Tapi tiap menelpon, papa-mama bersikap seperti dulu. Bahkan waktu kukatakan bahwa mereka punya cucu dariku, mereka menjawab, kalau mereka tak merasa punya keturunan dariku…Ohh! malangnya anakku.
Bisnis keluarga berkembang pesat setelah pemerintah menggalakkan usaha yang dilakukan bangsa sendiri (pribumi). Saat itu ada istilah Ali-Baba. Ali panggilan pribumi dan Baba / pebisnis Cina. Pengusaha pribumi diberi kemudahan izin usaha bahkan izin impor, tapi umumnya kesulitan modal. Sementara banyak etnis Cina modalnya kuat membeli izin usaha dari pribumi, sehingga memudahkan bisnis expor-impor ke Singapura, Malaysia dan Hongkong yang dikuasai etnis kami. Bisnis keluarga makin besar, merambah semua bidang; pertambangan, emas, perkebunan dan lainnya. Kekayaan keluarga kami diatas rata-rata orang kaya Indonesia, above than ordinary rich. Harta keluarga amat melimpah hingga orangtua cemas seandainya kami sekeluarga (tiba-tiba) mati dan tidak ada yang mengurus harta kami. Untuk itu kami sekeluarga tidak pernah melakukan perjalanan pesawat bersama-sama. Bila liburan bersama, biasanya kami dibagi 2-3 flight. Papa-mama satu pesawat sisanya dibagi 2 flight. Sehingga bila terjadi musibah, ada anggota keluarga yang tetap melanjutkan bisnis. Aku bercerita tentang keluarga sebab sangat terkait dengan kisah selanjutnya. Papa lahir dan dibesarkan di kota P. Setelah lulus SMA studi bisnis di negeri H (Hongkong). Begitu kembali papa menjadi businessman handal, banyak relasinya di berbagai negara. Papa rendah-hati, pendiam, bicara terukur dan seperlunya serta jarang marah. Mama dari pulau lain yang menjadi karyawati perusahaan kakek sebelum bertemu papa. Mama orangnya keras, pintar, lincah, banyak pergaulan hingga kadang kami fikir, papa sepertinya takluk pada mama. Banyak kebijakan perusahaan berasal dari ide mama dan selalu sukses. Keduanya memang pasangan serasi dan saling mengisi. Mengenal Islam; Masa kecilku penuh kebahagiaan.
Dari SD hingga SMA aku sekolah swasta terkemuka, siswanya banyak anak bupati, gubernur atau pejabat. Aku pun berbaur tanpa memandang golongan, agama dan ras. Kadang aku diundang ke rumah mereka (anak bupati/gubernur) sehingga kenal dekat keluarganya dan kelak bermanfaat buat perusahaan kami. Di sekolahku ada pelajaran agama untuk setiap pemeluknya. Jika ada pelajaran agama tertentu, penganut agama lain diizinkan keluar, tetapi boleh juga tinggal. Misalnya ada pelajaran Islam, aku lebih suka tinggal di kelas mendengarkan apa yang diajarkan. Aku non-Muslim, setiap minggu ke tempat ibadah kami, tetapi aku lebih tertarik dengan Islam. Ada semacam panggilan dari hati paling dalam, Awalnya kupikir hanya perasaan ingin-tahu. Tapi setiap mendengar adzan, hati aku selalu bergetar. Rumah kami sangat besar. Sering aku sendirian, orangtua sibuk di Jakarta dan hanya beberapa hari di rumah dalam sebulan. Kakak-kakakku masih kuliah di LN, sehingga rumah dengan 6 kamar besar, hanya dihuni aku sendiri. Pembantu, sopir dan satpam tinggal di pavilion terpisah dengan rumah induk. Di kesunyian hati, aku merasa sejuk setiap mendengar ayat Quran yang kadang tidak sengaja aku dengarkan di TV. Aku makin tertarik dengan pelajaran Islam. Melihat ibu guru mengenakan kerudung dan wajah bersih bersinar membuat hati merasa sejuk. Dengan melihat wajah ibu guru saja, aku merasakan damai. Tanpa sadar akupun mencatat apa yang diajarkan, aku hapal ayat-ayat pendek. Semua terjadi begitu saja dan tak bisa dicegah.
Pernah ibu guru menghampiri aku yang secara refleks sedang mencatat pelajaran tentang HAJI di papan tulis. Beliau tahu aku non-muslim. Begitu mendekati tempat duduk aku. Jantung berdebar keras membayangkan diusir dari kelas. Ternyata hanya tersenyum ramah melihat catatanku. "Insya Allah kelak Mawar bersama ibu melaksanakan ibadah Haji ya…." Hubunganku dengan Ibu Aisyah (samaran) makin akrab, aku tidak sabar menanti hari pelajarannya. Hubungan itu bagai anak dan ibu. Meski aku juga tetap mengikuti pelajaran agamaku, tapi lebih banyak melamun bahkan tidak mencatat sama sekali. Sebagai gadis remaja tinggi 160 cm sedang mekar dan giat cari pacar. Banyak komentar teman; tubuhku indah, proporsional, wajah oriental dan akan banyak menarik perhatian laki. Tapi saat itu aku tak tertarik dengan pria seetnis. Sebaliknya setiap Jumat aku suka melihat siswa muslim ibadah shalat Jumat, hati langsung bergetar membayangkan andai salah satunya mau jadi pacarku. Dengan wajah bersih bersinar, basah tetesan air wudhu, melangkah ke masjid di seberang sekolah Ah...! Indahnya membayangkan wajah-wajah tersebut. Aku tahu diri, mana ada pribumi yang mau menjadi pacarku. Banyak yang masih membedakan ras. Pacaran dengan cina dianggap memalukan dan menjadi cemohan.
Aku pernah berpacaran dengan anak bupati. Dia memutuskan hubungan hanya karena ayahnya calon Gubernur yang tidak mau anggota keluarga bisa menghambat pencalonan, seperti anaknya berpacaran dengan cina. Alasannya sangat mengada- ada tapi aku sadar; orangtuanya tentu tidak rela anaknya berhubungan terlalu jauh denganku yang juga beda agama. Tapi hatiku sudah bulat kelak punya suami pribumi bahkan bersedia masuk Islam. Keputusan ini kelak membawa hidupku melewati perjalanan penuh ujian dan cobaan. Studi ke Australia dan Amerika Lulus SMA aku study ke Aussie (Australia) dan Amerika mengikuti 2 kakakku. Tak banyak yang perlu diceritakan. Hampir 5 tahun kemudian aku kembali dengan gelar Master dan mengabdi untuk bisnis keluarga. Dalam waktu singkat profit perusahaan meningkat pesat, terus membesar - merambah banyak sektor bisnis. Aku punya akses ke para elite daerah, karena semasa sekolah aku sudah mengenal keluarganya. Semua urusan perizinan aku selesaikan dengan mudah. Aku masih single di pertengahan usia 20-an. Banyak pria berusaha mendekatiku, dari pengusaha muda sukses hingga pemilik perusahaan besar. Namun hatiku tidak bergetar sama sekali. Mencari suami itu mudah tapi aku ingin mencari soulmate. Romantisme dalam Islam Suatu hari kantor mendapat staf baru dari kantor cabang di Jawa, 3 tahun lebih tua dariku, wajah bersih dan etnis Jawa. Tutur-kata lembut, sopan, tinggi proporsional dan ahhh...! Ini dia. Dia muslim taat. Wanita sekantor tidak habisnya membicarakan dan berlomba mendapatkan perhatiannya. Menurut laporan - dia amat rajin, jujur, berprestasi hingga dipromosikan ke posisi lebih tinggi dan satu divisi denganku. Awalnya aku jaga image sebagai anak Big Boss. Lama-lama hati enggak bisa bohong,..sedikit demi sedikit namun pasti...aku jatuh cinta. Suatu saat kami semobil dari kantor gubernur. Tiba-tiba dia meminta izin shalat Ashar di Masjid Raya. Dari dalam mobil, kucermati ia berwudhu, melangkah ke masjid, shalat...Ahhh!. Andai saja aku kelak bisa mengikuti di belakangnya.
Awalnya kami memanggil secara formal 'Pak' dan 'Ibu'. Tapi lama-lama secara tak sengaja aku memanggil "Mas" karena aku sering melihat orang Jawa memanggil yang lebih tua, suami atau kakak dengan sebutan "Mas". Dia rikuh, tetapi lama- kelamaan terbiasa. Tapi itu aku lakukan bila hanya berdua, tidak di kantor. Aku meminta dipanggil 'Dik' bukan 'Ibu Mawar.' Seperti pepatah Jawa, "Witing tresno jalaran kulino" terjemahan bebas "Cinta tumbuh karena terbiasa selalu bersama." Bayangkan bagaimana awal cinta kami!!! Kami duduk di belakang sopir mobilku. Awalnya membahas berkas kerja, kadang tidak sengaja tangan kami bersentuhan. Dia secara sopan segera menarik tangannya dan minta maaf. Ahh!...sebal rasanya. Padahal aku yang menginginkan. Tapi itu tidak berlangsung lama, Akhirnya dia takluk. Aku biarkan tangannya memegang berkas lalu aku pura-pura membahas sambil tanganku menyentuh jari dan tangannya. Aku tidak pandai pura-pura. Dengan berani kugenggam jemarinya, lama-lama dia (sebut saja Mas Fariz) merespon, menggenggam tanganku...ahh!...! Sering aku pura-pura minta supir kembali dari suatu tempat, seolah ada yang tertinggal ... padahal hanya ingin berlama-lama dengan dia. Suatu saat aku pura-pura ketinggalan sesuatu, meminta sopir ke rumah. Begitu memasuki rumah orangtuaku, wajah Mas Fariz pucat. Dia gugup karena khawatir papa (Big Boss) marah jika mengetahui pada jam kerja mampir ke rumahnya. Aku bilang tidak perlu takut, bukankah anak Big Boss yang membawanya. Setahun berlalu. Hubungan kami semakin erat tapi dia belum menyatakan cinta. Mungkin takut ditolak apalagi beda agama. Hingga suatu saat dia menelpon mengajak bertemu di restoran luar kota.
Dia meminta datang sendirian tanpa sopir. Di restoran itu dia menyatakan cinta...langsung saja kuterima. Kukatakan aku bersedia memeluk Islam dan sejak lama ingin masuk Islam, jadi mas Fariz semoga menjadi pembimbingku. Airmatanya meleleh. Seumur hidup baru kali ini seorang pria berlinangan airmata karena aku. Aku tidak kuasa menahan airmata dan yakin mendapatkan 'Soulmate.' Di kantor kami bekerja seperti biasa. Tapi di luar kantor kami sepasang kekasih. Dia mengajari shalat dan sedikit doa. Dia memang lelaki taat, menjaga kesopanan dan tidak pernah melewati batas. Sehingga kadang aku yang menggoda, namun dia selalu bilang, sabar!...tunggu waktunya. Seribu kali sayang, serapat apapun ditutupi, sedikit demi sedikit bocor juga rahasia kami hingga papa tahu ................
Tantangan Keluarga Suatu hari tiba-tiba papa datang ke ruangan aku, padahal amat sangat jarang terjadi, jika ada keperluan biasanya aku dipanggil. Mulanya papa tidak menanyakan hubungan aku dengan mas Fariz, tetapi sedikit demi sedikit topiknya mengarah kesana. Akhirnya papa menanyakan kebenaran hubungan itu. Aku tidak sanggup menjawab, wajah aku tertunduk. Papa menatap dan menunggu jawaban aku. Aku tidak sanggup berbohong atau menyangkal, sebaliknya jika bilang "iya" aku khawatirkan karir Mas Fariz. Aku hanya bisa menangis ... Esoknya, Mas
Fariz tidak hadir, dia dipindahkan ke Jawa. Akupun kehilangan kontak. Seminggu kemudian mas Fariz bercerita di telpon bahwa setelah papa menemuiku, dia langsung menemuinya. Esok paginya dia harus kembali ke kantor lama. Keadaan semakin parah, setiap karyawan di kantornya sudah tahu hubungan kami. Banyak tuduhan kalau mas Fariz mengincar harta dan kedudukan dengan memacariku. Berulangkali dia sebut nama Allah, bersumpah, cintanya kepadaku bukan karena itu. 2 minggu kemudian dia resign, tetapi kami masih berhubungan telpon. Dia mencari pekerjaan di perusahaan yang punya cabang di kota P agar bisa menemui aku. 3 bulan kemudian dia mendapatkannya dengan gaji jauh lebih kecil. Aku amat terharu, dia korbankan karirnya demi aku. Kami pun bebas berhubungan tidak peduli perkataan orang di kantor, tapi papa kembali mengetahui dan kali ini mama turun tangan. Mereka tidak bedakan ras dan tidak keberatan bergaul dengan siapapun, tapi tidak bisa diterima jika aku masuk Islam dan mereka sudah curiga.
Maka kujelaskan, aku sudah dewasa untuk mengambil keputusan hidup tanpa tergantung papa-mama - jawaban yang membuat mereka murka. Mereka berkata, banyak orang rela mati demi merasakan rumah mewah, sopir tersedia tiap saat, mobil mewah, uang melimpah dan dihormati. Mereka katakan, tanpa mereka aku tidak akan pernah bisa memperoleh kehidupan seperti ini. Aku hanya menangis. Tapi hatiku bertekad apapun yang terjadi aku tidak akan meninggalkan Mas Fariz. Aku giat mendalami Islam. Saat istirahat kantor, aku pergi ke tokobuku besar di Mal untuk membaca buku Islam. Pernah aku mengajak rekan kantor ke tokobuku. Aku langsung ke rak buku Islam, dia ingatkan kalau aku ada di bagian rak buku Islam. Aku bilang memang benar, aku mau membaca tentang Islam. Klimaks Kedua kakak laki-laki aku menikah dan menetap di Jakarta menjalankan bisnis kami dan papa-mama sekarang lebih banyak tinggal di kota kami bersama kakak perempuanku dan aku. Tapi hubungan aku dengan papa-mama semakin renggang, kakakku pun sudah terprovokasi dan menjauh. Aku dianggap bukan bagian keluarga dan tak diajak makan bersama di meja makan. Pembantu disuruh memanggilku untuk makan bila mereka selesai makan. Makanan yang ada adalah sisaan mereka dan pembantu tidak diperbolehkan menambah. Akhirnya aku makan makanan sisa. Jika mereka makan ayam, aku makan ceker dan kepala saja.
Bayangkan rasanya sakit hati. Aku bersabar dan mas Fariz selalu mengingatkan untuk berbakti pada orangtua. Bisa saja aku akan di restoran termahal di kota P. Kakak perempuanku sebenarnya kasihan padaku, sehingga kadang dia menyimpan sebagian makanan yang baru dimasak. Sehingga pada saat mama-papa selesai makan, diam-diam dihidangkan untuk aku. Secara tidak terduga, mereka kembali ke meja-makan dan memergoki. Langsung mama rebut piringnya dan melemparkan ke lantai. Sambil menyindir tidak perlu kasihan sebab aku sanggup hidup tanpa diberi makan mama-papa. Ohh..! Mereka rupanya sudah amat membenci. Hancur berkeping hati aku. Aku hanya menangis tetapi tidak menyesalI dan aku akan tetap bertahan. Mas Fariz menyarankan bicara baik-baik agar papa-mama luluh. Suatu malam ada kesempatan mendatangi mereka dan berbicara. Dengan tutur baik aku meminta maaf. Aku tumpahkan perasaan semuanya. Tapi justru itu membuat mereka bertambah murka. Mereka tuduh aku kena sihir dan menyarankan aku sadar. Ya Allah! Aku sehat, Insya Allah tidak ada satupun sihir. Semua keinginan murni dari panggilan jiwa yang tidak bisa aku cegah. Aku jelaskan lagi, bahwa aku sudah dewasa hingga apapun keputusan bisa kupertanggung-jawabkan. Aku bisa mandiri jika dikehendaki. Pendirian mereka pun tetap bahkan menantang, jika sanggup hidup mandiri, sekarang juga serahkan seluruh harta yang aku dapatkan selama hidup dengan mereka. Karena tekad bulat, malam itu seluruh kartu credit, ATM, buku bank aku serahkan. Uang yang aku punya hanya yang tinggal di dompet. Sepertinya tinggal menunggu waktu untuk meninggalkan rumah.
Esok paginya aku ada keperluan untuk membuka lemari besi tempat penyimpanan surat berharga keluarga. Berulangkali mencoba, aku tidak bisa membukanya. Ternyata nomor kombinasinya diubah. Padahal ada barang pribadi aku: Ijasah, perhiasan dan lain. Aku telpon papa tapi jawabannya sinis. Papa menyindir kalau sanggup hidup mandiri, mengapa mau membuka lemari besi keluarga, pasti ada barang yang mau dijual. Aku dikucilkan. Mereka menyiksa dengan caranya sehingga aku menyerah. Aku mengadu ke mas Fariz dan mengatakan akan minggat. Dia diam, lalu berpesan jangan sampai putus hubungan keluarga. Beberapa hari kemudian aku tinggalkan rumah dan kos di dekat kantor. Aku berpamitan baik-baik pada mama-papa. Tetapi mereka menoleh pun tidak. Aku masih ada cukup uang di dompet. Aku bersumpah tidak akan meminta uang mereka. Aku bertekad hidup mandiri. Selama bekerja di perusahaan papa, secara formal aku digaji sesuai dengan posisiku. Tapi disamping itu setiap bulan, aku mendapat uang- saku dari papa hampir 20x lipat gaji resmi. Sehingga penghasilan sebulan cukup untuk hidup mewah selama setahun. Seluruh simpanan bank, mencapai 10 digit. Mungkin cukup biaya seumur hidup. Sekarang aku tetap bekerja dengan harapan masih digaji. Tapi akhir bulan aku tidak mendapat sepeserpun. Saat kutanyakan ke pembayaran gaji, ada perintah menahan gajiku.
Ya Allah, mereka lakukan cara apapun agar menyerah. Saat itu juga kutinggalkan perusahaan papa selamanya. Start from Zero; Saat kuadukan ke mas Fariz dia teramat sedih dan meminta maaf, karena dia hidupku menderita. Dia rela andai aku tak kuat untuk mundur. Aku peluk dia dan kupastikan keputusanku tidak berubah. Akupun semakin ingin hidup bersamanya. Saat itu hanya dia sandaranku. Dengan berurai airmata, dia tanya lagi, apakah rela menjadi muslimah dan menjadi istrinya. Kuciumi tangannya kukatakan kukorbankan kehidupanku hanya untuk bisa hidup bersamanya dan tidak akan menyesali. Singkat cerita, dengan diantar mas
Fariz aku mengucapkan kalimat syahadat di sebuah masjid disaksikan imam dan beberapa jemaah masjid. Dia mengajak segera menikah di kota kelahirannya. Kebetulan tugasnya dipindahkan ke pulau Jawa. Sebelum menikah kami datangi rumah papa-mama. Tapi satpam di pintu gerbang mengatakan kalau dia diperintahkan tidak boleh membuka pintu bila kami datang.
Sebenarnya ia mau membuka pintu. Tapi aku larang, khawatir mencelakai pekerjaan Biarlah aku saja yang menderita. Aku tinggalkan secarik surat yang isinya mohon doa restu bahwa aku akan menikah dengan Mas Fariz. Aku beritahukan ke pak satpam aku sudah muslimah. Matanya berkaca-kaca saat kukatakan aku mualaf. Keluarga mas Fariz menanyakan ketidakhadiran keluargaku di pernikahan kami. Tapi setelah mas Fariz bercerita, mereka memahami. Kami menikah secara sederhana. Keluarganya amat sangat menerimaku dengan hangat tanpa mempermasalahkan keturunan Cina. Ibu mertuaku amat sayang kepadaku.
Aku amat sangat bahagia menjadi istrinya. Aku hidup di rumah sederhana, kulalui dengan penuh kebahagiaan dan aku tidak mengeluh sedikitpun dengan yang mas Fariz berikan. Aku tidak lagi bekerja, karena aku ingin mengabdi pada suamiku. Disamping itu semua ijasah masih tersimpan di lemari besi, aku tidak bisa melamar pekerjaan. Aku pun ingin membuktikan bisa mandiri dengan suamiku. Mas Fariz amat sangat menyayangiku tiap pagi sebelum berangkat kantor dia memelukku. Tiap hari kubawakan 'lunch box' makan siang karena aku tidak mau dia makan makanan masakan orang lain. Aku sangat posesif, ingin memiliki dan melayani secara total. Tiap hari aku bangun sebelum dia bangun dan tidur setelah dia benar-benar tidur untuk memastikan dia sudah benar-benar tidak perlu aku layani lagi. Aku siapkan celana, baju, kaus kakinya tiap pagi sebelum berangkat kerja. Sehingga dia tidak perlu memikirkan pakaian apa yang harus dia pakai. Bahkan aku potong kukunya bila sudah panjang. Dia kujadikan pangeran bagi diriku. Tiap malam sebelum tidur, kami ngobrol dan saling mengajarkan bahasa. Dia mengajari bahasa jawa, sedangkan aku mengajari bahasa mandarin. Dia amat cepat belajar mandarin dalam waktu singkat dia menguasai kata-kata yang umum diucapkan, kadang mengajakku bicara mandarin di rumah.
Memang perusahaan tempatnya bekerja milik etnis Cina dan banyak berhubungan dengan keturunan Cina, sehingga bila berbahasa mandarin akan memberi keuntungan tambahan. Suatu saat dia pulang membawa motor, kantornya memberi pinjaman cicilan motor. Memang hanya motor, tapi aku bahagia sekali dengan yang dia dapatkan. Berulangkali dia minta-maaf tak bisa membeli mobil seperti yang pernah kumiliki. Aku katakan motor yang kita miliki jauh lebih mewah dari mobilku dulu. Karena motor ini bukan sekedar dibeli dengan uang, tapi juga dengan cinta. Kehidupan perkimpoian kami teramat indah, kalau di rumah nyaris kami tidak bisa berjauhan. Tiap hari bagi kami adalah bulan madu. Setahun kemudian lahir anak kami. Bayi itu sebut saja 'Faisal'. Mas Fariz yang membacakan Azan dan iqomat sesaat setelah lahir. Aku merasa lengkap kebahagiaanku. Setiap hari bertambah bahagia bisa merasakan 2 orang "Fariz" dalam rumahku. Saat mas Fariz ke kantor, aku di temani Fariz kecil. Aku mencintai 2 orang yang sama darah dagingnya. 3 tahun anak kami hadir. Mas Fariz bercita-cita mendatangi orangtuaku, oma- opanya Faisal. Dia ingin perkenalkan cucu mereka dan menyatukan aku dengan papa-mama. Dia berharap dengan kehadiran Faisal, akan meluluhkan hati orangtuaku. Tapi tiap menelpon, papa-mama bersikap seperti dulu. Bahkan waktu kukatakan bahwa mereka punya cucu dariku, mereka menjawab, kalau mereka tak merasa punya keturunan dariku…Ohh! malangnya anakku.
Berlanjut
Diubah oleh SPHINX2 24-09-2014 13:09
4iinch memberi reputasi
1
82.6K
Kutip
447
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Lounge Pictures
69KThread•12.4KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya