wilfutureAvatar border
TS
wilfuture
Kalau Semua Ada di Google, Buat Apa Sekolah?


Ketika saya menulis ini, saya sedang berada di Singapore. Sebuah negara kecil yang maju luar biasa. Tidak ada satu negarapun yang meragukan eksistensi negara singa ini. Persis ketika saya sampai sini, sehari kemudian Founding Father-nya meninggal. Lee Kuan Yew, umur 91, yang selama ini dianggap sebagai bapak bangsa Singapore dipanggil menghadap-Nya dengan sangat tenang setelah sakit sekian lama. Lee Kuan Yew ini seangkatan dengan dengan pemimpin besar ASEAN yang lain, seperti Soeharto dan Mahathir Mohammad. Lee Kuan Yew memimpin Singapore selama 3 dekade dan berhasil membuat Singapore menjadi negara teratur dan tertib seperti sekarang ini. Karena kejadian itu, selama saya di Singapore, suasana duka sangat terasa. Siaran televisi, radio dan berita di koran adalah tentang Mr Lee.

Tetapi ada satu hal saya cermati. Walaupun sedemikian banyak orang menunjukkan kesedihan. Terlihat jelas, yang paling kehilangan adalah generasi baby-boomers yang sekarang berusia 50 tahun ke atas. Kakek-kakek dan nenek-nenek Singaporean ini banyak terlihat menangis dan betul-betul kehilangan. Mereka tahu betul kehebatan Mr Lee membawa Singapore menjadi negara yang berdaulat setelah berpisah dengan Malaysia di tahun 1965. Anak-anak muda Singapore kemana? Ada banyak juga yang berduka, tetapi lebih banyak yang tetap belanja dan atau nongkrong di coffee shop. Mereka terlihat biasa saja. Cuek. I bet, mereka tidak pernah mendapatkan pelajaran sejarah.

Rasanya terlalu jauh juga kalau saya sebut quote-nya Bung Karno : Jas Merah, Jangan pernah melupakan sejarah; sebagai quote yang sungguh humble dan brilian. tetapi begitulah kenyataannya. Kemarin ketika saya ngobrol dengan supir taksi di Singapore, dia bilang negaranya dalam masa yang rawan ditinggal Lee Kuan Yew. Orang muda-mudanya mendapatkan tantangan keras karena harus bekerja extra keras untuk bisa hidup di negara itu.If you work lazy, you die ~ begitu katanya. Ini dikarenakan biaya hidup yang gila-gilaan, gaji dipotong biaya pensiun sebesar 20% belum lagi buat makan dan fashion. Kata uncle supir taksi itu, punya gaji SGD2.500 (Sekitar 24 juta rupiah) sebulan itu minim banget buat anak muda disini. Kalau dalam waktu 4-5 tahun gaji masih segitu, dipastikan gak akan bisa nikah. Kurang bro!

Eh, kok malah jadi ngobrolin Singapore.

Balik lagi ke searchquery yang masuk ke BixBux tadi. Apabila ini mewakili pandangan kaum remaja di Indonesia, maka pilihannya hanya dua : ikutin arus atau lawan arusnya. Pemerintah punya power untuk melawan arus, tetapi suatu saat arusnya akan terlalu kencang untuk dilawan.

Saya sendiri mengakui, sistem pendidikan di Indonesia masih belum sempurna. Perlu banyak perbaikan sana-sini. Anies Baswedan, menteri pendidikan yang sekarang, paling tidak mempunyai idealisme untuk memperbaiki itu. Pendidikan kita saat ini mempunyai pesaing invisible yang namanya Google. Bedanya, pendidikan kita bisa didesain untuk seperti yang kita mau. Sementara Google tidak ada saringannya, bablas masuk ke pikiran anak-anak kita.

Mari kita get to the bottom deh. Kenapa sih anak-anak kita harus sekolah? Kalau jawabannya biar pinter, itu so 1980’s. Waktu saya sekolah SD dulu, tiap pagi sebelum berangkat sekolah selalu dielus rambut saya oleh bapak dan dibisikin : sekolah yang pinter ya win, biar besok gede jadi dokter. Tipikal orang jaman dahulu menyekolahkan anaknya biar jadi pinter. Jaman sekarang, pinternya harus terdefinisi lebih jelas. Pinter musik, pinter bikin patung, pinter fisika, pinter kimia atau pinter-pinter yang lain.

Ada 2 hal yang menurut saya mendasari pemikiran tentang pinter yang spesifik ini : (1) kekhawatiran orang tua dan (2) kompetisi masa datang akan lebih ketat. Poin yang pertama mendominasi semuanya. Anak jaman sekarang berbeda dengan anak jaman dulu. Bahasa saya, anak jaman sekarang lebih cepet pinter daripada jaman dulu. Anak saya yang umur 8 tahun sudah cas cis cus kalo ngomong Inggris. Logatnya Harry Potter banget. Semua buku disekolahnya pake bahasa Inggris. Bapaknya bentar lagi pasti kesalip ngomong Londonnya hehe..

Orang tua jaman sekarang juga serba paranoid. Saking paranoidnya, sang anak dipaksa masuk ke sekolah yang terbaik, diantara yang terbaik untuk menjadi yang terbaik. Lho bukannya memang harus begitu? Memang iya, tapi musti dilihat kemampuan anaknya juga dong. Kalau untuk menjadi yang terbaik itu artinya setiap jam diisi dengan sekolah dan les, tunggu bentar. Mari kita posisikan diri kita, ang orang tua ini, jadi seorang anak SD jaman sekarang. Setiap hari sekolah, kemudian pulang sekolah harus les sampe jam 19-20 malem. Tidak ada lagi keriangan anak yang bersosialisasi dengan teman-temannya.

Saya gak tahu Deddy Corbuzier mengeluarkan berapa puluh juta buat nyekolahin anaknya di sekolah internasional, tetapi yang jelas gak semua orang punya kemampuan untuk itu. Kalau Deddy merasa sekolah anaknya adalah yang terbaik, maka menurut saya, sekolah yang terbaik bukan hanya yang bisa memunculkan potensi sang anak, tetapi juga menjaga agar anak kita tetap menjadi seorang anak, dan bukan robot yang harus terus menuruti kemauan orang tuanya untuk menjadi yang terbaik. Termasuk menyekolahkan anaknya di sekolah internasional yang jam sekolahnya sampai sore, apakah ini yang terbaik untuk anak, atau untuk orang tuanya yang sibuk dari pagi sampai sore?

Paranoid itu tidak selamanya jelek. Sikap ini membuat kita waspada. Tetapi terlalu berlebihan juga bukan solusinya. Anak kita adalah anak kita. Mereka perlu bermain, bercengkrama dengan teman-temannya, tertawa riang dan berlari-larian dengan bebas.

Tetapi memang hal yang paling menakutkan bagi orang tua adalah masa depan anak. Kita semua sadar betul tingkat kompetisi pada saat anak kita besar nanti sudah sangat berbeda dengan apa yang kita rasakan sekarang. Landscape-nya sudah berubah. Anak kita akan berkompetisi dengan anak yang lebih pinter, lebih spesifik dan lebih mengerti dia mau kemana. Ini yang membuat kita, mau tidak mau, mempersiapkan anak kita untuk bisa memenangkan kompetisi dengan baik.

Seperti apa masa depan itu? Yang saya berani bilang adalah seperti ini. Kondisinya berbanding terbalik dengan apa yang terjadi sekarang. Dari tahun 1980an kita dihipnotis bahwa Indonesia merupakan negara industri. Semua serba terstandarisasi. Apa yang diajarkan di sekolah adalah hal-hal yang sangat terstandar, seperti di pabrik. Masuk jam 7 teng, istirahat 15 menit, masuk lagi, kemudian istirahat makan siang dan masuk lagi sampai denga pulang ke rumah. Persis kayak kerja di pabrik kan? Ya karena pola pikir pabrikan masih nyangkut di pola pembelajaran dan kurikulum dasar kita. Nanti semuanya berbeda. Eranya industri jasa. Ketika orang dengan keahlian tertentu lebih dihargai daripada orang yang mempunyai keahlian sama dengan orang lain. Semakin unik keahlian kita, semakin mahal bayaran yang diterima. Menjadi dokter itu mudah, tapi dokter dengan keahlian akupuntur masih jarang. Jadi teknisi komputer juga pekerjaan generik, tapi teknisi komputer yang khusus nge-backup data akan memunculkan keunggulan bersaing yang lebih banyak. Pekerjaan beraliran jasa macam artis, designer, programmer, chef, akuntan, pengacara sampai dengan seorang wine sommelier (ahli wine) akan sangat dihargai mahal.

Bayangkan kalau anak kita adalah anak yang generik, tahu semua, harus bersaing dengan anak yang mempunyai keahlian spesifik. Sampai kapanpun anak kita akan terpinggirkan karena tidak mempunyai skill yang khusus. Itulah makanya, anak sekarang didorong untuk dapat tahu bakatnya dari ketika masih kecil. Lihat saja tes uji bakat anak yang ada saat ini, bayarnya semahal apapun tetep laku. Semata-mata karena ketakutan orang tua yang berlebihan kalau anaknya terlambat tahu bakatnya kemana. Walaupun mungkin secara science dapat dibuktikan, tetep aja saya ketawa tipis kalau ada anak yang diuji bakatnya di umur 2 tahun, atau 4 tahun. Come on, they’re still kiddos!

Jadi, penting gak sekolah. Menurut saya, penting. Kenapa? Simpel, karena anak kita harus tahu bagaimana lingkungan sekitarnya. Dia harus berteman dengan dengan sebanyak mungkin anak-anak yang lain dan menghabiskan masa anak-anaknya dengan menjadi seorang anak. Bukan, bukan karena saya ingin anak saya menjadi anak yang pinter. Saya sadar betul, pendidikan itu justru lebih banyak dilakukan di luar sekolah. Anak saya mau ranking berapa juga gak ada masalah (untungnya disekolahnya tidak ada sistem ranking). Papanya juga tidak menuntut banyak.

Tetapi dia harus menjadi anak yang mengerti norma dan etika, menghormati gurunya, menghargai teman-temannya, mempunyai tanggung jawab akan tugas sekolahnya, menghormati orang tuanya, tahu sejarah bangsa ini, tahu bagaimana menyanyikan Indonesia Raya sampai dengan mengerti bahwa bekerja dalam kelompok itu berarti tidak harus menjadi pemimpin, tapi harus berkontribusi. Anak saya harus bisa menjadi anak yang bisa memandang langit dengan hati yang tetap berada di bumi. Dan itu semua, menurut saya, hanya bisa diajarkan oleh sekolah. Bukan di Google. Dengan segala keterbatasan waktu kita, sebagai orang tua.


Jadi Bagaimana Menurut Anda? emoticon-I Love Indonesia (S)


Diubah oleh wilfuture 06-04-2015 06:06
0
18.4K
241
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923KThread83KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.