• Beranda
  • ...
  • The Lounge
  • [DENDAM] Psychology of Positive Revenge | Yang Pernah Hatinya Terluka Masuk Gan

wilfutureAvatar border
TS
wilfuture
[DENDAM] Psychology of Positive Revenge | Yang Pernah Hatinya Terluka Masuk Gan


Peristiwa menyedihkan dalam hidup kadang bisa berubah menjadi energi yang amat memotivasi. Para ahli perilaku menyebutnya sebagai the power of resiliency : mengubah luka hati menjadi energi positif yang powerful.

Mari kita lengkapi kisah resiliensi ini dengan storytelling yang sungguh menggetarkan tentang relasi dua anak muda yang tengah mencoba merajut cinta dan impian masa depan.

Sebelum lanjut, silakan dinikmati dulu teh atau kopi hangatnya, mas, mbak.

Alkisah ada anak muda, sebut saja Suryo. Ia mahasiswa tingkat akhir fakultas ekonomi sebuah kampus ternama di Jogja. Suryo berasal dari keluarga yang kurang mampu. Selama ini ia membiayai sendiri biaya hidup dan kuliahnya dengan menulis di berbagai koran daerah.

Ia anak muda yang cerdas, tekun membaca dan piawai menulis. Dari honor menulisnya, ia bisa bertahan hidup, dan melanjutkan kuliah S1.

Sudah dua tahun ia pacaran dengan Laras, perempuan ayu dari Jakarta yang kuliah di kampus yang sama, namun dari jurusan psikologi. Laras berasal dari keluarga berada. Bening, ayu dan anak orang kaya, wajar jika banyak yang naksir.

Entah kenapa dulu Laras malah milih menerima cinta Suryo. Mungkn karena Suryo punya otak yang cerdas, pandai menulis, dan punya bakat jadi intelektual.

“Sebab perempuan cantik mudah jatuh cinta dengan pria yang otaknya cerdas, meski wajahnya hanya kelas KW3“. Begitu bunyi tulisan di belakang sebuah bak truck emoticon-Ngakak (S)

Namun sudah agak lama orang tua Laras kurang merestui hubungan dia dengan Suryo. Mungkin karena Suryo berasal dari kalangan tidak mampu. Kelas proletar.

Well, pada akhirnya cinta saja tidak cukup sebagai modal buat membangun pernikahan. Sebab Anda butuh uang juga toh buat bayar cicilan KPR emoticon-Hammer (S)

Hubungan Suryo dengan Laras kian terjal saat Laras lulus dan melanjutkan kuliah S2 di Department of Psychology, Boston University.

Mereka lalu melanjutkan relasi cinta mereka secara LDR (long distance relationship, maksudnya). Skype menjadi andalan. Jarak ribuan KM antara Boston – Jogja lebur lewat medium internet. Toh teknologi tak pernah bisa menggantikan sentuhan personal antar manusia. High tech selalu kehilangan aura saat human touch lenyap.

Hubungan cinta yang terjal itu akhirnya benar-benar usai, melalui email panjang dari Laras. Suryo membaca email itu dari layar laptop jadulnya, di kamar kos-nya yang bersahaja. Dalam cahaya redup rembulan.

Laras menulis orang tuanya benar-benar tidak merestui hubungan mereka. Mungkin karena perbedaan kelas sosial, sebab Suryo hanya dari kasta proletar.

Laras juga bilang ia juga sudah berkenalan dan dekat dengan anak teman ayahnya yang juga tengah kuliah di Harvard. (FYI, kampus Boston University dan Harvard hanya berjarak 2 KM, berada di tepian sungai yang indah di kota Boston).

“Mungkin ini keputusan yang terbaik buat kita, Suryo. Buat masa depan saya dan kamu”. Begitu Laras menulis dalam email panjangnya.

Ia menutup emailnya dengan kalimat klasik : “Dari Laras, seseorang yang pernah mencintaimu dengan sepenuh hati”.

Dalam temaram sinar rembulan, di kamar kos-nya yang bersahaja, hati suryo berduka.

Suryo lalu terkenang dengan masa-masa indahnya bersama Laras. Saat ia berceloteh tentang passionnya untuk menjadi “a profitable blogger”.

Sesungguhnya tak ada yang lebih indah saat kamu bisa berbagi passionmu dengan orang yang kamu cintai. Dan ia mensupport passion-mu dengan sepenuh hati.

Suryo lalu terngiang juga saat mereka selalu asyik ngobrol tentang banyak hal : tentang the science of happiness, tentang irrational behavior, dan juga tentang impian-impian mereka. Tak ada yang lebih menggetarkan dibanding melihat dua anak muda ygang saling jatuh cinta, lalu berbagi bersama tentang impian-impian masa depan mereka.

Suryo mendadak juga teringat ibunya. Beberapa kali ia pernah mengajak Laras ke kampung halamannya, berkenalan dan bertemu dengan ibunya. Jelas ibunya sumringah membayangkan dirinya akan punya mantu seperti Laras, perempuan santun, cantik dan pintar.

Apa reaksi ibunya jika ia bilang Laras sudah memutuskan hubungan, dan alasannya : karena dirinya berasal dari keluarga miskin? Ibunya pasti akan ikut berduka dan menangis dalam hati.

Suryo menghela nafas, membaca email panjang itu. Dari layar laptop jadulnya yg bermerk zyrex. Segelas kopi menemaninya malam itu.

Hidup miskin itu pahit. Apalagi kalau sudah miskin, lalu disepelekan oleh orang lain yang kaya raya. Disitu kadang Suryo merasa sedih emoticon-Berduka (S)

Mata Suryo berkaca-kaca. Sinar rembulan yang redup seperti ikut berduka dalam malam yang sendu itu.

Martin Seligman dlm bukunya Learned Optimism menulis : orang dengan mentalitas optimis cenderung lebih mudah melewati pengalaman hidup yang kelam.

Carol Dweck dalam buku fenomenalnya berjudul Mindset, menyebut orang seperti seperti itu sebagai pribadi dengan “growth mindset” : selalu bisa tumbuh bahkan saat berhadapan dengan jalan hidup yang terjal dan menyakitkan.

Suryo mungkn tipe orang dengan growth mindset. Meski hatinya amat dikecewakan oleh sikap Laras, ia ingin terus menghadapi masa depan dengan optimisme. Ia bahkan bisa mentransformasi momen kelam yang menyakitkan hatinya itu justru sebagai energi positif untuk bergerak.

Hanya orang dengan daya resiliensi yang kuat yang bisa mengubah “sakit hati” menjadi energi positif yang powerful.

Mungkin ini yang disebut sebagai “psychology of positive revenge” : saat kamu disepelekan, kamu malah punya energi ekstra untk bergerak. Bergerak untk membuktikan bahwa yang menyepelekan kamu salah. Sebab mereka underestimate dengan potensi dirimu.

Memberikan makna positif atas setiap peristiwa kelam dalam sejarah hidup adalah ciri orang dengan growth mindset. Mindset yang terus tumbuh.

Dan orang dengan growth mindset akan punya daya resiliensi yang kuat : terus bergerak maju saat kepedihan demi kepedihan hidup datang berulang. Sebab cara paling ampuh untuk melupakan kesedihan adalah dengan “bergerak”, do something. Dan bukan terus dipikir dan diratapi.

Dalam teori resiliensi dikenal analogi seperti bola tenis. Seperti pantulan bola, makin keras kamu jatuh, harusnya makin tinggi daya lentingmu. Saat kamu dihadapkan pada beragam peristiwa pahit dalam sejarah hidupmu; kamu justru akan melenting makin tinggi.

Ketangguhan mentalmu justru kian terasah saat kejadian demi kejadian kelam menyergap sekujur ragamu.

Suryo mungkin berusaha untuk memperagakan mentalitas seperti itu. Saat hatinya pedih karena disepelekan, ia ingin terus bergerak maju : menciptakan karya yang bermakna dan terus berjuang mewujudkan impiannya.

Waktu terus berlalu. Pelan-pelan Suryo sudah mulai melupakan kejadian yang amat mengecewakan itu, sampai suatu malam saat ia pulang ke kos-kosan.

Di depan pintu kamar kos-nya ia menjumpai undangan pernikahan yang begitu mewah. Ia mengenal sekali nama mempelai putri dalam undangan itu.

Dibalik undangan itu, ia menemukan kertas kecil dengan catatan pendek : “Usahakan datang ya. Dari aku, Laras”.

Malam terasa makin kelam. Desau angin datang menyergap. Dan pada akhirnya Suryo masih punya impian hidup yang harus terus diperjuangkan.

End of Story. #ResiliencyStory emoticon-norose


0
6.3K
55
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.9KThread82.8KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.