- Beranda
- The Lounge
(Ketika) Film Indonesia Kekurangan Stok Polisi dan Tentara Jahat
...
TS
davinof
(Ketika) Film Indonesia Kekurangan Stok Polisi dan Tentara Jahat
Quote:
Thank to :Allah SWT, Mimin, KASKUS.Officer, Momod (all room), dan KASKUSer sedunia^^
Quote:
Seperti juga kita disini yang nyaris tak pernah (lagi) melihat aksi polisi dan tentara yang jahat di film film Indonesia. Kemana dan dimana mereka? Apakah mereka yang memfilmkannya takut diberangus? Atau jangan jangan di negara ini memang tidak pernah ada yang namanya polisi dan tentara yang jahat?
Oooh mungkin para polisi dan tentara yang jahat lebih suka disaksikan secara langsung di dunia nyata daripada di film film....Mungkin?!
Oooh mungkin para polisi dan tentara yang jahat lebih suka disaksikan secara langsung di dunia nyata daripada di film film....Mungkin?!
Quote:
Mari kita ingat-ingat lagi, kapan terakhir ada film cerita Indonesia dengan tokoh polisi atau tentara sebagai antagonis, jauh dari atribut-atribut heroik? Atau pernahkah anda melihat film lokal menampilkan aparat itu sebagai manusia, bukan rombongan pria berseragam menangkap penjahat di akhir cerita?
Kalau jawabannya 'jarang' atau malah 'belum pernah', anda tidak sendirian.
Jurnalis kawakan Karni Ilyas, saat diwawancara Majalah Playboy Indonesia pada 2006, menyampaikan anekdot bahwa setelah reformasi apapun bebas dilakukan di negara ini. Memaki presiden, membakar maling sandal, dan sebagainya. Bebas!
Kecuali dua hal yang konsisten tidak bisa bebas diamalkan walau rezim berubah: memakai sandal saat memasuki masjid dan merokok di SPBU.
Saya ingin menambahkan satu pengecualian lagi: personil Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI mustahil dikritik, karena bila ada penyimpangan, itu semua tindakan oknum.
Oknum adalah istilah yang baru muncul pada 1970, setelah mahasiswa berunjuk rasa atas lambannya pengusutan kasus-kasus korupsi, semisal pengemplangan dana Yayasan Haji, skandal BE, skandal Mantrust, serta penggarongan Pertamina.
Usai Soeharto membentuk Komisi Anti Korupsi untuk meredam aksi mahasiswa, media massa mulai diarahkan Departemen Penerangan untuk menggunakan kata 'oknum' saat menyebut pelaku tindak kejahatan berlatar anggota institusi penegak hukum.
Seiring waktu, termasuk ketika kini kita hidup di alam reformasi, oknum identik dengan aparat hukum. Dalih oknum masih jamak ditemui saat humas Polri dan TNI mengungkap kasus hukum yang melibatkan anggotanya.
Ada polisi memeras pengendara tanpa surat izin saat razia ilegal? Oknum. Ada tentara membunuh warga sipil di Papua? Oknum. Personel Kopassus membunuh tahanan di Cebongan, Yogya, secara membabibuta? Pahlawan.
Untungnya selepas reformasi penggunaan istilah oknum perlahan terkikis dari cara tutur media massa. Tidak bisa dibayangkan pada 1980-an, ketika Soeharto sedang kuat-kuatnya, ada koran menulis jenderal polisi punya rekening gendut.
Maka dari itu, saat Kolektif Jakarta - sebuah gabungan seniman dan pegiat sinema Indonesia - pada 21 Maret 2015 lalu menggelar pemutaran film bertema 'Mengalami Kemanusiaan', jujur saya terkejut.
Ada dua film berani bergerak melampaui tabu membicarakan para pemegang bedil. Yakni 'The Fox Exploits The Tigers Might' karya Lucky Kuswandi dan 'Siti' arahan Eddi Cahyono.
'The Fox' menggambarkan persahabatan Aseng dan David, dua pelajar SMP di kota yang menjadi basis tentara. Ayah David adalah jenderal, sering menerima setoran barang-barang selundupan. Tak heran di film bersetting 1990-an itu, David bisa memiliki permainan video game.
Lucky pun blak-blakan menggambarkan bagaimana keluarga Aseng, yang keturunan Tionghoa, rajin menyetor uang keamanan pada tentara supaya bisnis minuman kerasnya aman.
Sementara lewat 'Siti', Eddie Cahyono menampilkan polisi-polisi di Pantai Parangtritis yang menyita alat-alat karaoke ilegal. Sebagai imbalan mengembalikan peralatan tersebut, polisi itu minta jatah karaoke gratis, hostess paling cantik, dan pasokan minuman keras tanpa henti.
Penggambaran Lucky atau Eddie bahkan lebih frontal dibanding Ifa Isfansyah yang menampilkan tentara sebagai jagal orang-orang tertuduh komunis di film 'Sang Penari' (2012).
Film 'The Raid' (2011) yang kesohor itupun menampilkan sekilas karakter polisi korup, tapi porsinya sangat minim dan sangat karikatural dibanding jagoan utama yang serba heroik: bersih, lurus, dan ahli adu jotos. Logika cerita semacam itu tanpa sadar tetap mendukung - dan malah melanggengkan - tujuan politis kemunculan kata 'oknum'.
'Kodrat' (1986) arahan Slamet Rahardjo Djarot, merupakan tonggak awal film cerita Indonesia berani menggambarkan polisi yang mengalami dilema moral, karena harus menghabisi adiknya sendiri. Tapi setelahnya, tetap tak banyak karya sinema menelisik tema-tema sensitif ini.
Sungguh ironis, ketika pers dan industri televisi atau bahkan pegiat dokumenter berani lebih terbuka menyentuh wilayah tabu problematisasi moral penegak hukum, industri film cerita masih keteteran.
Tapi supaya adil, kita juga wajib mengingat, bahwa kekangan negara menjaga citra penegak hukum di layar perak tetap kuat kendati zaman berganti.
Pangkal miskinnya cerita-cerita yang obyektif menguak sisi gelap TNI dan Polri di film, berakar kode etik Produksi Film Nasional pada 1981.
Dalam naskah kode etik itu, disebutkan bahwa film bertanggung jawab meniadakan "setiap pernyataan yang akan memicu merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga penegak hukum." Dalam poin lain, tapi masih bernada serupa, Dewan Film Nasional diharapkan Departemen Penerangan "bisa melarang muncul ejekan terhadap penegak hukum dan ketertiban."
Lantas, apakah cerita dari film Lucky dan Eddie mendiskreditkan polisi atau tentara? Justru tidak. Kedua sineas itu boleh dibilang bersikap jujur karena menyajikan cerita yang merujuk kenyataan di masyarakat.
Arsip media massa jelas lebih menohok bila sekadar diminta membuka kasus-kasus melibatkan aparat negara lima tahun terakhir.
Saya tidak mengatakan film cerita harus mengangkat sebanyak mungkin keburukan TNI dan Polri. Tapi bayangkan bila sineas kita tak terbebani menceritakan karakter tentara rendahan di perbatasan terdepan Indonesia yang kesepian.
Atau, katakanlah cerita polisi yang dimutasi karena menolak menutup sebuah kasus atas perintah atasan, sementara dia terhimpit kebutuhan hidup akibat gaji yang mengenaskan.
Film-film semacam itu, mengungkap tabir gelap aparat disertai penggambaran karakter yang realistis, kalau perlu didukung TNI dan Polri langsung. Jika dua institusi ini ingin kampanye reformasi internalnya berhasil, maka menceritakan borok sesama aparat lewat medium komunikasi populer seperti film, patut ditempuh.
Sikap saling percaya antara sipil-sipil bersenjata-militer tak kunjung tercapai pascareformasi. Mempertahankan kode etik 1981 itu yang semakin kadaluarsa di era Internet, jelas bukan langkah strategis.
Sama seperti profesi lainnya, personil TNI dan Polri jelas bukan manusia sempurna. Maka dari itu menggambarkan para pemegang bedil melulu heroik akan menimbulkan kesenjangan persepsi di benak penonton.
Jika media massa punya tugas menghapus oknum dari bahasa tuturnya, maka sineas punya tanggung jawab moral untuk lebih sering mengeksplorasi cerita mengenai tentara dan polisi.
Tentu, usulan ini sangat bisa tercapai seandainya Lembaga Sensor Film - yang kemampuannya cuma memberangus ide kreatif - tak lagi dipertahankan oleh negara. Soal lembaga mubazir satu ini, akan ditulis dalam kesempatan terpisah.
Saya yakin wibawa aparat tidak akan jatuh hanya karena sinema lebih jujur membelejeti pelbagai keburukan aparat yang selama ini jadi rahasia publik. Film yang menggambarkan apa adanya sosok polisi dan tentara, adalah yang terbaik bagi kebudayaan.
Masyarakat (atau penonton) di masa depan tidak mengandalkan ketakutan pada aparat sebagai panduan moralnya saat berhadapan dengan hukum. Sedangkan polisi dan tentara bisa belajar lebih 'woles'; tak perlu kebakaran jenggot (atau malah mati-matian melindungi penjahat) sewaktu korpsnya tercoreng skandal. Sungguh indah bukan?
Selayaknya, memang, jangan ada lagi oknum di antara kita.
Kalau jawabannya 'jarang' atau malah 'belum pernah', anda tidak sendirian.
Jurnalis kawakan Karni Ilyas, saat diwawancara Majalah Playboy Indonesia pada 2006, menyampaikan anekdot bahwa setelah reformasi apapun bebas dilakukan di negara ini. Memaki presiden, membakar maling sandal, dan sebagainya. Bebas!
Kecuali dua hal yang konsisten tidak bisa bebas diamalkan walau rezim berubah: memakai sandal saat memasuki masjid dan merokok di SPBU.
Saya ingin menambahkan satu pengecualian lagi: personil Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI mustahil dikritik, karena bila ada penyimpangan, itu semua tindakan oknum.
Oknum adalah istilah yang baru muncul pada 1970, setelah mahasiswa berunjuk rasa atas lambannya pengusutan kasus-kasus korupsi, semisal pengemplangan dana Yayasan Haji, skandal BE, skandal Mantrust, serta penggarongan Pertamina.
Usai Soeharto membentuk Komisi Anti Korupsi untuk meredam aksi mahasiswa, media massa mulai diarahkan Departemen Penerangan untuk menggunakan kata 'oknum' saat menyebut pelaku tindak kejahatan berlatar anggota institusi penegak hukum.
Seiring waktu, termasuk ketika kini kita hidup di alam reformasi, oknum identik dengan aparat hukum. Dalih oknum masih jamak ditemui saat humas Polri dan TNI mengungkap kasus hukum yang melibatkan anggotanya.
Ada polisi memeras pengendara tanpa surat izin saat razia ilegal? Oknum. Ada tentara membunuh warga sipil di Papua? Oknum. Personel Kopassus membunuh tahanan di Cebongan, Yogya, secara membabibuta? Pahlawan.
Untungnya selepas reformasi penggunaan istilah oknum perlahan terkikis dari cara tutur media massa. Tidak bisa dibayangkan pada 1980-an, ketika Soeharto sedang kuat-kuatnya, ada koran menulis jenderal polisi punya rekening gendut.
Maka dari itu, saat Kolektif Jakarta - sebuah gabungan seniman dan pegiat sinema Indonesia - pada 21 Maret 2015 lalu menggelar pemutaran film bertema 'Mengalami Kemanusiaan', jujur saya terkejut.
Ada dua film berani bergerak melampaui tabu membicarakan para pemegang bedil. Yakni 'The Fox Exploits The Tigers Might' karya Lucky Kuswandi dan 'Siti' arahan Eddi Cahyono.
'The Fox' menggambarkan persahabatan Aseng dan David, dua pelajar SMP di kota yang menjadi basis tentara. Ayah David adalah jenderal, sering menerima setoran barang-barang selundupan. Tak heran di film bersetting 1990-an itu, David bisa memiliki permainan video game.
Lucky pun blak-blakan menggambarkan bagaimana keluarga Aseng, yang keturunan Tionghoa, rajin menyetor uang keamanan pada tentara supaya bisnis minuman kerasnya aman.
Sementara lewat 'Siti', Eddie Cahyono menampilkan polisi-polisi di Pantai Parangtritis yang menyita alat-alat karaoke ilegal. Sebagai imbalan mengembalikan peralatan tersebut, polisi itu minta jatah karaoke gratis, hostess paling cantik, dan pasokan minuman keras tanpa henti.
Penggambaran Lucky atau Eddie bahkan lebih frontal dibanding Ifa Isfansyah yang menampilkan tentara sebagai jagal orang-orang tertuduh komunis di film 'Sang Penari' (2012).
Film 'The Raid' (2011) yang kesohor itupun menampilkan sekilas karakter polisi korup, tapi porsinya sangat minim dan sangat karikatural dibanding jagoan utama yang serba heroik: bersih, lurus, dan ahli adu jotos. Logika cerita semacam itu tanpa sadar tetap mendukung - dan malah melanggengkan - tujuan politis kemunculan kata 'oknum'.
'Kodrat' (1986) arahan Slamet Rahardjo Djarot, merupakan tonggak awal film cerita Indonesia berani menggambarkan polisi yang mengalami dilema moral, karena harus menghabisi adiknya sendiri. Tapi setelahnya, tetap tak banyak karya sinema menelisik tema-tema sensitif ini.
Sungguh ironis, ketika pers dan industri televisi atau bahkan pegiat dokumenter berani lebih terbuka menyentuh wilayah tabu problematisasi moral penegak hukum, industri film cerita masih keteteran.
Tapi supaya adil, kita juga wajib mengingat, bahwa kekangan negara menjaga citra penegak hukum di layar perak tetap kuat kendati zaman berganti.
Pangkal miskinnya cerita-cerita yang obyektif menguak sisi gelap TNI dan Polri di film, berakar kode etik Produksi Film Nasional pada 1981.
Dalam naskah kode etik itu, disebutkan bahwa film bertanggung jawab meniadakan "setiap pernyataan yang akan memicu merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga penegak hukum." Dalam poin lain, tapi masih bernada serupa, Dewan Film Nasional diharapkan Departemen Penerangan "bisa melarang muncul ejekan terhadap penegak hukum dan ketertiban."
Lantas, apakah cerita dari film Lucky dan Eddie mendiskreditkan polisi atau tentara? Justru tidak. Kedua sineas itu boleh dibilang bersikap jujur karena menyajikan cerita yang merujuk kenyataan di masyarakat.
Arsip media massa jelas lebih menohok bila sekadar diminta membuka kasus-kasus melibatkan aparat negara lima tahun terakhir.
Saya tidak mengatakan film cerita harus mengangkat sebanyak mungkin keburukan TNI dan Polri. Tapi bayangkan bila sineas kita tak terbebani menceritakan karakter tentara rendahan di perbatasan terdepan Indonesia yang kesepian.
Atau, katakanlah cerita polisi yang dimutasi karena menolak menutup sebuah kasus atas perintah atasan, sementara dia terhimpit kebutuhan hidup akibat gaji yang mengenaskan.
Film-film semacam itu, mengungkap tabir gelap aparat disertai penggambaran karakter yang realistis, kalau perlu didukung TNI dan Polri langsung. Jika dua institusi ini ingin kampanye reformasi internalnya berhasil, maka menceritakan borok sesama aparat lewat medium komunikasi populer seperti film, patut ditempuh.
Sikap saling percaya antara sipil-sipil bersenjata-militer tak kunjung tercapai pascareformasi. Mempertahankan kode etik 1981 itu yang semakin kadaluarsa di era Internet, jelas bukan langkah strategis.
Sama seperti profesi lainnya, personil TNI dan Polri jelas bukan manusia sempurna. Maka dari itu menggambarkan para pemegang bedil melulu heroik akan menimbulkan kesenjangan persepsi di benak penonton.
Jika media massa punya tugas menghapus oknum dari bahasa tuturnya, maka sineas punya tanggung jawab moral untuk lebih sering mengeksplorasi cerita mengenai tentara dan polisi.
Tentu, usulan ini sangat bisa tercapai seandainya Lembaga Sensor Film - yang kemampuannya cuma memberangus ide kreatif - tak lagi dipertahankan oleh negara. Soal lembaga mubazir satu ini, akan ditulis dalam kesempatan terpisah.
Saya yakin wibawa aparat tidak akan jatuh hanya karena sinema lebih jujur membelejeti pelbagai keburukan aparat yang selama ini jadi rahasia publik. Film yang menggambarkan apa adanya sosok polisi dan tentara, adalah yang terbaik bagi kebudayaan.
Masyarakat (atau penonton) di masa depan tidak mengandalkan ketakutan pada aparat sebagai panduan moralnya saat berhadapan dengan hukum. Sedangkan polisi dan tentara bisa belajar lebih 'woles'; tak perlu kebakaran jenggot (atau malah mati-matian melindungi penjahat) sewaktu korpsnya tercoreng skandal. Sungguh indah bukan?
Selayaknya, memang, jangan ada lagi oknum di antara kita.
Quote:
Diubah oleh davinof 27-03-2015 02:13
tien212700 memberi reputasi
1
101.2K
Kutip
563
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
924.5KThread•88.8KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya