Dari awal sampai terakhir kata kuncinya adalah kita. Dari sudut pandang anak, anak tak pernah siap ayah dan ibunya pecah. Juga tak ada diantara kita ayah ibu anak-anak yang sejak kecil menyiapkan anaknya untuk kemungkinan terhempas, karena biduk rumah tangga pecah, sehingga anak selalu menjadi korban utama perpecahan. Mereka anak-anak kita tak pernah mau mimpinya orangtuanya harus tetap utuh, Bapaknya sebagaimanapun nakalnya, dia harus tetap bersamanya. Seperti satu surat elektronik dari seorang anak perempuan tentang bapaknya.
Quote:
Kupastikan aku memang jarang bertemu ayah dibanding ibu, lantaran ayah bekerja di luar rumah, dan pulang ketika kami sama-sama letih untuk berbicara satu sama lainnya. Tapi aku percaya, mungkin ibu yang kerap menelpon untuk menanyakan keadaan ku setiap hari. Tapi aku tau, Sebenernya ayah lah yang mengingatkan ibu untuk menelponku. Semasa kecil, ibuku lah yang sering menggendongku. Tapi aku tau, ketika ayah pulang bekerja dengan wajah yang letih ayah lah yang selalu menanyakan apa yang aku lakukan seharian. Walau beliau tidak bertanya langsung padaku karna saking letihnya mencari nafkah dan melihatku tidur terlelap dalam nyenyakku. Aku tau, ia kecup keningku dalam tidurku. Saat aku demam, ayah membentak"Sudah diberitahu jangan minum es!" lantas aku merenggut, menjauhi ayahku dan menangis didepan ibu. Tapi aku tau, ayah lah yang risau dengan keadaanku. Sampai dia hanya bisa menggigit bibir menahan kesakitanku. Ketika remaja aku meminta keluar malam, ayah dengan tegas berkata "Tidak boleh!". Sadar, ayahku hanya ingin menjagaku. Karena beliu yang lebih tau apa yang ada di luar. Karena bagi ayah, aku adalah sesuatu yang sangat berharga. Saat aku sudah dipercaya olehnya, ayahku melonggarkan peraturannya, maka terkadang aku melonggarkan kepercayaannya. Ayah lah yang setia menunggu di ruang tamu dengan rasa sangat risau, bahkan sampai menyuruh ibu untuk mengontak beberapa temanku untuk menanyakan keadaanku, dimana dan sedang apa di luar. Setelah dewasa walau ibu yang mengantarku ke sekolah untuk belajar, tapi aku tau ayahku yang berkata "Bu, temani anakmu, aku akan pergi mencari nafkah untuk kita bersama." Disaat aku merengek memerlukan ini itu untuk keperluan kuliahku, ayah hanya mengerutkan dahi tanpa menolak, beliau memenuhinya dan cuma berfikir, kemana aku harus mencari uang tambahan padahal gajiku pas-pasan, dan sudah tak ada lagi tempat untuk meminjam. Saat aku berjaya, ayah adalah orang pertama yang berdiri dan bertepuk tangan untukku, ayah lah yang mengabari sanak saudara, anakku sudah sukses. Dalam sujudnya, ayah juga tidak kalah dengan doa ibu. Cuma bedanya, ayah simpan doa itu di dalam hatinya. Sampai ketika aku menemukan jodohku, ayahku sangat berhati-hati mengijinkannya, dan akhirnya saat ayah duduk melihatku di atas pelaminan bersama pasanganku, ayahpun tersenyum bahagia. Lantas aku menengok, ayah sempat pergi ke belakang, dan menangis. Ayah menangis karena sangat bahagia dan beliau pun berdoa "Ya Tuhan, tugasku telah selesai dengan baik, bahagiakanlah putra putri kecilku yang manis bersama pasangannya.