- Beranda
- Stories from the Heart
PERTEMUAN, KENANGAN, MOVE ON!
...
TS
zie666
PERTEMUAN, KENANGAN, MOVE ON!
SELAMAT DATANG DI THREAD ANE GANS
INI PERTAMA KALINYA ANE POSTING SESUATU DI FORUM HTH, KEBETULAN ANE JUGA LAGI ADA CERITA NIH. LUMAYAN LAH UNTUK DI SHARE DI SINI. TANPA BABIBU, SILAHKAN DIBACA GAN CERITA ANE DI BAWAH INI. KALAU SEKIRANYA BAGUS, SYUKUR-SYUKUR DI KOMEN, DI RATE, ATAU DI LEMPAR
Spoiler for Cerita:
Hampir tiga bulan aku bekerja di sini. Bergelut dengan buku-buku dan mahasiswa yang bermacam pola tingkah dan lakunya. Selama itu juga aku selalu bertemu dengan seseorang yang dulu pernah mengukir cerita di masa laluku. Perempuan yang dulu pernah menolak pernyataan cintaku.
Jujur saja, orang itu sejujurnya tidak masuk dalam daftar perempuan paling cantik yang pernah aku temui. Tapi siapa peduli dengan kecantikan? Selama ini aku tak hanya mencari soal rupa, aku mencari perasaan. Yah, meskipun aspek wajah tetap harus diperhatikan.
Lagi pula seseorang pernah berkata: “Jika kamu mencintai seseorang karena wajah, bagaimana cara kamu mencintai Tuhan yang tak berwujud?”
Karena yang aku tahu, orang yang mencintai karena wajah akan menjadi benci karena hal itu sendiri. Pikirkanlah. Dan perempuan yang aku bicarakan sekarang memang tidak cantik, tapi bukan berarti dia jelek. Justru wajah itu tak ada dalam dua kategori itu. Mungkin aku menyebutnya Manis.
Sedap dan tak bosan untuk dipandang. Wajahnya tirus, dagu lancipnya kokoh, matanya bulat, warna kulitnya sedikit lebih putih dariku. Dan satu hal yang paling suka darinya; giginya ketika ia tersenyum.
Lebih dari itu semua, ada sesuatu yang sangat unik—hingga pada akhirnya itulah yang membuat aku jatuh hati padanya. Selain itu dia juga temanku semasa kecil, jadi aku tahu bagaimana perangainya. Yang aku tahu, orang ini baik—jelas, mana mungkin aku jatuh pada orang jahat. Riang dan banyak tertawa, apalagi jika itu bersamaku.
Jarum jam sudah menunjuk lantang angka 12 siang, 1 jam lagi tempat ini akan penuh sesak oleh para mahasiswa. Perpustakaan yang aku kelola ini unik, lebih unik dari perpustakaan google atau vatikan. Di mana perpustakaan pada umunya selalu tenang dan terjaga kesunyian, kalau di sini justru sebaliknya. Aku berani bertaruh kalau perpustakaan ini adalah perpustakaan paling bising di dunia.
Saat aku sedang asik membenahi buku yang berantakan—yah, aku lupa bilang kalau perpustakaan ini juga seperti kapal pecah sewaktu-waktu—kudengar langkah kaki yang kian mendekat. Tak lama kemudian langkah itu berhenti dan berubah menjadi sosok yang aku bicarakan. Berdiri tepat di depan pintu kaca.
Aku terdiam sejenak, tak biasanya orang ini datang pada jam seperti ini. Di balik pintu dia memberi isyarat agar pintunya dibuka. Aku lupa, kalau pintu itu dikunci. Lalu aku membukakan pintu untuknya.
Dengan pakaian yang sopan—sweater rajut warna ping dengan terusan Long Skirt berwarna putih-ping—dia masuk tanpa ragu. Melempar senyum padaku dan melontarkan kata “hai” seraya mengangkat satu tangannya. Aku membalas senyum dan sapaannya. Lalu dia mendaratkan diri di kursi yang ada di depan meja tugasku.
“apa kabar, kamu?” itu kalimat biasa yang dia ucapkan kalau kita bertemu di sini. “Lagi sibuk?”
Dua kali aku mengangguk untuk menjawabnya. Yang pertama untuk aku baik-baik saja. Yang kedua iya, aku sedang sibuk. Lalu aku kembali ke rak-rak buku yang isinya masih berantakan.
“tumben banget jam segini udah ada di sini?” kataku sambil tetap sibuk membenahi buku.
Dia memutar badan dan memandangiku dari belakang. Ada jeda sesaat sebelum kudengar dia mulai menjawab.
“iya, nih. Aku ada janji buat ketemuan di sini.”
“oh, gitu. Sama pacar?” aku langsung bertanya ke intinya.
“Iyah.” Satu kata yang kamu ucap, tapi terdengar berat.
Mungkin kamu masih tidak enak mengatakan itu, secara kita pernah mencoba manjadi pacar. Tapi tak apa, ucapkan saja. Aku sudah
tidak apa-apa sekarang.
Cerita yang dulu biarlah berlalu. Aku sudah terlalu memikirkannya sekarang. Aku sudah menjadi orang yang berbeda semenjak dia menolakku. Aku belajar banyak dari semua itu, salah satunya adalah aku mulai belajar untuk menerima.
Mendadak aku menjadi tidak semangat untuk membenahi semua buku yang berantakan ini. Aku mengambil langkah dan langsung duduk di meja tugasku, duduk di hadapanmu.
Kulipat kedua tanganku di atas meja. Menatapmu lekat-lekat. Berusaha menikmati waktu memandangimu. Ada seraut wajah merah di sana, dengan senyum yang tersimpul lebar. Aku senang melihatnya.
“Kapan pacarmu ke sini?” aku kembali bertanya.
“1 jam lagi katanya. Masih di perjalanan ke sini.”
“oh, gitu.” Aku mengangguk.
Masih ada satu jam. Perpustakaaan pun masih sepi. Apa salahnya menghabiskan waktu satu jam untuk bertukar dengannya. Tanpa menyia-nyiakan waktu yang ada, langsung kumulai pembicaraan dengannya.
Pukul 12.41 siang.
Tak terasa sudah 40 menit kami mengobrol. Selama itu pula banyak yang kita bicarakan. Seperti biasa, berbicara denganku pastilah ada senyum dan tawa yang keluar dari mulutmu—itu yang aku tidak pernah lihat ketika kamu berdua dengan kekasihmu akhir-akhir ini.
“Aku tak menyangka kalau kamu bisa berubah seperti ini,” katamu di tengah-tengah perbincangan kita. “Yah. Aku pikir kamu masih marah padaku… soal yang ‘kemarin’ itu.” Ujung kalimatnya kamu ucapkan perlahan seraya mengutipkan jari-jarimu. “Kamu malah membuatku merasa kalau di antara kita tak pernah terjadi sesuatu yang menyakitkan.”
Well, semua perkataannya itu ada benarnya. Aku ingat betul bagaimana aku pada saat itu hampir gila menerima penolakkan darinya. Aku adalah salah satu orang dari 250.000.000 manusia Indonesia yang sangat benci penolakkan.
Aku menjadi gila semenjak penolakkan itu. Kuhapus semua kontaknya. Ku blokir semua akun media sosialnya. Aku benci setengah gila kepadanya. Menjauh darinya adalah cara terbaik untuk menurunkan tensi emosi yang menguasaiku.
Tapi aku akhirnya sadar, semua yang kulakukan itu salah. Menjauhkan diri darinya bukan solusi terbaik. Mencoba menghapus segala sesuatu tentang dia justru membuatku semakin ingat dan rindu. Hingga pada akhirnya aku mencoba untuk berdamai dengan diriku sendiri. Memaafkan apa yang sudah terjadi. Menerima semuanya sebijak mungkin sebagai salah satu langkah pendewasaan diri.
Dan apa yang terjadi? Tuhan menakdirkan kita bertemu kembali di sini. Aku bekerja di sini dan kamu menuntut ilmu di sini. Hanya saja aku merasa damai sekarang, tak ada lagi amarah yang kusimpan untuknya—walaupun aku masih merasa canggung pada saat kami pertama kali bertemu di sini.
Semua perasaan itu sudah melebur bersama kenangan pahit yang sudah jauh kutinggalkan—meskipun masih ada sedikit perasaan sakit di dalam hatiku.
Dia akhirnya merasakan perbedaan dari diriku. Aku membuat semuanya tak pernah terjadi sekarang, karena aku hidup bukan untuk mengingat kenangan itu, aku hidup untuk cerita hari ini dan untuk kisah yang akan kuukir esok hari. Kenangan tak perlu diingat jika itu menghentikan langkahku untuk terus maju.
“Dengar,” aku mulai menanggapi. “Ada saatnya seseorang berubah karena keadaan. Dan bertemu denganmu sudah banyak membuat banyak perubahan dalam diriku.
“Kamu tahu kalau aku menyukaimu dan biarlah tetap seperti itu. Perasaan itu tak akan pernah berubah, meskipun kamu sedang tidak sendiri sekarang.
“Istilah orang tua dulu: Sebelum Janur Kuning Melengkung. Aku masih ada harapan untuk tetap bersamamu, walaupun terdengar gila, akan tetap kucoba.”
Entahlah, aku berkata di luar kendaliku. Kulihat raut wajahnya kembali merah padam. Sepertinya aku berlebihan. Tapi, tak apa. Aku lebih suka seperti ini ketimbang harus bertingkah seperti saat dahulu. Selalu menjadi Pecundang.
Tak lama sesudaah kata-kataku menguap bersama udara, kekasih orang yang sedang duduk dengan wajah merah padam ini datang. Tepat pukul 1 orang itu masuk ke dalam perpustakaan yang berantakan in—aku harus jujur soal perpustakaan ini, semoga saja ada orang dari dinas pendidikan yang membaca ini dan berniat untuk membantu mebenahi perpustakaan yang mengerikan ini.
Yah, aku juga mengenal lelaki ini. Dia orang yang terkenal di sini, meskipun hanya dikalangan mahasiswa kutu buku. Tidak ada jelek dari lelaki ini. Dia pintar, tinggi, berjanggut. Hanya saja tidak lebih tampan dariku.
Aku menjabatin tangannya sesaat setelah lelaki ini masuk perpustakaan.
“Hei. Apa kabar?” aku mencoba ramah.
“Baik, baik sekali. Kamu?” dia mengatakannya sambil membungkuk.
“Aku selalu baik.” Aku jawab singkat dan melempar senyum.
Dan kami saling melempar kata untuk beberapa saat. Sesekali kulihat perempuan yang duduk di hadapanku ini. Dia terlihat takjub sepertinya melihatku yang begitu akrab dengan kekasihnya. Dia hanya tidak tahu saja, aku melakukannya dengan berat hati. Tapi aku tetap senang melakukannya.
Tak lama setelah itu, pasangan yang serasi ini—oh Tuhan, aku terpaksa mengatakannya—berpamitan. Yang lelaki menjabat tanganku lagi dan mengatakan kata-kata perpisahan dan yang perempuan tak berkata banyak.
“Makasih, yah (maksudnya terima kasih)” hanya kata-kata itu yang keluar dari bibirnya yang tersenyum.
Senyum yang timbul dari bibirnya itu seakan penuh arti. Aku tak tahu apa maksud dari senyuman itu, tapi aku senang melihatnya. Sepertinya senyum itu akan terbawa sampai ke mimpiku malam ini.
Sesaat kemudian pasangan itu menghilang di balik pintu dan Mengkerdil sejauh mataku memandang. Aku menghela napas. Tidak mudah mengatakan semua itu. Tapi setidaknya aku bisa merasa lebih lega sekarang. Tak ada lagi beban benci yang harus aku tanggung.
Aku lahir baru. Namun dengan perasaan yang tetap sama padanya.
Ada satu hal penting yang aku dapat hari ini. Aku menjadi lebih percaya diri untuk terus berusaha mendapatkan apa yang harus kumiliki sekarang. Aku tahu ini egois, tapi kalau dia sudah meberikan banyak sinyal seperti tadi, apa yang harus kulakukan? Seperti kata dewa 19; aku bisa membuatmu jatuh hati padaku, hanya saja tolong berikan aku sedikit waktu agar cinta yang datang karena terbiasa.
@ziOzi - 2014
Jujur saja, orang itu sejujurnya tidak masuk dalam daftar perempuan paling cantik yang pernah aku temui. Tapi siapa peduli dengan kecantikan? Selama ini aku tak hanya mencari soal rupa, aku mencari perasaan. Yah, meskipun aspek wajah tetap harus diperhatikan.
Lagi pula seseorang pernah berkata: “Jika kamu mencintai seseorang karena wajah, bagaimana cara kamu mencintai Tuhan yang tak berwujud?”
Karena yang aku tahu, orang yang mencintai karena wajah akan menjadi benci karena hal itu sendiri. Pikirkanlah. Dan perempuan yang aku bicarakan sekarang memang tidak cantik, tapi bukan berarti dia jelek. Justru wajah itu tak ada dalam dua kategori itu. Mungkin aku menyebutnya Manis.
Sedap dan tak bosan untuk dipandang. Wajahnya tirus, dagu lancipnya kokoh, matanya bulat, warna kulitnya sedikit lebih putih dariku. Dan satu hal yang paling suka darinya; giginya ketika ia tersenyum.
Lebih dari itu semua, ada sesuatu yang sangat unik—hingga pada akhirnya itulah yang membuat aku jatuh hati padanya. Selain itu dia juga temanku semasa kecil, jadi aku tahu bagaimana perangainya. Yang aku tahu, orang ini baik—jelas, mana mungkin aku jatuh pada orang jahat. Riang dan banyak tertawa, apalagi jika itu bersamaku.
Jarum jam sudah menunjuk lantang angka 12 siang, 1 jam lagi tempat ini akan penuh sesak oleh para mahasiswa. Perpustakaan yang aku kelola ini unik, lebih unik dari perpustakaan google atau vatikan. Di mana perpustakaan pada umunya selalu tenang dan terjaga kesunyian, kalau di sini justru sebaliknya. Aku berani bertaruh kalau perpustakaan ini adalah perpustakaan paling bising di dunia.
Saat aku sedang asik membenahi buku yang berantakan—yah, aku lupa bilang kalau perpustakaan ini juga seperti kapal pecah sewaktu-waktu—kudengar langkah kaki yang kian mendekat. Tak lama kemudian langkah itu berhenti dan berubah menjadi sosok yang aku bicarakan. Berdiri tepat di depan pintu kaca.
Aku terdiam sejenak, tak biasanya orang ini datang pada jam seperti ini. Di balik pintu dia memberi isyarat agar pintunya dibuka. Aku lupa, kalau pintu itu dikunci. Lalu aku membukakan pintu untuknya.
Dengan pakaian yang sopan—sweater rajut warna ping dengan terusan Long Skirt berwarna putih-ping—dia masuk tanpa ragu. Melempar senyum padaku dan melontarkan kata “hai” seraya mengangkat satu tangannya. Aku membalas senyum dan sapaannya. Lalu dia mendaratkan diri di kursi yang ada di depan meja tugasku.
“apa kabar, kamu?” itu kalimat biasa yang dia ucapkan kalau kita bertemu di sini. “Lagi sibuk?”
Dua kali aku mengangguk untuk menjawabnya. Yang pertama untuk aku baik-baik saja. Yang kedua iya, aku sedang sibuk. Lalu aku kembali ke rak-rak buku yang isinya masih berantakan.
“tumben banget jam segini udah ada di sini?” kataku sambil tetap sibuk membenahi buku.
Dia memutar badan dan memandangiku dari belakang. Ada jeda sesaat sebelum kudengar dia mulai menjawab.
“iya, nih. Aku ada janji buat ketemuan di sini.”
“oh, gitu. Sama pacar?” aku langsung bertanya ke intinya.
“Iyah.” Satu kata yang kamu ucap, tapi terdengar berat.
Mungkin kamu masih tidak enak mengatakan itu, secara kita pernah mencoba manjadi pacar. Tapi tak apa, ucapkan saja. Aku sudah
tidak apa-apa sekarang.
Cerita yang dulu biarlah berlalu. Aku sudah terlalu memikirkannya sekarang. Aku sudah menjadi orang yang berbeda semenjak dia menolakku. Aku belajar banyak dari semua itu, salah satunya adalah aku mulai belajar untuk menerima.
Mendadak aku menjadi tidak semangat untuk membenahi semua buku yang berantakan ini. Aku mengambil langkah dan langsung duduk di meja tugasku, duduk di hadapanmu.
Kulipat kedua tanganku di atas meja. Menatapmu lekat-lekat. Berusaha menikmati waktu memandangimu. Ada seraut wajah merah di sana, dengan senyum yang tersimpul lebar. Aku senang melihatnya.
“Kapan pacarmu ke sini?” aku kembali bertanya.
“1 jam lagi katanya. Masih di perjalanan ke sini.”
“oh, gitu.” Aku mengangguk.
Masih ada satu jam. Perpustakaaan pun masih sepi. Apa salahnya menghabiskan waktu satu jam untuk bertukar dengannya. Tanpa menyia-nyiakan waktu yang ada, langsung kumulai pembicaraan dengannya.
***
Pukul 12.41 siang.
Tak terasa sudah 40 menit kami mengobrol. Selama itu pula banyak yang kita bicarakan. Seperti biasa, berbicara denganku pastilah ada senyum dan tawa yang keluar dari mulutmu—itu yang aku tidak pernah lihat ketika kamu berdua dengan kekasihmu akhir-akhir ini.
“Aku tak menyangka kalau kamu bisa berubah seperti ini,” katamu di tengah-tengah perbincangan kita. “Yah. Aku pikir kamu masih marah padaku… soal yang ‘kemarin’ itu.” Ujung kalimatnya kamu ucapkan perlahan seraya mengutipkan jari-jarimu. “Kamu malah membuatku merasa kalau di antara kita tak pernah terjadi sesuatu yang menyakitkan.”
Well, semua perkataannya itu ada benarnya. Aku ingat betul bagaimana aku pada saat itu hampir gila menerima penolakkan darinya. Aku adalah salah satu orang dari 250.000.000 manusia Indonesia yang sangat benci penolakkan.
Aku menjadi gila semenjak penolakkan itu. Kuhapus semua kontaknya. Ku blokir semua akun media sosialnya. Aku benci setengah gila kepadanya. Menjauh darinya adalah cara terbaik untuk menurunkan tensi emosi yang menguasaiku.
Tapi aku akhirnya sadar, semua yang kulakukan itu salah. Menjauhkan diri darinya bukan solusi terbaik. Mencoba menghapus segala sesuatu tentang dia justru membuatku semakin ingat dan rindu. Hingga pada akhirnya aku mencoba untuk berdamai dengan diriku sendiri. Memaafkan apa yang sudah terjadi. Menerima semuanya sebijak mungkin sebagai salah satu langkah pendewasaan diri.
Dan apa yang terjadi? Tuhan menakdirkan kita bertemu kembali di sini. Aku bekerja di sini dan kamu menuntut ilmu di sini. Hanya saja aku merasa damai sekarang, tak ada lagi amarah yang kusimpan untuknya—walaupun aku masih merasa canggung pada saat kami pertama kali bertemu di sini.
Semua perasaan itu sudah melebur bersama kenangan pahit yang sudah jauh kutinggalkan—meskipun masih ada sedikit perasaan sakit di dalam hatiku.
Dia akhirnya merasakan perbedaan dari diriku. Aku membuat semuanya tak pernah terjadi sekarang, karena aku hidup bukan untuk mengingat kenangan itu, aku hidup untuk cerita hari ini dan untuk kisah yang akan kuukir esok hari. Kenangan tak perlu diingat jika itu menghentikan langkahku untuk terus maju.
“Dengar,” aku mulai menanggapi. “Ada saatnya seseorang berubah karena keadaan. Dan bertemu denganmu sudah banyak membuat banyak perubahan dalam diriku.
“Kamu tahu kalau aku menyukaimu dan biarlah tetap seperti itu. Perasaan itu tak akan pernah berubah, meskipun kamu sedang tidak sendiri sekarang.
“Istilah orang tua dulu: Sebelum Janur Kuning Melengkung. Aku masih ada harapan untuk tetap bersamamu, walaupun terdengar gila, akan tetap kucoba.”
Entahlah, aku berkata di luar kendaliku. Kulihat raut wajahnya kembali merah padam. Sepertinya aku berlebihan. Tapi, tak apa. Aku lebih suka seperti ini ketimbang harus bertingkah seperti saat dahulu. Selalu menjadi Pecundang.
Tak lama sesudaah kata-kataku menguap bersama udara, kekasih orang yang sedang duduk dengan wajah merah padam ini datang. Tepat pukul 1 orang itu masuk ke dalam perpustakaan yang berantakan in—aku harus jujur soal perpustakaan ini, semoga saja ada orang dari dinas pendidikan yang membaca ini dan berniat untuk membantu mebenahi perpustakaan yang mengerikan ini.
Yah, aku juga mengenal lelaki ini. Dia orang yang terkenal di sini, meskipun hanya dikalangan mahasiswa kutu buku. Tidak ada jelek dari lelaki ini. Dia pintar, tinggi, berjanggut. Hanya saja tidak lebih tampan dariku.
Aku menjabatin tangannya sesaat setelah lelaki ini masuk perpustakaan.
“Hei. Apa kabar?” aku mencoba ramah.
“Baik, baik sekali. Kamu?” dia mengatakannya sambil membungkuk.
“Aku selalu baik.” Aku jawab singkat dan melempar senyum.
Dan kami saling melempar kata untuk beberapa saat. Sesekali kulihat perempuan yang duduk di hadapanku ini. Dia terlihat takjub sepertinya melihatku yang begitu akrab dengan kekasihnya. Dia hanya tidak tahu saja, aku melakukannya dengan berat hati. Tapi aku tetap senang melakukannya.
Tak lama setelah itu, pasangan yang serasi ini—oh Tuhan, aku terpaksa mengatakannya—berpamitan. Yang lelaki menjabat tanganku lagi dan mengatakan kata-kata perpisahan dan yang perempuan tak berkata banyak.
“Makasih, yah (maksudnya terima kasih)” hanya kata-kata itu yang keluar dari bibirnya yang tersenyum.
Senyum yang timbul dari bibirnya itu seakan penuh arti. Aku tak tahu apa maksud dari senyuman itu, tapi aku senang melihatnya. Sepertinya senyum itu akan terbawa sampai ke mimpiku malam ini.
Sesaat kemudian pasangan itu menghilang di balik pintu dan Mengkerdil sejauh mataku memandang. Aku menghela napas. Tidak mudah mengatakan semua itu. Tapi setidaknya aku bisa merasa lebih lega sekarang. Tak ada lagi beban benci yang harus aku tanggung.
Aku lahir baru. Namun dengan perasaan yang tetap sama padanya.
Ada satu hal penting yang aku dapat hari ini. Aku menjadi lebih percaya diri untuk terus berusaha mendapatkan apa yang harus kumiliki sekarang. Aku tahu ini egois, tapi kalau dia sudah meberikan banyak sinyal seperti tadi, apa yang harus kulakukan? Seperti kata dewa 19; aku bisa membuatmu jatuh hati padaku, hanya saja tolong berikan aku sedikit waktu agar cinta yang datang karena terbiasa.
@ziOzi - 2014
TERIMA KASIH BUAT AGAN-AGAN YANG SUDAH BACA CERITA INI.
Diubah oleh zie666 23-02-2015 08:35
anasabila memberi reputasi
1
1.3K
Kutip
2
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.3KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru