Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

choshaAvatar border
TS
chosha
Cerita misteri, True Story. "Apa yang akan kau pikirkan?"
Ini adalah kisah nyata yang langsung saya dengar dari nara sumbernya. Sebuah kisah yang tidak asing di daerah asalnya. Cerita ini sudah umum diketahui oleh masyarakat Bakongan, Aceh Selatan, sebagai sebuah misteri.



--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Namaku ariel 25 tahun. Ini adalah ceritaku tiga tahun lalu.

Saat ini aku duduk di sebuah universitas ternama di kota lhokseumawe, salah satu kota di propinsi aceh. Tidak ada yang salah dengan tempatku saat ini. Selain apa yang pria tua itu katakan. Sesuatu yang terdengar seperti racauan orang mabuk. Sulit untuk dimengerti. Sayangnya ia memaksa kami menuliskan racauannya untuk dapat lulus. Aku sudah mencoba menuliskan kode-kode komputer yang ia racaukan. Namun kode-kode itu tidak pernah berhasil running di simulator komputer. Aku malah membuatnya berjalan dalam imajinasiku menjadikannya alunan nada berirama bersama petikan gitar. Bersama alat yang satu ini aku merasakan hidup. Namun bukan sekolah ataupun tentang ku yang ingin aku ceritakan. Ini tentang Rian. Sahabatku sejak kecil.

Kuliah begitu menyebalkan dan aku memilih pulang ke kampung untuk mencoba mendamaikan diri. Kampung ku berada di bakongan, aceh selatan. Dari lhokseumawe aku harus naik angkutan mini bus dan menempuh dua belas jam perjalanan untuk sampai ke sana. Bercampur baur dengan beragam orang dalam satu tempat terkadang asik namun lebih sering menyebalkan. Bakongan adalah sebuah kota kecil di pesisir pantai. Mayoritas penduduknya bermata pencarian sebagai nelayan. Ketika memasuki kota ini kita hanya mendapati toko-toko yang berjajar tidak rapi tersebar disekeliling tugu yang disebut pusat kota. Tidak begitu ramai namun disinilah aku hidup. Sekilas kota ini seperti kota kecil pada umumnya. Namun jangan salah, kota ini telah banyak melahirkan ulama besar aceh. Masih banyak orang-orang jaman disini dan setiap orang tua memiliki ceritanya sendiri.

Dan disinilah cerita ini dimulai.

Sore itu begitu tenang. Angin membawa bau laut menyapu kota dengan damai. Tidak begitu dingin dan terasa hangat. Tidak akan ada badai malam ini. Tapi siapa sangka badai itu malah datang dari ruas jalan. Suara benturan keras disusul suara gemeretak. Tak lama terdengar langkah-langkah berderap keramaian. Aku berjalan keluar mencoba mendekati asal suara. Sesaat kemudian aku ditabrak. Pemuda tinggi hitam menghempas pundakku, Ali. Aku hampir jatuh. Ia terengah –engah berteriak “Ril. Rian tabrakan, itu rian tabrakan”. Dadaku seperti meledak. Tiba-tiba terasa panas. Kami langsung berlari menuju kerumunan. Jalanan jadi sangat ramai. Sebagian besar pengemudi menghentikan lajunya mencari tahu. Sesampai kami di tempat, motor satria Rian telah dipinggirkan. Kondisinya rusak parah. Aku mencari-cari Rian. Pandanganku menyapu liar. Rian, mana Rian. Sirine ambulance memecah kebingunganku. Mobil putih itu menerobos kerumunan dan berhenti tidak jauh dari kami. Hampir saja menabrakku. Dari sebuah kerumunan kecil Pak Cik Mansur menggendong seseorang. Ia terlihat panik. Sesaat ku pikir ia tidak memperhatikan kehadiran kami. “Ril, bantu Pak cik” Aku sedikit tersentak. Otakku sudah lama tidak berfikir. Aku menghampiri pintu ambulance. Kemudian membukanya. Sopir ambulance menghampiri Pak Cik, namun pak cik tetap melaju seakan berkata ‘aku saja’. Aku naik ke dalam ambulan menunggu Pak Cik. Kami merebahkan Rian dengan hati-hati. Pak cik memerintahkan Ali mencari keluarga Rian. Sementara aku dan Pak Cik ikut ambulance ke rumah sakit.

Rian tidak sadarkan diri. Keningnya lecet begitu juga jemari kirinya. Celana panjangnya sedikit koyak. Pakaiannya berdebu, Namun tidak ada darah yang mengalir. Semoga tidak terjadi apa-apa. Semoga tidak ada tulang yang patah. Semoga Rian baik-baik saja. Sahabatku, saudaraku, kamu kuat. Kamu pasti baik-baik saja.

Sesampai diruang UGD Rian masih belum sadar. Dokter mulai memeriksanya. Rumah sakit tidak pernah membuatku nyaman. Aroma yang tersebar membuatku pusing. Di ruang UGD suara-suara berdengung seperti kawanan lebah. Banyak orang panik, orang-orang berpakaian putih begitu sibuk kesana kemari. Aku tidak tahan, aku pamit pada Pak Cik dan menunggu diluar.

Satu jam kemudian Rian siuman. Keluarganya sangat senang, begitu juga aku. Warna mata Rian membunuh ketakutan yang tadi kulihat ketika keluarganya datang. Mereka berlari dikoridor rumah sakit. Ibunya bahkan tidak terlihat berhias. Ketika aku menuntunnya kedalam tadi masih tercium dari tubuh Ibu aroma bumbu dapur. Aku dan Rian begitu dekat. Aku memanggil kedua orang tuanya ibu dan ayah. Mereka sudah seperti orang tuaku juga.

Walaupun telah siuman tapi Rian tidak bicara. Tatapannya kosong dan lelah. Ia tidak menggerakkan tubuhnya. Rian hanya diam saja menatap kami. Tidak bicara dan terlihat bingung. Dokter menyatakan Rian tidak apa-apa. Mungkin masih syok. Tidak ada tulang yang patah ataupun indikasi kelumpuhan. Rian hanya gegar otak ringan. Istirahat dan minum obat akan membuatnya sehat kembali. Hal itu sangat menentramkan. Kami diperbolehkan membawanya pulang dan dirawat dirumah.

Rumah Rian masih sederhana. Tipe rumah jaman dulu dengan dinding kayu. Cahaya penerangan dari lampu neon sedikit teredam oleh warna kecoklatan kayu yang belum di cat. Tidak begitu luas namun memanjang. Dan semakin kebelakang cahaya semakin pudar. Aku jarang menginap di rumah Rian. Aku sedikit takut. Dimalam hari gemercit kayu membuat bulu kudukku berdiri. Namun aku melihat sahabatku kini tengah terbaring. Aku harus membantunya. Kami merebahkan rian dikamarnya. Kamar anak laki-laki yang sedikit berantakan. Kami berdua sering disini, bermain gitar bersama ataupun sekedar bercerita tentang gadis. Ranjangnya berkelambu dan setelah ranjang tidak menyisakan begitu banyak ruang. Hanya cukup untuk meletakkan meja belajar kecil, lemari dan sepetak ruangan untuk sholat.

Seminggu sudah berlalu namun Rian masih belum pulih. Wajahnya semakin pucat. Namun ia sudah banyak kemajuan. Rian sudah mau bergerak dan duduk. Walaupun belum juga mau turun dari ranjang. Rian seperti amnesia. Ia hanya melihat sesuatu dengan tatapan bingung seolah bertanya apakah yang dilihatnya itu. Ketika ia melihat lampu Rian melihatnya begitu lama. Ketika dipanggil ia tidak menoleh. Kami sangat hawatir. Untuk makan Rian harus disuapai baru makan dan tidak pernah meminta untuk makan. Di awal sakitnya ia buang air di kasur. Saat ini di pagi hari kami membawanya ke kamar mandi untuk buang air dan memakaikan popok dewasa. Aku begitu sedih melihat keadaan sahabatku ini. Ia bahkan sepertinya tidak mengenaliku.

Tidak terasa sudah satu bulan berlalu. Anehnya kami seperti mulai terbiasa dengan keadaan Rian. Saat ini aku mulai lebih sering pulang ke rumah. Kemudian kembali ketempat Rian. Dikamar rian aku dan teman-teman yang lain sering berkumpul. Kami tidak menganggapnya benar-benar sakit. Kami berada disana dan berbincang-bincang. Terkadang bermain gitar dikamarnya dan bernyanyi. Kami berharap Rian kembali mengingat semuanya dan ikut bernyanyi bersama kami. Rian terlihat begitu lelah meskipun
ia sebenarnya tidak melakukan apa-apa. Rian lebih banyak diam bahkan selalu diam walaupun Ali berkelakar dan membuat lelucon. Rian menatap kami tanpa senyum. Matanya hanya terlihat bingung. Namun kami tetap sabar. Rian pasti akan sembuh.

Sudah hampir dua bulan. Aku berada di rumah Rian seharian ini. Malam ini suasanya terasa berbeda. Masakan ibu tidak terasa seenak biasanya. Ruangan terasa lebih pengap. Kami berkumpul diruang tengah menonton tivi. Aku, orang tua Rian dan dua orang saudara laki-lakinya. Kami tidak banyak berbincang meskipun acara tivi tidak begitu menarik. Banyak kesedihan yang telah menumpuk di keluarga ini. Semua menantikan kesehatan rian. Dan seperti terjawab. Kala itu dari dalam kamar Rian terdengar suara. Suara langkah. Sedikit samar namun angin yang berhembus dari sela-sela dinding kayu menghantarkannya dengan baik. Sepertinya tidak hanya aku yang mendengar hal tersebut. Ayah sudah berdiri dari kursinya. Kumisnya yang tebal bergetar ketika ia memanggil “Rian..”. Ayah berjalan kekamar Rian. Kami mengikutinya. Dadaku berdebar. Sedikit harap dan rasa senang namun rasa takut membayangi dari dalam. Ayah membuka pintu kamar Rian. Dan seperti mukjizat Rian sedang berdiri disana. Di depan meja. Tangis ibu pecah dan berlari memeluk Rian. Mereka semua menangis. Rasa haru memenuhi ruangan. Kami sangat senang. Aku bahkan hampir menangis. Keluarganya memanggil-manggil “Rian, Rian.” Tapi dia tetap diam. Tatapan mata Rian berubah. Tatapannya tidak lagi bingung ataupun lelah. Tatapannya tajam. Rian kemudian berjalan. Melepaskan pelukan keluarganya. Ia berjalan mengelilingi ruangan. Kami semua kebingungan. Ia berjalan ke dapur, ruang tamu, ke tiap-tiap kamar dan terus berkeliling seolah ia begitu ingin berjalan. Hal itu berlanjut hingga pagi datang. Kami tidak tidur dibuatnya. Hingga akhirnya ayah membawanya ke kamar dan membiarkannya disana.

Satu minggu berlalu dan Rian masih belum bicara apapun. Ia terus berjalan mengitari rumah. Sesuatu yang membuat kami heran Rian sudah satu minggu ini tidak mau makan. Apapun yang ditawarkan ia tidak mau. Sepertinya Rian hanya ingin berjalan. Tidak ada hal lain yang dilakukan Rian selain berjalan. Bahkan buang air pun tidak.

Dimalam harinya selepas isya diadakan musyawarah diruang tengah. Ayah mengundang keluar besar. Pak Cik Mansyur hadir juga disitu. Sekiranya ada enam orang yang diundang. Ayah membuka pembicaraan dengan suara pelan dan menunduk.

“Anakku sudah dua bulan lebih sakit. hilang ingatan…“ Ayah terbatuk ditengah kalimatnya. Seminggu ini Ayah kurang tidur menjaga Rian. Ayah melanjutkan “Saya mengundang atok, Pak Cik semuanya untuk berembuk.”

Suasana tambah hening. Ayah menegakkan tubuhnya. Menatap sekeliling kemudian menarik nafas “Aku melihat penyakit anakku seperti biasanya orang sakit. Namun sudah berlarut-larut sampai lebih dua bulan Rian masih belum mengenali siapa juga. Sekarang dia tidak lagi mau makan. Ada saran dari dokter Rian dibawa ke medan untuk penangan lebih lanjut. Dan itu membutuhkan banyak uang.” Ayah mengakhiri kalimatnya dengan menggela nafas panjang.

“Pak Cik salman” Orang tua yang tidak begitu ku kenal bersuara. Wajahnya menghitam. Garis wajahnya keras khas nelayan. Dan ia terlihat lebih muda dari ayah. Suaranya berat tapi santun. “Melihat keadaan Rian apakah sudah Pak Cik bicarakan dengan Tengku?”

Seketika ruangan riuh. Masing-masing saling berbincang. Pria tadi kemudian melanjutkan “Ada baiknya kita minta tolong Tengku. Aku lihat kapalnya sudah bersandar di dermaga pinang kemarin pagi. “

Tengku adalah orang yang dituakan dikampung kami. Bukanlah nama sebenarnya. Mereka yang dianggap memiliki keilmuan agama yang lebih dari kebanyaan orang dan dianggap guru disandangkan gelar tengku. Dan tidak jarang Tengku memiliki kemampuan batin. Selesai berembuk diputuskan untuk meminta pendapat dari Tengku. Dan akulah orang yang diminta untuk mengajak tengku ke rumah Rian.

Adzan isya berkumandang. Gema yang dihadirkan pengeras suara menggugah lamunanku. Namun entah mengapa alunan keagungan tuhan itu tak menyentuh hati ini. Aku telah sampai di depan masjid. Terdiam menunggu di warung sebrang hingga orang-orang selesai sholat. Rasa malu menarik dadaku. Membuatnya berat kemudian kosong. Setelah kulihat Tengku keluar aku bergegas menemuinya. Tengku bertubuh tinggi. Bidang bahunya tidak begitu lebar namun tubuhnya sangat tegap untuk ukuran usianya. Warna kulitnya hitam dan wajahnya mengkilap. Aku utarakan maksudku malam ini. Ia terdiam sejenak. Mendorong bahuku agar aku berjalan. Tengku membawaku ke tempat wudhu. Perasaan dihatiku bercampur aduk. Dengan perasaan malu aku tunaikan sholat isya malam ini.

Sesampainya dirumah Rian orang-orang tengah menunggu diluar. Sepertinya baru selesai solat juga. Sarung yang semula diselendangkan kini terbelit rapi menutup kaki. Satu persatu menyalami Tengku dan mengajaknya masuk. Didalam rumah Tengku dihadapkan dengan ayah. Ayah memeluk Tengku erat. Disitu tangis ayah pecah. Tangis yang belum pernah kulihat selama ini. Mereka berbicara dalam bahasa aceh. Ayah menceritakan keadaan Rian dengan terbata-bata. Tengku menganggukkan kepala beberapa kali dan menepuk pundak Ayah. Suasana menjadi haru. Inilah cinta seorang ayah yang jarang diperlihatkan.

Ibu keluar dari dapur, memberi salam kepada tengku dan mempersilahkan semuanya duduk. Hidangan telah disajikan. Teh hangat dan bubur kacang hijau dibawa keluar oleh adik-adik Rian. Belum lagi aku duduk suara benturan mengagetkan. Suara itu berasal dari kamar Rian. Perhatian teralih ke pintu kayu tua, pintu kamar Rian.

“Rian.” Ibu memanggil dengan suara nyaringnya. Namun seperti biasa tidak ada sahutan. Kemudian suara datang lagi “DUK, druk duk!” Sesuatu telah jatuh. Tengku mengangkat tangannya kepadaku. Mengisyaratkan untuk menuju kesana. Aku pun berjalan kekamar Rian. Apa yang dilakukan sahabatku ini.

Ketika Aku hendak membuka pintu sesuatu mengganjalnya. ‘Ku coba mendorongnya sekuat tenaga hingga mengahadirkan sedikit demi sedikit celah. Sepertinya meja dan lemari rubuh mengganjal pintu. Melihat aku kesulitan beberapa orang membantu kami. Ketika pintu sudah cukup menghadirkan celah aku terperanjat. Rian berdiri menatapku. Tatapannya tajam, marah. Sikapnya gelisah kemudian ia bergerak kekiri kekanan namun terhalang ruang yang sempit. Bulu kudukku berdiri. Untuk saat ini aku benar-benar takut padanya. Dadaku berdebar keras. Nafasku memburu bahkan aku tidak mampu menggerakkan kaki. Aku mematung.

Jemari hitam dan keriput menempel di pintu. Tercium bau laut dari orang ini. Tengku membantuku. Kemudian dorongan ku menjadi sangat ringan. Dan pintu pun terbuka. Aku menahan lemari yang hampir saja menimpa dan menegakkannya kembali. Tengku masuk melangkahi barang-barang terserak dilantai. Menjumpa Rian yang kini terdiam di sudut kamar. Aku menyaksikan Rian mendelikkan mata. Kemudian menunduk ketika tangan tengku menggenggam jemari Rian dan menariknya keluar.

Rian didudukkan disofa dimana tangan Tengku memeluk bahu Rian. Kami tidak berani berkata-kata hanya menyaksikan. Tengku mulai meracau. Entah apa yang dia sebutkan. Tengku berbicara dengan Rian dalam bahasa entah apa. Namun Rian tetap diam dan menatap lantai. Angin malam membawa dingin kedalam ruangan mengiringi racauan-racauan tengku yang mulai membuatku merinding.

Tengku menegakkan kepalanya, memalingkannya kepada kedua orang tua Rian. Kemudian berkata dengan suara berat. “Anak ini sudah gak ada tujuh hari yang lalu.”

Mendengarnya membuat jantungku serasa berhenti kemudian dingin menjalar di dada. Dan sesaat kemudian menderu hebat. Aku terguncang lututku mulau goyah. Aku mundur tersandar pada dinding. ‘Rian, Rian sudah gak ada?’.

“Apa maksud Tengku?” Ibu berteriak mengagetkanku. Wajahnya basah, suaranya terisak.

Sesat kemudian Ayah menarik bahu Ibu kemudian memeluknya. Melihat mereka dadaku terasa sesak. Kemudian air mata mulai mengalir di pipiku. Aku memalingkan wajah pada Rian. ‘Wahai sahabat, apakah kau menipu kami?’

Ayah berdeham. Menyeka air matanya. Kemudian menghampiri Rian dan Tengku. “Apa itu benar Tengku?” Ayah masih tidak percaya.

Tengku menatap ayah cukup lama kemudian mengangguk. “Kita akhiri saja Pak Cik. Tolong siapkan kendaraan. Saya perlu membawa anak ini ke sungai”

Pak cik Mansur memohon izin untuk mencari becak. Sementara itu yang lain bersiap mengambil kendaraan masing-masing. Di dalam rumah, Rian masih terduduk. Di sebelah kanannya ibu mengusap rambut Rian, membelai wajahnya. Ibu berbicara sambil terisak berulang-ulang “Pipi anakku hangat. Pipi anakku hangat.”

Kami menaikkan Rian ke becak. Tengku memegang lengan Rian dan menuntunnya. Mereka berdua duduk didalam becak. Perjalanan ke Sungai tidaklah lama. Sepuluh menit kemudian kami sudah berada di muara. Suara deburan ombak sayup-sayup terdengar di kejauhan. Sementara bebatuan mulau membuat motorku terguncang. Sesampainya di sungai kami memarkirkan motor. Kurang lebih lima motor yang mengiringi becak Rian. Tidak banyak orang yang ikut, para tetangga mungkin berfikir kami membawa Rian ke rumah sakit.

Semua sudah turun tapi Tengku belum juga keluar dari becak. Kami berdiri mengitarinya. Terdengar samar di redam deru angin racauan Tengku yang sepertinya membuat Rian patuh dan mereka keluar dari Becak. Tengku menuntun Rian melangkahi bebatuan kemudian berjalan di pasir. Kami mengikuti dari belakang. Rian terlihat beberapa kali melawan namun Tengku seperti memaksanya. Perlahan-lahan kami masuk kesungai hingga air membasahi kaki. Tengku berhenti. Dan ketika air mulai membasahi lutut tiba tiba Tengku mendorong punggung Rian dan menjeburkannya ke dalam sungai. Tubuh Rian yang terendam di sungai sedetik kemudian naik terapung dalam kondisi tertelungkup. Mengapung begitu saja, tidak ada berontak sedikitpun. Melihat itu kami bergegas mengangkat tubuh Rian. Dibawah cahaya bulan terlihat jelas wajah rian sudah putih memucat. Matanya kosong dan tubuhnya dingin. Inilah Rian, seperti inilah Rian. Beberapa orang menangis, samar kulihat Ibu sepertinya jatuh pingsan. sementara kami memapah tubuh Rian ke dalam becak. Bersiap mengantarnya pulang untuk di kebumikan.

Subulussalam, Aceh. 17 Januari 2015

emoticon-Blue Guy Cendol (L)
emoticon-Blue Guy Cendol (L)
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Demikian agan-agan. Silahkan di cek kebenarannya. Saya masih memburu cerita-cerita misteri yang masih belum banyak diungkapkan oleh para pemiliknya..
mamaketerbang12
nona212
makgendhis
makgendhis dan 2 lainnya memberi reputasi
3
8.2K
40
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.2KThread83.7KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.