- Beranda
- The Lounge
DARK SIDE OF JAPAN: PEMBUNUH2 BERANTAI PALING MENGERIKAN DARI JEPANG
...
TS
juandry
DARK SIDE OF JAPAN: PEMBUNUH2 BERANTAI PALING MENGERIKAN DARI JEPANG
Jepang boleh saja dikenal sebagai salah satu dari 10 negara teraman dan terdamai di dunia, dengan tingkat kriminalitas yang sangat rendah. Namun negara Matahari Terbit ini ternyata menyimpan sejarah kelam para pembunuh berantai yang tak hanya unik, namun juga sangat mengerikan dalam hal modus operandinya. Tak jarang, sepak terjang mereka bagaikan sebuah naskah film slasher Hollywood. Berikut ini 5 pembunuh berantai paling kejam dalam sejarah Negeri Sakura tersebut.
2. Osaka School Massacre
Mamoru Takuma merupakan pembunuh yang bertanggung jawab atas tragedi “Osaka School Massacre” yang menewaskan 8 anak dan melukai 15 lainnya. Ia lahir pada 23 November 1963 di Osaka dan semenjak kecil telah menunjukkan gejala “Macdonalds Triad”, yakni 3 kebiasaan yang ditampakkan oleh seseorang yang berpotensi menjadi pembunuh berantai pada usia kecil. Tiga gejala itu adalah:
a. Kekejaman pada binatang
b. Kegemaran membakar benda
c. Eneuresis (kebiasaan mengompol di usia di atas 5 tahun)
Mamoru sejak usia dini sudah menunjukkan perilaku psikopat. Pada usia 12 tahun, ia gemar membunuh kucing dengan membungkusnya dengan koran lalu membakarnya. Saat SMU, ia menyerang gurunya sendiri dan membuatnya dikeluarkan dari sekolah. Ia juga berkelahi dengan ayahnya, membuat ayahnya kemudian mengirimnya ke RSJ. Namun pihak RSJ tak mau menerimanya dan sang ayah kemudian tak mengakui Mamoru sebagai anaknya.
Ia sempat bekerja di perusahaan taksi bahkan sempat diterima di Angkatan Udara, namun ia dikeluarkan karena masalah kekerasan dan pelecehan seksual. Mamoru menikah selama 4 kali dan keluar masuk penjara. Terakhir, ia bekerja sebagai janitor (tukang bersih2) di sebuah sekolah sebelum akhinya membuat masalah kembali dengan meracuni 4 guru.
Ia kemudian dimasukkan ke RSJ dengan diagnosis menderita skizofrenia. Di RSJ ia sempat berusaha untuk bunuh diri, namun gagal. Setelah sebulan, ia dikeluarkan dengan alasan “mampu mengurus dirinya sendiri”. Pada 2001, sebulan sebelum ia melancarkan aksinya, ia sempat secara sukarela mendaftarkan diri ke RSJ untuk mencari bantuan atas depresi yang ia alami. Namun sehari kemudian ia melarikan diri.
Pada Juni 2001, ia akhirnya lepas kendali dan mengamuk. Dengan bersenjatakan sebilah pisau, ia menyerang Ikeda Elementary School dan menusuk mati 8 anak-anak kelas 1 dan 2 SD serta melukai 13 anak lain dan 2 guru. Peristiwa ini dilihat dari jumlah korbannya, merupakan tragedi terbesar kedua yang pernah menimpa Jepang modern setelah insiden penyerangan gas sarin oleh Aum Shirikyo. Uniknya, peristiwa ini mengundang simpati popstar Jepang Utada Hikaru yang menggubah lagunya “Final Distance” untuk menghormati salah satu korban yang merupakan fans beratnya.
Ketika ditangkap, Mamoru dalam keadaan sangat bingung. Ia tak menyadari bahwa ia menyerang sekolah dan terus mengatakan,
“Aku tidak menyerang sekolah dasar. Aku pergi ke stasiun kereta dan menusuk 100 orang. Aku tak pernah pergi ke sekolah dasar.”
Ketika persidangan pun ia sama sekali tak membela diri, bahkan meminta hakim untuk segera mengeksekusi dirinya dengan mengatakan,
“Aku sudah menjadi jijik terhadap semua ini. Aku mencoba membunuh diriku beberapa kali, namun tidak bisa. Kumohon, hukum mati saja aku.”
Walaupun didiagnosis menderita berbagai kelainan jiwa seperti perilaku antisosial dan paranoid, ia akhirnya dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung pada 2004.
3. Akihabara Massacre
Tepat 7 tahun setelah tragedi Osaka School Massacre, tragedi serupa terjadi di pusat perbelanjaan Akihabara, Tokyo yang amat terkenal sebagai pusat manga dan anime. Lagi2, kasus ini dianggap berhubungan dengan stigma negatif otaku di masyarakat Jepang.
Pada Minggu, 8 Juni 2008, Tomohiro Kato mengendarai mobil sewaan dan menabrak 5 pejalan kaki di pusat perbelanjaan Akihabara, menewaskan 3 di antaranya. Ia kemudian turun dari mobil dan dengan berbekal sebilah pisau, menusuk 12 pejalan kaki satu demi satu, menewaskan 4 di antaranya. Tragedi ini benar2 membuat publik Jepang terhenyak. Situasi di kala itu sangat kacau hingga dibutuhkan 17 ambulans yang berlalu lalang untuk menyelamatkan para korban.
Tomohiro sendiri lahir pada 28 September 1982 di Aomori, Honshu dan semula dikenal sebagai siswa berprestasi di SD dan SMP. Namun situasi berbalik 180 derajat ketika ia masuk Aomori High School yang merupakan sekolah elite. Di sana ia menjadi rendah diri karena menjadi siswa yang kurang populer. Prestasinya anjlok drastis menjadi peringkat 300 dari 360 siswa. Akibatnya, ia gagal masuk ke Hokkaido University yang bergengsi dan akhirnya hanya bekerja di sebuah pabrik.
Menjadi anak seorang top manager di perusahaan perbankan membuat Tomohiro mendapat tekanan yang luar biasa berat dari orang tuanya untuk menjadi siswa terbaik. Bahkan orang tuanya pernah menghukumnya dengan menyuruhnya memakan sisa makanan yang terjatuh di lantai. Tetangganya juga bersaksi orang tuanya pernah menghukumnya dengan membiarkannya berdiri di luar rumah di tengah musim dingin yang menggigil. Pada 2006, ia mencoba bunuh diri dengan menabrakkan mobilnya, namun gagal.
Tiga hari sebelum serangan, ia mengalami perselisihan dengan teman kerjanya yang ia tuduh menyembunyikan baju kerjanya. Ia pulang cepat setelah insiden tersebut dan diduga kejadian tersebutlah yang memicu pembantaian Akihabara. Yang mengkhawatirkan, beberapa saat setelah peristiwa itu, mulai muncul pembunuhan2 copycat yang meniru insiden tersebut. Pada bulan yang sama, seorang pria mengancam akan mengulang tragedi itu di Tokyo Disneyland. Tomohiro sendiri kini masih hidup, menunggu hukuman mati yang telah dijatuhkan padanya. Pada 2014, saudara laki2 Tomohiro yang berusia 28 tahun memutuskan bunuh diri karena rasa malu. Kasus Tomohiro kembali menuai stigma negatif pada para otaku. Diduga budaya otaku telah menyebabkan anak2 muda Jepang menjadi berperilaku negatif dan antisosial.
4. Kobe Child Murders dan Sasebo Slashing
Pada pagi 27 Mei 1997, potongan kepala Jun Hase, seorang murid di Tainohata Elementary School ditemukan di gerbang sekolahnya. Kepalanya dimutilasi dengan gergaji dan di dalam mulutnya disumpalkan sebuah surat misterius yang ditulis dengan tinta merah. Pembunuhnya, yang mengaku bernama “Sakakibara” menulis:
“Ini adalah permulaan dari sebuah permainan. Kalian para polisi coba saja menghentikanku jika kalian bisa. Aku sangat ingin melhat orang-orang mati, sangat menegangkan bagiku untuk melakukan pembunuhan. Sebuah pembalasan berdarah setimpal dengan penderitaanku selama bertahun-tahun.”
Siapa pelakunya? Secara mengejutkan, polisi menangkap seorang anak berusia 14 tahun (setara dengan siswa kelas 2 SMP) yang tak dipublikasikan identitasnya dan hanya disebut sebagai “Boy A”. Ia ternyata juga mengaku telah membunuh seorang gadis berusia 10 tahun bernama Ayaka Yamashita pada 16 Maret dan menulis dalam buku hariannya,
“Aku mengadakan eksperimen hari ini untuk membuktikan betapa rapuhnya manusia itu ... aku memukulnya dengan palu, ketika gadis itu menoleh kepadaku. Aku pikir aku memukulnya berkali-kali namun aku terlalu asyik untuk mengingat berapa kali aku memukulnya ...”
Kejadian ini sangat mengguncang publik Jepang. Walaupun kejahatan yang dilakukannya sangat serius, “Boy A” tak dijatuhi hukuman mati karena masih di bawah umur. Pada Maret 2004, diumumkan bahwa ia yang saat itu telah berumur 21 tahun, dibebaskan karena telah menjalani seluruh masa hukumannya. Namun baru tiga bulan setelah pembebasannya, kasus mengerikan serupa kembali membuat shock masyarakat Jepang.
Pada 1 Juni 2004, pembunuhan yang dijuluki “Sasebo Slashing” menimpa seorang gadis berusia 12 tahun bernama Satomi Mirai. Ia digorok di leher oleh temannya yang berumur 11 tahun, dijuluki “Girl A”. Ia melakukannya di saat kelas kosong pada jam makan siang dan kembali ke kelasnya dengan baju berlumuran darah. Menurut pengakuannya, ia membunuh gadis itu karena sakit hati dibully di internet karena berat badannya. Konon, “Girl A” melakukan aksi biadabnya karena terinspirasi urban legend “Red Room” dan novel “Battle Royale” yang berisi siswa SMA yang saling membunuh. Kedua kasus kontroversial ini membuat masyarakat tajam mengkritisi banyak tayangan tak mendidik dan penuh kekerasan sebagai pemicu kejahatan dengan pelaku di bawah umur ini.
5. Tsuyama Massacre
Pernah melihat serial “Harper’s Island” yang menceritakan pembunuh berantai yang beraksi membantai warga sebuah pulau? Kisah ini ternyata pernah terjadi di dunia nyata. Kisah hampir serupa terjadi pada 21 Mei 1938 di sebuah desa bernama Kaio, tak jauh dari kota Tsuyama di wilayah Okayama, Jepang. Pada malam itu, seorang pria berumur 21 tahun bernama Mutsuo Toi memadamkan listrik di desanya dan di tengah kegelapan, ia membantai 30 penduduk desa secara satu-persatu menggunakan berbagai senjata, mulai dengan senapan, kapak, hingga pedang samurai. Salah satu yang ia habisi adalah neneknya sendiri. Ia membunuh hampir separuh dari penduduk desa tersebut dan akhirnya memutuskan untuk bunuh diri dengan menembak dirinya sendiri menjelang fajar.
Kasus Fusako Sano
Kasus ini mungkin tak sesadis kasus2 lainnya di atas, bahkan dapat dibilang berakhir bahagia. Namun tetap saja kasus aneh ini terasa disturbing bagiku. Pernah melihat film Korea berjudul “Old Boy” tentang seorang pria yang diculik dan dikurung selama bertahun2? Nah, kasus ini hampir serupa dan menimpa seorang gadis bernama Fusako Sano. Pada 13 November 1990, Fusako Sano yang berumur 9 tahun kala itu diculik setelah menonton pertandingan baseball di kampung halamannya di Sanjo, Prefektur Niigata. Penculiknya adalah pria berumur 28 tahun yang terganggu mentalnya bernama Nobuyuki Sato.
Pencarian besar2an dilakukan untuk menemukan gadis cilik itu, namun berakhir dengan kegagalan. Bahkan polisi mengkonfirmasi bahwa kemungkinan Fusako diculik oleh intelejen Korea Utara. Pada 28 Januari 2000, seorang polisi yang kebetulan menanggapi kasus “domestic disturbance” di sebuah apartemen didekati oleh seorang gadis berumur 19 tahun yang mengatakan bahwa ialah Fusako Sano dan ia telah diculik selama 9 tahun.
Selama disekap selama 9 tahun, Fusako mengaku sering dipukul dan disengat dengan listrik apabila tidak menuruti perintah penyekapnya. Kondisi gadis itu sangat memprihatinkan. Ia kurus karena malnutrisi dan bahkan kesulitan berjalan. Tubuh gadis itu memang sudah dewasa, namun kondisi pikirannya masih seperti anak kecil. Kisah Fusako akhirnya menemui “happy ending” ketika ia berkumpul kembali bersama keluarganya. Sang penculiknya yang sempat dirawat di RSJ akhirnya dijatuhi hukuman 14 tahun penjara. Plot twistnya? Apartemen tempat gadis itu disekap selama 9 tahun berada hanya 200 meter dari kantor polisi. Benar2 tragis.
Aum Shinrikyo
Aum Shinrikyo (berarti “Supreme Truth” atau “Kebenaran Tertinggi”) adalah sebuah sekte yang didirikan Shoko Asahara pada 1984 yang lebih terkenal akibat aksi terorisme mereka. Pada 1995, anggota sekte ini mencapai 40 ribu di seluruh dunia, di antaranya 9 ribu berada di Jepang. Sekte ini termasuk salah satu “doomsday cult” karena meramalkan dunia akan kiamat akibat Perang Dunia III saat Amerika Serikat akan meluncurkan serangan nuklir ke Jepang. Ramalan ini memicu berbagai serangan gas sarin ke berbagai kota besar di Jepang.
Jauh sebelum insiden serangan gas sarin, kelompok ini dikenal melakukan berbagai tindak kriminal. Pada 1989, sekte ini diduga melakukan pembunuhan terhadap anggotanya yang berusaha keluar dari organisasi ini. Pada tahun yang sama, seorang pengacara bernama Tsutsumi Sakamoto berusaha membubarkan grup ini melalui hukum. Ia bersama istri dan anaknya kemudian lenyap secara misterius dari rumah mereka di Yokohama (kemungkinan besar diculik dan dibunuh). Anggota sekte ini dianggap bertanggung jawab atas kejadian itu.
Pada 27 Juni 1994, sebuah insiden serangan gas sarin terjadi di pusat kota Matsumoto, Nagano. Kejadian ini menewaskan 8 orang dan melukai 200 orang. Namun serangan ini belum dikaitkan dengan sekte tersebut. Pada 20 Maret 1995, sekte ini kembali melepaskan gas sarin di stasiun subway Jepang. 13 korban tewas, 54 orang terluka parah, dan 980 orang terluka ringan. Beberapa pihak bahkan menyebutkan korban yang terkena dampak gas sarin ini berjumlah hingga 6.000 orang. Di markas besar Aum Shinrikyo di kaki Gunung Fuji, polisi menemukan bahan peledak, senjata kimia, hingga senjata biologis berupa bakteri Anthrax hingga virus Ebola. Terdapat pula bahan2 kimia yang mampu digunakan untuk memproduksi gas sarin cukup untuk membunuh 4 juta jiwa.
Pada tahun yang sama, berbagai insiden yang sama terkait sekte ini juga terjadi. Pada 30 Maret, seorang kepala polisi bernama Takaji Kunimatsu ditembak 4 kali di luar rumahnya di Tokyo dan terluka serius. Pada 5 Mei, sebuah bom hidorgen sianida ditemukan di toilet di stasiun Shinjuku, Tokyo, cukup untuk membunuh 20 ribu orang. Pada saat sang kepala sekte tertangkap pada 16 Mei, sebuah bom surat dikirimkan kepada Yukio Aoshima, gubernur Tokyo, dan meledak, memutuskan jari sekretarisnya. Sekte Aum Shinrikyo dianggap bertanggung jawab atas semua kejadian tersebut. Namun anggota sekte tersebut ternyata juga menjadi target serangan pihak2 yang anti terhadap mereka. Pada 23 April, salah seorang petinggi Aum Shinrikyo bernama Murai Hideo ditusuk hingga tewas di depan kamera, di tengah 100 wartawan yang tengah mewawancarainya.
Terlibat dengan berbagai aksi kejahatan mengerikan, pasti kalian mengira sekte ini pasti sudah dibubarkan oleh pemerintah Jepang, bukan? Salah! Kebebasan berserikat yang terlampau dihargai di negara demokratis semacam Jepang membuat pembubaran kelompok ini hampir mustahil. Hingga kini sekte ini masih ada dan memiliki ribuan pengikut, walaupun dengan pengawasan ketat dari pemerintah. Tahun 2000, sekte ini mengubah logo dan namanya menjadi “Aleph” yang merupakan abjad pertama alfabet Arab dan Yahudi.
Kejadian2 mengerikan ini membuat kita sadar, peristiwa2 yang kita duga hanya terjadi di film2 ternyata juga terjadi di dunia nyata, bahkan kadangkala lebih kelam. Namun memahami tiap motif di balik kejadian2 itu tentu bisa membuat kita mempelajari bagaimana peristiwa2 sadis seperti ini tak terjadi di masa depan. Kita juga sepertinya harus mulai menyaring hiburan yang kita lihat setiap hari, menghindari kehidupan terisolasi (terlalu sering maen video game dan terlalu menghayati jadi otaku?), aktif bersosialiasi dan menghindari hiburan yang tidak sehat. Bagaimana menurut kalian?
seperti kata2 film kick ass:di dunia ini tidak ada superhero tetapi masalahnya penjahat supernya ada
Cerita tambahan ada di kolom komentar ke 16
Spoiler for Cerita 1:
1. The Otaku Killer
“Otaku” di berbagai belahan lain, termasuk Indonesia, mungkin terdengar seperti istilah yang netral. Otaku berarti penggemar fanatik dari berbagai produk Jepang, seperti manga, anime, hingga video games. Namun di negara asalnya sendiri, istilah “otaku” didefinisikan negatif. Bahkan para otaku sendiri seringkali didiskriminasikan oleh masyarakat Jepang. Alasannya, pembunuhan berantai sadis yang dilakukan oleh Tsutomu Miyazaki atau yang lebih dikenal dengan julukan “Otaku Killer”.
Tsutomu Miyazaki lahir di Saitama, Tokyo pada 21 Agustus 1962. Ia tak hanya pembunuh berantai, namun juga kanibal dan penderita nekrofilia. Miyazaki lahir dengan cacat fisik akibat lahir prematur, yakni telapak tangan dan jari2nya menyatu. Cacat lahiriah inilah yang menyebabkan ia tumbuh menjadi anak yang pendiam dan pemalu. Kita hanya bisa membayangkan, perlakukan semacam apa yang diterimanya dari teman2nya fisik seperti itu. Ia mendapat penolakan dari kedua orang tuanya dan kedua saudara perempuannya. Satu2nya yang menyayanginya dengan tulus hanyalah sang kakek. Namun ketika kakeknya meninggal pada 1988, ia menjadi depresi, bahkan memakan sebagian abu kremasi sang kakek. Pada masa inilah, ia mulai melakukan pembunuhan berantai.
Korban pertamanya adalah Mari Konno, seorang gadis berusia 4 tahun yang ia culik tepat sehari setelah ulang tahunnya yang ke-26. Ia membunuh gadis itu lalu membuang mayatnya, namun kembali setelah mayat gadis itu membusuk untuk mengambil tangan dan kakinya untuk disimpan sebagai trofi yang kemudian ia simpan di dalam lemari. Korban kedua adalah Masami Yoshizawa (7 tahun) yang juga ia culik dan ia bunuh di tempat yang sama ia membunuh Mari. Ia kemudian menculik Erika Namba (4 tahun) dan membunuhnya. Namun aksi tersadis ia lakukan pada korban terakhirnya, Ayako Nomoto (5 tahun) yang tak hanya ia bunuh, namun juga ia mutilasi. Sama seperti korban pertamanya, Tsutomu juga menyimpan potongan tangannya. Namun tak hanya itu. Ia juga meminum darah gadis itu serta memakan dagingnya.
Pada Juli 1989, aksi Miyazaki akhirnya usai ketika polisi menangkapnya atas tuduhan pelecehan seksual pada gadis di bawah umur. Ketika menyelidiki apartemennya, polisi menemukan bukti atas segala kejahatannya, juga ribuan materi2 berupa kaset anime serta manga, khususnya manga porno atau “hentai”. Inilah yang menyebabkan media mengutuknya sebagai Otaku Killer dengan beralasan kebiasaan membaca manga-lah yang membuatnya menjadi pembunuh berantai.
Salah satu ciri khas menakutkan dari pembunuh berantai ini, melalui pengakuan para keluarga korban, adalah ia seringkali menelepon keluarga korban. Ketika diangkat, Miyazaki hanya diam tanpa mengatakan sepatah katapun. Jika tidak diangkat, maka telepon akan terus berbunyi hingga 20 menit tanpa henti.
Selama jalannya pengadilan, Miyazaki terus menyalahkan alter egonya (ia sepertinya memiliki kepribadian ganda) bernama “Rat Man” yang melakukan pembunuhan2 itu. Ia bahkan menggambar Rat Man dalam bentuk manga. Ayah Miyazaki menolak untuk membayar pengacara untuk membela anaknya dan akhirnya bunuh diri pada 1994. Pada 1997, Miyazaki dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi dengan cara digantung pada 2008.
“Otaku” di berbagai belahan lain, termasuk Indonesia, mungkin terdengar seperti istilah yang netral. Otaku berarti penggemar fanatik dari berbagai produk Jepang, seperti manga, anime, hingga video games. Namun di negara asalnya sendiri, istilah “otaku” didefinisikan negatif. Bahkan para otaku sendiri seringkali didiskriminasikan oleh masyarakat Jepang. Alasannya, pembunuhan berantai sadis yang dilakukan oleh Tsutomu Miyazaki atau yang lebih dikenal dengan julukan “Otaku Killer”.
Tsutomu Miyazaki lahir di Saitama, Tokyo pada 21 Agustus 1962. Ia tak hanya pembunuh berantai, namun juga kanibal dan penderita nekrofilia. Miyazaki lahir dengan cacat fisik akibat lahir prematur, yakni telapak tangan dan jari2nya menyatu. Cacat lahiriah inilah yang menyebabkan ia tumbuh menjadi anak yang pendiam dan pemalu. Kita hanya bisa membayangkan, perlakukan semacam apa yang diterimanya dari teman2nya fisik seperti itu. Ia mendapat penolakan dari kedua orang tuanya dan kedua saudara perempuannya. Satu2nya yang menyayanginya dengan tulus hanyalah sang kakek. Namun ketika kakeknya meninggal pada 1988, ia menjadi depresi, bahkan memakan sebagian abu kremasi sang kakek. Pada masa inilah, ia mulai melakukan pembunuhan berantai.
Korban pertamanya adalah Mari Konno, seorang gadis berusia 4 tahun yang ia culik tepat sehari setelah ulang tahunnya yang ke-26. Ia membunuh gadis itu lalu membuang mayatnya, namun kembali setelah mayat gadis itu membusuk untuk mengambil tangan dan kakinya untuk disimpan sebagai trofi yang kemudian ia simpan di dalam lemari. Korban kedua adalah Masami Yoshizawa (7 tahun) yang juga ia culik dan ia bunuh di tempat yang sama ia membunuh Mari. Ia kemudian menculik Erika Namba (4 tahun) dan membunuhnya. Namun aksi tersadis ia lakukan pada korban terakhirnya, Ayako Nomoto (5 tahun) yang tak hanya ia bunuh, namun juga ia mutilasi. Sama seperti korban pertamanya, Tsutomu juga menyimpan potongan tangannya. Namun tak hanya itu. Ia juga meminum darah gadis itu serta memakan dagingnya.
Pada Juli 1989, aksi Miyazaki akhirnya usai ketika polisi menangkapnya atas tuduhan pelecehan seksual pada gadis di bawah umur. Ketika menyelidiki apartemennya, polisi menemukan bukti atas segala kejahatannya, juga ribuan materi2 berupa kaset anime serta manga, khususnya manga porno atau “hentai”. Inilah yang menyebabkan media mengutuknya sebagai Otaku Killer dengan beralasan kebiasaan membaca manga-lah yang membuatnya menjadi pembunuh berantai.
Salah satu ciri khas menakutkan dari pembunuh berantai ini, melalui pengakuan para keluarga korban, adalah ia seringkali menelepon keluarga korban. Ketika diangkat, Miyazaki hanya diam tanpa mengatakan sepatah katapun. Jika tidak diangkat, maka telepon akan terus berbunyi hingga 20 menit tanpa henti.
Selama jalannya pengadilan, Miyazaki terus menyalahkan alter egonya (ia sepertinya memiliki kepribadian ganda) bernama “Rat Man” yang melakukan pembunuhan2 itu. Ia bahkan menggambar Rat Man dalam bentuk manga. Ayah Miyazaki menolak untuk membayar pengacara untuk membela anaknya dan akhirnya bunuh diri pada 1994. Pada 1997, Miyazaki dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi dengan cara digantung pada 2008.
Spoiler for Cerita 2:
2. Osaka School Massacre
Mamoru Takuma merupakan pembunuh yang bertanggung jawab atas tragedi “Osaka School Massacre” yang menewaskan 8 anak dan melukai 15 lainnya. Ia lahir pada 23 November 1963 di Osaka dan semenjak kecil telah menunjukkan gejala “Macdonalds Triad”, yakni 3 kebiasaan yang ditampakkan oleh seseorang yang berpotensi menjadi pembunuh berantai pada usia kecil. Tiga gejala itu adalah:
a. Kekejaman pada binatang
b. Kegemaran membakar benda
c. Eneuresis (kebiasaan mengompol di usia di atas 5 tahun)
Mamoru sejak usia dini sudah menunjukkan perilaku psikopat. Pada usia 12 tahun, ia gemar membunuh kucing dengan membungkusnya dengan koran lalu membakarnya. Saat SMU, ia menyerang gurunya sendiri dan membuatnya dikeluarkan dari sekolah. Ia juga berkelahi dengan ayahnya, membuat ayahnya kemudian mengirimnya ke RSJ. Namun pihak RSJ tak mau menerimanya dan sang ayah kemudian tak mengakui Mamoru sebagai anaknya.
Ia sempat bekerja di perusahaan taksi bahkan sempat diterima di Angkatan Udara, namun ia dikeluarkan karena masalah kekerasan dan pelecehan seksual. Mamoru menikah selama 4 kali dan keluar masuk penjara. Terakhir, ia bekerja sebagai janitor (tukang bersih2) di sebuah sekolah sebelum akhinya membuat masalah kembali dengan meracuni 4 guru.
Ia kemudian dimasukkan ke RSJ dengan diagnosis menderita skizofrenia. Di RSJ ia sempat berusaha untuk bunuh diri, namun gagal. Setelah sebulan, ia dikeluarkan dengan alasan “mampu mengurus dirinya sendiri”. Pada 2001, sebulan sebelum ia melancarkan aksinya, ia sempat secara sukarela mendaftarkan diri ke RSJ untuk mencari bantuan atas depresi yang ia alami. Namun sehari kemudian ia melarikan diri.
Pada Juni 2001, ia akhirnya lepas kendali dan mengamuk. Dengan bersenjatakan sebilah pisau, ia menyerang Ikeda Elementary School dan menusuk mati 8 anak-anak kelas 1 dan 2 SD serta melukai 13 anak lain dan 2 guru. Peristiwa ini dilihat dari jumlah korbannya, merupakan tragedi terbesar kedua yang pernah menimpa Jepang modern setelah insiden penyerangan gas sarin oleh Aum Shirikyo. Uniknya, peristiwa ini mengundang simpati popstar Jepang Utada Hikaru yang menggubah lagunya “Final Distance” untuk menghormati salah satu korban yang merupakan fans beratnya.
Ketika ditangkap, Mamoru dalam keadaan sangat bingung. Ia tak menyadari bahwa ia menyerang sekolah dan terus mengatakan,
“Aku tidak menyerang sekolah dasar. Aku pergi ke stasiun kereta dan menusuk 100 orang. Aku tak pernah pergi ke sekolah dasar.”
Ketika persidangan pun ia sama sekali tak membela diri, bahkan meminta hakim untuk segera mengeksekusi dirinya dengan mengatakan,
“Aku sudah menjadi jijik terhadap semua ini. Aku mencoba membunuh diriku beberapa kali, namun tidak bisa. Kumohon, hukum mati saja aku.”
Walaupun didiagnosis menderita berbagai kelainan jiwa seperti perilaku antisosial dan paranoid, ia akhirnya dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung pada 2004.
Spoiler for Cerita 3:
3. Akihabara Massacre
Tepat 7 tahun setelah tragedi Osaka School Massacre, tragedi serupa terjadi di pusat perbelanjaan Akihabara, Tokyo yang amat terkenal sebagai pusat manga dan anime. Lagi2, kasus ini dianggap berhubungan dengan stigma negatif otaku di masyarakat Jepang.
Pada Minggu, 8 Juni 2008, Tomohiro Kato mengendarai mobil sewaan dan menabrak 5 pejalan kaki di pusat perbelanjaan Akihabara, menewaskan 3 di antaranya. Ia kemudian turun dari mobil dan dengan berbekal sebilah pisau, menusuk 12 pejalan kaki satu demi satu, menewaskan 4 di antaranya. Tragedi ini benar2 membuat publik Jepang terhenyak. Situasi di kala itu sangat kacau hingga dibutuhkan 17 ambulans yang berlalu lalang untuk menyelamatkan para korban.
Tomohiro sendiri lahir pada 28 September 1982 di Aomori, Honshu dan semula dikenal sebagai siswa berprestasi di SD dan SMP. Namun situasi berbalik 180 derajat ketika ia masuk Aomori High School yang merupakan sekolah elite. Di sana ia menjadi rendah diri karena menjadi siswa yang kurang populer. Prestasinya anjlok drastis menjadi peringkat 300 dari 360 siswa. Akibatnya, ia gagal masuk ke Hokkaido University yang bergengsi dan akhirnya hanya bekerja di sebuah pabrik.
Menjadi anak seorang top manager di perusahaan perbankan membuat Tomohiro mendapat tekanan yang luar biasa berat dari orang tuanya untuk menjadi siswa terbaik. Bahkan orang tuanya pernah menghukumnya dengan menyuruhnya memakan sisa makanan yang terjatuh di lantai. Tetangganya juga bersaksi orang tuanya pernah menghukumnya dengan membiarkannya berdiri di luar rumah di tengah musim dingin yang menggigil. Pada 2006, ia mencoba bunuh diri dengan menabrakkan mobilnya, namun gagal.
Tiga hari sebelum serangan, ia mengalami perselisihan dengan teman kerjanya yang ia tuduh menyembunyikan baju kerjanya. Ia pulang cepat setelah insiden tersebut dan diduga kejadian tersebutlah yang memicu pembantaian Akihabara. Yang mengkhawatirkan, beberapa saat setelah peristiwa itu, mulai muncul pembunuhan2 copycat yang meniru insiden tersebut. Pada bulan yang sama, seorang pria mengancam akan mengulang tragedi itu di Tokyo Disneyland. Tomohiro sendiri kini masih hidup, menunggu hukuman mati yang telah dijatuhkan padanya. Pada 2014, saudara laki2 Tomohiro yang berusia 28 tahun memutuskan bunuh diri karena rasa malu. Kasus Tomohiro kembali menuai stigma negatif pada para otaku. Diduga budaya otaku telah menyebabkan anak2 muda Jepang menjadi berperilaku negatif dan antisosial.
Spoiler for Cerita 4:
4. Kobe Child Murders dan Sasebo Slashing
Pada pagi 27 Mei 1997, potongan kepala Jun Hase, seorang murid di Tainohata Elementary School ditemukan di gerbang sekolahnya. Kepalanya dimutilasi dengan gergaji dan di dalam mulutnya disumpalkan sebuah surat misterius yang ditulis dengan tinta merah. Pembunuhnya, yang mengaku bernama “Sakakibara” menulis:
“Ini adalah permulaan dari sebuah permainan. Kalian para polisi coba saja menghentikanku jika kalian bisa. Aku sangat ingin melhat orang-orang mati, sangat menegangkan bagiku untuk melakukan pembunuhan. Sebuah pembalasan berdarah setimpal dengan penderitaanku selama bertahun-tahun.”
Siapa pelakunya? Secara mengejutkan, polisi menangkap seorang anak berusia 14 tahun (setara dengan siswa kelas 2 SMP) yang tak dipublikasikan identitasnya dan hanya disebut sebagai “Boy A”. Ia ternyata juga mengaku telah membunuh seorang gadis berusia 10 tahun bernama Ayaka Yamashita pada 16 Maret dan menulis dalam buku hariannya,
“Aku mengadakan eksperimen hari ini untuk membuktikan betapa rapuhnya manusia itu ... aku memukulnya dengan palu, ketika gadis itu menoleh kepadaku. Aku pikir aku memukulnya berkali-kali namun aku terlalu asyik untuk mengingat berapa kali aku memukulnya ...”
Kejadian ini sangat mengguncang publik Jepang. Walaupun kejahatan yang dilakukannya sangat serius, “Boy A” tak dijatuhi hukuman mati karena masih di bawah umur. Pada Maret 2004, diumumkan bahwa ia yang saat itu telah berumur 21 tahun, dibebaskan karena telah menjalani seluruh masa hukumannya. Namun baru tiga bulan setelah pembebasannya, kasus mengerikan serupa kembali membuat shock masyarakat Jepang.
Pada 1 Juni 2004, pembunuhan yang dijuluki “Sasebo Slashing” menimpa seorang gadis berusia 12 tahun bernama Satomi Mirai. Ia digorok di leher oleh temannya yang berumur 11 tahun, dijuluki “Girl A”. Ia melakukannya di saat kelas kosong pada jam makan siang dan kembali ke kelasnya dengan baju berlumuran darah. Menurut pengakuannya, ia membunuh gadis itu karena sakit hati dibully di internet karena berat badannya. Konon, “Girl A” melakukan aksi biadabnya karena terinspirasi urban legend “Red Room” dan novel “Battle Royale” yang berisi siswa SMA yang saling membunuh. Kedua kasus kontroversial ini membuat masyarakat tajam mengkritisi banyak tayangan tak mendidik dan penuh kekerasan sebagai pemicu kejahatan dengan pelaku di bawah umur ini.
Spoiler for Cerita 5:
5. Tsuyama Massacre
Pernah melihat serial “Harper’s Island” yang menceritakan pembunuh berantai yang beraksi membantai warga sebuah pulau? Kisah ini ternyata pernah terjadi di dunia nyata. Kisah hampir serupa terjadi pada 21 Mei 1938 di sebuah desa bernama Kaio, tak jauh dari kota Tsuyama di wilayah Okayama, Jepang. Pada malam itu, seorang pria berumur 21 tahun bernama Mutsuo Toi memadamkan listrik di desanya dan di tengah kegelapan, ia membantai 30 penduduk desa secara satu-persatu menggunakan berbagai senjata, mulai dengan senapan, kapak, hingga pedang samurai. Salah satu yang ia habisi adalah neneknya sendiri. Ia membunuh hampir separuh dari penduduk desa tersebut dan akhirnya memutuskan untuk bunuh diri dengan menembak dirinya sendiri menjelang fajar.
Spoiler for Cerita 6:
Kasus Fusako Sano
Kasus ini mungkin tak sesadis kasus2 lainnya di atas, bahkan dapat dibilang berakhir bahagia. Namun tetap saja kasus aneh ini terasa disturbing bagiku. Pernah melihat film Korea berjudul “Old Boy” tentang seorang pria yang diculik dan dikurung selama bertahun2? Nah, kasus ini hampir serupa dan menimpa seorang gadis bernama Fusako Sano. Pada 13 November 1990, Fusako Sano yang berumur 9 tahun kala itu diculik setelah menonton pertandingan baseball di kampung halamannya di Sanjo, Prefektur Niigata. Penculiknya adalah pria berumur 28 tahun yang terganggu mentalnya bernama Nobuyuki Sato.
Pencarian besar2an dilakukan untuk menemukan gadis cilik itu, namun berakhir dengan kegagalan. Bahkan polisi mengkonfirmasi bahwa kemungkinan Fusako diculik oleh intelejen Korea Utara. Pada 28 Januari 2000, seorang polisi yang kebetulan menanggapi kasus “domestic disturbance” di sebuah apartemen didekati oleh seorang gadis berumur 19 tahun yang mengatakan bahwa ialah Fusako Sano dan ia telah diculik selama 9 tahun.
Selama disekap selama 9 tahun, Fusako mengaku sering dipukul dan disengat dengan listrik apabila tidak menuruti perintah penyekapnya. Kondisi gadis itu sangat memprihatinkan. Ia kurus karena malnutrisi dan bahkan kesulitan berjalan. Tubuh gadis itu memang sudah dewasa, namun kondisi pikirannya masih seperti anak kecil. Kisah Fusako akhirnya menemui “happy ending” ketika ia berkumpul kembali bersama keluarganya. Sang penculiknya yang sempat dirawat di RSJ akhirnya dijatuhi hukuman 14 tahun penjara. Plot twistnya? Apartemen tempat gadis itu disekap selama 9 tahun berada hanya 200 meter dari kantor polisi. Benar2 tragis.
Spoiler for Cerita 7:
Aum Shinrikyo
Aum Shinrikyo (berarti “Supreme Truth” atau “Kebenaran Tertinggi”) adalah sebuah sekte yang didirikan Shoko Asahara pada 1984 yang lebih terkenal akibat aksi terorisme mereka. Pada 1995, anggota sekte ini mencapai 40 ribu di seluruh dunia, di antaranya 9 ribu berada di Jepang. Sekte ini termasuk salah satu “doomsday cult” karena meramalkan dunia akan kiamat akibat Perang Dunia III saat Amerika Serikat akan meluncurkan serangan nuklir ke Jepang. Ramalan ini memicu berbagai serangan gas sarin ke berbagai kota besar di Jepang.
Jauh sebelum insiden serangan gas sarin, kelompok ini dikenal melakukan berbagai tindak kriminal. Pada 1989, sekte ini diduga melakukan pembunuhan terhadap anggotanya yang berusaha keluar dari organisasi ini. Pada tahun yang sama, seorang pengacara bernama Tsutsumi Sakamoto berusaha membubarkan grup ini melalui hukum. Ia bersama istri dan anaknya kemudian lenyap secara misterius dari rumah mereka di Yokohama (kemungkinan besar diculik dan dibunuh). Anggota sekte ini dianggap bertanggung jawab atas kejadian itu.
Pada 27 Juni 1994, sebuah insiden serangan gas sarin terjadi di pusat kota Matsumoto, Nagano. Kejadian ini menewaskan 8 orang dan melukai 200 orang. Namun serangan ini belum dikaitkan dengan sekte tersebut. Pada 20 Maret 1995, sekte ini kembali melepaskan gas sarin di stasiun subway Jepang. 13 korban tewas, 54 orang terluka parah, dan 980 orang terluka ringan. Beberapa pihak bahkan menyebutkan korban yang terkena dampak gas sarin ini berjumlah hingga 6.000 orang. Di markas besar Aum Shinrikyo di kaki Gunung Fuji, polisi menemukan bahan peledak, senjata kimia, hingga senjata biologis berupa bakteri Anthrax hingga virus Ebola. Terdapat pula bahan2 kimia yang mampu digunakan untuk memproduksi gas sarin cukup untuk membunuh 4 juta jiwa.
Pada tahun yang sama, berbagai insiden yang sama terkait sekte ini juga terjadi. Pada 30 Maret, seorang kepala polisi bernama Takaji Kunimatsu ditembak 4 kali di luar rumahnya di Tokyo dan terluka serius. Pada 5 Mei, sebuah bom hidorgen sianida ditemukan di toilet di stasiun Shinjuku, Tokyo, cukup untuk membunuh 20 ribu orang. Pada saat sang kepala sekte tertangkap pada 16 Mei, sebuah bom surat dikirimkan kepada Yukio Aoshima, gubernur Tokyo, dan meledak, memutuskan jari sekretarisnya. Sekte Aum Shinrikyo dianggap bertanggung jawab atas semua kejadian tersebut. Namun anggota sekte tersebut ternyata juga menjadi target serangan pihak2 yang anti terhadap mereka. Pada 23 April, salah seorang petinggi Aum Shinrikyo bernama Murai Hideo ditusuk hingga tewas di depan kamera, di tengah 100 wartawan yang tengah mewawancarainya.
Terlibat dengan berbagai aksi kejahatan mengerikan, pasti kalian mengira sekte ini pasti sudah dibubarkan oleh pemerintah Jepang, bukan? Salah! Kebebasan berserikat yang terlampau dihargai di negara demokratis semacam Jepang membuat pembubaran kelompok ini hampir mustahil. Hingga kini sekte ini masih ada dan memiliki ribuan pengikut, walaupun dengan pengawasan ketat dari pemerintah. Tahun 2000, sekte ini mengubah logo dan namanya menjadi “Aleph” yang merupakan abjad pertama alfabet Arab dan Yahudi.
Kejadian2 mengerikan ini membuat kita sadar, peristiwa2 yang kita duga hanya terjadi di film2 ternyata juga terjadi di dunia nyata, bahkan kadangkala lebih kelam. Namun memahami tiap motif di balik kejadian2 itu tentu bisa membuat kita mempelajari bagaimana peristiwa2 sadis seperti ini tak terjadi di masa depan. Kita juga sepertinya harus mulai menyaring hiburan yang kita lihat setiap hari, menghindari kehidupan terisolasi (terlalu sering maen video game dan terlalu menghayati jadi otaku?), aktif bersosialiasi dan menghindari hiburan yang tidak sehat. Bagaimana menurut kalian?
seperti kata2 film kick ass:di dunia ini tidak ada superhero tetapi masalahnya penjahat supernya ada
Cerita tambahan ada di kolom komentar ke 16
Diubah oleh juandry 09-02-2015 04:05
0
31.5K
Kutip
102
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
924.8KThread•89.9KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya