- Beranda
- The Lounge
Eksekusi Mati
...
TS
galindra6
Eksekusi Mati
Spoiler for Sumber 1 ::
Perempuan Miskin Rentan Dimanfaarkan Jaringan Narkoba
Rimanews - Ketua Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Giwo Rubianto Wiyogo mengatakan perempuan yang hidup dalam belengu kemiskinan rentan dimanfaatkan jaringan narkoba sebagai kurir.
"Kasus Rani Andriani membuka mata kita bahwa kemiskinan masih menjadi persoalan utama di pedesaan," kata Giwo di Jakarta, Minggu (18/1).
Rani Andriani atau Melisa Aprilia yang dieksekusi mati Minggu dini hari, merupakan potret perempuan desa yang hidup dalam belenggu kemiskinan. Rani di vonis hukuman mati atas kasus penyelundupan 3,5 kilogram heroin oleh Pengadilan Negeri Tanggerang pada 22 Agustus 2000.
Dalam kasus tersebut, Rani termasuk bagian dari jaringan peredaran narkotika internasional yang dikendalikan sepupunya, Meirika Franola dan seorang lurah di Rancagoong, Deni Setia Marhawan, yang juga masih saudaranya.
Saat kasus tersebut terjadi, usia Rani masih 20 tahun. Rani kecil tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga miskin. Rani tinggal bersama keluarganya di gang kecil, berukuran tidak lebih dari 2 meter, di RT 3 RW 3 Gang Edi 2 Kampung Cikidang Kelurahan Sayang Kecamatan Cianjur.
Pada waktu itu Rani mendapat iming-iming pekerjaan di Jakarta. Rani bekerja pada orang Afrika dengan fasilitas yang sangat baik seperti makanan yang enak, pakaian layak dan tempat tinggal juga layak.
Rani resmi pacaran dengan orang Afrika tersebut sehingga sulit keluar dari lingkaran jaringan narkoba seperti itu. "Perempuan yang terbelengu kemiskinan rentan dimanfaatkan jaringan narkoba sebagai kurir," kata Giwo.
Ia menjelaskan para pengedar narkoba dalam jaringan internasional banyak mengorbankan perempuan seperti Rani sebagai kurir. Alasannya, Rani dan yang lainnya membutuhkan uang banyak untuk keluarganya.
Kowani berharap ke depannya, hukuman yang diberikan kepada jaringan bandar narkoba internasional tersebut harus sama dengan hukuman yang diberikan kepada Rani. Bukan sebaliknya sebagian besar kasus narkoba di pengadilan, hukumannya di bawah 20 tahun.
Sumber Rimanews - Ketua Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Giwo Rubianto Wiyogo mengatakan perempuan yang hidup dalam belengu kemiskinan rentan dimanfaatkan jaringan narkoba sebagai kurir.
"Kasus Rani Andriani membuka mata kita bahwa kemiskinan masih menjadi persoalan utama di pedesaan," kata Giwo di Jakarta, Minggu (18/1).
Rani Andriani atau Melisa Aprilia yang dieksekusi mati Minggu dini hari, merupakan potret perempuan desa yang hidup dalam belenggu kemiskinan. Rani di vonis hukuman mati atas kasus penyelundupan 3,5 kilogram heroin oleh Pengadilan Negeri Tanggerang pada 22 Agustus 2000.
Dalam kasus tersebut, Rani termasuk bagian dari jaringan peredaran narkotika internasional yang dikendalikan sepupunya, Meirika Franola dan seorang lurah di Rancagoong, Deni Setia Marhawan, yang juga masih saudaranya.
Saat kasus tersebut terjadi, usia Rani masih 20 tahun. Rani kecil tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga miskin. Rani tinggal bersama keluarganya di gang kecil, berukuran tidak lebih dari 2 meter, di RT 3 RW 3 Gang Edi 2 Kampung Cikidang Kelurahan Sayang Kecamatan Cianjur.
Pada waktu itu Rani mendapat iming-iming pekerjaan di Jakarta. Rani bekerja pada orang Afrika dengan fasilitas yang sangat baik seperti makanan yang enak, pakaian layak dan tempat tinggal juga layak.
Rani resmi pacaran dengan orang Afrika tersebut sehingga sulit keluar dari lingkaran jaringan narkoba seperti itu. "Perempuan yang terbelengu kemiskinan rentan dimanfaatkan jaringan narkoba sebagai kurir," kata Giwo.
Ia menjelaskan para pengedar narkoba dalam jaringan internasional banyak mengorbankan perempuan seperti Rani sebagai kurir. Alasannya, Rani dan yang lainnya membutuhkan uang banyak untuk keluarganya.
Kowani berharap ke depannya, hukuman yang diberikan kepada jaringan bandar narkoba internasional tersebut harus sama dengan hukuman yang diberikan kepada Rani. Bukan sebaliknya sebagian besar kasus narkoba di pengadilan, hukumannya di bawah 20 tahun.
Spoiler for Sumber 2 ::
Kejaksaan Agung Siapkan Eksekusi Mati Gelombang Berikutnya JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah eksekusi enam terpidana mati kasus narkoba, Kejaksaan Agung telah menyiapkan eksekusi mati untuk para terpidana gelombang berikutnya.
Saat ini ada 64 terpidana mati kasus narkoba yang mengajukan grasi dan kemungkinan akan ditolak oleh Presiden Joko Widodo. Beberapa di antaranya telah dipastikan ditolak, dan lainnya masih menunggu. [Baca: Presiden Tolak Grasi 64 Terpidana Mati Kasus Narkoba].
Namun, Kejaksaan Agung tidak gegabah melakukan eksekusi mati. Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, persiapan eksekusi harus dilakukan dengan teliti dan cermat agar tidak terjadi kesalahan dan seluruh aspek hukum terpidana mati terpenuhi.
"Jangan sampai ada permasalahan hukum yang belum terselesaikan. Kalau ada yang sudah terpenuhi, tentunya secepat itu pula kita rencanakan untuk mengeksekusi mati," tegas Prasetyo, Minggu (18/1/2015) di Kejagung.
Seperti diketahui, Minggu (18/1/2014) pukul 00.00 WIB, enam terpidana mati dieksekusi di dua lokasi berbeda yakni Nusakambangan dan Boyolali setelah grasi ditolak. Masing-masing Ang Kim Soei (62) warga negara Belanda, Namaona Denis (48) warga negara Malawi, Marco Archer Cardoso Mareira (53) warga negara Brasil, Daniel Enemua (38) warga negara Nigeria, Rani Andriani atau Melisa Aprilia (38) warga negara Indonesia, dan Tran Thi Bich Hanh (37) warga negara Vietnam. [Baca: Inilah 6 Terpidana Mati Kasus Narkoba yang Dieksekusi].
Salah satu terpidana mati yang manunggu eksekusi adalah Myuran Sukumaran, salah seorang anggota sindikat Bali Nine yang saat ini ditahan di LP Kerobokan, Bali. Menurut Jaksa Agung, eksekusi belum dapat dilakukan karena menunggu proses hukum terpidana lain dalam kasus yang sama.
Myuran dibekuk di Bandara Ngurah Rai, Badung, bersama delapan WN Australia lainnya tahun 2005. Mereka kedapatan hendak menyelundupkan 8,3 kg heroin ke Bali. Myuran dan Andrew Chan divonis mati tahun 2006. Sementara tujuh lainnya memperoleh hukuman bervariasi antara 20 tahun hingga seumur hidup. Grasi Myuran telah ditolak presiden, namun grasi Andrew masih diproses.(Theresia Feliciani)
sumberSaat ini ada 64 terpidana mati kasus narkoba yang mengajukan grasi dan kemungkinan akan ditolak oleh Presiden Joko Widodo. Beberapa di antaranya telah dipastikan ditolak, dan lainnya masih menunggu. [Baca: Presiden Tolak Grasi 64 Terpidana Mati Kasus Narkoba].
Namun, Kejaksaan Agung tidak gegabah melakukan eksekusi mati. Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, persiapan eksekusi harus dilakukan dengan teliti dan cermat agar tidak terjadi kesalahan dan seluruh aspek hukum terpidana mati terpenuhi.
"Jangan sampai ada permasalahan hukum yang belum terselesaikan. Kalau ada yang sudah terpenuhi, tentunya secepat itu pula kita rencanakan untuk mengeksekusi mati," tegas Prasetyo, Minggu (18/1/2015) di Kejagung.
Seperti diketahui, Minggu (18/1/2014) pukul 00.00 WIB, enam terpidana mati dieksekusi di dua lokasi berbeda yakni Nusakambangan dan Boyolali setelah grasi ditolak. Masing-masing Ang Kim Soei (62) warga negara Belanda, Namaona Denis (48) warga negara Malawi, Marco Archer Cardoso Mareira (53) warga negara Brasil, Daniel Enemua (38) warga negara Nigeria, Rani Andriani atau Melisa Aprilia (38) warga negara Indonesia, dan Tran Thi Bich Hanh (37) warga negara Vietnam. [Baca: Inilah 6 Terpidana Mati Kasus Narkoba yang Dieksekusi].
Salah satu terpidana mati yang manunggu eksekusi adalah Myuran Sukumaran, salah seorang anggota sindikat Bali Nine yang saat ini ditahan di LP Kerobokan, Bali. Menurut Jaksa Agung, eksekusi belum dapat dilakukan karena menunggu proses hukum terpidana lain dalam kasus yang sama.
Myuran dibekuk di Bandara Ngurah Rai, Badung, bersama delapan WN Australia lainnya tahun 2005. Mereka kedapatan hendak menyelundupkan 8,3 kg heroin ke Bali. Myuran dan Andrew Chan divonis mati tahun 2006. Sementara tujuh lainnya memperoleh hukuman bervariasi antara 20 tahun hingga seumur hidup. Grasi Myuran telah ditolak presiden, namun grasi Andrew masih diproses.(Theresia Feliciani)
Spoiler for Sumber 3 ::
Terkendala Cuaca, Eksekusi Mati Sempat MolorRimanews - Eksekusi enam terpidana mati di Lapas Nusakambangan sempat molor karena cuaca. Jaksa Agung HM. Prasetyo mengatakan eksekusi dijadwalkan terlaksana Minggu (18/1) pukul 00.10 WIB. "Tapi karena cuaca dan lain sebagainya, untuk Nusa Kambangan akhirnya dilaksanakan 00.30 WIB," kata Prasetyo di Jakarta, Minggu (18/1).
Meski begitu tak ada perubahan tempat eksekusi yakni lima terpidana di LP Nusa Kambangan dan satu di LP Boyolali. "Yang sedikit berubah cuma waktu pelaksanaannya, semula kedua tim lapangan, eksekutor rencanakan akan laksanakan serentak pada 00.10 WIB," katanya.
Lima terpidana mati dieksekusi di Pulau Nusakambangan, Cilacap, antara lain Marco Archer Cardoso Moreira (WN Brasil), Rani Andriani alias Melisa Aprilia (WNI), Namaona Denis (WN Malawi), Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou (WN Nigeria), serta Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya (WN Belanda).
Sementara seorang lainnya yakni Tran Thi Bich Hanh (WN Vietnam) dieksekusi di Boyolali, Jawa Tengah.
Eksekusi keenam terpidana mati ini dilaksanakan, setelah grasi yang diajukan ke enam terpidana mati tersebut, ditolak Presiden Joko Widodo.
SumberMeski begitu tak ada perubahan tempat eksekusi yakni lima terpidana di LP Nusa Kambangan dan satu di LP Boyolali. "Yang sedikit berubah cuma waktu pelaksanaannya, semula kedua tim lapangan, eksekutor rencanakan akan laksanakan serentak pada 00.10 WIB," katanya.
Lima terpidana mati dieksekusi di Pulau Nusakambangan, Cilacap, antara lain Marco Archer Cardoso Moreira (WN Brasil), Rani Andriani alias Melisa Aprilia (WNI), Namaona Denis (WN Malawi), Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou (WN Nigeria), serta Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya (WN Belanda).
Sementara seorang lainnya yakni Tran Thi Bich Hanh (WN Vietnam) dieksekusi di Boyolali, Jawa Tengah.
Eksekusi keenam terpidana mati ini dilaksanakan, setelah grasi yang diajukan ke enam terpidana mati tersebut, ditolak Presiden Joko Widodo.
Spoiler for Sumber 4 ::
Eksekusi Hukuman Mati Bukan Hal Menggembirakan, melainkan KeprihatinaJAKARTA, KOMPAS.com — Eksekusi hukuman mati terhadap enam terpidana kasus narkotika telah dilaksanakan sesuai rencana di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah; dan Boyolali, Jawa Tengah, Minggu (18/1/2015) dini hari. (Baca: Enam Terpidana Kasus Narkoba Sudah Dieksekusi).
Meskipun menyatakan telah sukses mengeksekusi para terpidana mati, Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, eksekusi bukanlah hal yang menggembirakan.
"Eksekusi itu bukan hal yang menggembirakan dan menyenangkan, melainkan keprihatinan," kata Jaksa Agung, saat jumpa pers di Gedung Kejagung, Minggu pagi tadi.
Menurut dia, eksekusi bagi para terpidana mati tetap harus dilakukan karena hukum harus ditegakkan. Prasetyo menambahkan, eksekusi hukuman mati merupakan proses perjalanan terakhir sebagai hasil perbuatan yang bersangkutan.
"Itu sudah jadi tugas jaksa untuk melaksanakan eksekusi, melakukan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap," ungkap Prasetyo.
Kejahatan luar biasa
Selain itu, lanjut Prasetyo, pelaksanaan eksekusi mati pada terpidana kasus narkoba merupakan sikap tegas Indonesia memerangi narkoba.
"Ini bentuk ketegasan Indonesia pada pelaku jaringan sindikat pengedar kejahatan narkotika. Saya harap semua memahami. Ini merupakan kejahatan kemanusiaan, merusak moral generasi muda," ujar dia.
Tidak hanya itu, Prasetyo juga mengimbau setiap keluarga di Indonesia agar aktif dalam mencegah peredaran narkotika di lingkungannya.
"Kejahatan narkotika itu luar biasa, dan harus ditangani dengan luar biasa. Indonesia harus bisa diselamatkan," kata Prasetyo.
Prasetyo pun berharap para unsur penegak hukum, seperti Polri, Kejaksaan, BNN, dan Pengadilan, bisa menjadi garda depan untuk memberantas dan memerangi narkoba. (Theresia Felisiani)
Meskipun menyatakan telah sukses mengeksekusi para terpidana mati, Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, eksekusi bukanlah hal yang menggembirakan.
"Eksekusi itu bukan hal yang menggembirakan dan menyenangkan, melainkan keprihatinan," kata Jaksa Agung, saat jumpa pers di Gedung Kejagung, Minggu pagi tadi.
Menurut dia, eksekusi bagi para terpidana mati tetap harus dilakukan karena hukum harus ditegakkan. Prasetyo menambahkan, eksekusi hukuman mati merupakan proses perjalanan terakhir sebagai hasil perbuatan yang bersangkutan.
"Itu sudah jadi tugas jaksa untuk melaksanakan eksekusi, melakukan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap," ungkap Prasetyo.
Kejahatan luar biasa
Selain itu, lanjut Prasetyo, pelaksanaan eksekusi mati pada terpidana kasus narkoba merupakan sikap tegas Indonesia memerangi narkoba.
"Ini bentuk ketegasan Indonesia pada pelaku jaringan sindikat pengedar kejahatan narkotika. Saya harap semua memahami. Ini merupakan kejahatan kemanusiaan, merusak moral generasi muda," ujar dia.
Tidak hanya itu, Prasetyo juga mengimbau setiap keluarga di Indonesia agar aktif dalam mencegah peredaran narkotika di lingkungannya.
"Kejahatan narkotika itu luar biasa, dan harus ditangani dengan luar biasa. Indonesia harus bisa diselamatkan," kata Prasetyo.
Prasetyo pun berharap para unsur penegak hukum, seperti Polri, Kejaksaan, BNN, dan Pengadilan, bisa menjadi garda depan untuk memberantas dan memerangi narkoba. (Theresia Felisiani)
sumber
Quote:
0
2.7K
Kutip
14
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
923.2KThread•83.7KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru