Ini adalah Thread Pertama ane, mohon maaf rada berantakan. Kejadiannya setahun yang lalu, menjelang puasa juga. Kebetulan bingung menentukan destinasi, akhirnya memilih Kepulauan Kangean. Selama dua minggu, dari 60 pulau, cuma bisa sekitar 11 pulau. Faktor cuaca saat itu sangat menentukan.
Dari malang ane ke sumenep dengan sepeda motor, melihat situasi tidak kondusif, maka motor ane titipin di Sumenep. Dari sumenep menyebrang selama sekitar 10 jam ke pulau kangean naik feri. Sesampainya di Kangean (pelabuhan batu guluk) istirahat sehari di losmen yang ada di pusat kecamatan Kangean. Besoknya ane naik ojek menuju pelabuhan kecil tempat mangkal taksi air. Dari sini menuju ke pulau Saobi dengan cagar alamnya. Setelah itu baru keliling kepulauan kangean dengan taksi air. Menginap di rumah penduduk, mereka sangat welcome sekali. Jangan lupa ke pulau saebus.
Oleh - oleh ceritanya ini gan :
Spoiler for "prolog":
Tidak ada yang menyangka bahwa Pulau Madura ternyata memiliki gugusan kepulauan yang indah. Tidak ada pula yang menyangka bahwa Pulau Madura tidak hanya garam dan pedagang yang ulet. Ternyata Pulau Madura juga memiliki keindahan alam.
Sayangnya, harta karun bernama Kangean ini tidak banyak diketahui oleh orang. Keberadaan kepulauan ini serasa tidak terdengar, meski gugusan pulau yang eksotis ini terletak di sekitar pusat geografis Negara Indonesia. Secara administratif, Kepulauan Kangean terletak di Kabupaten Sumenep. Dan uniknya, mayoritas penduduk di kepulauan ini lebih suka menyebut diri mereka sebagai orang Madura Kepulauan. Penduduk yang tinggal di Kepulauan Kangean tidak hanya berasal dari suku Madura saja, melainkan juga suku – suku pelaut terkenal Indonesia yaitu dari Bajo, Mandar, dan Bugis.
Spoiler for "keterbatasan di kepulauan Kangean":
Di era globalisasi ini, penduduk Kepulauan Kangean hanya bisa menikmati listrik di kala malam hingga menjelang pagi saja. Di beberapa pulau, seperti Pulau Bungin, penduduk juga harus berjuang untuk mendapatkan air tawar untuk kebutuhan sehari-hari mereka. Mereka harus membelinya karena pulau mereka tidak mempunyai sumber air tawar. Untuk itu, anda patut berbangga hati jika disana anda ditawari untuk mandi, hal tersebut merupakan salah satu bentuk penghormatan bagi tamu. Karena terbiasa dengan keterbatasan, penduduk Kepulauan Kangean tidak menyadari bahwa mereka hidup dikelilingi oleh indahnya surga kecil Kangean. Minimnya sarana dan prasarana penunjang menjadikan mereka seakan-akan terisolir.
Pulau Saobi merupakan satu-satunya pulau di Kepulaun Kangean yang memiliki cagar alam di dalamnya. Cagar alam Pulau Saobi mempunyai satwa unik yaitu burung gosong atau yang mempunyai nama latin Megapodiusreinwardt. Mendengar namanya, mungkin orang akan membayangkan seekor unggas berwarna hitam legam. Secara sekilas, burung ini hampir mirip dengan kerabat dekatnya yaitu Burung Maleo dari Sulawesi. Bila dewasa burung ini berukuran sedang (kira-kira 36 cm), warnanya coklat keabu-abuan dengan sisi muka kemerah-merahan dan jambul pendek. Tubuh bagian atas berwarna coklat merah dan bagian bawah berwarna keabu-abuan. Burung-burung muda berbintik dan bergaris-garis coklat serta coklat gelap, pada bagiaan iris berwarna coklat, paruh berwarna kuning, kaki berwarna jingga.
Burung ini sebesar merpati akan tetapi telurnya sebesar telur angsa. Setelah mengeluarkan telurnya, pada umumnya burung gosong kemudian pingsan.
Sebaran burung gosong sendiri ada di sepanjang pantai Nusa Tenggara dan Maluku Tenggara. Sedangkan di daerah Jawa dan Bali, burung gosong hanya ditemukan di Kepulauan Kangean.
Spoiler for "Tradisi Lebaran":
Terdapat sebuah kebiasaan unik penduduk beberapa pulau setelah merayakan lebaran. Mayoritas warga akan mengunjungi Pulau Saebus setelah lebaran. Disana mereka berkumpul bersama – sama sekedar menikmati santap siang dan bersilahturahmi dengan warga pulau – pulau lainnya. Tidak dapat dipungkiri, Pulau Saebus sendiri menyajikan suasana hangat untuk bersilahturahmi. Selain hamparan pantai pasir putih, Pulau Saebus juga menyajikan spot snorkeling yang indah. Tidak percaya? Silahkan berkunjung kesana untuk membuktikannya.
Dari 60 pulau yang ada di Kepulauan Kangean, beberapa pulau diantaranya tidak berpenghuni. Diantara pulau – pulau tidak berpenghuni tersebut, beberapa diantaranya hanyalah sebuah pulau pasir. Ya, pantai dan pantai saja.Tidak ada yang menganggu pandangan, kecuali camar dan kepiting. Masyarakat menyebut pulau pasir ini dengan sebutan Pulau Gusung, karena tidak adanya pepohonan disana.
Tidak jauh dari Pulau Gusung, terdapat sebuah bangunan keramba. Berdiri sendirian menunjukkan bahwa keramba tersebut milik seseorang yang disegani oleh penduduk Kangean. Beberapa nelayan menyatakan bahwa Haji Ali merupakan pemilik dari bangunan keramba tersebut. Figur Haji Ali yang disegani muncul ketika para nelayan bercerita tentang bagaimana sosok tersebut mengusir para pengebom terumbu karang dan kapal – kapal pukat dari wilayah kepulauan Kangean. Di kalangan nelayan, keahlian mengarungi lautan merupakan salah satu syarat agar masyarakat bisa hormat kepada seseorang, dan kisah tentang Haji Ali mengendarai perahunya sendirian dari Kepulauan Kangean menuju Surabaya membuat Haji Ali diakui sebagai pelaut yang unggul.
Spoiler for "Foto Keramba Haji Ali":
Spoiler for "Kearifan lokal":
Kearifan lokal dalam menjaga alam tercermin dalam perilaku keseharian masyarakat Kepulauan Kangean. Bagi mereka, lautan adalah “sajadah” mereka, sehingga mereka mengibaratkan berlayar sebagai salah satu bentuk ibadah mereka. Mereka juga memahami bahwa lautan yang terbentang luas di depan mereka adalah warisan yang harus dijaga demi anak cucu mereka, dengan prinsip seperti itu mereka meminimalisirkan penggunaan bahan-bahan beracun dan bom dalam mencari ikan. Ironis, mereka yang sering kita sebut tidak berpendidikan menonjok kita dengan perilaku yang jauh lebih berpendidikan dari kita yang tidak mau peduli akan keberadaan lingkungan ini bagi anak cucu kita nantinya. Apakah mereka paham akan pemanasan global? Apakah mereka paham efek rumah kaca? Yang mereka pahami adalah anak cucu mereka masih membutuhkan “sajadah” dalam ibadahnya. Sungguh kearifan lokal yang patut ditiru dan diterapkan di lingkungan tempat kita hidup.