- Beranda
- Berita dan Politik
Apa kabar Timor Leste ?
...
TS
pramasita27
Apa kabar Timor Leste ?
Di sekolah ane baru mbahas tentang integerasi bangsa Indonesia, dari materi itu ane jadi teringat dengan "Timor Leste" yang dahulu pernah berintegerasi dengan Idonesia namun pada akhirnya melepaskan diri.
Nah, dari situ ayo kita lihat kabar-kabar dari Timor Leste setelah lepas dari tanah air tercinta ini. Sebelumnya ane minta maaf, bukan maksud untuk merendahkan Timor Leste tetapi ane hanya mau berbagi informasi tentang perkembangan Timor Leste sekarang ini.
Merdeka.com - Tiga belas tahun Timor Leste lepas dari Indonesia, bekas provinsi ke-27 ini justru makin melarat. Menjelang pemilihan parlemen besok, kemiskinan menjadi isu penting.
Situs theaustralian.com.au melaporkan, jumat (6/7). 80 persen dari sekitar sejuta rakyat Timor Leste berada di bawah garis kemiskinan, hanya dengan Rp 18.700 saban hari. Padahal mereka memiliki kekayaan alam berupa gas dan minyak di Celah Timor. Namun sampai sekarang, rakyat masih bergantung pada pertanian asal cukup buat makan.
Presiden Timor Leste Taur Matan Ruak berjanji mengatasi kemiskinan dan mengurangi pengangguran secara bertahap. Dia berkomitmen dalam dua tahun ke depan seperlima penduduk akan hidup layak. "Kita harus mencari investor mendukung perdagangan, infrastruktur, dan pendidikan. Akan ada pemerataan pembangunan," katanya.
Lebih dari Rp 14 triliun dana internasional dikucurkan ke Timor Leste selama 1999-2011, tapi tak terlihat hasilnya. Pembangunan hanya dirasakan di Ibu Kota Dili, itu pun Istana Kepresidenan dan gedung pemerintahan memakai dana China.
Walau rata-rata penduduk bertani, nyatanya Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) mencatat kenaikan impor pangan sembilan persen. Pegiat lembaga nirlaba La'o Hamutuk, Charles Scheiner, mengatakan sektor pertanian harus lebih diperhatikan. "Ekonomi berinti dan terfokus pada kebutuhan sehari-hari seperti air, lilin, rokok, bir, dan konsumsi lokal lain," ujarnya.
Scheiner menambahkan Timor Leste bisa membiayai sekitar 90 persen dari kekayaan minyak dan gas bumi. Tapi ini belum terwujud. Menurut dia, pemerintah lebih suka bermimpi tentang kilang minyak dibangun dengan pendapatan negara dan rakyat sengsara.
Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan perekonomian Timor Leste bergantung pada minyak dunia. Dua partai utama negara ini, Fretilin dan Kongres Nasional, mempunyai pandangan berbeda untuk mengolah dana minyak. Sayap kiri Fretilin mengajukan pendidikan dan menciptakan lapangan kerja, tapi Kongres Nasional menyarankan pembangunan infrastruktur.[fas]
Sumber 1
Zona Damai: Ketika sebuah media online kemarin (9/7/2013) pertama kali menurunkan berita tentang Timor Leste akan bergabung ke Persemakmuran Inggris,reaksi spontan para pembaca media itu langsung mengkait-kaitkannya dengan “dosa” Timor Leste karena melepaskan diri dari NKRI. Ini salah satunya :
“1 tahun di timor timur aku bisa rasakan betapa Indonesia dulu hanya buang2 duit utk membangun negara itu,tp apa yg diberikan sm negara kita hanyalah aib di mata dunia, mereka tdk pandai bersyukur, dasar ke**rat.”
Ada juga komenter dengan nada lebih keras :
“Menyesal lepas dari Indonesia karena sekarang ternyata hidup susah tanah kering tandus, miskin sumber daya alam, tak ada lapangan kerja, buntutnya ngemis minta di***ah Inggris. Kasihan sekali. Presidenmu kemarin datang ke Sritex tuh minta pabrik bangun di Timur Leste soalnya pada nganggur tanpa lapangan kerja. TNI, tolong jaga perbatasan jgn sampai ada imigran gelap masuk ke NTT.”
(sumber)
Negara baru Timor Leste memang sedang mempertimbangkan untuk bergabung dengan ASEAN atau Persemakmuran Inggris. Namun hitung-hitungan politis dan ekonomis, tampaknya Presiden Taur Motan Ruak condong memilih Persemakmuran Inggris.
Menurut Menlu Timor Leste Jose Luis Guterres, ide ini sudah lama dipertimbangkan. “Presiden sudah mengatakan hal ini berkali-kali, dan presiden juga berharap dukungan dari Australia,” katanya.
Kecondongan itu lebih sebagai tekanan atas kondisi ekonomi dan politik yang labil, mengingat Timor Leste kendati sudah tiga kali berganti Presiden, namun negara itu masih tetap berada dalam masa transisi. Keterbatasan sumber daya ekonomi yang dihadapi ditambah dengan berbagai permasalahan internal yang menimpa Timor Leste menimbulkan kepanikan politik bagi Timor Leste terhadap ancaman intervensi negara-negara besar di sekelilingnya, termasuk Australia. Karenanya, muncul keinginan bagi Timor leste untuk mengambil bagian dalam organisasi regional bersama ASEAN.
Namun apa mau dikata, dalam kondisi yang nyaris tak berdaya itu Menlu Australia Bob Carr pada Desember tahun lalu menganjurkan agar Timor Leste sebaiknya bergabung dengan Commonwealth of Nations, Negara-negara Persemakmuran bekas jajahan Inggris.
“Australia akan senang mendukung setiap langkah oleh Timor Leste untuk bergabung dengan ASEAN, tetapi keanggotaan Persemakmuran menjadi pilihan yang lebih murah dan berpotensi lebih efektif,” kata Carr kepada Radio Australia Connect Asia. (sumber)
Alasan Bob Carr cukup sederhana. Keangotaan Persemakmuran memberikan akses ke forum internasional dengan biaya rendah, sementara tuntutan keanggotaan Asean– dengan ratusan pertemuan regional yang diamanatkan setiap tahun- cukup mahal untuk sebuah negara kecil. “Persemakmuran ini berkembang menjadi sebuah komunitas demokrasi cukup cepat,” kata Carr.
Sejalan dengan keluhan Bob Carr, seorang dosen dari Singapura yang sering memberi kuliah di Timor Leste Barry Desker mengatakan, beberapa konsekuensi yang akan dihadapi Timor Leste bila menjadi anggota ASEAN adalah,harus mengikuti setidaknya 1.000 pertemuan internasional setiap tahunnya. Timor Leste pun diharuskan mengadakan sekitar 100 acara internasional per tahun.
“Saya kira secara finansial hal itu akan terlalu membebani, secara infrastruktur pun negara itu masih kurang memadai untuk melaksanakan acara seperti itu,” ujar pria yang sempat menjadi Duta Besar Singapura untuk Indonesia itu. (sumber)
Benarkah hanya itu alasannya? Bukankah saat ini Timor Leste dan Australia sedang ada sengketa terkait pengelolaan ladang gas the Greater Sunrise di Celah Timor? Timor Leste memang tak bisa lepas dari ‘politik hutang budi’ Australia yang memang berperan besar melepaskan provinsi ke-27 NKRI itu menjadi Negara yang kini bernama Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) itu.
Karenanya, bagi para penggemar berita media di Indonesia, keinginan Timor Leste bergabung ke Persemakmuran Inggris itu tetap dianggap aneh.
“Bukannya anggota persemakmuran adalah negara bekas dijajah Inggris??…sejak kapan elu pade dijajah Inggris?..,” demikian ungkapan keheranan seorang komentator di media yang sama.
Namun, aneh atau tidak, itu urusan internal negara orang. Bagi kita sebagai bangsa, pergumulan Timor Leste itu hendaknya dijadikan pelajaran berharga. Indonesia adalah negara besar, jauh lebih besar dari Timor Leste. Namun kedaulatan kita –maaf- hanya beda tipis dari Timor Leste. Kita kurang tegas terhadap negara-negara asing yang mengincar sumber daya alam kita, khususnya di Papua. Jangan sampai kita rugi dobel (kata orang Kupang). Sudah kekayaan alam kita dikeruk, kedaulatan negeri kita juga diobok-obok. *** [Kompasiana]
Sumber 2
ANTARA News, 28 Pebruari 2007) Pengamat hukum dan politik Universitas Mataram (Unram), H. Satriawan Sahak, SH M.Hum, mengemukakan peluang kembalinya Timor-Timur (Timor Leste,red) ke pangkuan “Ibu Pertiwi” kian terbuka.
“Melihat situasi dan kondisi sosial politik yang terjadi di daerah bekas jajahan Portugal itu pasca kemerdekaan setelah jajak pendapat 1999, berpeluang besar kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi,” katanya kepada wartawan di Mataram, Minggu.
Menurut dia, kondisi sosial politik yang kian memanas, khususnya setelah penembakan warga sipil oleh pasukan perdamaian asal Australia, merupakan wujud tidak mampunya negara-negara asing mengamankan daerah itu dari pergolakan “perang saudara”.
Perang saudara yang berkepanjangan tidak akan pernah berakhir bila penanganan menggunakan pola-pola Barat, karena karakteristik masyarakat setempat sangat berbeda dengan budaya-budaya asing.
Kolonial Portugis pada 1974, pada saat terjadi “Revolusi Bunga” hengkang meninggalkan wilayahya dan membiarkan masyarakat Timor-Timur terlibat perang saudara.
Ketidakmampuan mengamankan daerah jajahannya ditandai dengan memberikan “kekuasaan” kepada salah satu partai, yakni Fretelin, sehingga terjadi pergolakan perang saudara yang melibatkan beberapa partai lain seperti UDT, Apodete, Trabalista, Kota.
Perang saudara yang berkecamuk didaerah bekas jajahan Portugis tersebut memaksa sebagian besar masyarakat Timor Leste, khususnya dibagian Barat Timor Timur seperti Dili, Liquisa, Ermera, Maliana (Bobonaro), Kovalima, Oecusi mengungsi ke wilayah
Timor Barat (Atambua, red).
Pengungsian seperti itu bukan hanya terjadi saat berkecamuknya perang saudara tahun 1974/1976 dan pasca jajak pendapat tahun 1999, tetapi beberapa kali sebelumnya saat terjadi pemberontakan masyarakat Timor Timur terhadap negara kolonial Portugis.
Berdasarkan catatan sejarah, pergolakan yang terjadi dalam masyarakat Timor Timur (Timor Leste) tidak akan pernah reda selama ditangani orang atau pihak asing.
“Seorang tokoh pejuang dan tokoh agama Timor-Iimur almarhum Pendeta Vicente pernah menyatakan bahwa berintegrasinya Timor-Timur ke NKRI merupakan kehendak Tuhan Yang Maha Esa,” katanya.
Menurut Vicente, mantan Ketua Sinode Gereja Protestan setempat, berintegrasinya Timor Timor ke NKRI bagaikan seorang anak yang hilang dan kembali kepangkuan ibunya.
Dalam jajak pendapat tahun 1999 hasilnya dimenangi masyarakat “Prokem” (Pro Kemerdekaan) dengan perbandingan suara 71 dengan 29, tetapi berdasarkan sejarah suku etnis Timor Timur dengan Timor Barat tidak pernah bisa terpisahkan.
Dari berbagai sisi seperti bahasa dan adat istiadat, masyarakat Timor Timur yang mendiami wilayah Timur dan masyarakat Timor Barat yang mendiami wilayah Barat, memiliki kesamaan yang tidak terpisahkan.
“Kalaupun sekarang kedua bersaudara itu harus terpisah karena kepentingan politik, tetapi keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dan masyarakat Timor Timur akan aman bila kembali bersatu dengan saudara-saudaranya di Timor Barat,” katanya.
Relatif aman
Menjawab pertanyaan, Satriawan yang senantiasa mengikuti perkembangan wilayah negara Timor Leste menyatakan berdasarkan fakta saat masyarakat Timor Timor berintegrasi dengan NKR tahun 1976 hingga 1999, daerah itu relatif aman dan masyarakatnya menikmati kesejahteraan.
Dibanding dengan masa penjajahan Portugis dan setelah mendapatkan kemerdekaan tahun 2001, maka masa “emas” bagi masyarakat Timor Timur adalah saat berintegrasi (1976 s/d 1999).
Itu sebabnya, tidak sedikit masyarakat Timor Leste yang setelah merdeka dan melepaskan diri dari NKRI menyesal, karena janji Uskup Belo (pimpinan Gereja Katholik pada masa itu) akan hidup lebih sejahtera setelah merdeka, ternyata tidak
kunjung nyata.
Bahkan perang saudara kian menjadi, pertikaian antar kelompok etnis yang ada justru semakin tidak terkendali, kehidupan kian susah, karena harga-harga sandang-pangan mengalami peningkatan luar biasa.
Masyarakat sangat merindukan kehidupan d imasa-masa integrasi, sehingga peluang kembalinya masyarakat Timor Timur kepangkuan Ibu Pertiwi kian besar. Suka tidak suka, cepat atau lambat, pemerintah Indonesia harus mempersiapkan diri.
“Memang terlepasnya Timor Timur pasca jajak pendapat merupakan pengalaman yang sangat pahit bagi bangsa Indonesia, tetapi demi kemanusiaan, Indonesia tidak mungkin mampu menolak keinginan kembalinya masyarakat Timor Timur ke pangkuan Ibu
Pertiwi. Ibarat anak yang hilang tidak mungkin orangtua melakukan penolakan,” demikian Satriawan Sahak. (*)
Sumber 3
Setelah cari-cari berita lagi, ayo kita menilik Timor Leste Sekarang
Tingkat kesejahteraan rata-rata penduduk Timor-Leste berdasarkan gross domestic product (GDP) per kapita yang telah disesuaikan dengan purchasing power parity (PPP) dalam international US$ adalah sebesar US$1.709, sepertiga dari Indonesia yang besarnya US$4,956.[1] Namun, jika menggunakan indikator Gross National Income (GNI) per kapita berdasarkan PPP, Timor-Leste sejak tahun 2007 telah menyusul Indonesia. Data terakhir yang tersedia tahun 2012, GNI per kapita Timor-Leste sebesar US$6.230 sedangkan Indonesia sebesar US$4,730.[2]
Ketika masih menjadi bagian dari Indonesia, Timor Timur tergolong provinsi dengan persentase penduduk miskin terbesar bersama Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Setelah berpisah dengan Indonesia, Timor Timur bisa melaju lebih kencang, sedangkan tetangga terdekatnya, Nusa Tenggara Timur, masih saja dengan status provinsi yang persentase penduduk miskinnya tertinggi setelah Papua dan Papua Barat. Sebagai negara yang relatif baru membangun dengan penduduk hanya 1,2 juta jiwa, Timor-Leste masih banyak menghadapi keterbatasan.
Namun, negeri ini bisa belajar banyak dari keberhasilan dan kegagalan negara lain, termasuk Indonesia, sehingga terbuka peluang untuk maju lebih cepat. Majalah Economist edisi terbaru mencantumkan Timor-Leste sebagai salah satu dari 10 negara yang diproyeksikan bakal mengalami pertumbuhan ekonomi paling cemerlang tahun 2014.[3]
Anggapan bahwa Timor-Leste bisa tumbuh tinggi karena relatif baru merdeka dan berawal dari tingkat yang rendah tidak cukup kuat. Di jajaran 10 besar ada Mongolia, Tanzania, Irak, Laos, dan Macau. Jika alasannya karena perekonomian Timor-Leste relatif sangat kecil, buktinya banyak perekonomian yang ukurannya kecil mengalami perkembangan tersendat-sendat. Bermuda dan Puerto Rico, misalnya, masuk dalam kelompok 10 besar yang pertumbuhannya tahun 2014 diproyeksikan paling buruk. Sebaliknya, negara sangat besar bisa juga tumbuh tinggi seperti China.
Pertumbuhan ekonomi Timor-Leste pada mulanya berfluktuasi tajam karena ketergantungan perekonomiannya terhadap minyak dan kopi. Laju inflasi cukup tinggi, hampir selalu dua digit. Penyebab utamanya adalah persoalan supply bottlenecks. Walau demikian, sejak 2007 pertumbuhan ekonomi tidak lagi berfluktuasi tajam, bahkan hampir selalu di atas 10 persen dan diperkirakan berlanjut hingga tahun 2015.
Dalam beberapa tahun terakhir, khususnya setelah pemilihan umum yang lalu, sejumlah inisiatif telah digulirkan untuk memperkokoh landasan bagi pertumbuhan berkelanjutan, seperti pelayanan satu atap dalam perizinan usaha, penyiapan undang-undang pertanahan, menghapuskan monopoli di jasa telekomunikasi dengan kehadiran dua pelaku baru, pembenahan bandara, dan konsultasi publik tentang undang-undang pertambangan. Jika Timor-Leste diuntungkan oleh keputusan arbitrase atas the maritime treaty yang mengatur the greater sunrise gas and condensate field, masa depan penerimaan negara dari sektor migas bakal lebih pasti. Jika di Indonesia kekayaan minyak sudah menjelma menjadi semacam “kutukan”, bagi Timor-Leste sangat berpotensi sebagai “berkah”.
The Petroleum Fund, yang merupakan sovereign wealth funds negara, sudah mencapai 14 miliar dollar AS pada Juli 2013, naik dari 11,8 miliar dollar AS pada akhir 2012. The Petroleum Fund relatif cepat mengakumulasi karena hanya sebagian kecil penerimaan Negara dari minyak yang dialirkan ke anggaran Negara bagi kebutuhan generasi sekarang. Sebagian besar sisanya dikelola untuk kepentingan generasi yang akan datang demi menegakkan keadilan antargenerasi.
Untuk kasus Indonesia, seluruh penerimaan minyak (bagi hasil minyak dan pajak keuntungan perusahaan minyak) yang pada tahun 2012 sebesar Rp 177 triliun habis dibelanjakan, bahkan masih kurang untuk menutup subsidi BBM sebesar Rp 240 triliun. Hal lain yang patut dikagumi dari Timor-Leste adalah kesungguhan pemerintah melindungi rakyatnya dari goncangan eksternal dan internal. Social protection index versi Asian Development Bank Timor-Leste menunjukkan Timor–Leste berada di urutan ke-11, jauh di atas Indonesia yang tercecer di urutan ke-27 dari 35 negara di Asia. Pemerintah Timor-Leste tak menunggu kaya untuk melindungi rakyatnya dari goncangan gelombang globalisasi yang juga merasuki negeri tetangga terdekat kita.
Kita sepatutnya cepat sadar akan kesalahan di masa lalu, mau mengubah pola pikir yang mengedepankan kepentingan rakyat banyak dan menegakkan keadilan.
Informasi tambahan Timor-Leste (Indonesia):
Jumlah penduduk 1,2 juta jiwa (246,9 juta jiwa)
Pertumbuhan penduduk 2,9 persen (1,2 persen)
Luas daratan 14.870 km2 (1.904.570 km2)
GDP (PPP, international $) $2,1 miliar ($1,2 triliun)
GDP per kapita (PPP, international $) $1.709 ($4.956)
Update
Nah, dari situ ayo kita lihat kabar-kabar dari Timor Leste setelah lepas dari tanah air tercinta ini. Sebelumnya ane minta maaf, bukan maksud untuk merendahkan Timor Leste tetapi ane hanya mau berbagi informasi tentang perkembangan Timor Leste sekarang ini.
Quote:
13 tahun lepas dari Indonesia, Timor Leste kian melarat
Merdeka.com - Tiga belas tahun Timor Leste lepas dari Indonesia, bekas provinsi ke-27 ini justru makin melarat. Menjelang pemilihan parlemen besok, kemiskinan menjadi isu penting.
Situs theaustralian.com.au melaporkan, jumat (6/7). 80 persen dari sekitar sejuta rakyat Timor Leste berada di bawah garis kemiskinan, hanya dengan Rp 18.700 saban hari. Padahal mereka memiliki kekayaan alam berupa gas dan minyak di Celah Timor. Namun sampai sekarang, rakyat masih bergantung pada pertanian asal cukup buat makan.
Presiden Timor Leste Taur Matan Ruak berjanji mengatasi kemiskinan dan mengurangi pengangguran secara bertahap. Dia berkomitmen dalam dua tahun ke depan seperlima penduduk akan hidup layak. "Kita harus mencari investor mendukung perdagangan, infrastruktur, dan pendidikan. Akan ada pemerataan pembangunan," katanya.
Lebih dari Rp 14 triliun dana internasional dikucurkan ke Timor Leste selama 1999-2011, tapi tak terlihat hasilnya. Pembangunan hanya dirasakan di Ibu Kota Dili, itu pun Istana Kepresidenan dan gedung pemerintahan memakai dana China.
Walau rata-rata penduduk bertani, nyatanya Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) mencatat kenaikan impor pangan sembilan persen. Pegiat lembaga nirlaba La'o Hamutuk, Charles Scheiner, mengatakan sektor pertanian harus lebih diperhatikan. "Ekonomi berinti dan terfokus pada kebutuhan sehari-hari seperti air, lilin, rokok, bir, dan konsumsi lokal lain," ujarnya.
Scheiner menambahkan Timor Leste bisa membiayai sekitar 90 persen dari kekayaan minyak dan gas bumi. Tapi ini belum terwujud. Menurut dia, pemerintah lebih suka bermimpi tentang kilang minyak dibangun dengan pendapatan negara dan rakyat sengsara.
Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan perekonomian Timor Leste bergantung pada minyak dunia. Dua partai utama negara ini, Fretilin dan Kongres Nasional, mempunyai pandangan berbeda untuk mengolah dana minyak. Sayap kiri Fretilin mengajukan pendidikan dan menciptakan lapangan kerja, tapi Kongres Nasional menyarankan pembangunan infrastruktur.[fas]
Sumber 1
Quote:
Timor Leste di Persimpangan Jalan: Pilih ASEAN atau Persemakmuran Inggris?
Zona Damai: Ketika sebuah media online kemarin (9/7/2013) pertama kali menurunkan berita tentang Timor Leste akan bergabung ke Persemakmuran Inggris,reaksi spontan para pembaca media itu langsung mengkait-kaitkannya dengan “dosa” Timor Leste karena melepaskan diri dari NKRI. Ini salah satunya :
“1 tahun di timor timur aku bisa rasakan betapa Indonesia dulu hanya buang2 duit utk membangun negara itu,tp apa yg diberikan sm negara kita hanyalah aib di mata dunia, mereka tdk pandai bersyukur, dasar ke**rat.”
Ada juga komenter dengan nada lebih keras :
“Menyesal lepas dari Indonesia karena sekarang ternyata hidup susah tanah kering tandus, miskin sumber daya alam, tak ada lapangan kerja, buntutnya ngemis minta di***ah Inggris. Kasihan sekali. Presidenmu kemarin datang ke Sritex tuh minta pabrik bangun di Timur Leste soalnya pada nganggur tanpa lapangan kerja. TNI, tolong jaga perbatasan jgn sampai ada imigran gelap masuk ke NTT.”
(sumber)
Negara baru Timor Leste memang sedang mempertimbangkan untuk bergabung dengan ASEAN atau Persemakmuran Inggris. Namun hitung-hitungan politis dan ekonomis, tampaknya Presiden Taur Motan Ruak condong memilih Persemakmuran Inggris.
Menurut Menlu Timor Leste Jose Luis Guterres, ide ini sudah lama dipertimbangkan. “Presiden sudah mengatakan hal ini berkali-kali, dan presiden juga berharap dukungan dari Australia,” katanya.
Kecondongan itu lebih sebagai tekanan atas kondisi ekonomi dan politik yang labil, mengingat Timor Leste kendati sudah tiga kali berganti Presiden, namun negara itu masih tetap berada dalam masa transisi. Keterbatasan sumber daya ekonomi yang dihadapi ditambah dengan berbagai permasalahan internal yang menimpa Timor Leste menimbulkan kepanikan politik bagi Timor Leste terhadap ancaman intervensi negara-negara besar di sekelilingnya, termasuk Australia. Karenanya, muncul keinginan bagi Timor leste untuk mengambil bagian dalam organisasi regional bersama ASEAN.
Namun apa mau dikata, dalam kondisi yang nyaris tak berdaya itu Menlu Australia Bob Carr pada Desember tahun lalu menganjurkan agar Timor Leste sebaiknya bergabung dengan Commonwealth of Nations, Negara-negara Persemakmuran bekas jajahan Inggris.
“Australia akan senang mendukung setiap langkah oleh Timor Leste untuk bergabung dengan ASEAN, tetapi keanggotaan Persemakmuran menjadi pilihan yang lebih murah dan berpotensi lebih efektif,” kata Carr kepada Radio Australia Connect Asia. (sumber)
Alasan Bob Carr cukup sederhana. Keangotaan Persemakmuran memberikan akses ke forum internasional dengan biaya rendah, sementara tuntutan keanggotaan Asean– dengan ratusan pertemuan regional yang diamanatkan setiap tahun- cukup mahal untuk sebuah negara kecil. “Persemakmuran ini berkembang menjadi sebuah komunitas demokrasi cukup cepat,” kata Carr.
Sejalan dengan keluhan Bob Carr, seorang dosen dari Singapura yang sering memberi kuliah di Timor Leste Barry Desker mengatakan, beberapa konsekuensi yang akan dihadapi Timor Leste bila menjadi anggota ASEAN adalah,harus mengikuti setidaknya 1.000 pertemuan internasional setiap tahunnya. Timor Leste pun diharuskan mengadakan sekitar 100 acara internasional per tahun.
“Saya kira secara finansial hal itu akan terlalu membebani, secara infrastruktur pun negara itu masih kurang memadai untuk melaksanakan acara seperti itu,” ujar pria yang sempat menjadi Duta Besar Singapura untuk Indonesia itu. (sumber)
Benarkah hanya itu alasannya? Bukankah saat ini Timor Leste dan Australia sedang ada sengketa terkait pengelolaan ladang gas the Greater Sunrise di Celah Timor? Timor Leste memang tak bisa lepas dari ‘politik hutang budi’ Australia yang memang berperan besar melepaskan provinsi ke-27 NKRI itu menjadi Negara yang kini bernama Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) itu.
Karenanya, bagi para penggemar berita media di Indonesia, keinginan Timor Leste bergabung ke Persemakmuran Inggris itu tetap dianggap aneh.
“Bukannya anggota persemakmuran adalah negara bekas dijajah Inggris??…sejak kapan elu pade dijajah Inggris?..,” demikian ungkapan keheranan seorang komentator di media yang sama.
Namun, aneh atau tidak, itu urusan internal negara orang. Bagi kita sebagai bangsa, pergumulan Timor Leste itu hendaknya dijadikan pelajaran berharga. Indonesia adalah negara besar, jauh lebih besar dari Timor Leste. Namun kedaulatan kita –maaf- hanya beda tipis dari Timor Leste. Kita kurang tegas terhadap negara-negara asing yang mengincar sumber daya alam kita, khususnya di Papua. Jangan sampai kita rugi dobel (kata orang Kupang). Sudah kekayaan alam kita dikeruk, kedaulatan negeri kita juga diobok-obok. *** [Kompasiana]
Sumber 2
Quote:
Peluang Kembalinya Timtim ke Pangkuan RI Membesar
ANTARA News, 28 Pebruari 2007) Pengamat hukum dan politik Universitas Mataram (Unram), H. Satriawan Sahak, SH M.Hum, mengemukakan peluang kembalinya Timor-Timur (Timor Leste,red) ke pangkuan “Ibu Pertiwi” kian terbuka.
“Melihat situasi dan kondisi sosial politik yang terjadi di daerah bekas jajahan Portugal itu pasca kemerdekaan setelah jajak pendapat 1999, berpeluang besar kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi,” katanya kepada wartawan di Mataram, Minggu.
Menurut dia, kondisi sosial politik yang kian memanas, khususnya setelah penembakan warga sipil oleh pasukan perdamaian asal Australia, merupakan wujud tidak mampunya negara-negara asing mengamankan daerah itu dari pergolakan “perang saudara”.
Perang saudara yang berkepanjangan tidak akan pernah berakhir bila penanganan menggunakan pola-pola Barat, karena karakteristik masyarakat setempat sangat berbeda dengan budaya-budaya asing.
Kolonial Portugis pada 1974, pada saat terjadi “Revolusi Bunga” hengkang meninggalkan wilayahya dan membiarkan masyarakat Timor-Timur terlibat perang saudara.
Ketidakmampuan mengamankan daerah jajahannya ditandai dengan memberikan “kekuasaan” kepada salah satu partai, yakni Fretelin, sehingga terjadi pergolakan perang saudara yang melibatkan beberapa partai lain seperti UDT, Apodete, Trabalista, Kota.
Perang saudara yang berkecamuk didaerah bekas jajahan Portugis tersebut memaksa sebagian besar masyarakat Timor Leste, khususnya dibagian Barat Timor Timur seperti Dili, Liquisa, Ermera, Maliana (Bobonaro), Kovalima, Oecusi mengungsi ke wilayah
Timor Barat (Atambua, red).
Pengungsian seperti itu bukan hanya terjadi saat berkecamuknya perang saudara tahun 1974/1976 dan pasca jajak pendapat tahun 1999, tetapi beberapa kali sebelumnya saat terjadi pemberontakan masyarakat Timor Timur terhadap negara kolonial Portugis.
Berdasarkan catatan sejarah, pergolakan yang terjadi dalam masyarakat Timor Timur (Timor Leste) tidak akan pernah reda selama ditangani orang atau pihak asing.
“Seorang tokoh pejuang dan tokoh agama Timor-Iimur almarhum Pendeta Vicente pernah menyatakan bahwa berintegrasinya Timor-Timur ke NKRI merupakan kehendak Tuhan Yang Maha Esa,” katanya.
Menurut Vicente, mantan Ketua Sinode Gereja Protestan setempat, berintegrasinya Timor Timor ke NKRI bagaikan seorang anak yang hilang dan kembali kepangkuan ibunya.
Dalam jajak pendapat tahun 1999 hasilnya dimenangi masyarakat “Prokem” (Pro Kemerdekaan) dengan perbandingan suara 71 dengan 29, tetapi berdasarkan sejarah suku etnis Timor Timur dengan Timor Barat tidak pernah bisa terpisahkan.
Dari berbagai sisi seperti bahasa dan adat istiadat, masyarakat Timor Timur yang mendiami wilayah Timur dan masyarakat Timor Barat yang mendiami wilayah Barat, memiliki kesamaan yang tidak terpisahkan.
“Kalaupun sekarang kedua bersaudara itu harus terpisah karena kepentingan politik, tetapi keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dan masyarakat Timor Timur akan aman bila kembali bersatu dengan saudara-saudaranya di Timor Barat,” katanya.
Relatif aman
Menjawab pertanyaan, Satriawan yang senantiasa mengikuti perkembangan wilayah negara Timor Leste menyatakan berdasarkan fakta saat masyarakat Timor Timor berintegrasi dengan NKR tahun 1976 hingga 1999, daerah itu relatif aman dan masyarakatnya menikmati kesejahteraan.
Dibanding dengan masa penjajahan Portugis dan setelah mendapatkan kemerdekaan tahun 2001, maka masa “emas” bagi masyarakat Timor Timur adalah saat berintegrasi (1976 s/d 1999).
Itu sebabnya, tidak sedikit masyarakat Timor Leste yang setelah merdeka dan melepaskan diri dari NKRI menyesal, karena janji Uskup Belo (pimpinan Gereja Katholik pada masa itu) akan hidup lebih sejahtera setelah merdeka, ternyata tidak
kunjung nyata.
Bahkan perang saudara kian menjadi, pertikaian antar kelompok etnis yang ada justru semakin tidak terkendali, kehidupan kian susah, karena harga-harga sandang-pangan mengalami peningkatan luar biasa.
Masyarakat sangat merindukan kehidupan d imasa-masa integrasi, sehingga peluang kembalinya masyarakat Timor Timur kepangkuan Ibu Pertiwi kian besar. Suka tidak suka, cepat atau lambat, pemerintah Indonesia harus mempersiapkan diri.
“Memang terlepasnya Timor Timur pasca jajak pendapat merupakan pengalaman yang sangat pahit bagi bangsa Indonesia, tetapi demi kemanusiaan, Indonesia tidak mungkin mampu menolak keinginan kembalinya masyarakat Timor Timur ke pangkuan Ibu
Pertiwi. Ibarat anak yang hilang tidak mungkin orangtua melakukan penolakan,” demikian Satriawan Sahak. (*)
Sumber 3
Setelah cari-cari berita lagi, ayo kita menilik Timor Leste Sekarang
Quote:
Timor-Leste Sudah Menyusul Indonesia?
Tingkat kesejahteraan rata-rata penduduk Timor-Leste berdasarkan gross domestic product (GDP) per kapita yang telah disesuaikan dengan purchasing power parity (PPP) dalam international US$ adalah sebesar US$1.709, sepertiga dari Indonesia yang besarnya US$4,956.[1] Namun, jika menggunakan indikator Gross National Income (GNI) per kapita berdasarkan PPP, Timor-Leste sejak tahun 2007 telah menyusul Indonesia. Data terakhir yang tersedia tahun 2012, GNI per kapita Timor-Leste sebesar US$6.230 sedangkan Indonesia sebesar US$4,730.[2]
Ketika masih menjadi bagian dari Indonesia, Timor Timur tergolong provinsi dengan persentase penduduk miskin terbesar bersama Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Setelah berpisah dengan Indonesia, Timor Timur bisa melaju lebih kencang, sedangkan tetangga terdekatnya, Nusa Tenggara Timur, masih saja dengan status provinsi yang persentase penduduk miskinnya tertinggi setelah Papua dan Papua Barat. Sebagai negara yang relatif baru membangun dengan penduduk hanya 1,2 juta jiwa, Timor-Leste masih banyak menghadapi keterbatasan.
Namun, negeri ini bisa belajar banyak dari keberhasilan dan kegagalan negara lain, termasuk Indonesia, sehingga terbuka peluang untuk maju lebih cepat. Majalah Economist edisi terbaru mencantumkan Timor-Leste sebagai salah satu dari 10 negara yang diproyeksikan bakal mengalami pertumbuhan ekonomi paling cemerlang tahun 2014.[3]
Anggapan bahwa Timor-Leste bisa tumbuh tinggi karena relatif baru merdeka dan berawal dari tingkat yang rendah tidak cukup kuat. Di jajaran 10 besar ada Mongolia, Tanzania, Irak, Laos, dan Macau. Jika alasannya karena perekonomian Timor-Leste relatif sangat kecil, buktinya banyak perekonomian yang ukurannya kecil mengalami perkembangan tersendat-sendat. Bermuda dan Puerto Rico, misalnya, masuk dalam kelompok 10 besar yang pertumbuhannya tahun 2014 diproyeksikan paling buruk. Sebaliknya, negara sangat besar bisa juga tumbuh tinggi seperti China.
Pertumbuhan ekonomi Timor-Leste pada mulanya berfluktuasi tajam karena ketergantungan perekonomiannya terhadap minyak dan kopi. Laju inflasi cukup tinggi, hampir selalu dua digit. Penyebab utamanya adalah persoalan supply bottlenecks. Walau demikian, sejak 2007 pertumbuhan ekonomi tidak lagi berfluktuasi tajam, bahkan hampir selalu di atas 10 persen dan diperkirakan berlanjut hingga tahun 2015.
Dalam beberapa tahun terakhir, khususnya setelah pemilihan umum yang lalu, sejumlah inisiatif telah digulirkan untuk memperkokoh landasan bagi pertumbuhan berkelanjutan, seperti pelayanan satu atap dalam perizinan usaha, penyiapan undang-undang pertanahan, menghapuskan monopoli di jasa telekomunikasi dengan kehadiran dua pelaku baru, pembenahan bandara, dan konsultasi publik tentang undang-undang pertambangan. Jika Timor-Leste diuntungkan oleh keputusan arbitrase atas the maritime treaty yang mengatur the greater sunrise gas and condensate field, masa depan penerimaan negara dari sektor migas bakal lebih pasti. Jika di Indonesia kekayaan minyak sudah menjelma menjadi semacam “kutukan”, bagi Timor-Leste sangat berpotensi sebagai “berkah”.
The Petroleum Fund, yang merupakan sovereign wealth funds negara, sudah mencapai 14 miliar dollar AS pada Juli 2013, naik dari 11,8 miliar dollar AS pada akhir 2012. The Petroleum Fund relatif cepat mengakumulasi karena hanya sebagian kecil penerimaan Negara dari minyak yang dialirkan ke anggaran Negara bagi kebutuhan generasi sekarang. Sebagian besar sisanya dikelola untuk kepentingan generasi yang akan datang demi menegakkan keadilan antargenerasi.
Untuk kasus Indonesia, seluruh penerimaan minyak (bagi hasil minyak dan pajak keuntungan perusahaan minyak) yang pada tahun 2012 sebesar Rp 177 triliun habis dibelanjakan, bahkan masih kurang untuk menutup subsidi BBM sebesar Rp 240 triliun. Hal lain yang patut dikagumi dari Timor-Leste adalah kesungguhan pemerintah melindungi rakyatnya dari goncangan eksternal dan internal. Social protection index versi Asian Development Bank Timor-Leste menunjukkan Timor–Leste berada di urutan ke-11, jauh di atas Indonesia yang tercecer di urutan ke-27 dari 35 negara di Asia. Pemerintah Timor-Leste tak menunggu kaya untuk melindungi rakyatnya dari goncangan gelombang globalisasi yang juga merasuki negeri tetangga terdekat kita.
Kita sepatutnya cepat sadar akan kesalahan di masa lalu, mau mengubah pola pikir yang mengedepankan kepentingan rakyat banyak dan menegakkan keadilan.
Informasi tambahan Timor-Leste (Indonesia):
Jumlah penduduk 1,2 juta jiwa (246,9 juta jiwa)
Pertumbuhan penduduk 2,9 persen (1,2 persen)
Luas daratan 14.870 km2 (1.904.570 km2)
GDP (PPP, international $) $2,1 miliar ($1,2 triliun)
GDP per kapita (PPP, international $) $1.709 ($4.956)
Update
0
117.8K
Kutip
482
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
680.8KThread•48.8KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya