Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Ehome.PuteraAvatar border
TS
Ehome.Putera
Sepucuk Maaf Untuk Ibu
Hanya mengangkat tulisan terdahulu, tentang masa lalu, tentang ibu, tentang aku yang makin dibuai masa lalu.

Sepucuk Maaf Untuk Ibu

Sepucuk Maaf Untuk Ibu


Jangan lupa shalat ya nak.
Bunda


Pesan inilah yang aku dapatkan di kamar seorang teman, seorang kawan yang merindukan tanah halaman. Tapi ini bukan saatnya kalian meliriknya, tetapi lihat larik diatasnya, seorang ibu yang memaku kertas di dinding kost-an anaknya. Entah kenapa seperti ada tuas yang menggerakkan darahku berdesir otomatis untuknya. Kenangan menghujankan aku tentang banyak cerita di rumah, antara duniaku, duniaku, duniaku. Dan kesabaran ibu akan duniaku.

Pembangkang seperti berhasil menjadi nama tengahku, dahulu, aku adalah peran yang suka menaikkan oktaf demi melihat wajah itu pilu, merusak pita meminta suasana sendu. Ibu seperti kehilangan kecilku, ibu seperti kehilangan diamku, ibu selalu malu menatap wajahku, mungkin tepatnya takut akan itu.

Terdengar berlebihan bila kamu belum tahu itu, tapi aku dulu adalah seorang penuntut yang sudah berlabel ahli. Dan ibuku seakan bermusuh dengan materi. Beli paket buku, beli paket buku aku merengek tanpa henti, ikut perpisahan, ikut perpisahan lagi lagi wajah itu sepi.

Ibu tidak pernah bisa membeli kebahagiaanku.

Karena hal itu aku melelang kehidupanku untuk kebebasan, ibu semakin meringkup dalam keputusasaan. Anaknya tidak pernah mencium tangan sang Ibu, bahkan walau hari itu adalah lebaran sekalipun.

Aku bentak ia, aku maki ia, ia tertunduk seperti mencari tombol mati di lantai. Aku lenggang banting pintu untuk mendesak, ia semakin tersedak. Entah ada rasa yang menggerogoti ego ini, aku merasa iblispun kulampaui kali ini, sumpah, saat kamu ada di posisi ibumu tidak berbicara padamu bukan karena dia marah padamu, tapi karena ia takut karenamu, itu sangat membuat penyesalanmu akan dimanjakan.

Ibu memang tidak pernah membeli kebahagiaanku, tapi ibu selalu memohon kebahagiaanku kepada tuhan dengan apa yang ia bisa, apa yang ia mampu, atau bahkan pura-pura mampu.

Seperti ada lubang di hati, kosong tapi menyesakkan, ketika menyadari, tidak pernah ada lagi perhiasan yang melekat di jemari, leher, atau di baliik bantal atau almari. Rambut hitamnya kian dijajah putih usianya kini, kulitnya semakin mengendur tanpa henti. Pernah kalian sadari ? betapa kasih sayang Ibu bisa membeli apapun yang bahkan melebihi akan ukuran materi ?

Ini pengalamanku minggu lalu,kulihat wajah teduh itu tertidur lelap dipangkuan tangan lelahnya di atas tempat tidur, wajah itu benar-benar hebat menunjukkan lemah, sosok itu wajarnya sudah diam dan bahagia menikmati masa tuanya. Dan nakal pikiranku melayang

Bagaimana bila mata itu tidak terbuka lagi.

Sedangkan aku belum menjadi apa-apa, aku masih bukan apa-apa, aku masih sama seperti daging yang dijual di pasar-pasar, istimewanya aku hanya seonggok daging yang memiliki nama, selain itu.. aku sama saja

Aku belum bisa membahagiakannya, aku belum sempat senila pun membalas budinya

Jangan tuhan, jangan.

Beri aku sedikit waktu lagi untuk membeli kebahagiaannya.

Dan puncaknya, ketika aku harus kembali ke jakarta, tepatnya kost-ku yang ada di kuningan. Rupiah di dompetnya ternyata hanya ada sisa 55.000, untuk sekedar kalian tahu, ayah dan ibuku sudah pensiun, uang adalah gaib bagi kami. Tapi ibu memberi 50.000 untuk aku bertahan seminggu di kuningan, dan diia hanya memegang rupiah hanya 5000, bayangkan, hanya lima ribu rupiah. Ibaratnya beli satu bungkus nasi padangpun itu masih hutang.

Pernah tidak ada di podium otak-otak kalian, saat rupiah itu dikirim lewat mesin uang, mungkin wesel atau apapun itulah. Pernah terpikir bagaimana orangtua kalian memperjuangkannya, jujur, ibuku rela jalan belasan kilometer daripada menaiki angkot atau ojeg, hanya untuk mendapat jaminan aku tetap makan dijakarta, tetap sehat hidup di jakarta. Dia rela makan sekali dua hari hanya untuk menjamin aku makan dua kali sehari. Apa kalian pernah berpikir, bahwa bukan orangtua ku saja yang begitu, mungkin orang tua kamu juga, mungkin orangtua kalian juga.

Aku punya cerita juga, entah bagaimana memulainya, ini tentang sahabatku yang juga saudaraku, atau tepatnya tentang saudaraku yang juga sahabatku. Dia sepupuku dan satu sekolah menengah denganku, enam tahun kami bersama, Hitoshi kusuma putra namanya, orang se-semangat dia, orang seceria dia, orang sekuat dia, akhirnya harus menangis dikala Ibunya mengetuk pintu surga

Dia menangis bukan karena dia lemah, tapi karena dia sudah terlalu lama kuat

Ini pertama kalinya dia menunjukkan sisi lemahnya, sisi dimana akhirnya dia terlihat kalah oleh keadaan, kebiasaan hidup bahwa ibunya yang segalanya, sekarang menimbulkan seakan segalanya sudah tidak ada, yang membangunkannya tiap pagi, membuat makanannya tiap hari, menyayanginya sepenuh hati. Semua pergi, meninggalkan sepi dengan hangatnya semangkuk sunyi.

Bayangkan kamu,anda dan kalian ada di posisi itu, apa yang akan kalian lakukan di saat semua kata sayang, disaat semua penyesalan itu tinggal sesuatu yang sia-sia, sesuatu yang tidak ada artinya sama sekali ?

Ingat, mau seribu kata sayangpun yang kamu kasih di pemakamannya tiap hari, akan jauh lebih berarti satu kata sayang dikala dia hidup

Sekarang, apapun kamu, siapapun kalian, telepon atau setidaknya beri mereka pesan, betapa kalian sayang dan biarkan mereka akhirnya merasa bahwa mereka punya harga, harga di luar materi.
Diubah oleh Ehome.Putera 22-12-2014 06:04
0
2.2K
20
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.4KThread84.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.