Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

aghilfathAvatar border
TS
aghilfath
[JANGAN LATAH DG TEKNOLOGI] Sekolah Tanpa Komputer Disukai Petinggi Silicon Valley

KOMPAS.com — Silicon Valley terkenal sebagai tempat berkumpulnya perusahaan-perusahaan teknologi dunia. Namun, para petinggi perusahaan-perusahaan di Silicon Valley justru menyekolahkan anak mereka di sekolah yang tidak memiliki komputer sama sekali di Waldorf School of The Peninsula.

Di era digital dan komputasi saat ini, mengapa petinggi Google, Apple, Yahoo, dan Hewlett-Packard (HP) menyekolahkan anak mereka di sana?

Sebagian besar sekolah-sekolah di Amerika sedang berlomba-lomba untuk menjadikan sekolah mereka menjadi sekolah digital dengan memasukkan pendidikan komputer ke dalam kurikulum dan memasok komputer dalam jumlah besar. Sekolah Waldorf justru sebaliknya, yang sebisa mungkin menjauhkan anak-anak dari komputer dan menekankan pendidikan kepada aktivitas fisik dan belajar secara kreatif. Alat-alat belajar yang digunakan para siswa adalah pena, kertas, bahkan bisa menggunakan alat rajut dan lumpur.

Di sekolah Waldorf tidak akan ditemukan satu layar komputer pun. Para pendidik dan orangtua percaya bahwa pendidikan dan teknologi tidak bisa dicampuradukkan. Para pendidik di sekolah Waldorf percaya bahwa komputer menghambat pemikiran dan gerakan kreatif anak, serta mengurangi interaksi antarmanusia secara langsung. "Saya secara fundamental menolak gagasan bahwa pendidikan pada sekolah dasar membutuhkan alat bantu teknologi. Ide bahwa iPad dapat mengajarkan anak-anak saya membaca dan melakukan aritmatika itu konyol," jelas Alan Eagle (50), salah satu orangtua murid yang menyekolahkan putrinya di sekolah Waldorf.

Eagle sendiri mengerti tentang teknologi. Ia bahkan memegang gelar Ilmu Komputer dari Dartmouth dan bekerja sebagai Communication Executive di Google Inc, di mana ia pernah menulis pidato untuk eksekutif Google, Eric E Schmidt. Ia mengatakan, putrinya bahkan tidak tahu bagaimana cara menggunakan Google dan itu tidak masalah baginya.

Eagle menambahkan, tiga per empat siswa di sekolah ini memiliki orangtua dengan koneksi teknologi yang kuat. Ia melihat tidak ada kontradiksi dengan memilih menyekolahkan anaknya di sekolah tanpa teknologi. Sementara sekolah lain memenuhi ruang kelas dengan kabel, sekolah ini justru hanya berhiaskan papan tulis dengan kapur warna-warni, rak buku ensiklopedi, meja kayu penuh workbook, dan pensil-pensil.

Sekolah Waldorf mengajarkan anak-anak kelas lima untuk melakukan keterampilan merajut, membuat kain, sampai membuat kaus kaki. Anak-anak juga diajari berhitung dengan cara-cara unik, seperti memotong buah menjadi beberapa bagian dan kegiatan lainnya yang menuntut kreativitas guru dan siswa.

Beberapa ahli pendidikan mengatakan, dorongan untuk melengkapi ruang kelas dengan komputer adalah tidak beralasan karena belum ada studi yang menyatakan bahwa teknologi membuat anak-anak di sekolah dasar lebih cepat mengalami perkembangan kreativitas. Namun, apakah belajar merajut dan belajar pecahan melalui potongan kue atau buah adalah alternatif yang lebih baik, juga belum dipastikan secara ilmiah.

Paling tidak, sekolah Waldorf bisa membuktikan bahwa 94 persen lulusan sekolah mereka banyak yang sukses di perguruan tinggi terkenal, seperti Oberlin, Berkeley, dan Vassar. Alumni tersebut adalah yang lulus antara tahun 1994 hingga 2004.

"Mengajar adalah pengalaman manusia. Teknologi adalah gangguan ketika kita perlu melakukan studi literatur, berhitung, dan berpikir kritis," ujar Paul Thomas, seorang mantan guru dan profesor pendidikan di Furman University.

Di antara pro dan kontra sistem pendidikan yang diterapkan oleh sekolah Waldorf, sekolah ini justru telah berjumlah 40 buah di California dan terus memiliki jumlah siswa yang signifikan setiap tahun. Pengakuan dari seorang siswa, Finn Heilig (10), yang ayahnya bekerja di Google, menyatakan bahwa ia lebih nyaman menulis dengan tangan daripada dengan komputer. Heilig ingin melihat perkembangan tulisan tangannya dari tahun ke tahun.

Pada akhirnya, sekolah Waldorf mengatakan bahwa menghilangkan teknologi pada sekolah dasar bukan berarti menutup akses anak untuk bisa menguasai teknologi. Pada usia tertentu, anak akan bisa mempelajari teknologi dengan sendirinya tanpa harus kehilangan kreativitas mereka di masa kanak-kanak. Bahkan untuk anak-anak yang orangtuanya bekerja di perusahaan-perusahaan Silicon Valley, komputer tentu sudah diajarkan orangtua di rumah.

Editor: Wicaksono Surya Hidayat

Sementara kita berlomba-lomba memodernisasi pendidikan dengan aneka perangkat tenologi secara masif, ternyata produsen TI sendiri menjauhkan generasi penerus mereka dari produk mereka sendiri, berikut dampak yang ditimbulkan oleh serapan teknologi yang tak selektif :

Inilah Dampak Negatif Anak Keranjingan Gadget

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di era teknologi yang serba canggih sekarang ini, tak sedikit orang tua yang memberikan kebebasan kepada buah hatinya menggunakan gadget. Padahal, anak yang sejak kecil memiliki ketergantungan pada gadget memicu bahaya. Pasalnya, ketergantungan tersebut membuat sang anak memiliki hubungan yang kurang baik dengan orang tuanya.

Hal itu diungkapkan Psikolog anak, Ratih Andjayani Ibrahim pada sebuah acara peluncuran program pendidikan dan kesehatan di Jakarta, Selasa (5/6) kemarin. "Rasa adiksi anak pada gadget, dapat membuatnya bosan dan sulit berkonsentrasi pada dunia nyata, terutama untuk mendengarkan orang tuanya," ujar Ratih.

Ratih mengatakan, adiksi pada gadget membuat anak-anak sampai bingung dan galau bila tidak ada gadget. Padahal, gadget hanyalah sebuah benda yang mereka belum benar-benar membutuhkannya.

Namun faktanya, pada saat ini kita hidup dalam era teknologi dan sulit untuk menjauhkan gadget dari anak-anak. "Kalau kita jauhkan gadget dari anak-anak, nanti mereka jadi ketinggalan zaman. Namun ada cara untuk membuat anak-anak tidak adiksi terhadap gadget," imbuh Ratih.

Dijelaskannya, sebaiknya orang tua mengajari anak dan menjelaskan kapan waktu yang tepat untuk mereka boleh menggunakan gadget. "Anak tidak akan adiktif kepada gadget, bila orang tua mampu memberikan kualitas waktu yang baik untuk anak-anaknya," kata Ratih menandaskan.

Sumber : http://tekno.kompas.com/read/2011/11...Silicon.Valley & http://www.republika.co.id/berita/ga...spadai-hal-ini

Menurut TS adaptasi teknologi & gadget perlu disesuaikan dengan tingkatan kognitif anak, mengingat penyerapan yang terlalu dini menyebabkan generasi yang pintar secara instan tetapi minim kepekaan dan ini sejalan dengan penghentian kurikulum 2013 oleh mendiknas yg terlampau banyak menggantungkan materi belajar dari sumber teknologi informasi, silahkan agan-agan yg peduli pendidikan maupun yg sudah expert menyumbangkan suaranya emoticon-Toast syukur-syukur kasih TS emoticon-Blue Guy Cendol (L) atau minimal emoticon-Rate 5 Star
Diubah oleh aghilfath 07-12-2014 12:50
0
4.2K
23
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita Luar Negeri
Berita Luar NegeriKASKUS Official
79.2KThread11KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.