Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

bwso2015Avatar border
TS
bwso2015
Riedl Gagal, PSSI Sangat Gagal
Riedl Gagal, PSSI Sangat Gagal

Dalam konteks sepakbola Indonesia yang begini-begini terus, jangan pernah lagi mengatakan "nasi sudah jadi bubur" -- kecuali kita akan terus terbiasa memasak bubur. Lembek.

Target juara di Piala AFF 2014, lolos ke semifinal pun kemungkinan besar tidak. Pernyataan paling mudah dari federasi adalah, "kami akan mengevaluasi". Lewat akun twitter-nya, wakil ketua umum PSSI yang juga ketua Badan Tim Nasional, La Nyalla Mattalitti, menambahkan sedikit. "Bukan hanya sekadar evaluasi, tetapi PSSI akan mengambil langkah-langkah penting, nanti akan dirumuskan di rapat kerja PSSI.

Kita akan tunggu, apa sih langkah-langkah penting itu. Apakah nomor satu adalah berani memecat Alfred Riedl?

Kita tahu, PSSI terkesan takjub pada pelatih asal Austria itu. Ukurannya sangat mungkin adalah dia (sedikit) mengilaukan timnas Indonesia di Piala AFF 2010, yang notabene digelar di Jakarta, dan semua fans memberi dukungan sepenuh hati.

Tapi, kalau mau obyektif, apakah Riedl membawa Indonesia jadi juara? Tidak. Di sana pasukan "Merah Putih" hanya runner-up. Untuk sebuah "negara sepakbola", yang masyarakatnya sudah begitu kelaparan dan kehausan ingin melihat piala -- karena terakhir kali adalah SEA Games 1991, runner-up bukanlah piala. Apalagi, sekali lagi, kita adalah tuan rumah di Piala AFF 2010, dan kita tidak juara juga. Itu juga baru di level Asia Tenggara, kawasan internasional terkecil negara ini.

Semestinya tidak ada lagi kesempatan ketiga untuk Riedl. Dia sudah diberi kesempatan dua kali, dan yang kedua pun lebih buruk hasilnya. Kekalahan telak 0-4 dari Filipina adalah kejadian memalukan, mengingat dalam sejarahnya Indonesia tak pernah sekalipun dipecundangi oleh negara yang sepakbola bukanlah olahraga kesukaan masyarakatnya.

Mari mundur sedikit ketika Riedl dipecat oleh federasi pada pertengahan 2011. Kala itu PSSI baru berganti rezim, usai terpilihnya Djohar Arifin sebagai ketua umum PSSI, dalam sebuah "pertarungan politik" di antara dua kubu: Arifin Panigoro dan Bakrie.

"Ini sport political decision. Saya korban pertarungan PSSI lama dan PSSI baru. Oh bukan, saya ini korban Mr. Bakrie versus Panigoro," kata Riedl (detiksport, 15 Juli 2011)

Setengah tahun sebelum itu, Riedl pun sudah merasakan aroma politik dalam sepakbola Indonesia. Ia pernah gusar ketika timnas yang masih bertarung di Piala AFF 2010, dijadikan sebuah komoditas "sirkus", sampai-sampai dibawa ke rumah ketua umum Partai Golkar, Abu Rizal Bakrie.

"Saya tidak menyalahkan media. Harapan masyarakat sangat tinggi. Pengurus sepak bola, pejabat, semuanya. Banyak hal-hal yang tidak perlu yang kita lakukan,” kata dia (Republika, 27 Desember 2010).

Jika Riedl sadar bahwa sepakbola Indonesia adalah politik, lucunya pada September 2012 dia menerima pinangan untuk dijadikan pelatih lagi untuk "timnas" yang bentuk oleh Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI). Riedl pun menjalankan program KPSI dengan membawa timnya ke Australia, termasuk berujicoba melawan tim yang baru dibentuk 24 jam sebelumnya oleh sebuah gereja di Queensland. (detiksport, 19 Oktober 2012)

Kita tahu, kejadian itu menjadi bahan tertawaan masyarakat Indonesia. Riedl pun pulang kampung setelah yang mengikuti Piala AFF 2012 bukanlah tim besutannya melainkan yang dilatih Nil Maizar -- dengan pemain "seadanya". Entah apa yang ada di kepala Riedl jika dia sadar dirinya sebenarnya dipekerjakan untuk apa.

Syahdan, PSSI ternyata belum bisa move on. Pada Desember 2013 federasi kembali memanggil Riedl untuk melatih timnas. Ia dikontrak tiga tahun dengan misi membawa Indonesia menjuarai Piala AFF 2014. Jika berhasil, gajinya pun akan dinaikkan.

Hasilnya? Kita sudah lihat hanya dalam dua pertandingan pertama: nyaris kalah dan beruntung masih bisa menahan seri Vietnam 2-2, lalu digebuk Filipina 0-4. Dari dua laga tersebut, tidak sedikitpun permainan Sergio van Dijk dkk. yang enak dilihat. Mendominasi pun tidak. Ia tidak berhasil mengoptimalkan karakter terbaik sejumlah pemainnya. Boaz Solossa, misalnya, yang begitu perkasa di level klub, sama sekali tidak terlihat di dua pertandingan tersebut. Mengutip pengamat sepakbola M. Kusnaeni, taktik Riedl tidak up to date, alias ketinggalan zaman. (CNN Indonesia, 25 November 2014)

Secara teknis, Riedl sudah gagal memoles timnya. Di kesempatannya yang kedua ini .... Jangankan untuk merebut piala, mengulang "prestasi" runner-up pun dia hampir mustahil.

Di luar faktor Riedl, kegagalan lain adalah jelas tanggung jawab PSSI. Paling tidak, dari mereka harus ada yang "gentle" bertanggung jawab untuk berani mengatakan, "Saya gagal", bukan sekadar "kami gagal". Jika merasa gagal terus, mundurlah, beri kesempatan kepada orang lain. Terserah mau siapa, dari bagian apa. Kita tahu, di sana ada bagian yang mengurusi manajemen timnas (BTN), termasuk urusan teknis semacam HPU (High Performance Unit), yang bertugas memberi berbagai data dan menganalisisnya untuk keperluan pelatih, pemain, tim, taktik, dan lain-lain.

Juga terkait yang mengurusi kompetisi lokal. Kita tahu, PT Liga Indonesia masih terbiasa "fleksibel" dengan segala jadwal. Jadwal selalu berubah-ubah. Dan ini terjadi di hampir setiap musim. Ketidakmampuan membuat jadwal yang tegas untuk babak 8 besar dan kemudian semifinal-final mau tidak mau mempengaruhi agenda persiapan timnas menghadapi Piala AFF. Tak heran jika alasan "persiapan terlalu mepet" selalu menjadi apologi dari setiap kegagalan.

Maka, federasi dan pengurusnya sudah gagal membuat perubahan berarti. Tak ada prestasi seperti yang teramat dirindukan-rindukan masyarakat. Okelah, Timnas U-19 memberi sebuah gelar berupa Piala AFF 2013. Tapi kalau mau jujur, tim itu dibentuk jauh-jauh hari oleh "seorang" Indra Sjafri. Setelah PSSI lebih terlibat di dalamnya, yang muncul di mata publik malahan kontroversi demi kontroversi, di mana anak-anak junior itu dijadikan komoditas (lagi) lewat puluhan pertandingan ujicoba yang semuanya disiarkan langsung oleh televisi swasta nasional, yang untuk itu mereka mesti membayar hak siarnya ke kas federasi. Selama satu tahun persiapan, timnas U-19 seakan-akan tidak mendapatkan pengayaan taktikal. Di putaran final Piala Asia bulan lalu, permainan mereka begitu miskin kreasi, tidak berkembang. Untuk persiapan selama satu tahun, di mana tim yang mengurusi teknis itu?

Prestasi yang tiada pun bukan satu-satunya kegagalan PSSI. Lebih luas dari itu, prestasi tidak mungkin dicapai tanpa proses dan pembinaan yang benar. Sudahkah PSSI menjalankan itu sebagaimana mestinya? Kita akan berdiskusi panjang lebar soal itu. (Atau tidak perlu?)

Yang terpenting lagi sebenarnya, sudahkah pengurus PSSI sekarang mampu menciptakan iklim sepakbola yang lebih baik? Jika mereka menjawab 'ya', lalu kenapa masih sering terjadi kasus jotos-jotosan pemain, wasit yang diserang di dalam lapangan, kerusuhan suporter, isu match fixing, serta yang terbaru adalah skandal sepakbola gajah yang amat memalukan itu?

Yang dibutuhkan bukan sekadar hukuman kepada para pelakunya. Kalau sekadar menjatuhkan skorsing dan denda sih, tidak sulit. Yang lebih urgen adalah bagaimana PSSI menciptakan kondisi-kondisi sehingga setiap keburukan itu, yang sudah bertahun-tahun menjadi penyakit di dalam sepakbola Indonesia, bisa dieliminasi, diredam, syukur-syukur diberantas sampai tuntas. Sudahkah pengurus berhasil melakukan itu? Akan lebih obyektif jika masyarakat juga diberi hak untuk menjawabnya. Tapi kalau menurut penulis sih, tidak.

Ini agar nasi tidak melulu jadi bubur.

===

SUMBER : http://sport.detik.com/aboutthegame/...i-sangat-gagal
0
2.4K
20
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.3KThread84KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.