Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nursidahmoetAvatar border
TS
nursidahmoet
Seandainya Semua Murid Indonesia Mengetahui Hal Ini Lebih Awal
Halo! Perkenalkan, nama saya Nursidah. Saya adalah mahasiswa ilmu pendidikan di Samarinda, Kaltim. Saya mau share sedikit tentang pandangan dan pengetahuan yang buat saya sangat berharga terkait pendidikan. Saya tidak mendapatkannya dari dosen atau profesor saya di kampus. Saya dapatkan ini dari buku Tiga Tahun Dari Sekarang karya William.

Bagi saya, sosok William udah mirip kayak Dr. Seuss, ringan dan memuat banyak wisdom di dalamnya. Saya mau share supaya teman-teman juga merasakan sengatan motivasi positif dari buku ini. Thanks anyway Kakak William yang bersedia berbagi inspirasi dengan kami, orang-orang yang masih peduli dengan dunia pendidikan Indonesia.
Berikut adalah quote-quote terbaik yang mau saya share-kan yang saya dapat dari www.facebook.com/tigatahundarisekarang

Andai semua anak Indonesia baca ini, saya yakin pendidikan kita akan maju dan bangsa kita akan membaik:

Untuk hal apapun yang terjadi di sekolah, orangtua dan pemangku kepentingan lainnya perlu tahu dan ambil andil dalam menciptakan suasana yang kondusif. Tapi, alangkah baiknya kalau murid-murid Indonesia punya sikap yang jelas, tepat, dan berani untuk mencegah hal-hal buruk sebelum terjadi.

Menjelang lulus SMA, satu pertanyaan yang seringkali menghinggapi kepala saya adalah "Mau kuliah apa dan mau jadi apa nantinya?" Menjelang lulus kuliah, pertanyaan yang muncul adalah "Apa yang akan saya lakukan setelah ini?" Ternyata, pada fase kehidupan apapun, kebingungan pasti ada. Hal terpenting adalah menjalani setiap kesempatan dengan sebaik-baiknya, dengan penuh keberanian dan kejujuran. Seperti kata pepatah Jerman "Das Glück hilft dem Kühnen", keberuntungan memihak mereka yang berani.

Saya tidak pernah membayarkan sejumlah uang kepada pihak sekolah untuk menerima ketidakadilan dan perlakuan tidak menyenangkan. Tapi hari ini, ada anak murid yang membayar puluhan juta rupiah per bulan kepada sekolah dan masa depannya terancam rusak akibat perlakuan yang ia terima di sekolah. Entah apa dan siapa yang salah. Pendidikan Indonesia kian carut-marut. Saatnya kita semua benar-benar peduli pada murid-murid Indonesia.

Sekurang-kurangnya, terdapat total 21 Undang-Undang, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan Keputusan Menteri yang mengatur ihwal kegiatan mengajar dan belajar di sekolah. Tapi, nyatanya murid Indonesia belum beruntung untuk mendapatkan pendidikan yang sungguh-sungguh berkualitas serta mendapatkan rasa aman di sekolah. Jika menegakkan peraturan perundang-undangan sekedar wacana, saatnya kita membuat murid-murid Indonesia berdaya.

Paradigma bahwa Ujian Nasional menentukan segalanya sudah mulai bergeser. Keberhasilan besar pada hari yang ditunggu-tunggu merupakan akumulasi dari keberhasilan-keberhasilan kecil yang dilakukan tahap demi tahap, atau yang disebut Stephen R. Covey sebagai "everyday greatness".

Pendidikan adalah ladang yang perlu ditanam dengan bibit-bibit keberanian, kebenaran, dan kejujuran agar dapat menghasilkan buah kebijaksanaan di masa mendatang.

Kecerdasan bukan melulu hasil di atas kertas yang terukur dengan angka. Ada kalanya, kecerdasan adalah satu alasan kecil yang cukup kuat untuk mempertahankan prinsip. Ada kalanya, kecerdasan hadir dalam bentuk perlawanan yang mungkin hanya ibarat riak di tengah sungai, namun menginspirasi banyak orang.

Yang namanya dialog adalah dua pihak duduk bersama di sebuah kesempatan dan saling berbagi pandangan dalam posisi yang setara; yang satu bicara dan yang lainnya mendengarkan, lalu bergantian. Pembicaraan dua pihak minus kerendahan hati bukanlah dialog; ia lebih seperti intimidasi.

Terkait aturan yang ada di lingkungan sekolah, saya melihat bahwa alasan utama mengapa begitu banyak terjadi pelanggaran terhadap aturan adalah karena esensi dari aturan itu sendiri. Aturan yang ada sekarang berorientasi untuk melarang, mencegah, dan menghindarkan murid dalam melakukan sesuatu. Aturan yang benar haruslah aturan yang positif dengan orientasi untuk "mencapai sesuatu".

Kala masyarakat tengah mengalami degradasi moral, sekolah adalah ujung tombak yang bertindak sebagai agent of change. Dengan peran strategis seperti ini, apabila kebobrokan justru terjadi di dalam ruang-ruang kelas, tentu murid-murid Indonesia akan kehilangan pegangan. Oleh karena itu, sedari dulu sampai sekarang, saya konsisten berkata dan bertindak bahwa murid adalah bagian terpenting dari sistem pendidikan yang perlu berpikir dan bertindak untuk diri mereka sendiri.

Jika saya ditanya tentang pendidikan apa yang terbaik untuk murid-murid Indonesia, saya tidak akan terlalu menekankan aspek akademis karena aspek akademis sangat bergantung pada kearifan lokal serta kebutuhan untuk menjalani kehidupan. Saya akan selalu menekankan sebuah hal yang berlaku universal bahwa pendidikan yang mengajarkan semangat antikekerasan dan menjunjung penghormatan terhadap martabat manusia adalah sistem pendidikan yang terbaik.

Salah satu kesalahan murid Indonesia adalah terlalu "kiasi" alias takut mati. Atas nama mencari aman dan tidak mau mencari masalah, murid seringkali memilih diam dan melakukan pembiaran atas kesalahan dan penyimpangan yang terjadi di sekolah.

Setelah lulus sekolah, ini bukan berarti proses belajar telah usai. Justru, pascakelulusan adalah saat terberat dan penuh tantangan untuk mempelajari hal-hal yang tidak diajarkan di bangku sekolah.

Pikiran kritis berarti kita tidak menelan bulat-bulat apa yang orang lain katakan. Pikiran kritis berarti kita menguji dan mencari jawaban serta mempersoalkan jawaban yang ada sebagaimana Socrates mengajarkan lewat metode elenchos. Tidak mudah terprovokasi dan selalu tenang dalam menghadapi fenomena kehidupan adalah tujuan dari pikiran kritis.

Kita berani bukan karena lebih kuat dari orang lain. Kita berani bukan pula karena punya lebih banyak uang. Kita selayaknya berani karena benar.

Pendidikan di lembaga formal bukan segalanya. Semangat belajar sepanjang hayat jauh lebih penting daripada sekedar gelar dan pencitraan bahwa kita telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu.

Di luar pertimbangan apapun, kita tidak membayarkan sejumlah uang ke sekolah untuk mendapatkan perlakuan tidak adil dan yang semena-mena. Sekolah merupakan miniatur dari masyarakat. Oleh karena itu, ketika kita menemukan ada hal yang tidak beres, bereskan.

Tidak masalah apabila pendidikan dijadikan ajang untuk kampanye politik atau semacamnya. Hal semacam ini memang tidak terhindarkan. Hal terpenting adalah bagaimana murid-murid Indonesia mengetahui apa yang tengah terjadi sehingga tidak mudah terbawa ke dalam agenda orang lain yang belum tentu sesuai dengan dirinya.

Sekolah seharusnya menjadi pabrik ide, perkebunan kebaikan, dan sawah yang menghasilkan kebijaksanaan. Nyatanya, sekolah hari ini merupakan pabrik kekerasan, perkebunan penindasan, dan sawah gersang yang menghasilkan lulusan-lulusan yang kurang berkarakter.

Solusi untuk kekerasan yang terjadi di sekolah bukan melulu soal sistem pendidikan dan materi di dalam kurikulum. Hal terpenting adalah bagaimana memberdayakan pihak terkuat di dalam dunia pendidikan (murid) untuk berpikir dan mengambil keputusan bahwa mereka menolak kekerasan dan bersedia berbuat apapun untuk menghindarinya.

Hakekat dari pendidikan adalah menjadikan yang sekedar "homo" menjadi "human". Artinya, ketika rasa kemanusiaan mulai luntur dalam dunia pendidikan, itulah saatnya kita perlu angkat bicara dan melawan.

Guru adalah profesi mulia yang berkaitan langsung dengan pembentukan diri murid dalam menatap masa depan. Oleh karena itu, atas nama tujuan bersama untuk meningkatkan kualitas guru, marilah kita lakukan autokritik dan mengambil tindakan nyata. Kritik dan saran terhadap guru bukanlah sesuatu yang salah sekalipun dilakukan oleh murid.

Alex Haley sekali waktu mengatakan bahwa sejarah ditulis oleh mereka yang menang (perang). Oleh karena itu, untuk meninggalkan sejarah hidup yang layak dikenang di kemudian hari, murid-murid Indonesia perlu bersikap dan bertindak sebagaimana pemenang dalam setiap aspek yang dijalaninya, baik sebagai seorang pribadi maupun sebagai seorang murid yang peduli pada pendidikan di sekolahnya.

Esensi dari pendidikan adalah transfer ilmu pengetahuan dari pendidik (guru) kepada peserta didik (murid), bukan memaksakan murid menjadi sama seperti apa yang guru inginkan. Menyadari bahwa kebebasan untuk menentukan nasib sendiri merupakan hak yang sangat mendasar dapat memupuk pikiran kritis murid sejak dini.

Dialog adalah ketika dua pihak berbicara, berdiskusi, dan bertukar pikiran dengan landasan kerendahan hati. Apabila salah satu pihak merasa lebih tinggi dan hendak mengancam, ini namanya intimidasi. Apabila salah satu pihak merasa lebih rendah dan hendak menyerah, ini namanya inferior.

Pertanyaan terpenting yang menghinggapi kepala saya saat pertama kali menginjakkan kaki di tingkat SMA adalah "Tiga tahun dari sekarang jika saya kembali ke sekolah, perasaan apa yang ingin saya rasakan?"

Belasan tahun yang murid habiskan di bangku sekolah formal tidaklah cukup untuk menguasai semua ilmu. Sama halnya dengan murid, empat tahun yang guru habiskan di IKIP atau akademi keguruan tidak menjamin mereka menjadi guru yang baik dan berpengetahuan.

Bagaimana kita berani berharap murid-murid Indonesia akan menjadi tulang punggung negara apabila sejak dini mereka telah dikondisikan untuk terbiasa dengan kekerasan, senioritas yang membodohkan, praktik sogok-menyogok, dan pandangan hidup bahwa yang lebih tua tidak pernah salah?

Kalau kita berani untuk memberikan pengaruh positif terhadap jalannya kegiatan di sekolah, kita akan dikenang di kemudian hari sebagai orang yang sekali waktu pernah berbuat sesuatu. Kalau kita jadi penakut dan cenderung pengecut, kita akan dilupakan oleh sejarah karena sejarah tak pernah bersahabat dengan penakut. Suka tidak suka, ada yang akan selalu diingat dan ada yang mudah saja ditelan zaman; tinggal bagaimana kita memilih mau jadi yang mana.

Tanpa mengetahui cara, sikap, dan keutamaan untuk menjadi murid yang benar-benar menikmati hidupnya di sekolah, rasa-rasanya masa tiga tahun tak ubahnya penjara. Hidup terlalu berharga untuk dihabiskan dengan cara demikian.

Waktu memang akan berlalu, orang memang akan berganti, dan perasaan memang akan berubah, tetapi ini bukanlah alasan mengapa kita sebaiknya memilih membiarkan hal buruk terjadi di sekolah. Justru, kita perlu menandai waktu dengan hal-hal besar yang layak dikenang di kemudian hari.

Cara berpikir bahwa guru boleh memukul murid bila murid sudah keterlaluan dan bahwa yang lebih tua pasti selalu benar adalah cara berpikir manusia di dunia ketiga; menyedihkan, memalukan, dan terbelakang.

Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Ya! Saya setuju dengan peribahasa di atas. Tetapi, alangkah baiknya apabila kita tahu kapan saatnya sang Tupai itu jatuh. Intisari yang sederhana dari cara berpikir semacam ini adalah jangan sampai kita melakukan kesalahan-kesalahan bodoh yang mencoreng wajah kita di saat yang tidak tepat. Melakukan kesalahan itu biasa, tetapi sadari pula bahwa melakukan kebenaran adalah hal luar biasa yang jauh lebih berharga.

Sekolah bukan tempat bersaing dengan murid lain dalam menjadi yang terbaik. Sekolah adalah tempat para murid mengasah diri, menggali bakat, dan kemudian mengembangkannya demi menjadi yang terbaik yang mereka bisa.

Pendidikan membuka mata kita dari kekaguman yang membabi-buta dan menghilangkan kultus individu. Justru, pendidikan membuat kita memiliki kekaguman yang didasari rasa hormat dan memampukan kita untuk mengakui bahwa semua manusia adalah setara, terlepas dari apapun latar belakangnya.

Sampai kapanpun, pendidikan kewarganegaraan, tata krama, dan karakter tidak akan sampai pada tujuan mulianya untuk membentuk manusia Indonesia apabila para pengajarnya (guru) memandang profesinya sebagai pekerjaan, bukan panggilan atau pelayanan. Profesi guru itu kompleks dan memerlukan "tangan dingin" serta "hati besar". Jadi, sesungguhnya tidak banyak yang bisa menjadi guru.

Zaman dulu, para tokoh pendidikan berjuang keras untuk menanamkan semangat kebangsaan supaya murid-murid Indonesia punya kebanggaan terhadap tanah airnya. Zaman sekarang, punya nasionalisme dianggap usang karena orang-orang lebih suka inter-nasionalisme. Yang dari dunia barat dikira lebih keren dan beradab, padahal belum tentu.

Segala hukuman, aturan, dan kebijakan yang ada dalam lingkungan sekolah perlu diuji keberadaannya lewat satu pertanyaan sederhana, "Apakah dalam praktiknya hal-hal ini akan bersinggungan dengan harga diri seorang murid?" Apabila hukuman, aturan, dan kebijakan justru membuat murid tampak bodoh dan terhina, maka yang bisa saya anjurkan hanya satu: LAWAN!

Apabila kita percaya bahwa murid-murid Indonesia bisa membuat perubahan, maka mereka akan memiliki kepercayaan diri untuk mengambil peran penting di masyarakat suatu hari nanti. Satu kalimat penguatan berupa, “Ya, saya percaya kamu bisa!” seringkali menjadi pembeda antara mereka yang berhasil dan belum berhasil. Dari sini, saya menyadari pentingnya hidup dengan perkataan dan perbuatan positif.

Esensi dari pendidikan sebenarnya bukan hanya transfer ilmu pengetahuan dari pendidik ke peserta didik. Dalam dimensi yang lebih luas, pendidikan adalah tentang transfer nilai dan moralitas dari pendidik ke peserta didik. Inilah mengapa saya dan kita semua perlu berteriak keras dan ambil tindakan kapanpun kita menemukan adanya pendidik yang tidak memberikan teladan baik kepada murid-muridnya.

Kedewasaan diri seorang murid dapat diukur dengan sebuah indikator sederhana: apakah ia mementingkan nilai di atas kertas atau nilai dalam kehidupan yang sebenarnya? Jika ia memilih nilai di atas kertas, ia akan melakukan apapun untuk mendapatkan nilai 100 meskipun harus curang atau mengorbankan orang lain. Jika ia memilih nilai kehidupannya, ia akan menyadari bahwa persahabatan dan rasa satu hati merupakan keutamaan dalam menciptakan sekolah yang mencerdaskan bagi seluruh murid. Dengan begitu, ia tidak akan mementingkan diri sendiri.

Ada beberapa oknum guru dan murid yang enggan menjadikan sekolah sebagai sarana yang akan membebaskan kita semua dari kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Sekolah adalah jembatan menuju kehidupan yang lebih baik, namun dengan adanya oknum seperti mereka, justru sekolah kita dirobohkan dan digembosi dari dalam. Jadi, langkah selanjutnya bagi kita yang peduli terhadap masa depan sekolah adalah memberantas oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab ini.

Saya tidak sedikitpun menyesal pernah menulis buku yang menggegerkan banyak pihak. Meskipun buku pertama saya yang berjudul “Pesan dari Murid untuk Guru: Siapapun Bisa Melakukan Kesalahan” dianggap tidak punya hati dan tidak berperasaan, saya hanya ingin menjawab tudingan seperti itu dengan satu pernyataan sederhana, “Ya! Saya memang tidak berperasaan dan tidak punya hati untuk para guru yang menganggap kekerasan sebagai solusi dan yang dalam kesehariannya justru membuat murid-murid semakin bodoh.”

Aturan emas dalam kehidupan: jangan lakukan apa yang kamu tidak ingin orang lain lakukan kepadamu. Sebagai murid, kalau kita tidak mau diperlakukan semena-mena, maka jangan pernah kita semena-mena, baik itu terhadap teman maupun terhadap adik kelas atau mereka yang lemah. Sebagai guru, kalau kita ingin dihormati, maka terlebih dahulu kita harus menghormati orang lain, baik menghormati sesama guru, kepala sekolah, teman, atau murid. Mudah sekali saat diucapkan, namun sulit sekali saat dilakukan.

Untuk membuktikan sebuah gelas memang antipecah, kita harus mengujinya dengan cara membantingnya ke tanah. Sama halnya dengan gelas, untuk membuktikan bahwa kita adalah murid-murid Indonesia yang tahan banting, kita harus tetap memiliki keteguhan hati dalam melewati setiap kesulitan, tantangan, dan cobaan. Selama kita punya prinsip dan mau bertindak atas nama kebaikan murid-murid Indonesia, tidak ada hal yang terlalu berat.

Perbedaan posisi antara murid, guru, dan kepala sekolah adalah perbedaan struktural. Dalam birokrasi, jelas ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah. Tetapi, dalam kehidupan sosial, posisi birokratis yang lebih tinggi tidak berarti membuat guru dan kepala sekolah punya hak atau keistimewaan untuk bertindak seenaknya terhadap murid. Kapanpun kalian merasa guru dan kepala sekolah bertindak seenaknya, LAWAN! Apabila tidak berhasil, POLISIKAN! Guru dan kepala sekolah bukan orang yang kebal hukum. Ingat, murid-murid Indonesia tidak berangkat ke sekolah untuk menyaksikan dan mengalami ketidakadilan.

Apabila kemauan belajar bertemu dengan ilmu pengetahuan, kita akan melihat gelora ibarat api bertemu dengan minyak. Ilmu pengetahuan selalu ada di suatu tempat, dan ia menunggu untuk ditemukan. Kalau kita tidak cukup punya kemauan untuk belajar, jangan salahkan siapa-siapa kalau kita menjadi orang yang dangkal ilmu pengetahuan.

Kita selalu mempelajari kebijaksanaan dari tokoh-tokoh pendidikan terdahulu. Apa yang mereka lakukan tetap bermanfaat dan terus diperbincangkan hingga hari ini meskipun mereka telah tiada secara fisik. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran adalah ujung tombak yang menjadi corak khas setiap individu. Pertanyaannya sekarang, mengapa kita tidak mulai menyumbangkan pemikiran yang bermanfaat untuk pendidikan Indonesia?

Semangat Makoto (kejujuran) yang dimiliki bangsa Jepang membuat mereka unggul dalam berbagai aspek kehidupan. Bagi saya, kejujuran yang sesungguhnya adalah berani berkata yang benar itu benar dan yang salah itu salah, terlepas dari apapun keadaannya.

Menghadapi kegagalan tidak harus selalu dengan rasa putus asa. Menghadapi kesulitan tidak harus selalu dengan kepanikan. Menghadapi tantangan tidak harus selalu dengan rasa was-was. Tanpa kegagalan, kesulitan, dan tantangan, buku sejarah di masa depan hanya akan berisi kertas putih tanpa goresan tinta.

Di balik hiruk-pikuk sebuah kota, tersimpan ribuan kisah yang tidak terucap dan mungkin tidak akan pernah diketahui. Dalam hidup, kita membuat sejarah setiap hari. Apa yang kita lakukan hari ini menjadi sejarah di esok hari. Rangkullah keberanian, keadilan, dan kebenaran dalam setiap langkah hidup kita.

Sebuah pepatah Perancis mengajarkan semangat yang sangat baik dan manusiawi. "Fortiter in re, suaviter in modo". Artinya, kita harus keras dalam prinsip, tetapi harus juga fleksibel dalam cara. Hal terpenting dalam menjalani kehidupan di sekolah adalah memiliki prinsip yang tegas dan jelas, namun tetap berusaha beradaptasi dengan lingkungan yang ada.

Acara perayaan kelulusan dan wisuda hanya peristiwa seremonial, tetapi bukan berarti ini tidak penting. Hal yang terpenting adalah bagaimana kita menjalani proses belajarnya selama beberapa tahun ke belakang. Semua orang bisa lulus, namun tidak semua orang lulus dengan menggenggam kebanggaan dalam dirinya.

Dalam mengajar, guru harus setengah dewa. Keistimewaan seperti ini perlu guru miliki karena mereka mengelola aset yang sangat berharga, yakni masa depan murid-muridnya.

Kebesaran jiwa yang sesungguhnya adalah merayakan kemenangan dengan rendah hati dan menerima kekalahan dengan besar hati.

Nih favorit saya:
Masyarakat kita seringkali lupa makna kata “saling” yang menunjukkan adanya timbal-balik. Sebagai contoh, sejak kecil kita diajari bahwa “murid harus menghormati guru”. Konsekuensi dari kalimat ini adalah murid yang dikondisikan untuk menghormati guru, dan tidak ada keharusan dari guru untuk menghormati murid. Dengan kata “saling”, kita dapat menciptakan hubungan sosial yang lebih baik dengan cara “murid dan guru harus saling menghormati”. Dengan demikian, di balik kewajiban murid untuk menghormati guru, terdapat pula sebuah keharusan bagi guru untuk menghormati murid-muridnya. Betapa sederhana, namun betapa indahnya apabila bisa terwujud.

Nih foto saya:

Diubah oleh nursidahmoet 23-09-2014 10:02
0
45.7K
434
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923KThread83.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.