Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

pablo escobarAvatar border
TS
pablo escobar
cerpen bikinan ane gan : Mengetuk Pintu Langit
pertama ane minta maaf kalo sekiranya salah tempat, dipersilahkan buat momod untuk menghapus atau memindahkan, satu yang pasti sodara2, dijamin bukan emoticon-Blue Repost karena asli baru matang dari periuk ane sendiri emoticon-I Love Kaskus (S)

ceritanya begini gan, ane punya hasrat terpendam untuk menulis, tapi karena terjalnya kehidupan, belum sempat untuk disalurkan. Belakangan ane rada punya waktu luang dan mencoba berkarya, tapi gk tau harus majang karya d mana. Berhubung ane sering ngaskus (nongkrong di FJB), maka ane memutuskan untuk majang karya di kaskus, muun maap sekira salah tempat hihihi. Ane tunggu saran dan kritik membangunnya gan, jangan ada emoticon-No Sara Please di antara kita, jangan lupa komen dan emoticon-Rate 5 Star gans

ok, ini ceritaku!



Mengetuk Pintu Langit



Seorang lelaki malang yang siap menuai badai, berjuang keras untuk mewujudkan mimpi buruk.

Basir terus bergerak menembus kabut. Keinginannya untuk mati telah menghasilkan kekuatan yang luar biasa. Di tempat tak bertuan ini akhirnya dia bertemu dengan kepasrahan terbesar, saat seorang anak manusia siap melepas kehidupan di dunia ini, dan tak berharap banyak akan kehidupan sesudah ini. Kenangan mengiringinya di setiap tarikan langkah. Kenangan tentang semua yang pernah dimilikinya, semua yang ingin dimilikinya, dan kenangan bagaimana semua itu hancur berkeping-keping. Musnah tak bersisa.

Beberapa bulan ini hari-harinya adalah pertarungan dengan kenangan, seringkali berujung pada tangisan memilukan sambil membenturkan kepala ke dinding, namun tidak hari ini. Hari ini dia membiarkan semua kenangan berpesta dalam dirinya, bercampur dengan penyesalan, bersama amarah dan doa-doa panjang yang tak terjawab. Basir tidak lagi memberikan perlawanan, dia tahu semua akan berakhir di penghujung hari.

Lelaki kurus itu melangkah sambil terus membulatkan tekad. Jalan yang selalu menanjak, semak belukar, kerikil-kerikil tajam dan udara dingin menusuk tulang, hanyalah rintangan-rintangan kecil yang tak sedikitpun menggoyahkan niat di hatinya. Tangan kanan menancapkan tongkat di depan, kemudian dia menarik langkah teramat pelan, proses yang terus diulanginya dengan penuh ketabahan. Sesekali dia merayap ketika mendapati medan yang terlalu curam, mencengkram bebatuan atau akar tanaman, hanya untuk dapat beringsut jengkal demi jengkal. Pada suatu ketika dia sampai di sehamparan tanah yang cukup datar. Basir berhenti di sana. Kelelahan yang sempat terlupakan tiba-tiba menguap ke permukaan. Ternyata tidak ada lagi tenaga yang bisa digali dari tubuhnya, semua persendian seakan sudah terlepas dari posisi awal. Sempat terpikir olehnya mungkin dia akan mati saat ini tanpa harus menggantung diri.

Setengah merayap Basir menghampiri sebuah pohon besar, kemudian bersandar sambil melayangkan pandang. Perjalanan panjang selama dua hari ini telah membawanya ke tempat yang terpisah jauh dari peradaban. Dia merasa cukup yakin kalau di sini tak akan pernah ada orang yang menemukan mayatnya.

Kematian telah hidup di dalam dirinya, menawarkan penyelesaian untuk semua kekacauan, obat mujarab untuk penyakit di jiwa dan raga. Basir tak peduli kemana kematian akan membawanya, entah ke neraka atau hanyalah menuju kehampaan yang abadi, atau mungkin dia akan terlahir kembali sebagai kera. ‘Ah, terserahlah kemanapun’, pikirnya, yang penting tidak lagi di sini, tidak lagi meneruskan hidup yang menyedihkan ini. Neraka tidak terlalu buruk menurutnya. Tuhan dan para malaikat yang akan menyiksanya di sana. Jauh lebih baik daripada di sini, diinjak para bajingan kelas teri, keroco-keroco yang pada masa jaya dapat dibunuhnya dengan sebelah tangan. Jauh lebih baik daripada hidup bercermin bangkai seperti ini. Semakin mantap keyakinannya untuk mengakhiri hidup di tempat ini.

Entah sejak kapan, dia seringkali membayangkan dirinya akan mati sambil bersandar pada sebuah pohon, hanya saja pada bayangan itu dia mati bersandar pada sebuah pohon yang tak berdaun, dengan ranting-ranting kering bercabang panjang, sambil menatap langit senja berwarna merah. Apa yang terlihat saat ini sama sekali berbeda dengan gambaran kematian itu. Tak banyak yang terlihat karena halimun membatasi jarak pandang. Ranah Gunung Singgalang yang didudukinya seperti enggan bersuara. Sunyi, hanya suara nafasnya yang terdengar. Mendung tipis telah terhampar sepanjang hari, mendung tipis seluas langit yang sepertinya tak akan pernah menjadi hujan, namun cukup untuk menghimpit setiap cercah sinar matahari yang coba menerobos. Hawa dingin mengundang kabut untuk turun lebih awal, membuat hewan-hewan gunung enggan keluar sarang.

Setelah sekian lama baru kali ini dia merasakan ketenangan. Tak ada lagi suara-suara perang yang selalu menggema di jiwa, tak ada lagi jeritan yang selalu berkecamuk di angan. Amarah mengendap pelan, meresap turun ke lembah sanubari. Basir menghirup nafas panjang, dan mendapati hanya setengahnya yang masuk keparu-paru. Begitulah nafasnya selama bertahun-tahun, bagaikan menampung air dengan saringan. Penyakit paru-paru ini hanyalah pelengkap penderitaan, secuil kisah dari hidup yang dipenuhi kemalangan. Tanpa sadar dia kembali merunut jalan panjang kehidupannya, dari hangat dekapan ibunya, sampai ke pohon ini yang akan dipakainya untuk menggantung diri.

Lima belas tahun yang lalu dia menukar pohon-pohon hijau ini dengan puing-puing kering ibukota. Berbekal mimpi dan darah muda yang bergejolak, bercita-cita menaklukkan dunia. Menaklukkan dunia, Basir membatin, dan tanpa sengaja senyum kecil terukir di bibir ketika dia teringat istilah yang dulu sering digunakannya. Kesombongan semacam itu pernah bersemayam di jiwanya, jauh sebelum nasib mengirimnya pulang dengan tangan hampa, hanya membawa tubuh kerempeng yang sudah rusak, dan rasa malu yang teramat besar. Sekarang dia melihat dunia yang ingin ditaklukkannya dulu hanyalah sebagai sebuah ruang sempit yang tak pantas diperjuangkan.

Kehidupan di Jakarta membawa warna-warna pada kenangannya. Kemilau bintang ketika berpestapora menenggak arak di tepi laut, beralih pada kuning langsat perempuan jalang tercantik yang pernah ditidurinya, beralih pada merahnya darah yang tumpah dalam pertarungan, beralih pada hitamnya relung hati pengkhianat. Basir menarik nafas panjang ketika lamunannya mencapai titik kritis. Masa ketika nafsu mengalahkan nurani, mencabut segenap ajaran baik yang pernah ditanamkan orangtuanya. Godaan begitu kuat ketika bermacam kenikmatan duniawi bisa didapatkan dengan mudah, dan dia berpaling dari peringatan segelintir orang-orang baik yang pernah singgah dalam hidupnya. Kadang dia berpikir bahwa dia memang terlahir bersama iblis di dalam dirinya. Seharusnya dia langsung dibekap begitu terlahir ke dunia, lalu dibuang ke parit dalam keadaan ari-ari belum dipotong, seperti kisah bayi-bayi malang yang sering tersiar di berita kriminal. Itu tidak terjadi. Ibunya memberikan kasih sayang sebesar dunia yang tak pantas dia dapatkan, dan masih saja dia tumbuh menjadi manusia bejat.

Ibunya tak pernah memarahi atau memukulinya, sekalipun dia telah melakukan banyak kenakalan semenjak kecil. Ibunya bukanlah perempuan bertubuh kuat seperti kebanyakan perempuan kampung yang bisa mengerjakan banyak pekerjaan laki-laki. Pekerjaan ibunya adalah menjahit. Bukan menjahit pakaian, tapi menjahit bordiran pada selembar kain yang selanjutnya diolah menjadi pakaian oleh penjahit lain. Basir tidak pernah tahu berapa uang yang dihasilkan ibunya dari menjahit, sepertinya tidak seberapa. Setiap ibunya membeli baju atau barang barang-barang selalu melalui tukang kredit, dan seringkali terlambat dibayar. Salah satu dari sedikit kebahagiaan masa kecilnya adalah ketika ibunya memandikannya dengan air hangat. Tidak setiap hari, biasanya sore menjelang senja, setelah dia pulang dari bermain. Ketika ibunya punya waktu untuk menghangatkan air dan memandikannya, berarti jahitan ibunya telah selesai, upah jahit sudah diterima, utang kredit sudah dicicil, dan ada lauk pauk yang sedikit mewah untuk disantap malam ini. Setiap kali air hangat itu mengalir ke tubuhnya selalu ada perasaan nyaman yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, seperti ada jaminan kebahagiaan untuk hari ini.

Basir tidak pernah bertemu dengan bapaknya. Bapaknya meninggal ketika dia berusia tiga bulan dalam kandungan. Menurut ibunya, bapaknya adalah pedagang gusuran yang meninggal di Medan dalam sebuah kecelakaan lalulintas, dan dimakamkan di sana. Namun dia sering mendengar desas-desus bahwa bapaknya adalah seorang bromocorah yang tersapu petrus di awal 80-an, sehingga di mana terkuburpun tak pernah diketahui, atau mungkin tidak pernah dikuburkan sama sekali. Betapapun dia ingin mempercayai kisah dari ibunya, ada bagian besar dalam dirinya yang mengatakan bapaknya adalah manusia bejat, dan darah itu mengalir dalam dirinya. Hari ini dia akan menghadapi takdir yang mungkin sama dengan bapaknya, mati kesepian dalam kehinaan, dan tak akan seorangpun yang akan menemukan kuburannya.

Ingatannya akan sebatang rokok memutus lamunannya. Tangannya bergerak pelan mengeruk ke dasar ransel, sambil memastikan tambang yang akan dipakainya untuk menggantung diri masih berada di sana. Dengan korek kayu dia menyalakan rokok kretek yang telah gepeng itu. Hisapan pertama terasa begitu nikmat, hisapan pertama dari rokok terakhirnya di kehidupan ini. Dokter selalu mengatakan rokoklah yang akan membunuhnya. Basir tidak pernah mempercayai omong kosong itu. Setiap kali dokter mengatakan itu dia selalu menceritakan kisah sahabatnya bernama Bejo. Bejo adalah penagih hutang kelas wahid pada masanya. Bejo tidak pernah merokok, Bejo selalu minum susu setiap hari, makan telur mentah dan bubur kacang hijau. Hanya makan dan berolahraga yang dilakukan bejo selain menagih hutang. Suatu hari Bejo terjatuh dari atap rumah ketika membetulkan antena TV. Lehernya patah, Bejo meninggal saat itu juga.

Benar-benar nikmat rokok terakhir ini, Basir kembali berucap dalam hati. Tak akan ada lagi kenikmatan seperti ini. Mungkin di kehidupan sesudah mati dia akan bertemu lagi dengan rokok ketika algojo neraka mematikan rokok ke bola matanya.

Lamunannya kembali berlanjut. Tahap selanjutnya adalah dongeng hitam yang sering terjadi di Jakarta. Dengan menghalalkan segala cara dia merintis jalan bergelimang dosa menuju kejayaan. Menjelma dari gembel yang sering terperangkap di dinginnya malam, menjadi jutawan yang tidur di ranjang empuk bersama wanita-wanita cantik. Satu hal yang diyakininya, ketika seseorang berada di dunia putih, musuh akan datang dari dunia hitam. Namun ketika seseorang berada di dunia hitam, musuh akan datang dari kedua sisi, hitam dan putih. Di dunia itulah dia pernah hidup, mereguk segala macam kenikmatan dunia tanpa pernah merasa puas, merangkai kegembiraan-kegembiraan sesaat secara terus-menerus, dan menurutnya itulah kebahagiaan. Dunia yang para penghuninya mendapatkan pengakuan dari kekejaman. Mereka berpakaian rapi kemanapun, bermain golf atau melakukan hal-hal berkelas untuk memperlihatkan bahwa mereka bermartabat, sedangkan di dalam diri hanyalah jiwa-jiwa binatang yang tak pernah sungkan untuk memakan sesamanya.

Dan pada suatu hari yang naas semua miliknya hilang begitu saja. Tak berbekas. Dia tidak dibunuh, tapi dipaksa menjalani kehidupan yang lebih buruk daripada kematian. Rumahnya dibakar, simpanan uangnya dirampok, gudang barang haramnya digerebek, kemudian polisi menjebloskannya ke dalam penjara. Setelah di dalam penjarapun orang-orang dibayar untuk menyiksanya. Dia tak pernah mengerti sepenuhnya apa yang terjadi, yang dia tahu seseorang telah mengkhianatinya, dan seseorang lagi telah membalaskan dendam padanya dengan cara yang sangat buruk. Dia tak pernah tahu siapa, seingatnya memang ada belasan manusia yang pantas membalaskan dendam padanya dengan sedemikian rupa.

Basir mendapati dirinya masih hidup ketika masa tahanannya berakhir, namun itu bukanlah sebuah keajaiban. Tubuhnya telah rusak karena penyakit dan siksaan, kewarasannya telah terkikis. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang, hanya karena tak tahu lagi ke mana harus melangkah.

Hari kepulangannya adalah hari yang sangat indah.
Selama perjalanan pulang yang terasa sangat panjang dia selalu menduga-duga, mungkin ibunya sudah meninggal, mungkin ibunya sudah lupa padanya, atau mungkin ibunya sudah membencinya, tak pernah menginginkannya untuk kembali.

Detik pertemuan kembali itu melintas di pikirannya, bersama semua yang terasa pada saat itu. Dia berdiri di halaman rumah kayu yang masih persis sama seperti saat ditinggalkannya, dan di sanalah ibunya, sedang mengayuh mesin jahit, menghadap ke jendela rumah yang terbuka lebar. Beberapa menit ibunya tak menyadari kehadirannya, terus mengayuh dan menatap ke arah jahitan yang sedang dikerjakan. Kemudian ibunya berhenti mengayuh dan mengangkat wajah. Wajah itu telah keriput. Yang tak pernah terbayangkan olehnya adalah kejadian selanjutnya. Ibunya langsung berlari keluar sambil meneriakkan namanya, kemudian memeluknya dengan erat. Kata-kata pertama yang diucapkan ibunya ditujukan kepada Tuhan. Ucapan terimakasih yang lantang dan berulang-ulang, karena anaknya telah kembali pulang.

Begitulah, ibunya kemudian merawatnya, menjual sedikit harta yang tersisa untuk membiayai pengobatan. Kehidupan berlanjut dengan bersahaja, tanpa banyak pengharapan, dengan secercah kebahagiaan. Penyakitnya tidak membaik, namun dia bisa menghiraukan segala yang mengusik raga karena jiwanya merasa nyaman.

Ternyata terlalu cepat baginya untuk merasa nyaman.

Pada suati pagi ibunya tidak pernah terbangun lagi dari tidur. Ibunya tidak sakit. Berhenti bernafas begitu saja. Meninggal dalam tidurnya dengan wajah yang tersenyum. Basir menangis keras sampai seisi kampung dapat mendengar tangisannya, tak berhenti bahkan sampai ibunya selesai dukuburkan. Badai terdahsyat dalam hidup menghantam jiwanya yang memang telah oleng. Kegelapan dan jelaga-jelaga menjijikkan kembali memeluk jiwanya. Berhari-hari dia mengumpat kepada Tuhan sambil mengurung diri. Meratap setiap saat, membenturkan kepala ke dinding, memukuli lantai, dan hanya berhenti setelah kehabisan tenaga. Sampai dua hari yang lalu semua terasa mencapai puncaknya, dan dia memutuskan untuk mati.

Alam nyata dan alam kenangan bertemu di titik itu. Di sinilah dia sekarang, bersandar pada sebatang pohon besar yang akan dipakainya untuk menggantung diri. Setetes air mata bergulir turun di wajahnya. Basir teringat pada ibunya. Pada saat terakhir ini Basir menyadari dari sekian banyak peyesalannya, hanya ada satu yang benar-benar pantas disesali, yaitu kenyataan bahwa dia tidak pernah membahagiakan ibunya. Hati kecilnya mengetahui ibunya sedang bersedih melihat apa yang dilakukannya. ‘Maafkan aku ibu’, Basir berucap dalam hati sambil menahan isak tangis. ‘Aku tak kuat lagi, seumur hidup aku telah menjadi manusia bejat dan durhaka, aku tak pernah membahagiakanmu, dan hal terakhirpun yang kulakukan adalah membuatmu semakin sedih’.

Akhirnya tak terbendung lagi. Lelaki malang itu menangis sambil menengadahkan muka. Bahunya berguncang seiring tangisan yang semakin keras. Kesunyian di tempat itu akhirnya terpecahkan. Kesedihan terakhir seorang manusia mengambang bersama kabut. Ratapan lirih melebur bersama senandung sendu alam gunung. Rimba raya menyaksikan lakon itu dalam hening, mengasihani tanpa bisa berbuat apa-apa.

Tiba-tiba sebuah suara memutus tangisannya.

Basir tertegun dan menajamkan pendengarannya. Suara itu kembali terdengar, lebih keras dari sebelumnya. Sekarang dia yakin suara itu bukanlah sekedar khayalan, juga bukan suara binatang, atau suara-suara lain yang berasal dari alam. Otaknya sudah dilambatkan oleh kehidupan berat belakangan ini, suara itu terasa akrab, namun sulit dikenalinya. Kali ketiga mendengar barulah dia mengenali suara itu. Itu adalah suara teriakan yang tertahan, berasal dari belakang pohon yang disandarinya. Susah payah Basir mencoba bangkit dari duduknya, kemudian berjalan terhuyung-huyung ke arah datangnya suara itu. Tanaman-tanaman liar disibakkan untuk menciptakan jalan. Cukup lama dia merangsek maju dengan cara itu, kemudian memanjat sebuah gundukan dan menemukan lagi tanah yang datar, menembus hamparan luas belukar yang berujung pada kerumunan pohon-pohon raksasa. Sebuah bekas api unggun yang ditemuinya mengisyaratkan bahwa tempat ini baru saja dijamah oleh manusia. Kabut ternyata telah menjalar ke rusuk-rusuk terdalam pegunungan, dan daun-daun rimbun membuat suasana semakin gelap. Suara itu terdengar lagi, menarik penglihatannya pada sebuah pemandangan yang mengejutkan.

(ternyata kepanjangan untuk satu post sodara2, saya lanjutkan pada post berikutnya....)
Diubah oleh pablo escobar 19-10-2014 21:29
0
4.2K
53
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.1KThread83.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.