WALAUPUN kedua matanya buta, namun Kek Rasmito (57 tahun) tidak berputus asa. Untuk menyambung hidup dan memenuhi kebutuhan keluarganya, pria yang tinggal di Desa Ciparepare Timur, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam ini, sehari-hari melakoni pekerjaan memanjat kelapa. Kondisi fisik dan kedua matanya yang buta, tentu pekerjaan memanjat kelapa suatu yang penuh resiko. “Tapi harus tetap bekerja, kalau tidak bagaimana saya harus memenuhi kebutuhan hidup keluarga,” kek Rasmito yang disambangi Serambinews,com di rumahnya Sabtu (5/1/2012). Suami Lijah (52) yang sudah memiliki tiga cucu dan tinggal di rumah eks transmigrasi ini, dengan kondisi kebutaan setiap minggu harus memanjat pohon kelapa dan pinang. Dari hasil memanjat itulah yang dibawa pulang ke rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Rasmito sudah 18 tahun bermukim di Ciparepare, Timur, Kecamatan Sultan Daulat Kota Subulussalam. Kerasnya hidup di Jawa, membuat pria beranak tiga ini mengadu nasib ke Aceh. Ketika masih di Jawa, Rasmito bekerja sebagai penjual kayu bakar. Setiap hari dia harus memikul kayu bakar untuk dijual seharga Rp 1.000 dan itu tidak sebanding dengan jerih payahnya. Tahun 1994, Rasmito pun memboyong isteri dan tiga anaknya untuk mengadu nasip ke Aceh. Mereka bermukim di Desa Ciparepare yang dulunya permukiman transmigrasi. Di kawasan itu Rasmito mendapat sebidang tanah yang saat ini dijadikan lahan usaha dengan menanam enam pohon kelapa dan sekitar 20 pohon pinang. Semua pekerjaan itu dilakukan meskipun dia sama sekali tak bisa melihat. Untuk bertahan dan bisa terus menyambung hidup, Rasmito juga menerima tawaran membabat di kebun warga. Namun saat ini kondisi fisiknya yang makinmelemah, pekerjaan membabat rumput sudah tidak bisa dijalani. Satu-satunya lahan pekerjaan hanya dari hasil pohon kelapa dan pinang yang ada di perkarangan rumahnya. Begitu pun Rasmito mengaku masih memanjat sendiri untuk memetik buah kelapa dan pinang miliknya. Pekerjaan memanjat bukan lagi yang menakutkan bagi Rasmito meski kedua matanya tak bisa melihat. Pekerjaan itu ia lakoni sejak puluhan tahun.Dengan cara meraba, Rasmito bisa mengetahui jenis kelapa tua atau muda. Begitu pula dengan pinang. “Kalau kelapa yang tua di bagian ujung dan pinang paling bawah, itu saja tandanya. Kemarin saya petik lima puluh butir, dijual seharga seribu per butir jadi dapat lima puluh ribu, bayar listrik Rp 40.000, jadi sisanya buat belanja,” tutur Kek Rasmito. Kepiawaiannya memanjat kelapa atau memotong rumput juga mengerjakaan pekerjaan seperti orang melek, membuat salut warga sekitar. “Dia mengambil rumput pakan ternak dengan cara mengarit seperti orang normal. Bahkan bisa memilih rumput yang disukai oleh ternak. Begitu juga saat membabat rumput, dengan kondisi tidak bisa melihat, bisa membedakan mana rumput dan tanaman,” tutur M.Nurdin, seorang tokoh agama di Cipare-Pare Timur. Bagi kek Rasmito, pekerjaannya memanjat kelapa atau menerima upah dengan membabat rumput lebih mulia ketimbang mengemis di jalan. ”Ada yang menyarankan saya agar ke pasar Terminal Subulussalam meminta-minta. Tapi saya malu. Bahkan dulu pernah saya duduk nunggu teman di terminal terus ada yang ngasih uang, tapi saya tolak karena saya bukan peminta-minta,” kata Rasmito yang saat ditemui mengenakan baju kaos warna merah yang mulai kusam dan peci hitam yang tampak supak. Rasmito bersama istrinya Lijah (52) saat ini inggal di sebuah gubuk berukuran 6×6 meter itu. Dia mengaku ingin memiliki usaha lain yang tidak berisiko, seperti ternak kambing. Namun dia tidak memiliki modal. Jangankan modal usaha, untuk memperbaiki gubuk mereka yang beberapa waktu lalu hampir rubuh akibat tanahnya longsor, sampai saat ini tidak ada uang. Gubuk berlantai tanah merah itu dibangun atas bantuan warga. Namun kondisinya makin reyot akibat tergerus usia. Hanya satu lemari tua yang menjadi tempat sang kakek dan nenek menyimpan sedikit dari pakaian mereka. Namun bagi Rasmito tidak akan mengemis, karena itu membuatkan harga dirinya menjadi terhinakan. Dan kondisi fisiknya makin rentah dengan kebutaan kedua matanya, tidak pernah membuat Rasmito menyerah apalagi mengeluh pada keadaan. Dia terus bekerja untuk melanjutkan hidup