TEMPO.CO, Jombang - Kontroversi penghapusan kolom agama dalam kartu tanda penduduk dapat menjadi bola politik yang mengganggu pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pendapat ini disampaikan Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi.
"Pasti banyak protes dan akan menjadi beban pemerintah, karena masih banyak yang harus diurus," kata Hasyim seusai acara silaturahmi Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur dengan ulama se-Jawa Timur di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Senin, 10 November 2014. (Baca berita lainnya: MUI: KTP Kosong Agama Sulitkan Penanganan Jenazah)
Hasyim meminta kolom agama dalam KTP tidak dihapuskan kecuali atas permintaan pemiliknya sendiri. "Negara jangan menghilangkan identitas agama dalam KTP. Itu rawan dan akan terjadi banyak masalah," kata kiai yang pada kampanye lalu mendukung calon presiden Joko Widodo. "Kalau memang ada yang tidak ingin menggunakan kolom agama, bisa meminta resmi supaya tidak dicantumkan. Jangan negara yang menghilangkan identitas agama."
Penghapusan kolom agama di KTP masih menjadi kontroversi. Pihak yang setuju penghapusan beralasan lebih baik dikosongkan untuk mengakomodasi masyarakat yang menganut agama dan aliran kepercayaan yang tidak diakui pemerintah. Ada juga yang setuju semua identitas agama dan kepercayaan pemilik KTP dicantumkan meski menganut agama dan kepercayaan selain yang diakui pemerintah.
Pendapat lain mengatakan identitas agama pemilik KTP penganut enam agama yang diakui pemerintah tetap dicantumkan. Sedangkan kolom agama pemilik KTP yang menganut selain enam agama tersebut dikosongkan. Enam agama yang diakui pemerintah antara lain Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Pilkada di 203 Daerah Serentak Oktober 2015
Kamis, 21 Agustus 2014 , 00:53:00
JAKARTA - Pemerintah dan DPR optimistis pengesahan RUU Pilkada yang sudah dibahas selama dua tahun lebih itu akan segera disahkan pada September 2014 atau sebelum habisnya masa kerja DPR periode 2009-2014. Jika target tidak meleset, sesuai ketentuan di rumusan RUU pilkada itu, maka pelaksanaan pilkada di 203 daerah di Indonesia pada 2015, akan dilakukan serentak pada Oktober 2015. "Rencananya serentak itu bulan Oktober 2015," ujar Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Djohermansyah Djohan, kepada JPNN di Jakarta, kemarin (20/8).
Penentuan jadwal pilkada serentak dipilih Oktober 2015, dengan pertimbangan bahwa begitu RUU pilkada disahkan menjadi UU, maka perlu penjabaran lebih detil dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan beragam bentuk aturan teknis lainnya, termasuk juga peraturan KPU. Perumusan aturan penjabaran UU pilkada itu memerlukan waktu beberapa bulan. Dengan demikian, ada waktu tahapan yang cukup sebelum pemungutan suara pilkada serentak Oktober 2015. "Dengan sendirinya tahapan baru akan mulai paling cepat Februari 2015," ujar Djohermansyah.
Djohermansyah menyebut, pilkada serentak gelombang pertama Oktober 2015 ini dilakukan 203 daerah. Selanjutnya, pilkada serentak dilakukan lagi pada 2018, dilakukan 285 daerah. "Jadi, akan ada Pilkada serentak grup I sebanyak 203 daerah untuk pemilihan gubernur dengan bupati. Jadi kalau RUU Pilkada ini disahkan bulan depan tentunya akan mengurangi biaya dan konflik politik. Sedangkan Pilkada serentak grup II pada 2018 untuk 285 daerah,” papar Prof Djo, panggilan akrabnya.
Berikutnya, pada 2020 akan digelar Pilkada serentak menyeluruh (nasional) untuk 539 kabupaten/kota termasuk provinsi, kecuali daerah Istimewa Yogyakarta. Posisi terakhir pembahasan RUU pilkada, masih alot dalam memutuskan pengisian kursi wakil kepala daerah. Namun, sudah mengerucut pada satu opsi, yakni kepala daerah-wakil kepala daerah tidak dalam satu paket.
Perdebatan di Panja berkutat pada masalah, apakah wakil itu nantinya dipilih kepala daerah terpilih dari unsur parpol atau dari kalangan birokrat alias PNS. "Wakil kepala masih pada opsi tidak satu paket, dipilih langsung oleh kepala daerah terpilih serta dari parpol atau PNS? " ujar Ketua Panja RUU Pilkada Abdul Hakam Naja, di gedung DPR, Selasa (19/8). Selain itu, menurut politisi PAN itu, anggaran Pilkada selama ini dari APBD, maka kedepannya harus dari APBN. Alasannya, kalau anggarannya dari APBD seperti kasus Pilkada Lampung, maka masih banyak yang bersikeras Pilkada digelar tanpa perlu serentak.
http://www.jpnn.com/read/2014/08/21/...-Oktober-2015-
APBD DKI 2014: Penyerapan Rendah, Ahok Tanggapi dengan Santai
Kamis, 06 November 2014, 01:43 WIB
Bisnis.com, JAKARTA - Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Basuki Ahok Tjahaja Purnama menanggapi santai beberapa dinas yang penyerapannya anggarannya rendah. Menurutnya, hal ini dikarenakan dinas-dinas tersebut kerap mengklaim tidak adanya harga per komponen saat melakukan pengadaan barang jasa.
Untuk menghindari penggelembungan anggaran, Ahok pun melarang para SKPD untuk menyerap anggaran apabila tidak ada harga satuan. "Enggak apa-apa, dibiarin aja. Itu kan karena mereka mengklaim tidak ada harga satuan. Makanya saya bilang kalau enggak ada harga satuan ya enggak usah diserap daripada enggak bener," kata Ahok di Balai Kota, Rabu (5/11/2014).
Mantan Bupati Belitung Timur ini pun realistis terhadap penyerapan APBD 2014. Ahok mengatakan penyerapan tahun ini diperkirakan maksimal hanya 65%. "Penyerapan anggaran kita tahun ini, saya pikir paling mentok hanya bisa sampai 65% saja," terangnya.Seperti diberitak dinas-dinas yang penyerapannya sangat rendah antara lain Dinas Perhubungan yang baru menyerap sekitar 3,7%, Dinas Pertamanan dan Pemakaman yang baru menyerap 7,7%, dan Dinas Pekerjaan Umum yang baru menyerap 9%.
Hingga akhir Oktober 2014, penyerapan baru mencapai sekitar 30% di mana angka tersebut lebih rendah dibandingkan
penyerapan Oktober 2013 yang mencapai 44%. Walaupun demikian dari nilai penyerapan lebih tahun ini lebih tinggi karena APBD 2014 sebesar Rp72,9 triliun, sedangkan APBD 2013 sebesar Rp40,79 triliun.
Sementara itu, dua dinas tercatat berkinerja baik dengan serapan tinggi, yaitu Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan. Dinas Pendidikan mampu menyerap anggaran hingga 56% dari total anggaran Rp13 triliun. Serapan anggaran dua dinas tersebut tinggi karena program-programnya termasuk biaya langsung Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Sehat (KJS).
http://jakarta.bisnis.com/read/20141...-dengan-santai
Bambang PS Brodjonegoro:
Daya Serap Anggaran Rendah Masalah Desentralisasi Fiskal Daerah
JANUARI 21, 2009
Jakarta (ANTARA News) – Ekonom UI, Bambang PS Brodjonegoro menyatakan bahwa daya serap anggaran yang rendah di daerah-daerah merupakan masalah utama yang harus diatasi dalam konteks desentralisasi fiskal.“Penyerapan yang rendah, yang ditunjukkan dengan sisa anggaran lebih yang cukup banyak, adalah masalah utama yang harus diatasi dalam konteks desentralisasi fiskal sebelum bicara basis pajak daerah dan lainnya,” kata Bambang di Jakarta, Kamis.
Ia menyebutkan, adanya sisa anggaran lebih hingga mencapai Rp45 triliun dari seluruh daerah di Indonesia pada tahun lalu merupakan jumlah yang tidak sedikit. “Mengapa uang sebanyak Rp45 triliun tidak terpakai, padahal dampak ekonominya kan besar sekali, dan harusnya mengena langsung ke masyarakat,” katanya.
Bambang mengidentifikasikan, rendahnya penyerapan anggaran di daerah itu karena sejumlah faktor seperti pengesahan APBD yang terlambat sehingga waktu pelaksanaannya terbatas. Penyebab lainnya adalah perencanaan yang lemah seperti tidak mampu menyusun program yang selesai dalam setahun, dan ketakutan terhadap tindakan hukum.
Menurut Bambang, tidak tertutup pula kemungkinan adanya kesengajaan daerah untuk menyimpan dananya di bank daerah sehingga memperoleh bunga atau fee dari bank. “Daripada susah-susah bikin proyek terus tidak ada uang masuk, mendingan uang ditaruh di bank dan nanti mendapat bunga yang akan menjadi pendapatan lain-lain di APBD, sehingga seolah-olah APBD berprestasi karena adanya tambahan PAD,” katanya.
Menurut dia, solusi atas berbagai masalah itu antara lain perlunya sanksi pemotongan/penundaan transfer dana jika pengesahan APBD terlambat, dan perbaikan perencanaan oleh daerah.
Masalah kepastian hukum dapat diatasi dengan mengajak aparat hukum di daerah untuk saling mengetahui mana-mana yang benar yang harus dilakukan, sehingga tidak terjadi yang benar justru disalahkan. “Namun sebenarnya kuncinya ada di masyarakat melalui DPRD. Mereka harus mengontrol ketat agar dana terserap lebih cepat. Ini harusnya menjadi alat evaluasi bagi DPRD,” kata Bambang
http://syukriy.wordpress.com/2009/01...fiskal-daerah/
Kemendagri: 650 Ribu Ormas Tak Terdaftar
Jumat, 15 Juni 2012 10:52
JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) mencatat baru sekitar 65 ribu organisasi kemasyarakatan (Ormas) yang terdaftar di seluruh kabupaten, kota dan provinsi di Indonesia. Tapi parahnya, yang tidak terdaftar justru 10 kali lebih banyak.
Data tersebut diungkap Kasubdit Ormas Ditjen Kesbangpol Kemendagri, Bachtiar saat menjadi narasumber dalam diskusi Dialektika Demokrasi bertema "Tarik Ulur RUU Ormas", di press room DPR, gedung Nusantara III, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Kamis (14/6). Menurutnya, di Kesbangpol kota, kabupaten dan provinsi di seluruh Indonesia sudah tercatat sekitar 65 ribu ormas. "Tapi yang belum terdaftar diperkirakan sekitar 10 kali atau 650 ribu ormas," ungkapnya.
Dijelaskannya, banyaknya ormas yang belum terdaftar itu diakibatkan Kemendagri tidak mempunyai regulasi untuk mendatarkan ormas. Karenanya pula Kemendagri mendorong revisi UU Ormas. "Kalau ada regulasi dan Ormas tidak mendaftar, ya tidak apa-apa karena dalam RUU Ormas ada kewajiban Pemerintah untuk mendatanya. Artinya Pemda punya hak insiatif untuk mendaftarkan Ormas sehingga Ormas tetap berjalan sesuai dengan niat baiknya yaitu kemanusiaan dan nirlaba," imbuhnya.
Selain itu Bachtiar juga mengungkap adanya sejumlah Ormas di daerah-daerah yang berpraktik layaknya sebagai penyidik. Namun demikian belum diketahui pihak di belakang ormas yang berlaku seperti penegak hukum itu. "Ada Ormas di daerah-daerah melakukan tugas layaknya penyidik di kejaksaan. Di sisi lain, hukum tidak memberikan ruang bagi pemerintah untuk menuntut Ormas yang melenceng," ujar Bachtiar
http://www.metrojambi.com/v1/nasiona...terdaftar.html
Kemendagri: Baru 65 Ribu LSM yang Terdaftar
Selasa, 23 April 2013 , 22:55:00
JAKARTA - Direktur III Ditjen Kesbangpol Kemendagri, Budi Prasetyo mengatakan hingga April 2013 ada sekitar 65 ribu organisasi kemasyarakatan (Ormas) yang terdaftar di Kementerian Dalam Negeri. Yang tidak terdaftar menurut Budi Prasetyo, pasti jauh lebih banyak. "Hingga April 2013 ini baru 65 ribu LSM yang terdaftar di Kementerian Dalam Negeri. Yang belum terdaftar, pasti jauh lebih banyak," kata Budi Prasetyo, di press room DPR, komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (23/4).
Dari jumlah tersebut lanjutnya, Kemendagri juga mencatat sekitar 172 kasus LSM yang baru tertangani secara hukum. Namun, belum satu pun yang diberi sanksi karena prosedur penyelesaiannya memerlukan tindakan khusus. "Kalau digunakan Undang-Undang nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang lahir di era orde baru, jelas akan bertentangan dengan UUD 45 khususnya Pasal 28 Ayat A hingga I serta undang-undang terkait lainnya," ungkap Budi Prasetyo.
Di dalam UU nomor 8 tahun 1985 tentang Ormas, pemerintah berwenang untuk membubarkan Ormas yang dinilai bersalah tanpa melalui pengadilan. "Kalau UU tersebut dipakai, pemerintah bisa dituding antidemokrasi dan melanggar hak asasi manusia dalam bentuk berserikat dan berkumpul. Ini memang sangat dilematis," tegas Budi Prasetyo.
Dia jelaskan, kalau RUU Ormas bisa disetujui DPR menjadi UU sesungguhnya bisa menjadi jawaban atas kebuntuan regulasi terhadap Ormas yang saat ini terjadi karena Pasal 28 huruf J dalam UUD 45 juga ada perintah agar pemerintah mengatur peran dan fungsi Ormas melalui UU agar keberadaan Ormas memberikan kontribusi positif terhadap negara. "Salah satu pasal yang cukup demokratis dalam RUU Ormas terkait proses pemberian sanksi terhadap Ormas yang diduga melakukan kesalahan yakni harus diproses melalui jalur hukum di Mahkamah Agung (MA) atau melalui Musyawarah Pimpinan Daerah kalau Ormas tersebut di luar Ibukota Jakarta," ungkap Budi Prasetyo.
Terakhir dikatakannya, UU nomor 8 tahun 1985 tentang Ormas merupakan paket undang-undang politik. Undang-undang terkait lainnya sudah mengalami perubahan sesuai dengan amandemen konstitusi kita. "Hanya UU nomor 8 tahun 1985 tentang Ormas itu saja yang belum mengalami perubahan," tegasnya
http://www.jpnn.com/read/2013/04/23/...ang-Terdaftar-
Puluhan Ribu Ormas Keuangannya Nggak Mandiri
Rawan Ditunggani Kepentingan Asing
Senin, 28 Januari 2013 , 09:11:00 WIB
RMOL.Hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyebutkan, 50 persen organisasi sosial kemasyarakatan belum memiliki kemandirian dalam keuangannya. Setiap tahunnya pendirian ormas selalu meningkat. Tapi banyak yang tidak bisa bertahan lama. Namun demi mendapatkan anggaran tidak sedikit yang mempertahankan keberadaannya dengan berbagai cara, termasuk yang melanggar hukum dan meresahkan masyarakat. “Masalah keuangan dan anggaran operasional menjadi kendala utama. Akibatnya, eksistensi ormas putus nyambung-putus nyambung,” kata Kasubdit Ormas pada Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik (Dirjen Kesbangpol Kemendagri) Bachtiar kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, pekan lalu.
Bahkan, ada ormas yang kegiatan operasionalnya didanai asing. Dalam jangka panjang tentu bisa membuat tidak independen
Semakin banyak jumlah ormas semestinya membuat sistem demokrasi dalam sebuah negara semakin baik. Dalam kenyataannya keberadaan ormas belum maksimal memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat, serta menjalankan fungsi kontrol sosialnya. “Banyak ormas yang belum paham bagaimana caranya berorganisasi,” ucapnya.
Kemendagri mencatat, saat ini ada 65.577 ormas yang terdaftar. Tapi hanya setengahnya saja yang benar-benar menjalankan prinsip organisasi sosial kemasyarakatan. Makanya dengan disahkan RUU Ormas, diharapkan mampu mendukung pendirian ormas yang profesional, mandiri, dan akuntabel. Untuk membantu kondisi keuangan ormas, Kemendagri sudah melakukan sosialisasi kepada pihak swasta untuk ikut serta melalui pelibatan dalam program CSR (corporate social responsibility). “Melalui program ini diharapkan dapat menumbuhkan kemandirian ormas,” ujarnya.
Selain itu untuk mendeteksi keberadaan ormas, Kemendagri melakukan pendataan dan mengimbau kepada seluruh ormas segera mendaftarkan keberadaannya. Dari situlah Kemendagri nantinya bisa mengetahui bidang, kompetensi, dan gerakan setiap ormas. Pemerintah juga akan lebih mudah melakukan program kemitraan dan pembinaan. “65.577 itu bukan angka yang pasti. Masih banyak ormas yang belum mendaftarkan secara resmi. Bagaimana kita membantu pemberdayaan ormas, kalau kelembagannya saja tidak diketahui,” tuturnya.
Dikatakan, pemerintah sudah menganggarkan Rp 36 miliar untuk program pemberdayaan ormas. Besar dana itu sama dengan tahun lalu. Hanya saja untuk tahun ini bukan dalam bentuk hibah, melainkan anggaran program kemitraan dan pembinaan ormas. “Mungkin bisa dikatakan dana stimulan,” ucapnya. Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Dirjen Kesbangpol) Kementerian Dalam Negeri Tanri Bali Lamo mengatakan, keberadaan ormas diharapkan mampu menjalankan program-program pemerintah seperti ekonomi, keagamaan, sosial dan politik dan mensosialisasikan Pancasila. “Fungsi utamanya menolong manusia disekitarnya. Mengisi ruang-ruang ketidakmampuan negara untuk hadir setiap saat dalam menjalankan peran-perannya sebagai pemerintah. Itu yang harus dilakukan ormas,” terangnya.
Tanri mencontohkan, Himpunan Kerukunan Petani Indonesia (HKPI) yang aktif di bidang pertanian. HKPI sudah terdaftar di Kemendagri yang aktif memberdayakan masyarakat. HKPI diberikan program oleh Kementerian Pertanian. “Hanya karena mereka di pedesaan sehingga tidak terlalu terekspos ke publik,” ujarnya. Dengan banyaknya Ormas menunjukkan peran serta masyarakat membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. “Ormas jangan malah menimbulkan keresahan masyarakat dan disharmoni sosial. Apalagi melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum dan kekerasan. Itu yang harus dihindari,” pintanya.
Oleh karena itu, pemerintah terus mendorong melalui RUU Ormas agar ormas dapat memberdayakan masyarakat, terutama mengatasi masalah kemiskinan. “LSM itu kan dianggap civil society, harusnya memberdayakan masyarakat,” tukasnya. Ormas merupakan potensi bangsa secara teoritik diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat. Terkait pemberdayaan ormas, pemerintah tidak mau lepas tangan terhadap potensi masyarakat yang besar itu. Makanya, Kemendagri terus melakukan pembinaan kepada ormas secara umum sebagai bentuk memberdayakan masyarakat.
Terpisah, Juru Bicara Kemendagri Reydonnyzar Moenek membenarkan, tidak ada dana bantuan/hibah untuk ormas, yang ada adalah program kemitraan/kerjasama dalam rangka meningkatkan partisipasi publik termasuk ormas/LSM/perguruan tinggi/civil soceity untuk ikut serta mendukung peningkatan kinerja penyelenggaraan pemerintah. Dasar hukum program tersebut adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019, Permendagri Nomor 44 Tahun 2009 junto Permendagri Nomor 39 Tahun 2011 tentang kerjasama Kemendagri dan pemda dengan ormas/lembaga nirlaba lainnya dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang kesatuan bangsa dan politik dalam negeri. Program yang mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp 36 miliar tersebut dilaksanakan sesuai prinsip-prinsip akuntabilitas program pemerintahan.
http://www.rmol.co/read/2013/01/28/9...Nggak-Mandiri-