- Beranda
- Catatan Perjalanan OANC
[CATPER] Menggigil di Gunung Bromo, Menggelinjang di Pulau Sempu 02-11-2011
...
TS
Justape
[CATPER] Menggigil di Gunung Bromo, Menggelinjang di Pulau Sempu 02-11-2011
Thread ini di prakarsai oleh
Quote:
A. Nyanyian Kala Senja di Lautan Pasir Bromo
Siang itu tanggal 2 November 2011 cuaca cukup cerah pada siang yang merambat sore, sekitar pukul 13.30 WIL (Waktu Indonesia Lumajang), mengawali dari desa Jati Roto Lumajang Jawa timur, saya memacu kendaraan menuju kawasan Gunung Bromo dengan motor bebek yang saya dapat dari kemurahan hati pemilik kendaraan yang menawarkan kendaraannya yaitu sepasang pengantin baru dimana kedua sejoli itu juga, terlebih sang pengantin pria merupakan sahabat karib saya.
Suhu masih cukup terik ketika saya sudah melaju cukup kencang di Jalanan, baru sekitar tak jauh dari kawasan perbatasan Lumajang-Probolinggo cuaca berubah, hujan mulai menyergap saya diperjalanan. Turunnya hujan yang cukup lebat tak serta merta mensurutkan keinginan saya tuk berusaha mendekati areal Gunung Bromo, saya hanya berhenti sejenak untuk memakai jas hujan yang ada di bagasi motor kemudian melanjutkan perjalanan kembali dibawah guyuran hujan. Memang selama perjalanan mendekati Gunung Bromo saya sempat berhenti beberapa kali namun tidak lama, beberapa diantara faktor penyebabnya, selain perubahan cuaca juga faktor kehilangan orientasi petunjuk arah ketika bertemu jalan yang bercabang sehingga sayapun mengantisipasinya dengan berhenti sejenak untuk mencari informasi perihal petunjuk jalan yang mesti saya lalui melalui masyarakat yang saya temui di pinggir jalan. Selain diawali dengan doa, dibutuhkan tekad dan mental (ikhtiar) yang kuat juga ketika dalam menjalanani suatu proses yang mempunyai tujuan, dihadapkan pada beberapa hal yang bisa memperlemah bahkan memadamkan tekad dan mental kita untuk bisa mencapai apa yang ingin kita capai. Oleh sebab itu menjaga niat, tekad dan mental agar tetap menyala merupakan hal yang vital dalam kita mencapai suatu tujuan yang kita inginkan.
Hujan disertai angin masih cukup deras menerpa tubuh saya yang mengendarai motor dengan tingkat waspada yang tinggi di sepanjang ruas jalan aspal masih di dalam wilayah purbolinggo, tepatnya ketika akan akan memasuki daerah Sukapura yang sudah mulai meliuk-liuk lagi menanjak dengan sesekali dibeberapa bagian ruas jalan yang dilewati, sisi dikedua tepi jalan merupakan jurang yang menganga namun sayangnya dibeberapa bagian tidak terdapat bangunan pembatas dan pengaman sehingga akan sangat fatal akibatnya apabila pengendara yang melintasi jalur tersebut tergelincir yang mengarah ke sisi jalan. Barulah setelah memasuki Sukapura yang dilihat karakteristik alamnya sudah berada di areal yang cukup tinggi dipegunungan, hujan tidak lagi menerpa saya. Namun udara sudah mulai terasa dingin menusuk pori-pori kulit, dikanan kiri terhampar badan pegunungan dengan relief-relief punggungan yang seperti ulir untuk pengocok telur dengan didominasi warna hijau dari beragam pohon yang tumbuh disana dan dipercantik dengan konfigurasi dari petak-petak lahan perkebunan yang berjejer rapi dengan beberapa bagian lahan lainnya merupakan pemukiman rumah penduduk. Sungguh suatu kolaborasi penataan letak dengan suguhan panorama alam yang memanjakan mata untuk sekedar memandangnya. Dari sini perasaan bahwa saya berada disuatu alam dengan nuansa yang asing namun meneduhkan mata dan jiwa mulai merasuk kuat dalam diri saya. Hal itu sering teralami, walaupun pengalaman berada di areal pegunungan bukan kali ini saja, apakah hal ini lah yang justru membuat saya atau mungkin sama yang orang lain rasakan ketika kerap rindu untuk ke Gunung dan merasakan sensasi seperti itu? Suatu perasaan yang kompleks untuk di beberkan secara detail....
Udara bertambah dingin dengan terpaan angin sore yang semilir, diufuk barat terpampang spektrum warna senja yang menyeret perasaan saya ke nuansa dimensi romantika lampau yang klasik ketika saya berhasil menambah ketinggian perjalanan saya (masih) melalui jalan yang beraspal selama kurang lebih 3 jam dari awal keberangkatan, sehingga akhirnya saya berhasil mencapai suatu areal di desa ngadisari, areal yang merupakan tempat yang populer dengan view (pandangan mata) yang luas dan cukup strategis untuk melihat keindahan panorama alam Gunung Bromo yang disampingnya juga berdiri dengan gagah dan kokoh Gunung Batok dengan hamparan padang berpasir yang melingkupi sekaligus menjadi alas di areal di antara Gunung-gunung yang berada di sekitar Bromo.
Gunung Bromo dengan ketinggian 2.329 MDPL (Meter Diatas Permukaan Laut) merupakan sebuah Gunung bertipe vulkanik yang ditandai dengan dikawasan puncaknya terdapat kawah yang masih aktif mengeluarkan asap, menunjukan bahwa gunung ini masih aktif dan fluktuatif beraktifitas sebagai gunung bertipe vulkanik. Bahkan beberapa waktu yang lalu sebelum saya ke areal kawasan Bromo, kawasan tersebut beberapa kali di tutup dan terlarang sementara bagi pengunjung yang ingin mendekatinya dikarenakan aktifitas vulkanik dari Bromo sedang dalam tahap yang mengkhawatirkan bagi keselamatan pengunjung dari luar kawasan maupun masyarakat yang berada dekat dari Bromo. Terlepas dari fenomena alam yang melingkupi histori Gunung Bromo terkait konsekuensinya sebagai gunung berkarakter vulkanik, bisa terkompensasi dengan nilai yang setara di sisi lainnya seperti aura hipnotis yang membuat decak kagum di iringi perasaan yang teduh dan lembut yang dihadirkan oleh suasana alam berpadu dengan nuansa lokal dari masyarakat sekitar Bromo yang didominasi dan lebih dikenal dengan masyarakat Suku Tengger yang konon menurut beberapa versi cerita yang berkembang yang diantaranya asal usul Suku Tengger merupakan pelarian dari sebagian masyarakat zaman kerajaan Majapahit dahulu kala dengan beragam alasan dan motif yang mengerakan kejadian tersebut.
Setelah sempat mengambil dokumentasi baik itu berformat foto maupun video yang saya ambil sendiri dengan handy cam punya sendiri (hehehehe,akhirnya setelah sekian lama..), dengan latar belakang Gunung Batok dan Bromo walaupun udara saat itu sudah cukup membuat saya sesekali menggigil karena suhu mulai bertambah dingin ketika beranjak senja yang ditandai oleh semburat lembayung senja berwarna merah ke-emasan di atas langit Bromo, lalu kabut mulai terbentuk di beberapa bagian kawasan Bromo tidak membuat saya untuk segera meninggalkan kawasan tersebut untuk kembali ke Lumajang, bahkan sebaliknya saya merasa tanggung untuk lebih mendekat lagi ke Bromo, walaupun saat itu posisi saya yang berada di atas punggungan diareal desa Ngadisari sudah terbilang cukup dekat dengan Bromo. Lalu saya putuskan untuk turun ke lautan pasir dikawasan padang pasir Gunung Bromo. Dengan tekad masih membara diantara sergapan udara dingin dan pencahayaan alam alami yang mulai redup di kawasan Bromo, saya mulai menyusuri jalan aspal menurun nan berkelok yang berada di tubuh punggungan yang berujung di areal pasir yang luas dan datar, tak butuh waktu lama namun tetap hati-hati saya sudah berada di lautan pasir Bromo dengan tunggangan saya yang beroda dua, lalu sayapun berusaha mengeksplorasinya dengan berusaha mendekati areal yang terdapat bangunan Pura (tempat ibadah umat Hindu) yang terletak tepat tak jauh dari kaki gunung Bromo. Sewaktu saya sedang asyik mendokumentasikan moment di padang pasir tersebut yang tak jauh dari Pura, terlihat sesosok bapak-bapak penunggang kuda mendekati saya yang kemudian saya tahu dari beliau bahwa beliau merupakan salah satu masyarakat sekitar yang tergabung dalam paguyuban penyedia jasa transportasi kuda bagi pengunjung yang ingin mengeksplorasi areal berpasir di Bromo. Setelah saling bertegur sapa, bapak itu kemudian menawarkan jasanya mengantarkan saya dengan menaiki kudanya mendekati kaki Gunung Bromo dimana disitu terletak gerbang bagi pengunjung untuk menaiki tangga yang akan menghantarkan pengunjung ke kawasan puncak dan melihat kawahnya. Beliau menjelaskan untuk biaya transportasi sekaligus guide dari beliau sebesar Rp. 100.000,- pulang pergi. Saat itu kondisi uang saku yang saya bawa sebenarnya cukup untuk nominal yang disebutkan, namun mengingat dan mempertimbangkan bahwa saya masih ada satu tujuan lokasi wisata lagi yang keesokan harinya akan saya tuju dan saat itu hari sudah mulai menjelang maghrib, akhirnya saya mengambil jalan kompromis untuk tetap bisa memakai jasa bapak tersebut, dengan belajar mengendarai kuda berputar-putar kecil di areal tak jauh dari titik saya bernegoisasi. Akhirnya setelah bernegoisasi, dengan tarif Rp.20.000,- dengan dipandu dan didokumentasikan lewat video dari handy cam milik saya oleh bapak tersebut, saya mulai belajar dari menaiki kuda sampai saya belajar mengendalikan arah dan laju dari kuda tersebut. Bagi saya pengalaman tersebut merupakan pengalaman yang baru dan unik sekaligus cukup menantang, bagaimana tidak...saya belajar mengendarai kuda tersebut dengan sendiri berada di punggung kuda, instruksi dan petunjuk hanya disampaikan oleh bapak pemilik kuda dengan posisi tidak berada bersama dipunggung kuda yang saya tunggangi, sehingga hal tersebut cukup membuat degup jantung saya cukup berdetak tidak teratur, apalagi ketika laju derap kuda tersebut tiba-tiba berubah agak kencang sehingga terkadang keseimbangan saya agak limbung dan yang saya khawatirkan saya akan jatuh dan akan menimbulkan permasalahan serius terhadap hal tersebut. Tetapi kekhawatiran saya tersebut tidak terjadi karena saya cukup baik bisa mendengar dan menerapkan arahan yang diteriakan oleh bapak tersebut walaupun sepertinya kursus kilat yang dilakukan oleh saya dalam berkuda tidak juga bisa dibilang cukup lancar dan sempurna hasilnya, hal tersebut terlihat dan terasa beberapa kali kuda yang saya tungangi tersendat-sendat jalannya bahkan kadang mandeg berjalan walau sesaat dikarenakan sepertinya arahan dari tali kekang yang saya gerakkan tidak singkron dan masih kaku dalam menggunakannya sehingga menyebabkan si kuda mungkin bingung dengan saya. Kalau tidak mengingat tentang riwayat yang menganjurkan untuk umat Rasulullah untuk belajar memanah dan berkuda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Uqbah yaitu salah satu sahabat Rasul yang mendengar sabda Rasulullah yang berisi "Berlatihlah memanah dan berkuda. Dan jika kalian memilih memanah maka hal itu lebih baik daripada berkuda." (AHMAD - 16699) mungkin semangat saya untuk belajar berkuda akan luruh dan surut walaupun dari sabda tersebut mempunyai konteks edukatif yang luas dalam menyikapinya terkait dengan karekter zaman sekarang.
Tak terasa sekitar satu jam saya berada di areal lautan padang pasir dengan berbagai aktifitas yang saya lakukan di tempat itu, ketika saya baru benar-benar sadar ketika melihat jam di tangan saya sudah hampir tepat menunjuk angka 6 akhirnya sayapun mengakhiri segala sesuatunya di tempat itu dan segera melipir dari tempat itu dan segera mendaki lagi dengan kuda besi berkaki dua yang saya pinjam dari sahabat saya untuk kemudian segera pulang menuju kandang dari kuda besi tersebut. Keadaan sekitar areal padang pasir tampak sunyi dan sepi serta tampak asing dengan suhu udara yang teramat dingin sehingga menambah intensitas menggigigilnya badan saya baik sewaktu saya menggigil karena khawatir saat masih belajar berkuda sampai saya meninggalkan tempat itu. Tampak berbeda sekali aura dan nuansa yang dihadirkan ketika hari mulai gelap, selain bertambah dingin, yang berbeda adalah ketika memandang sekeliling kawasan Bromo, terlihat dan terasa seperti berada di suatu dimensi ruang asing sekaligus cukup mencekam dengan objek samar raksasa dari gunung-gunung yang ada disekitar areal Bromo, dimana menurut imaginasi saya tempat tersebut mungkin dahulu kala menyimpan berbagai peristiwa yang istimewa dari sebuah peradaban manusia....
Angin malam yang dingin sesekali menampar tubuh yang berada diatas motor ketika saya sudah mulai berada dalam laju tunggangan kendaraan yang saya jalankan sendiri tanpa ada teman manusia berada di depan atau belakang saya, hanya saya dan motor seperti ketika saya berangkat menuju Bromo siang harinya...keadaan yang hampir serupa juga pada saat menuju datang ke Bromo ketika di beberapa bagian daerah yang saya lalui sebelum sampai ke tujuan pulang ketika malam telah terbentang, saya sempat mengalami kehujanan. Yang berbeda adalah waktunya...terang dan kelam, siang dan malam...suatu pola keseimbangan. Ad infinitum sampai terompet Sangkala mengakhirinya, namun satu persamaannya...yaitu sama-sama menyimpan pesona aurora keindahannya sebagaimana Gunung Bromo yang merupakan salah satu dari sekian banyak Ciptaan-Nya yang indah dan gagah terbentang di Alam Semesta Raya.....
Siang itu tanggal 2 November 2011 cuaca cukup cerah pada siang yang merambat sore, sekitar pukul 13.30 WIL (Waktu Indonesia Lumajang), mengawali dari desa Jati Roto Lumajang Jawa timur, saya memacu kendaraan menuju kawasan Gunung Bromo dengan motor bebek yang saya dapat dari kemurahan hati pemilik kendaraan yang menawarkan kendaraannya yaitu sepasang pengantin baru dimana kedua sejoli itu juga, terlebih sang pengantin pria merupakan sahabat karib saya.
Suhu masih cukup terik ketika saya sudah melaju cukup kencang di Jalanan, baru sekitar tak jauh dari kawasan perbatasan Lumajang-Probolinggo cuaca berubah, hujan mulai menyergap saya diperjalanan. Turunnya hujan yang cukup lebat tak serta merta mensurutkan keinginan saya tuk berusaha mendekati areal Gunung Bromo, saya hanya berhenti sejenak untuk memakai jas hujan yang ada di bagasi motor kemudian melanjutkan perjalanan kembali dibawah guyuran hujan. Memang selama perjalanan mendekati Gunung Bromo saya sempat berhenti beberapa kali namun tidak lama, beberapa diantara faktor penyebabnya, selain perubahan cuaca juga faktor kehilangan orientasi petunjuk arah ketika bertemu jalan yang bercabang sehingga sayapun mengantisipasinya dengan berhenti sejenak untuk mencari informasi perihal petunjuk jalan yang mesti saya lalui melalui masyarakat yang saya temui di pinggir jalan. Selain diawali dengan doa, dibutuhkan tekad dan mental (ikhtiar) yang kuat juga ketika dalam menjalanani suatu proses yang mempunyai tujuan, dihadapkan pada beberapa hal yang bisa memperlemah bahkan memadamkan tekad dan mental kita untuk bisa mencapai apa yang ingin kita capai. Oleh sebab itu menjaga niat, tekad dan mental agar tetap menyala merupakan hal yang vital dalam kita mencapai suatu tujuan yang kita inginkan.
Hujan disertai angin masih cukup deras menerpa tubuh saya yang mengendarai motor dengan tingkat waspada yang tinggi di sepanjang ruas jalan aspal masih di dalam wilayah purbolinggo, tepatnya ketika akan akan memasuki daerah Sukapura yang sudah mulai meliuk-liuk lagi menanjak dengan sesekali dibeberapa bagian ruas jalan yang dilewati, sisi dikedua tepi jalan merupakan jurang yang menganga namun sayangnya dibeberapa bagian tidak terdapat bangunan pembatas dan pengaman sehingga akan sangat fatal akibatnya apabila pengendara yang melintasi jalur tersebut tergelincir yang mengarah ke sisi jalan. Barulah setelah memasuki Sukapura yang dilihat karakteristik alamnya sudah berada di areal yang cukup tinggi dipegunungan, hujan tidak lagi menerpa saya. Namun udara sudah mulai terasa dingin menusuk pori-pori kulit, dikanan kiri terhampar badan pegunungan dengan relief-relief punggungan yang seperti ulir untuk pengocok telur dengan didominasi warna hijau dari beragam pohon yang tumbuh disana dan dipercantik dengan konfigurasi dari petak-petak lahan perkebunan yang berjejer rapi dengan beberapa bagian lahan lainnya merupakan pemukiman rumah penduduk. Sungguh suatu kolaborasi penataan letak dengan suguhan panorama alam yang memanjakan mata untuk sekedar memandangnya. Dari sini perasaan bahwa saya berada disuatu alam dengan nuansa yang asing namun meneduhkan mata dan jiwa mulai merasuk kuat dalam diri saya. Hal itu sering teralami, walaupun pengalaman berada di areal pegunungan bukan kali ini saja, apakah hal ini lah yang justru membuat saya atau mungkin sama yang orang lain rasakan ketika kerap rindu untuk ke Gunung dan merasakan sensasi seperti itu? Suatu perasaan yang kompleks untuk di beberkan secara detail....
Udara bertambah dingin dengan terpaan angin sore yang semilir, diufuk barat terpampang spektrum warna senja yang menyeret perasaan saya ke nuansa dimensi romantika lampau yang klasik ketika saya berhasil menambah ketinggian perjalanan saya (masih) melalui jalan yang beraspal selama kurang lebih 3 jam dari awal keberangkatan, sehingga akhirnya saya berhasil mencapai suatu areal di desa ngadisari, areal yang merupakan tempat yang populer dengan view (pandangan mata) yang luas dan cukup strategis untuk melihat keindahan panorama alam Gunung Bromo yang disampingnya juga berdiri dengan gagah dan kokoh Gunung Batok dengan hamparan padang berpasir yang melingkupi sekaligus menjadi alas di areal di antara Gunung-gunung yang berada di sekitar Bromo.
Spoiler for Gunung Bromo:
Gunung Bromo dengan ketinggian 2.329 MDPL (Meter Diatas Permukaan Laut) merupakan sebuah Gunung bertipe vulkanik yang ditandai dengan dikawasan puncaknya terdapat kawah yang masih aktif mengeluarkan asap, menunjukan bahwa gunung ini masih aktif dan fluktuatif beraktifitas sebagai gunung bertipe vulkanik. Bahkan beberapa waktu yang lalu sebelum saya ke areal kawasan Bromo, kawasan tersebut beberapa kali di tutup dan terlarang sementara bagi pengunjung yang ingin mendekatinya dikarenakan aktifitas vulkanik dari Bromo sedang dalam tahap yang mengkhawatirkan bagi keselamatan pengunjung dari luar kawasan maupun masyarakat yang berada dekat dari Bromo. Terlepas dari fenomena alam yang melingkupi histori Gunung Bromo terkait konsekuensinya sebagai gunung berkarakter vulkanik, bisa terkompensasi dengan nilai yang setara di sisi lainnya seperti aura hipnotis yang membuat decak kagum di iringi perasaan yang teduh dan lembut yang dihadirkan oleh suasana alam berpadu dengan nuansa lokal dari masyarakat sekitar Bromo yang didominasi dan lebih dikenal dengan masyarakat Suku Tengger yang konon menurut beberapa versi cerita yang berkembang yang diantaranya asal usul Suku Tengger merupakan pelarian dari sebagian masyarakat zaman kerajaan Majapahit dahulu kala dengan beragam alasan dan motif yang mengerakan kejadian tersebut.
Setelah sempat mengambil dokumentasi baik itu berformat foto maupun video yang saya ambil sendiri dengan handy cam punya sendiri (hehehehe,akhirnya setelah sekian lama..), dengan latar belakang Gunung Batok dan Bromo walaupun udara saat itu sudah cukup membuat saya sesekali menggigil karena suhu mulai bertambah dingin ketika beranjak senja yang ditandai oleh semburat lembayung senja berwarna merah ke-emasan di atas langit Bromo, lalu kabut mulai terbentuk di beberapa bagian kawasan Bromo tidak membuat saya untuk segera meninggalkan kawasan tersebut untuk kembali ke Lumajang, bahkan sebaliknya saya merasa tanggung untuk lebih mendekat lagi ke Bromo, walaupun saat itu posisi saya yang berada di atas punggungan diareal desa Ngadisari sudah terbilang cukup dekat dengan Bromo. Lalu saya putuskan untuk turun ke lautan pasir dikawasan padang pasir Gunung Bromo. Dengan tekad masih membara diantara sergapan udara dingin dan pencahayaan alam alami yang mulai redup di kawasan Bromo, saya mulai menyusuri jalan aspal menurun nan berkelok yang berada di tubuh punggungan yang berujung di areal pasir yang luas dan datar, tak butuh waktu lama namun tetap hati-hati saya sudah berada di lautan pasir Bromo dengan tunggangan saya yang beroda dua, lalu sayapun berusaha mengeksplorasinya dengan berusaha mendekati areal yang terdapat bangunan Pura (tempat ibadah umat Hindu) yang terletak tepat tak jauh dari kaki gunung Bromo. Sewaktu saya sedang asyik mendokumentasikan moment di padang pasir tersebut yang tak jauh dari Pura, terlihat sesosok bapak-bapak penunggang kuda mendekati saya yang kemudian saya tahu dari beliau bahwa beliau merupakan salah satu masyarakat sekitar yang tergabung dalam paguyuban penyedia jasa transportasi kuda bagi pengunjung yang ingin mengeksplorasi areal berpasir di Bromo. Setelah saling bertegur sapa, bapak itu kemudian menawarkan jasanya mengantarkan saya dengan menaiki kudanya mendekati kaki Gunung Bromo dimana disitu terletak gerbang bagi pengunjung untuk menaiki tangga yang akan menghantarkan pengunjung ke kawasan puncak dan melihat kawahnya. Beliau menjelaskan untuk biaya transportasi sekaligus guide dari beliau sebesar Rp. 100.000,- pulang pergi. Saat itu kondisi uang saku yang saya bawa sebenarnya cukup untuk nominal yang disebutkan, namun mengingat dan mempertimbangkan bahwa saya masih ada satu tujuan lokasi wisata lagi yang keesokan harinya akan saya tuju dan saat itu hari sudah mulai menjelang maghrib, akhirnya saya mengambil jalan kompromis untuk tetap bisa memakai jasa bapak tersebut, dengan belajar mengendarai kuda berputar-putar kecil di areal tak jauh dari titik saya bernegoisasi. Akhirnya setelah bernegoisasi, dengan tarif Rp.20.000,- dengan dipandu dan didokumentasikan lewat video dari handy cam milik saya oleh bapak tersebut, saya mulai belajar dari menaiki kuda sampai saya belajar mengendalikan arah dan laju dari kuda tersebut. Bagi saya pengalaman tersebut merupakan pengalaman yang baru dan unik sekaligus cukup menantang, bagaimana tidak...saya belajar mengendarai kuda tersebut dengan sendiri berada di punggung kuda, instruksi dan petunjuk hanya disampaikan oleh bapak pemilik kuda dengan posisi tidak berada bersama dipunggung kuda yang saya tunggangi, sehingga hal tersebut cukup membuat degup jantung saya cukup berdetak tidak teratur, apalagi ketika laju derap kuda tersebut tiba-tiba berubah agak kencang sehingga terkadang keseimbangan saya agak limbung dan yang saya khawatirkan saya akan jatuh dan akan menimbulkan permasalahan serius terhadap hal tersebut. Tetapi kekhawatiran saya tersebut tidak terjadi karena saya cukup baik bisa mendengar dan menerapkan arahan yang diteriakan oleh bapak tersebut walaupun sepertinya kursus kilat yang dilakukan oleh saya dalam berkuda tidak juga bisa dibilang cukup lancar dan sempurna hasilnya, hal tersebut terlihat dan terasa beberapa kali kuda yang saya tungangi tersendat-sendat jalannya bahkan kadang mandeg berjalan walau sesaat dikarenakan sepertinya arahan dari tali kekang yang saya gerakkan tidak singkron dan masih kaku dalam menggunakannya sehingga menyebabkan si kuda mungkin bingung dengan saya. Kalau tidak mengingat tentang riwayat yang menganjurkan untuk umat Rasulullah untuk belajar memanah dan berkuda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Uqbah yaitu salah satu sahabat Rasul yang mendengar sabda Rasulullah yang berisi "Berlatihlah memanah dan berkuda. Dan jika kalian memilih memanah maka hal itu lebih baik daripada berkuda." (AHMAD - 16699) mungkin semangat saya untuk belajar berkuda akan luruh dan surut walaupun dari sabda tersebut mempunyai konteks edukatif yang luas dalam menyikapinya terkait dengan karekter zaman sekarang.
Spoiler for Berkuda di Padang Pasir Bromo:
Tak terasa sekitar satu jam saya berada di areal lautan padang pasir dengan berbagai aktifitas yang saya lakukan di tempat itu, ketika saya baru benar-benar sadar ketika melihat jam di tangan saya sudah hampir tepat menunjuk angka 6 akhirnya sayapun mengakhiri segala sesuatunya di tempat itu dan segera melipir dari tempat itu dan segera mendaki lagi dengan kuda besi berkaki dua yang saya pinjam dari sahabat saya untuk kemudian segera pulang menuju kandang dari kuda besi tersebut. Keadaan sekitar areal padang pasir tampak sunyi dan sepi serta tampak asing dengan suhu udara yang teramat dingin sehingga menambah intensitas menggigigilnya badan saya baik sewaktu saya menggigil karena khawatir saat masih belajar berkuda sampai saya meninggalkan tempat itu. Tampak berbeda sekali aura dan nuansa yang dihadirkan ketika hari mulai gelap, selain bertambah dingin, yang berbeda adalah ketika memandang sekeliling kawasan Bromo, terlihat dan terasa seperti berada di suatu dimensi ruang asing sekaligus cukup mencekam dengan objek samar raksasa dari gunung-gunung yang ada disekitar areal Bromo, dimana menurut imaginasi saya tempat tersebut mungkin dahulu kala menyimpan berbagai peristiwa yang istimewa dari sebuah peradaban manusia....
Spoiler for Senja dibatas Maghrib :
Angin malam yang dingin sesekali menampar tubuh yang berada diatas motor ketika saya sudah mulai berada dalam laju tunggangan kendaraan yang saya jalankan sendiri tanpa ada teman manusia berada di depan atau belakang saya, hanya saya dan motor seperti ketika saya berangkat menuju Bromo siang harinya...keadaan yang hampir serupa juga pada saat menuju datang ke Bromo ketika di beberapa bagian daerah yang saya lalui sebelum sampai ke tujuan pulang ketika malam telah terbentang, saya sempat mengalami kehujanan. Yang berbeda adalah waktunya...terang dan kelam, siang dan malam...suatu pola keseimbangan. Ad infinitum sampai terompet Sangkala mengakhirinya, namun satu persamaannya...yaitu sama-sama menyimpan pesona aurora keindahannya sebagaimana Gunung Bromo yang merupakan salah satu dari sekian banyak Ciptaan-Nya yang indah dan gagah terbentang di Alam Semesta Raya.....
Spoiler for Siluete Rupa Pegunungan:
===BERSAMBUNG KE TRIP PULAU SEMPU DIBAWAH====
Diubah oleh Justape 09-04-2014 15:44
0
6.7K
Kutip
24
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Catatan Perjalanan OANC
1.9KThread•1.5KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru