Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

melmuchransyahAvatar border
TS
melmuchransyah
Berhati-hatilah Memilih Traveling EO!
Mungkin yang sebulan belakangan bertemu dengan saya, sudah paham bahwa bulan lalu saya mengalami kejadian yang sangat tidak menyenangkan saat berpelesir ke Dieng. Sepanjang sejarah saya jalan-jalan, baru kali ini rasanya saya seperti mau makan orang. Maka daripada teman-teman travelers lainnya juga terkena 'tipu' seperti saya, ada baiknya saya menyebarkan kronologis ceritanya di sini.

Mohon diingat, apa yang saya tulis di bawah ini adalah fakta dan saya memiliki puluhan saksi mata yang dapat dimintai keterangannya. Seandainya pihak terkait ada yang merasa hal ini adalah pencemaran nama baik, maka saya akan menyanggah sebab tulisan ini adalah jalan terakhir yang dapat saya lakukan untuk mengingatkan teman-teman traveler lainnya mengenai Traveling EO yang 'abal-abal'. Sebelumnya saya sudah blak-blakan menyampaikan semua uneg-uneg namun tidak ditanggapi dengan baik, bahkan saya dan teman-teman seperjalanan sengaja di-block oleh EO bersangkutan setelah kami pulang dari trip ini (sepertinya agar kami tidak dapat menyebarkan kebusukan mereka ke korban-korban mereka selanjutnya).



Mengenai Trip Dieng Kali Ini.

Sebenarnya bulan Maret lalu saya sudah pergi ke Dieng dan mengalami kekesalan karena ditipu calo bus di Kampung Rambutan dan gagal rafting di Serayu. Tapi keseluruhan perjalanan Dieng saya saat itu termasuk sukses, sebab saya berhasil mendaki Gunung Prau dengan selamat, meskipun kondisi Dieng saat itu sangat penuh dengan manusia. Maklum, long weekend. Dengan impresi yang sangat baik (meskipun perjalanan melalui Jalur Utara saat itu ditempuh hingga 18 jam), saya berniat kembali ke Dieng suatu hari nanti.

Niat tersebut terlaksana saat saya melihat iklan Dieng Culture Festival (30-31 Agustus 2014). Setelah cari info sana-sini, saya pun mendapatkan sebuah trip murah dengan itinerary yang meriah yang dibuat oleh Wisata Bareng (Wisbar) [Keterangan: Karena saya di-block, saya tidak dapat men-tag mereka; silakan buka https://www.facebook.com/wisatabareng dan [url]https://www.facebook.com/wisbarista].[/url] Setelah cek pengalaman mereka sebelumnya, juga lihat-lihat foto-fotonya, saya pun memutuskan untuk ikut trip mereka dan melunasi pembayaran. Tidak hanya itu, saya juga ikut menyebarluaskan mengenai trip ini dan akhirnya beberapa teman tertarik untuk ikut, termasuk Mitha dan Nabilla.


Jumat, 29 Agustus 2014: Saat Semuanya Bermula.

Hari itu, saya sudah siap membawa carrier saya ke kantor, karena sebelumnya sudah diwanti-wanti oleh organizer acara bernama Diah [yang ternyata juga sudah mem-block saya; silakan buka [url]https://www.facebook.com/lidyawati.diah?fref=ts][/url] bahwa "kalau datang lewat dari jam 6, terpaksa kami tinggal." Maka jam setengah enam sore, saya sudah tiba di meeting point: KFC Carrefour Lebak Bulus. Di sana saya bertemu Nabilla dan Soza (yang menggantikan Mitha karena Mitha ada keperluan mendadak). Di sana kami sama sekali tidak dikumpulkan untuk briefing atau berkenalan dengan peserta lain. Karena agak capai setelah seharian bekerja, plus hujan turun cukup deras, saya memilih duduk manis menunggu bus yang BELUM JUGA DATANG SAMPAI JAM 7.

Karena makan saya banyak, saya berinisiatif untuk bertanya pada Diah mengenai rencana makan malam itu yang dijawab dengan, "Oh, ya makan aja sendiri. Nanti ada berhenti kok, tapi gak lama." Akhirnya saya memutuskan membeli KFC terlebih dahulu agar tidak kelaparan di jalanan.

Sekitar pukul 7 malam, bus datang. Kami pun berjalan di tengah hujan mencari bus. Di dalam, terlihat Diah dan seorang laki-laki (yang kemudian saya ketahui bernama Yusuf Hamdani alias Ucup yang kabarnya adalah pemilik WisBar [Saya sempat membuka FB-nya sebelum saya di-block, namun saya memang tidak pernah kenal orang ini sebelumnya sehingga saya memang tidak pernah meng-add dia di FB]) sedang sibuk ke sana kemari tanpa kejelasan apa yang sebenarnya sedang mereka kerjakan. Lalu setelah memastikan bus siap berangkat, Ucup pun berkata, "Kita akan pergi melalui jalur Selatan, perjalanan akan ditempuh sekitar 17 jam." That's it. Tidak ada perkenalan, tidak ada doa bersama. Lalu, bus pun berangkat.


Insiden pertama.

Berhati-hatilah Memilih Traveling EO!

Pukul 03:50 pagi, saya terbangun ketika tiba-tiba bus kami yang sedang terjebak kemacetan, terkena imbas tabrakan dua buah truk di depan kami. Bagian depan bus tertabrak bagian belakang truk hingga spion kiri bus rusak dan pintu depan tidak dapat dibuka. Supir truk di depan kami sempat terhimpit dan tidak dapat keluar dari truk, tapi untungnya tidak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut. Supir langsung menolak melanjutkan perjalanan karena spion yang rusak. Maka, kami pun menunggu di bus sementara belum ada kepastian apa yang akan terjadi selanjutnya. Karena lelah, saya kembali tertidur.

Pukul 05:00 pagi saya terbangun untuk sholat Subuh. Ternyata, bus sudah diparkir di halaman sebuah musholla kecil tak jauh dari TKP semalam. Setelah sholat, saya bertanya apa yang terjadi pada teman-teman. Melalui mereka, saya mengetahui bahwa kami tengah menunggu bus pengganti yang kabarnya akan datang "dua jam lagi", terhitung dari sekitar pukul 04:00 saat supir menyatakan tidak mau melanjutkan perjalanan. Sambil menunggu, kami pun membeli popmie dan kopi sambil mengobrol di halaman musholla.

Sekitar pukul 07:00, kami mulai gelisah. Kok bus pengganti masih belum datang juga? Beberapa teman bertanya pada Ucup dan mendapat jawaban bahwa bus pengganti terjebak macet dan akan datang "sebentar lagi, mungkin sekitar satu jam lagi."

Satu jam, dua jam, hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 10:00 dan suasana jalanan sudah lengang. Semua peserta gelisah. Kami pun memutuskan untuk berkumpul dan berembuk, apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebagian ibu-ibu menginginkan untuk extend hingga Senin karena merasa dirugikan tidak dapat melaksanakan itinerary hari Sabtu seperti yang dijanjikan panitia. Sebagian lagi minta uang kembali. Saya sudah siap-siap putar balik ke Bogor karena saya harus mewakili Film Program untuk presentasi di kampus pukul 11:00 pagi pada hari Senin.

Untuk menyelesaikan perbedaan pendapat ini, Ucup berkata, "Ya sudah, kita ke Dieng aja dulu. Di sana baru berunding, mau extend atau tidak. Tapi semua harus ikut keputusan mayoritas suara, karena kita satu rombongan." Saya pun tepok jidat. Gila nih orang! Gak punya problem-solving skill sama sekali dia. Akhirnya beberapa di antara kami sepakat bahwa dengan adanya dua bus yang berangkat satu rombongan (bus satu sudah meninggalkan kami duluan ke Dieng), maka kalau terjadi perpecahan pendapat, grup akan dibagi dua: pulang Minggu (sesuai itinerary) dan pulang Senin (extend).

Karena bus tak juga kunjung datang, beberapa sudah siap ikut saya putar balik untuk pulang dengan ngeteng bus ke arah Bandung. Tapi saat diminta untuk membayarkan ongkos pulang kami, Ucup malah bilang, "Ya, ini kan musibah. Semua juga tidak ingin ada yang seperti ini. Tapi saya sudah bayar busnya 14 juta. Jadi kita tunggu aja busnya, sebentar lagi datang."

Beberapa peserta mulai naik darah. "Sebentar lagi itu berapa lama? Dari tadi sebentar lagi terus." Ucup memanggil supir dengan alasan sang supir yang menghubungi supir bus pengganti. "Satu dua jam lagi," kata Pak Supir, membuat kami semakin gusar. Terlebih, saat Soza menanyakan itinerary perjalanan, Ucup dengan cuek bilang, "Ya liat aja di Facebook." Kami pun bengong. Orang ini kok gak profesional sekali ya? Bahkan itinerary-nya tidak di-print oleh dia.

Pukul 11:00, tepat saat saya sudah siap mau pulang (saya sudah menelepon adik saya dan teman saya di Bandung untuk pulang bareng ke Jakarta/Bogor), bus pengganti datang. Soza pada saat itu menyarankan saya untuk lanjut dan tidak pulang sendirian. Akhirnya, dengan berat hati saya pun melanjutkan perjalanan.


Insiden Kedua.

Ternyata, belum lama setelah memakai bus pengganti (yang kapasitasnya lebih besar, sehingga kami hanya akan diantar sampai Wonosobo lalu mencari elf untuk naik ke Dieng), tepat pukul 12:20 siang, terdengar suara ban meletus dari arah kiri bus. Bus pun merapat. Benar saja, butuh waktu sekitar 1-2 jam lagi untuk mengganti dan menambal ban. Benar-benar apes!

Setelah menunggu sekian lama dan jajan di pinggir jalan, akhirnya kami pun kembali melanjutkan perjalanan.


Sampai di Dieng.

Setelah berhenti beberapa kali lagi untuk beristirahat, plus ganti dari bus ke elf di Wonosobo, kami pun sampai di Dieng kira-kira pukul 23:30 malam. Ya, setelah lebih dari 24 jam di perjalanan, kami tentunya sudah sangat lelah dan ingin segera istirahat. Namun ternyata, yang seharusnya kami mendapatkan empat rumah homestay untuk dua bus, ternyata kami hanya mendapat dua homestay saja (sampai detik ini, masih belum ada briefing, semua info saya dapat dari bertanya ke sesama peserta). Saya sempat manyun karena tahu saya harus tidur di luar dan tidak kebagian kasur. Masak iya dingin-dingin begitu saya memaksakan diri tidur di lantai? Ya, saya memang membawa sleeping bag sendiri dan ada karpet tipis sebagai alas, tapi saya tetap ingin menuntut hak saya sesuai janji yang diberikan panitia. Maka saya berkeras untuk mandi air panas dan akhirnya tidur di atas kasur tambahan tipis yang disediakan oleh pemilik homestay. Sementara itu, teman-teman satu bus kebanyakan memilih untuk berjalan ke lokasi DCF di Candi Arjuna, mungkin untuk mengobati kekecewaan karena melewatkan acara puncak pelepasan lampion dan kembang api malam itu. Setelah mandi, saya melihat Diah yang sedang duduk bersama beberapa peserta lain, makan nasi kotak yang kabarnya seperti baru dikeluarkan dari lemari es saking dinginnya. Karena sudah inisiatif makan sendiri di Wonosobo (menurut Ucup, makan selama perjalanan tidak di-cover), saya pun segera tidur, setelah sebelumnya mendapat info bahwa kami harus bangun pukul 03:00 untuk mengejar golden sunrise di Sikunir.

Sepertinya baru sebentar saya menutup mata, saya sudah dibangunkan oleh teman-teman rombongan untuk mengejar sunrise. Waktu menunjukkan pukul 02:30. Saya bersiap-siap seadanya lalu segera melangkah ke luar, menuju tempat parkir bus. Di jalan kami berpapasan dengan Pak Toha (pemilik homestay) yang mengatakan bahwa kami akan diangkut oleh bus 3/4 berwarna kuning menuju Sikunir. Karena hanya ada satu bus sesuai deskripsi, kami pun berboyong-boyong naik. Karena bus tak kunjung jalan, para peserta gelisah, apakah kami akan kelewatan golden sunrise juga? Maka semua menuntut agar bus segera berjalan.

Tiba-tiba supir bertanya kepada teman saya, Soza, "Mas, gimana ini, masak kami disuruh tidur di bus dingin-dingin, dikasih uang kopi pun tidak." Soza jelas bengong. Lah, kami ini peserta, Pak. Kami melihat sekeliling, mencari panitia, namun tidak satupun tampak. Di pertigaan, supir bertanya bingung, "Belok kiri atau kanan?" Kami bengong semua, "Lah, gak tau pak." Supir pun marah, "Kalian ini rombongan siapa? Turun semua!" Maka, kami pun diturunkan di tengah jalan, subuh-subuh, di tengah udara dingin, gelap-gelap tanpa penerangan sama sekali. Lalu, sang supir pun memutar balik dan meninggalkan kami sendirian. Menggigil, saya menyesali telah mengabaikan keputusan saya untuk putar balik sewaktu di Garut. Soza pun berinisiatif untuk berjalan kembali ke penginapan dan mencari bantuan. Sekitar 15 menit kemudian, bus-bus yang harusnya kami tumpangi pun mendatangi kami, mengangkut kami ke arah Sikunir.

Ternyata, seperti yang kami prediksi sebelumnya, Sikunir cendol (baca: ramai) sekali. Masih jauh dari pos, bus sudah tidak bisa lewat karena stuck. Kami pun memutuskan untuk turun dan mulai berjalan menuju Sikunir. Tepat sebelum pos, kami melewati rumah-rumah penduduk, termasuk sebuah musholla yang ternyata dijadikan meeting point oleh Ucup dan Diah. Saya, Soza, Nabilla, beserta dua orang peserta lainnya, Ian dan Hendra, memutuskan untuk berjalan sendiri menuju Sikunir dan tidak ikut menunggu Ucup dan Diah, agar kami mendapatkan momen golden sunrise. Walhasil, meskipun didapatkan di tengah perjalanan mendaki yang super ngantri, kami pun merasa puas. Terlebih, kami sempat berfoto-foto di puncak.

Namun ternyata, saat turun kami mendapati beberapa peserta ngomel-ngomel karena Ucup dan Diah malah asyik duduk-duduk di depan bus (Diah duduk-duduk bak princess sementara Ucup memayungi Diah) tanpa menghiraukan para peserta yang kebingungan mencari bus. Para peserta pun masuk ke dalam bus dengan jengkel.


Telaga Warna, Pemotongan Rambut Anak Gembel, dan Mie Ongklok.

Next stop: Telaga Warna. Semua peserta sudah malas sepertinya, karena kami hanya diberi waktu 20 menit, kami pun hanya berfoto-foto seadanya, stop sebentar di toilet, lalu segera keluar menuju tempat mie ongklok yang kabarnya sudah dipesan oleh panitia. Nyatanya? Mie Ongklok-nya belum buka, tuh! Misuh-misuh, para peserta pun meminta untuk segera melanjutkan perjalanan. Beberapa orang ibu sempat marah kepada Ucup karena ia menyuruh ibu-ibu tersebut berjalan jauh ke parkiran, sementara tempat mereka berada saat itu ternyata dilewati mobil menuju penginapan.

Di elf, Ucup berkata, "Biar cepet, nanti kita gak usah turun di homestay, saya akan ambil makanan aja." Soza dengan murah hati menawarkan, "Perlu ada yang turun sama mas?" Eeh, si Ucup malah bilang, "Gak usah. Saya juga nyuruh orang kok untuk ambil makanan." Baiklah, kami pun menunggu di Elf dengan pasrah, sampai akhirnya seorang mas-mas menaruh makanan dan minuman kami di lantai elf tanpa basa-basi. Kami memandangi boks-boks tersebut dengan kesal. Ini gak ada sopan santunnya ya panitia ini? Dan setelah dilirik, isi makanannya pun sama dengan makanan dingin semalam. Tapi karena terlanjur lapar, kami pun memakan nasi boks tersebut di perjalanan menuju Candi Arjuna. Salah seorang Ibu juga berinisiatif memberikan nasi boks ke supir.

Setelah makan, kami memutuskan untuk turun dan berjalan kaki ke arah Candi, karena elf kami pun stuck di jalan. Sementara itu, rombongan ibu-ibu memutuskan untuk berjalan pulang ke penginapan. Ternyata, di Candi pun kami tak dapat melihat apa-apa karena kami tidak mendapat tiket masuk DCF seperti yang dijanjikan panitia. Kecewa, kami pun keluar menuju pelataran, di mana ternyata Diah sudah menunggu di tempat makan Mie Ongklok. Sambil memesan, salah seorang peserta, Hendra, berkata pada Diah, "Mbak, bisa gak diselesaikan pembicaraannya yang kemarin mengenai yang mau extend sampai hari Senin?" Diah, dengan gaya ala princess-nya, berkata, "Aduh, saya gak tau apa-apa. Sama Ucup aja ya." Hendra mengerutkan kening, "Ya tapi ini kan urusan WisBar (Wisata Bareng)." Diah menjawab, "Saya kan gak mungkin ya ngurusin semuanya. Ngurus satu orang aja saya udah stress, apalagi ngurus semuanya." Lalu, dengan sigap ia mengeluarkan ponsel dan menelepon Ucup untuk segera datang menyelesaikan masalah tersebut. Benar-benar tidak profesional!

Ucup datang dan mulai omong-omong gak jelas, tanpa menyelesaikan permasalahan. Intinya, sepertinya ia tidak mau rugi, itu saja. Sambil memakan mie ongklok yang hambar rasanya, ubun-ubun saya sudah berasa panas. Akhirnya, saya angkat bicara. "Gini ya, Mas. Pertama, saya gak kenal Mas itu siapa. Mas gak pernah memperkenalkan diri, bahkan berdoa bersama di bus pun kita nggak. Maka, saya gak punya urusan untuk benci secara pribadi sama mas. Kedua, saya paling males konfrontasi, karena marah butuh energi. Tapi, rasanya saya udah gak bisa diem lagi. Udah terlalu banyak uneg-uneg yang mendidih di ubun-ubun saya. Saya merasa mas tidak profesional menangani semua masalah yang muncul di dalam trip ini. Saya tidak hanya sekali dua kali jalan di dalam maupun luar negeri. Tapi baru kali ini saya merasa benar-benar kecewa. Saya tahu kalau kecelakaan kemarin adalah kondisi force majeure, tapi mas lalai berinisiatif untuk mencari bus baru, sampai kita harus menunggu 6-7 jam di Garut. Pokoknya, saya kecewa dan saya akan batalkan perjalanan saya minggu depan ke Papandayan dengan WisBar."

Ucup membalas perkataan saya dengan bilang ia akan mengembalikan uang saya dan teman saya, Mitha, 100%. Dan bahwa ia akan mengadakan diskusi evaluasi di penginapan sebelum pulang.

Masih sedikit emosi, saya pun pulang menuju penginapan, untuk beres-beres kembali ke Jakarta.


Konfrontasi akhir.

Di penginapan, setelah beberes hendak pulang (yang seharusnya dijadwalkan pukul 14:00), Ucup datang dan mengumpulkan kami di ruang tengah. Ia kemudian menanyakan keputusan untuk extend sampai Senin atau pulang bersama-sama. Karena lelah dan kebanyakan juga harus bekerja di hari Senin (kalaupun extend, bisa-bisa bolos di hari Senin dan Selasa-nya), maka kami sepakat menyatakan bahwa kami akan pulang.

Di tengah-tengah diskusi, Soza menyatakan secara terang-terangan mengenai ketidaksukaannya terhadap Ucup sementara saya lebih "baik" lah sama dia dengan bilang saya cuma mau kasih masukan demi kemajuan perusahaan dia. Tau apa dia bilang? "Tolong ya kalau saya lagi ngomong jangan dipotong-potong. Ngomong satu-satu." Dan, Ucup ini enggan sekali meminta maaf atas kesalahannya.

Dengan emosi, saya bentak dia, "Heh! Ngomong sama lo tuh kayak ngomong sama mahasiswa gue. Dikasih tau apa, dijawab mulu, bukan didengerin, diresapin, dicerna apa maknanya. Percuma gue ngomong, kayak ngomong sama batu!"

Lalu, saya tinggalkan dia.


The aftermath.

Setelah selesai packing (dan waktu pulang pun molor), lagi-lagi kelompok kami tertinggal dengan alasan "bus-nya stuck di tempat festival". Oke, saya pikir, ternyata setelah konfrontasi pun masih tidak ada perubahan, ya.

Setelah berganti kendaraan dari elf ke bus di Wonosobo, ternyata pukul 1 malam kami dibangunkan karena bus melewati jalur alternatif (baca: jalan tikus) yang sedang dicor di satu sisi jalannya, sehingga supir bus takut bus akan terbalik kalau mengangkut penumpang melalui jalur tersebut. Kami pun terpaksa turun dan jalan beramai-ramai di dalam kegelapan, in the middle of nowhere, sepanjang 1-2 KM.

Ternyata, barulah kami tahu bahwa malam itu supir kami sama sekali tidak dikasih jatah makan, sodara-sodara, dengan alasan dari Diah, "Gak usah lah dikasih, nanti kurang jatahnya." Walhasil, jam 4 pagi bus kami berhenti di sebuah restoran hanya karena supir kelaparan. Kasihan sekali, benar-benar tidak berkeprimanusiaan! Supir kan yang membawa penumpang dan nyawa kami semua bergantung pada supir. Ini kok ya bisa sih gak ngasih makan supir karena supir gak punya jatah?! Bener-bener gak ada otaknya!

Esok paginya, pukul 08:00, ternyata bus kembali mogok di tol menuju Pasteur, Bandung, karena solarnya kotor dan takut meledak. Teman-teman satu rombongan sudah pasrah dan terpaksa menelepon tempat kerja masing-masing untuk cuti pada hari itu. Karena ingin mengejar presentasi saya di kantor, saya pun memutuskan untuk turun dari bus dan hitchhike untuk mengejar bus lain ke Jakarta.

Pada akhirnya, saya belajar bahwa memakai jasa EO ternyata bukannya bikin segala sesuatunya lebih simpel, tapi malah bisa berbahaya bagi kesehatan (dan menambah dosa), apalagi kalau EO-nya odong-odong seperti si Wisata Bareng ini.

Mohon kepada teman-teman untuk bisa menyebarkan berita ini agar tidak ada lagi yang bernasib buruk seperti saya dan teman-teman seperjalanan saya sewaktu di Dieng kemarin.


Wassalam.
0
5.1K
21
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Travellers
TravellersKASKUS Official
23.2KThread12KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.