Harian Pelita pada edisi Selasa 14 Oktober 2014 di hal 4 memuat tulisan Salahuddin Wahid (Gus Sholah_Pengasuh Pesantren Tebuireng) mengenai opini beliau untuk meningkatkan penerimaan pajak adalah dengan mendukung ide pemisahan DJP dari kementerian keuangan dan menjadi badan di bawah presiden.
Berikut foto dari koran tersebut.
Spoiler for gus:
Sudah ditulis ulang gan:
Spoiler for tulisulang:
Dari Mana Uangnya? (2)
PEMERINTAH mempunyai kewajiban untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan memenuhi hak warga negara sesuai amanat UUD. Dana bagi pemerintah untuk bias memenuhi tugasnya berasal dari APBN. Dana APBN bersumber dari pajak, cukai, dan pendapatan negara lainnya. Selama ini defisit APBN ditutupi dengan pinjaman LN dan DN. Pinjaman kita makin lama makin besar, terutama setelah 1998, jumlahnya jauh lebih besar dari pada penerimaan negara per tahun.
Rasio pajak adalah perbandingan antara pajak dengan PDB suatu negara. Rasio pajak kita pada tahun 2001 adalah 11,58 persen, tertinggi pada tahun 2005 (12,51 persen) lalu menurun lagi, pada tahun 2010 menjadi 11,42 persen dan kini sekitar 12 persen. Untuk rata-rata lima negara ASEAN, tertinggi pada tahun 2008 (14,6 persen) dan kini sekitar 13,5 persen. Untuk negara-negara OECD (34 negara), tertinggi pada 2006 (21,59 persen) dan kini di atas 20 persen.
Tim otonomi perpajakan sebagai bagian dari transformasi kelembagaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membuat proyeksi penerimaan pajak berdasarkan pertumbuhan alami, dari 2015 sampai 2019. Proyeksi PDB pada 2015 = 11.128 T dan pada 2019 = 17.510 T. Rasio pajak pada 2015 = 12,32 persen dan pada 2019 = 12,42 persen, sehingga penerimaan pajak pada 2015 = 1.371 T dan pada 2019 = 2.175 T.
Tim tersebut juga membuat proyeksi penerimaan pajak yang lebih tinggi dengan mengadakan sejumlah perbaikan yang dibutuhkan. Proyeksi optimistik itu pada 2019 akan mencapai rasio pajak sebesar 16 persen yang menghasilkan penerimaan pajak setinggi 2.802 T. Terlihat pada potensi penambahan penerimaan pajak sebesar 627 T pada tahun 2019 dibanding pertumbuhan alami.
Tentu peningkatan penerimaan pajak itu memerlukan prasyarat yaitu peningkatan jumlah dan mutu pegawai DJP serta penambahan kewenangan. Jumlah pegawai DJP sejak 2005 selalu naik tetapi sejak 2012 berbalik menjadi menurun. Menurut perkiraan untuk memenuhi target penerimaan pajak 2014 diperlukan pegawai DJP sekitar 41.000, ada penambahan ± 10.000. Ternyata yang disetujui hanya 5.000 orang.
Sejak ada reformasi birokrasi di DJP hamper sepuluh tahun lalu, hampir semua pegawai DJP sudah menyadari kesalahan mereka di masa lalu dan mereka siap untuk mewujudkan peningkatan kinerja guna mencapai target rasio pajak 16 persen pada 2019. Menurut Tim di atas, dirasa perlu untuk memisahkan DJP dari Kementerian Keuangan dan berubah menjadi Badan yang berada langsung di bawah Presiden. Dengan pemisahan itu “badan penerimaan pajak” itu leluasa untuk mengelola organisasi agar bisa meningkatkan penerimaan pajak.
Saya pernah membaca ada rencana untuk meningkatkan pendapatan hakim (dan mungkin juga jaksa dan polisi) secara drastis dan angkanya amat fantastis. Tujuannya untuk menjamin penegakan hukum yang amat mendesak. Kalau aparat penegak hukum bisa menerima perlakuan istimewa seperti itu, maka aparat DJP juga perlu diberi kesejahteraan yang betul-betul baik karena ada kecenderungan banyak pegawai DJP pindah ke swasta yang bisa memberi kesejahteraan yang jauh lebih baik. Itu hanya bisa dilakukan kalau DJP berubah menjadi Badan di bawah Presiden. Karena Pemerintah hanya bisa memenuhi amanat Pembukaan UUD kalau tersedia dana APBN yang cukup, maka peningkatan penerimaan pajak harus menjadi prioritas utama. Dukungan Presiden terhadap DJP diperlakukan dalam menembus “tembok” dan “tabir” yang melindungi pihak-pihak yang lari dari kewajiban pajak yang sebenarnya.
Apakah proyeksi yang dibuat oleh Tim di atas itu realistis? Menurut saya itu realitstis, bahkan masih mungkin untuk ditingkatkan. Coba kita bandingkan dengan negara lain. Pada 2012, rasio pajak Malaysia = 15,5 persen, Thailand = 17,1 persen, India = 17,7 persen, Jepang = 28,3 persen, Belanda = 39,8 persen dan Belgia = 46,8 persen.
Belanda yang punya luas 42.000 km2 dan penduduknya sekitar 16,8 juta menghasilkan PDB (2012) sebesar $ 837 M. Indonesia dengan luas 1,9 juta km2 dan laut seluas 4 juta km2 menghasilkan PDB (2012) sebesar $ 847 M. Berarti Belanda jauh lebih produktif dibanding kita. Revenue Pemerintah Indonesia = $ 134 M, sedang revenue Pemerintah Belanda = $ 383 M. Berarti rakyat dan pengusaha Belanda lebih taat dalam membayar pajak.
Selain peningkatan pajak, cukai dan pendapatan Negara bukan pajak, BUMN juga dapat ditungkatkan perannya. Bandingkan dengan Malaysia, Petronas mampu menghasilkan laba sebesar $ 20 M atau 1/3 dari penerimaan pemerintah Malaysia. Sekitar 150 BUMN kita hanya menghasilkan laba sekitar separuh dari laba Malaysia. Menurut Tanri Abeng, saat menjadi Menteri BUMN dia pernah membuat rencana untuk membuat BUMN mampu membayar hutang RI. Sayang sekali rencana itu tidak terwujud. Kini Tanri Abeng membuat gagasan tentang rencana serupa dalam lima tahun ke depan. Presiden Jokowi dan Wapres JK perlu mempertimbangkan gagasan itu. (Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng).
Diubah oleh jandoy 17-10-2014 02:52
0
3.6K
Kutip
30
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
671KThread•40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru