Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

goed.aditAvatar border
TS
goed.adit
Cultuurstelsel (Tanam Paksa) : Sebuah Pengantar
Apa Itu Cultuurstelsel?

Quote:


Latar Belakang
Quote:

Sistem serupa sudah diberlakukan di Priangan sejak abad 18 dengan sebutan Priangerstelsel (sistem Priangan). Pemberlakuan kewajiban penanaman kopi di tanah desa menjadikan Belanda sebagai penyalur kopi dunia tanpa perlu bersaing untuk mendapatkan kopi Yaman dan memberikan sumbangan besar bagi pendapatan Belanda.
Peperangan yang dilakukan Belanda, baik di wilayah koloni maupun di Belanda sendiri selama awal abad 19 menimbulkan defisit besar bagi kerajaan Belanda dan pemerintah Hindia-Belanda. Pajak berdasarkan rente tidak mencukupi untuk menghidupi pemerintah kolonial maupun memberikan surplus ke Kerajaan. Untuk mengatasi hal ini dicarilah solusi untuk mendapatkan pemasukan bagi kerajaan Belanda.
Petani Jawa pada masa itu terikat pada desanya dan tidak memiliki kepemilikan lahan pribadi. Seluruh lahan adalah milik tuan tanah, bertingkat dari lurah, camat, wedana, hingga bupati/raja, desa meskipun sebuah satuan yang otonom hanya memiliki hak pakai. Petani berproduksi untuk mencukupi kebutuhannya sendiri (subsisten) dan memenuhi kewajiban pajak, pada masa sebelum tanam paksa sudah mencapai sejumlah 40% hasil bumi.
Keberhasilan Prianger Stelsel memberi ilham untuk pelaksanaan sistem serupa di seluruh Jawa dan daerah koloni luar Jawa. Pada 1830 Gubernur Jendral van den Bosch mendapatkan ijin untuk mulai menerapkan Cultuurstelsel ini dan menjelang 1840 pelaksanaan Cultuurstelsel telah sepenuhnya berjalan di Jawa.

Aturan Resmi

Quote:


Perhatikan ketentuan di atas, cultuurstelsel bukanlah kewajiban untuk menyerahkan hasil bumi melainkan kewajiban menanam komoditas yang ditentukan pemerintah(dengan kata lain : tanam paksa), petani tetap mendapatkan hasil penjualan komoditas tersebut untuk dirinya sendiri. Pendapatan pemerintah didapat dari pajak dan hasil ekspor komoditas tersebut. Secara teoritis pemberlakuan sistem ini seharusnya tidak memberatkan petani.

Komoditas

Jawa: Tebu, Indigo, Kopi, tembakau
Sumatra Barat: Kopi
Lampung: Lada
Sulawesi: Kopra


Catatan: pelaksanaan tanam paksa di wilayah luar Jawa tidak seekstensif yang dilakukan di Jawa. Di Jawa seluruh desa melaksanakan tanam paksa dengan perkecualian wilayah Vorstenlanden, tanah partikelir, atau desa-desa yang berada di luar kekuasaan penguasa feodal sedangkan di luar Jawa hanya sedikit lahan yang digunakan untuk tanam paksa.

Pelaksanaan Tanam Paksa

Dalam aturan resmi tiap desa hanya diwajibkan menyerahkan seperlima lahannya untuk ditanami komoditas ekspor. Lahan-lahan yang tidak cocok untuk ditanami tanaman ekspor tidak dibebankan kewajiban ini. Penguasa feodal dapat memindahkan kewajiban penanaman tersebut dari satu desa ke desa lainnya dengan luas lahan yang sama. Namun terkadang ada inisiatif dari administrator lokal (controleur maupun pejabat lokal) untuk menaikkan persentase lahan.
Quote:

Ketidakakuratan laporan masa kolonial (akibat dari manipulasi angka) menyebabkan sulitnya memperkirakan keterlibatan penduduk dalam tanam paksa. Laporan Fasseur, tanpa koreksi menyebutkan penduduk seluruh Jawa yang terlibat tanam paksa berjumlah 57% (1840) dan 46% (1850) sedangkan laporan van Niels memperkirakan 70% rumah tangga petani memproduksi komoditas ekspor selama 1837-1851. Bahkan di Banten mencapai 92% (1840) dan di Kedu mencapai 97% (1845). Hal ini secara praktis menjadikan Jawa sebagai perkebunan massal pemerintah Hindia-Belanda.
Belanda segera mendapatkan keuntungan setelah tanam paksa dilaksanakan. Pada 1831 pemerintah Hindia-Belanda sudah dapat menyeimbangkan neraca keuangannga dan tahun selanjutnya mulai melunasi hutang-hutang yang ditimbun sejak masa VOC.
Tidak hanya pemerintah kolonial saja yang memperoleh kemakmuran dari sistem ini. Di Jawa, penguasa lokal mulai dari tingkat lurah hingga bupati menimbun kemakmuran yang luar biasa. Seringkali mereka menetapkan setoran yang lebih besar dari yang ditetapkan untuk keuntungan mereka sendiri, diiringi dengang kekuasaan turun temurun yang kini tidak diganggu oleh Raja (dengan jaminan Belanda) mereka menimbun kekayaan yang luar biasa besar. Prestise tinggi peguasa feodal di mata masyarakat Jawa masa itu tidak diiringi dengan kepemimpinan mereka terhadap masyarakat, mereka hanya menjadi agen eksploitasi kolonial.
Pengenalan tanaman komoditas ekspor juga mengenalkan ekonomi uang kepada masyarakat desa. Pada masa sebelumnya mereka hidup dalam ekonomi subsisten, hanya menghasilkan makanan untuk bertahan hidup dan mencukupi kebutuhan lainnya dengan barter dalam jumlah amat terbatas. Kini setelah memproduksi tanaman ekspor, mereka dibayar dalam bentuk uang dan harus membayar pajak pada penguasa dalam bentuk uang. Untuk mencukupi kebutuhannya mereka harus menggunakan uang untuk melakukan jual-beli.
Namun sistem ini memberikan masalah besar bagi para petani desa. Mereka harus menyisihkan lahan, waktu, dan tenaganya untuk mengurus tanaman ekspor ini. Salah satu contohnya adalah tanaman indigo yang menghasilkan pewarna pakaian alami. Tanaman indigo membutuhkan waktu 3 tahun sebelum dipanen sehingga petani mendapatkan masa tunggu yang lama sebelum dapat menikmati hasilnya. Selain itu tanaman ini juga harus mendapatkan perhatian dan kerja yang telaten sehingga menyebabkan petani menelantarkan sawahnya. Pukulan terakhir adalah tanaman ini membutuhkan lebih banyak air sehingga banyak sawah yang mengalami gagal produksi. Tiga hal ini menyebabkan banyak daerah gagal memproduksi beras sehingga terjadi beberapa kali kelaparan selama abad 19.
Tanaman-tanaman seperti tebu dan tembakau juga membutuhkan lahan sawah yang sebelumnya digunakan untuk sawah basah dan perhatian khusus, oleh karena itu tanaman tersebut juga memberikan dampak buruk bagi masyarakat desa. Khusus untuk kopi dan teh, tanaman keras ini ditanam di lahan dataran tinggi yang sebelumnya merupakan lahan tegalan sehingga tidak terlalu memberatkan petani.
Quote:

Efek dari tanam paksa ini selain ditentukan oleh komoditas yang ditanam juga ditentukan oleh kebijakan pemerintah setempat. Pajak dari Bupati yang besar akan menyebabkan kemiskinan sebagaimana terjadi di Bojonegoro. Namun terkadang proyek dari Bupati dapat menimbulkan kemakmuran baru. Di Lumajang pembukaan irigasi menyebabkan terbukanya lahan-lahan baru yang dapat menjadi sawah basah. Banyak masyarakat desa yang tertekan memilih kabur dari desanya dan membuka desa baru yang dapat diairi oleh irigasi tersebut. Mereka yang ditinggal di desa lama mendapatkan kesempatan memiliki lahan lebih besar dan mengimpor pekerja-pekerja dari Madura. Ini menjadikan Lumajang mampu memproduksi beras dengan berlimpah dan memenuhi kuota komoditas ekspornya.
Di luar Jawa tanam paksa dilakukan secara amat terbatas dan dengan efek yang tidak begitu besar. Penanaman kopi (Sumatra Barat), lada (Lampung), dan kelapa/kopra (Sulawesi) tidak mengganggu produksi beras. Penanaman kopi di Sumatra Barat berhasil memberikan sumbangan pemasukan signifikan bagi Belanda.

==================
Berlanjut ke bawah
Diubah oleh goed.adit 24-10-2013 13:57
0
15.4K
36
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
Sejarah & XenologyKASKUS Official
6.5KThread10.6KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.