Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Pang.NanggroeAvatar border
TS
Pang.Nanggroe
Aceh, Madu Kau Sembahkan...


Tanpa Aceh, sejarah Indonesia akan lain ceritanya. Patriotisme,
loyalitas, dan komitmen rakyat Aceh yang teguh telah menjadi tiang
penyangga utama bagi rumah gadang bernama Indonesia merdeka. Darah
yang tertumpah di bumi Serambi Mekah ini demi mempertahankan
kedaulatan Aceh dan Indonesia merdeka dari rongrongan bangsa asing.
Penulis lepas Syaifuddin Abdullah menuliskan daftar jasa Aceh untuk
republik ini dalam tulisan berikut.



Udep Saree Matee Syahid

Empat kata tersebut sangat dalam maknanya, tidak saja bagi prajurit
Aceh. Kata-kata itu turun-temurun memaknai kehidupan rakyat Aceh.
Bahkan sesekali muncul pada doa-doa mereka: hiduplah mulia, matilah
syahid. Prinsip hidup yang tampaknya terjemahan dari ujaran Arab isy
kariman au mut syahidan ini menjadi semangat yang menjiwai setiap
tindakan para prajurit Aceh. Dengan semangat ini mereka pergi
bertempur dan dengan semangat ini mereka membangun negara. Udep saree
matee syahid.

Sejarah perang Aceh-Belanda bukanlah hikayat. Jejaknya masih basah dan
dapat dinapaktilasi di Kerkhof, kuburan tentara Belanda di Aceh.
Sebuah kisah yang terekam baik adalah syahidnya ulama Tengku Di Barat.
Pahlawan Aceh ini bertempur terus sampai akhir hayatnya. Ketika sang
suami tertembak, istrinya mengambil senapan dan maju ke depan
melindungi Tengku. Tak ada keraguan melingkupi hati mereka. Dan pada
akhirnya, peluru-peluru Belanda menembus keduanya.

Raga-raga telah berguguran di Aceh. Darah berceceran. Keringat
berleleran. Semua itu untuk ibu pertiwi. Tapi, apa hendak dikata.
Ketika negara sudah merebut kemerdekaan, darah masih juga tumpah ruah
di Aceh. Raga-raga bertumbangan, kali ini di tangan segelintir bangsa
sendiri. Padahal, tak cuma darah, tak cuma keringat, tak cuma raga,
harta pun sudah mereka korbankan.

Jasa untuk ibu pertiwi itu sudah mereka torehkan sejak dahulu kala,
ketika Portugis hendak menjejakkan kaki di pintu gerbang bagian barat
Indonesia ini. Waktu itu, sebagai negara besar pelindung Selat Malaka,
angkatan laut Aceh berhasil menghancurkan armada Portugis di perairan
itu. Laksamana Malahayati, putri Aceh, memimpin penyerangan.
Kemenangannya di Selat Malaka ternyata kemudian menjadi tonggak
sejarah perwujudan Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini.
Sebab, definisi batas-batas negara kesatuan kita berdasarkan pada
sejarah penjajahan. Dengan kekalahan itu, Portugis hanya dapat
menjajah daerah Indonesia di ujung timur, yaitu Timor Timur sekarang.
Itu sumbangan pertama.



Dana Misi Diplomatik. Bila kita lihat sejenak sejarah awal kemerdekaan
Indonesia, sungguh Aceh punya saham yang tak tepermanai (tak
ternilai). Aceh merupakan satu-satunya bagian Indonesia yang
benar-benar bebas dari Belanda pada zaman revolusi kemerdekaan
Indonesia. Sampai pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada
1950, hanya Aceh yang merdeka dalam arti sesungguhnya.

Tapi, tak terbersit dalam hati rakyat Aceh untuk merdeka sendirian.
Tidak juga oleh seorang Daud Beureu'eh. Riwayat negara kita akan lain
sekali andaikata Gubernur Sumatera Mr. T.M. Hasan maupun Gubernur
Aceh, Langkat, dan Tanah Karo Daud Beureu'eh mencita-citakan negara
serikat. Undangan Dr. van Mook melalui Wali Negara Sumatera Timur Dr.
T. Mansur ditolak rakyat Aceh melalui Gubernur Militer Daud Beureu'eh.

Aceh punya hubungan politis dan perdagangan dengan Singapura,
Semenanjung Malaka, Pulau Penang, sampai India. Para pejuangnya sejak
zaman dahulu telah melakukan perdagangan ekspor-impor secara barter
dengan para pedagang dari negara-negara tersebut. Merekalah yang
memasok senjata untuk para pejuang RI melalui pesisir Malaka.

Pada zaman revolusi, rakyat Aceh telah menyumbang dana awal untuk
pemerintah RI. Jumlahnya cukup besar, 20 juta ringgit Malaysia. Dana
ini dipakai untuk membiayai Duta Keliling Haji Agus Salim, konferensi
Asia di New Delhi, duta-duta besar RI di Singapora, Penang, dan India,
serta misi diplomatik lainnya. Hasil ekspor pinang dan lada rakyat
Aceh ke Pulau Penang adalah devisa bagi Indonesia dan merupakan darah
bagi kehidupan Departemen Luar Negeri Indonesia pada masa itu.

Saat para pemimpin Indonesia ditawan Belanda di Yogyakarta, Aceh
memainkan peranan sangat penting bagi kelanjutan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Waktu itu ibu kota negara dipindahkan ke
Bukittinggi, tapi kemudian berpindah lagi ke Kutaraja (sekarang Banda
Aceh) setelah Bukittinggi direbut tentara Belanda.

Sejak itu, kelanjutan pemerintahan Indonesia secara de facto dan de
jure ditentukan oleh Aceh. Melalui radio Rimba Raya disebarkan
informasi dan pesan-pesan pemerintah RI kepada para duta bangsa yang
sedang berdiplomasi di luar negeri. Mereka membuat siaran mulai pukul
17.00 sampai 06.00 dengan bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, Arab,
Cina, dan Urdu. Pemancar radio divisi X yang bermarkas di rimba
Bireun, 62 km arah ke Takengon, berhubungan dengan radio markas
tentara di Jawa dan meneruskan pesan-pesan diplomatik Syafruddin
Prawiranegara, presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI),
kepada L.N. Palar di PBB dan Dr. Soedarsono di India. Betapa besar
jasa radio ini sehingga tanpanya tampak tidak ada lagi eksistensi
Indonesia di dunia internasional.

Pejuang-pejuang Aceh juga punya saham sangat besar dalam
mempertahankan Sumatera Utara dari serbuan agresi pertama dan kedua
Belanda. Dengan persenjataan lengkap, termasuk meriam lapangan, mereka
bergerilya dan mempertahankan Medan di Kampung Lalang - Sunggal, Titi
Kuning, Tanah Karo, sampai ke Sidikalang. Namun, ketika mereka
terdesak mundur dan harus bertahan di Padang Halaban, dekat perbatasan
Aceh-Sumatera Utara, mereka masih sempat membumihanguskan kota minyak
Pangkalanberandan. Dengan demikian, agresor Belanda tidak dapat
menggunakan minyak Aceh. Dan untuk kebutuhan minyak Indonesia, mereka
membangun kilang minyak sederhana di Aceh Timur.

Batalion Istimewa Bateri III Arteleri di Pantai Lhok Nga, Aceh Besar,
berhasil mengusir tentara Belanda yang menyerang dari udara dan laut.
Mereka bahkan menembak jatuh satu pesawat tempur Yager dan merusakkan
satu pesawat Catalina. Juga merusakkan kapal perang Belanda Jan van
Gallen yang berusaha menyerbu dari markas mereka di Sabang. Dengan
begitu, Belanda tidak pernah berhasil menembus masuk kembali ke Aceh,
baik pada agresi pertama maupun kedua. Bertahannya tentara Belanda di
sekitar perbatasan Aceh-Sumatera Utara dan Sabang adalah pengakuan
secara de jure maupun de facto atas keberadaan kerajaan Aceh.


Syariat Islam. Masih ada lagi sumbangan nyata dari Aceh. Tak kurang
dari utusan Aceh Mr. T.M. Hasan meyakinkan utusan golongan Islam agar
merelakan kata syariat Islam dihapuskan dari Mukadimah Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia demi keutuhan bangsa dan negara. Para
pemimpin dan rakyat Aceh pun menolak ajakan pemimpin negara Indonesia
Timur untuk mendirikan negara Republik Indonesia Serikat.

Presiden Soekarno menyebut Aceh sebagai daerah modal. Ini berkat jasa
rakyat di daerah itu dalam mendukung kemerdekaan negeri secara
finansial. Sumbangan dana untuk membeli dua buah pesawat, satu dari
rakyat Aceh, satu lagi dari Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh,
bukanlah sekadar catatan sejarah. Rakyat sampai ke kampung-kampung
dengan suka cita menyumbangkan gelang, kalung, sapi, bahkan padi untuk
mendukung pembelian pesawat pertama Angkata Udara RI itu. Hanya dalam
beberapa minggu berhasil dikumpulkan 260 ribu ringgit Malaysia, setara
dengan 50 kg emas. Sumbangan itu bagaikan seteguk air bagi musafir di
padang pasir. Tak satu pun daerah, selain Aceh, yang mampu memberi
sumbangan seperti itu, sekalipun Bung Karno telah menyeru ke segenap
bangsa Indonesia. Aceh tidak pernah meminta kembali sumbangan berupa
surat obligasi tersebut, yang seharusnya dibayarkan kembali 25 tahun
ke depan.



Tak Sehari Pun. Sebenarnya, tidaklah benar bila dikatakan Belanda
menjajah Indonesia selama tiga setengan abad. Sebab, Aceh tidak satu
hari pun diduduki. Rakyat Aceh berjuang puluhan tahun mempertahankan
setiap jengkal potongan terakhir tanah republik ini dari penjajahan
asing. Sejak kerajaan Belanda dengan resmi memaklumkan perang kepada
kerajaan Aceh pada 26 Maret 1873, rakyat daerah ini terus bertempur
dengan tentara Belanda sampai detasemen marsose terakhir dihancurkan
di tanah Gayo pada 1943. Kerajaan Aceh tidak pernah secara politik
maupun militer menyerahkan kedaulatannya pada Belanda.

Dalam perang Aceh-Belanda ini, sekitar 25.000 tentara Belanda tewas
dan luka-luka di Aceh. Empat orang di antaranya berpangkat jenderal.
Ceceran darah tentara Belanda dapat kita temukan di Kerkhof--kuburan
perwira tentara Belanda di Kutaraja. Daftar nama-nama 2.200 tentara
Belanda dan tempat-tempat mereka tersungkur dinukilkan pada dinding
pualam gapura utamanya. Kuburan ini bahkan masuk dalam agenda
Konferensi Meja Bundar dan dicatat dalam lampiran Perjanjian
Konferensi Meja Bundar Nomor 10/E.L, sesuatu yang mungkin terasa
aneh--kuburan kok jadi urusan diplomatik. Tapi bila kita baca
inskripsi di batu nisannya, nama, tanggal, dan tempat mereka jatuh
terjerembap, film perang Aceh-Belanda serasa diputar kembali di sini.
Ini sungguh dahsyat untuk ukuran masa itu mengingat para pejuang Aceh
hanya menggunakan kelewang, senapan locok, dan rencong yang terkenal
itu. Dalam kuburnya, Komisaris Pemerintah dan Wakil Presiden Dewan
Hindia Belanda F.N. Nieuwenhuijzen, mungkin menyesali pernyataan
perang yang ditandatanganinya di atas kapal Citadel van Antwerpen di
Pante Cermen - Ulhee Lheu waktu itu.

Deretan nama syuhada Aceh akan terasa menyesaki buku sejarah Indonesia
bila kita ungkapkan riwayatnya satu per satu. Sekitar 100.000 putra
Aceh memberikan jiwa dan raga mereka untuk mempertahankan setiap
jengkal tanah air mereka. Sejarah Indonesia mungkin hanya mencatat
beberapa nama besar, tapi Belanda mencatatnya dengan sangat rinci.
Coba simak nukilan kisah pada buku Aceh, karya H.C. Zengraaf,
saat-saat terakhir usaha Belanda menangkap seorang putra Aceh
hidup-hidup. Sebenarnya ia tidak punya salah apa-apa terhadap Belanda,
kecuali bahwa ia cucu Tengku Cik Di Tiro yang masih hidup. Kapten
Schmidt, komandan marsose di Tangse, menghubungi makcik-nya, meminta
ia menyerah. Si makcik menemukannya di tengah rimba dan menyampaikan
tawaran Belanda tadi. Jawabannya sederhana, "Tidak, aku ingin syahid
seperti ayahku". Tidak ada kata menyerah dalam kamusnya. Kemudian,
saat patroli Belanda berhasil menembaknya, ia jatuh telentang dengan
revolver di tangan. Matanya yang terbuka menatap langit biru,
sejumput senyum merekah di bibir pemuda yang tampan ini. Putra sang
ayah kembali ke haribaan ibu pertiwi. Ia belum enam belas tahun.

Dan ketika seorang putri Aceh, berseluar dan berbaju hitam, jatuh
tertembak di perut, dalam penderitaannya ia tidak mengeluh. Ia tetap
menunjukkan wajahnya yang gagah berani. "Jangan kau sentuh aku, kafir
buduk," ujarnya membentak ketika seorang perwira Belanda mendekati. Ia
adalah Tjut Gambang, putri srikandi Tjut Nyak Dien. Bukankah ayahnya,
Teuku Umar, gugur di Ujong Kala', Meulaboh, dan ibunya bahkan wafat
nun jauh di pembuangan di bumi Priangan. Adalah suatu hal yang sangat
muskil jika di antara mereka ada yang menyerah hidup-hidup. Umumnya
mereka lebih menyukai mati daripada menyerah kalah. Raga mereka gugur
sebagai syuhada, tetapi jiwa mereka tidak. Mereka adalah simbol atas
kepahlawan bangsa. Tetesan darah syuhada Aceh di bumi Indonesia
tidaklah mungkin dihapus oleh sejarah, sekalipun sebagian di antara
kita mencoba menafikannya.

Sejarak negeri ini akan lain tanpa Aceh. Jerit tangis anak, cucuran
darah syuhada, penderitaan rakyatnya terlalu dalam. Simaklah kisah
bertarikh 1896 ketika pasukan marsose menangkap Panglima Nya' Makam
yang dalam keadaan sakit. Komandan kolone marsose, Letnan Kolonel
Soeters, memerintahkan orang memenggal kepalanya di hadapan anak dan
istrinya. Kemudian Kolonel Steemfoort, komandan militer Belanda di
Aceh, memerintahkan memasukkan kepalanya ke dalam botol berisi alkohol
dan diletakkan di rumah sakit tentara di Kutaraja sebagai simbol
kemenangan.

Mulai tahun yang sama, kolonel marsose Kolonel Johannes Baptista van
Heutsz membakar habis seluruh kampung: mulai dari Lampisang, rumah
Teuku Umar, sampai Meulaboh, Aceh Barat. Pertempuran Belanda dengan
pasukan Teuku Umar diikuti dengan pembakaran, penebangan pohon-pohon
buah, dan perampokan ternak rakyat di setiap kampung yang dilalui.
Kapten GCE van Daelen menulis dalam catatan hariannya kebiadaban
Kolonel van Heutsz bersama kolone marsose dalam operasi militernya.
Delapan tahun kemudian, Overste GCE van Daelen meninggalkan jejak
darah dalam ekspedisi ke Tanah Gayo. Dua ribu lima ratus empat puluh
sembilan pejuang Aceh--di antaranya 1001 wanita dan anak-anak--gugur.
Overste van Daelen mencatat dengan teliti dan bahkan memotret hasil
karyanya yang bertarikh 1904 ini. Memang, karya peradaban modern
Belanda ditampilkan di sini.


Merajut Air Mata. Penderitaan terus membelenggu rakyat Aceh. Pada awal
kemerdekaan, pertikaian internal antara kaum ulama dan kaum bangsawan
terjadi. Revolusi sosial ini diikuti dengan pertumpahan darah kembali.
Belum kering darah para bangsawan, kekecewaan rakyat Aceh yang sangat
besar terhadap pemerintah pusat menyebabkan DI/TII (Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia) meletus. Ketololan pemerintah Soekarno
bersama tokoh politik masa itu yang lebih mementingkan partai dan
golongan telah menghasilkan kebijaksanaan pemerintah pusat yang sukar
untuk dipahami. Aceh, sebagai suatu kerajaan besar yang dengan
sukarela menggabungkan diri dengan Indonesia dan telah sangat membantu
perjuangan kemerdekaan Indonesia, statusnya diubah menjadi daerah
setingkat kabupaten di bawah Daerah Sumatera Utara. Orang Aceh paling
bodoh pun tak akan terima, apalagi seorang Daud Beureu'eh. Rakyat
Aceh kembali naik ke gunung dan rimba raya. Dan kisah pedih dengan
darah dan derai air mata pun dirajut kembali. Kisah yang seharusnya
tidak pernah terjadi andai kita saling memahami dan bertindak
bijaksana atas dasar kepentingan rakyat yang sebenarnya.

Salah satu tragedi menyayat hati terjadi pada tahun 1950-an pada masa
DI/TII. Satu konvoi TNI dicegat DI di Cot Jeumpa, Leupung. Esoknya,
sepasukan TNI menangkapi rakyat kampung di sekitar daerah itu dan
membariskan mereka di pantai. Orang tua, anak-anak, siapa saja yang
kebetulan bersua. Lalu mereka dibariskan di tepi pantai dan
tubuh-tubuh tua yang rapuh dan anak-anak tak berdosa pun jatuh ke
pasir putih. Darah segar putra bangsa yang tak berdosa membasahi bumi
pertiwi. Pemerintah Indonesia menutupi aib ini. Bertahun-tahun
kemudian, seorang prajurit asal Aceh menyelesaikan masalah ini dengan
pistolnya. Ia menembak mati komandan pasukan TNI yang menjadi algojo
di pantai-pantai Aceh Besar itu.

Aceh, bahkan sampai saat ini, merupakan daerah penyumbang devisa yang
sangat besar dari hasil minyak, gas bumi, petrokimia, semen, kayu, dan
emas. Hasil perkebunan sawit dan karet telah berkembang jauh sejak
zaman Belanda. Aceh merupakan lumbung padi yang hasilnya selalu
melebihi kebutuhan daerah sehingga dapat membantu daerah lain yang
membutuhkannya. Lapangan minyak di Aceh Timur peninggalan NPPM adalah
darah pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara. Lapangan gas Arun yang
sangat besar di Aceh Utara merupakan sumber devisa bagi Indonesia
sekaligus merupakan agunan bagi utang-utang Orde Baru sejak 1970-an.
Sungguh Aceh punya saham besar untuk pembangunan seluruh Indonesia
tercinta.

Aceh memelopori apa yang kita kenal sebagai Badan Perencanaan
Nasional, Bappenas. Bappenas adalah ide dari pemerintah Daerah
Istimewa Aceh. Pada 1960-an Ibrahim Madjid telah memelopori
pembentukan Badan Perencanaan Daerah di Aceh. Ide ini diadopsi
pemerintah pusat di Jakarta dengan membentuk badan perencanaan yang
sekarang kita kenal sebagai Bappenas.

Masa berganti. Kita baru saja memperingati proklamasi kemerdekaan.
Namun, bila kita baca koran dan mendengar siaran televisi akhir-akhir
ini, terasa sangat pedih dan pahit. Air mata tidaklah lagi membasahi
pipi, tetesannya sudah tumpah ruah membasahi baju. Sungguh sulit untuk
dimengerti, sejarah Aceh ditulis kembali dengan tinta darah, oleh
bangsa sendiri. Terlalu banyak darah rakyat Aceh membasahi tanah
pertiwi. Terlalu lama penderitaan kita sebarkan. Terlalu banyak anak
yatim piatu kita ciptakan. Terlalu banyak janda kita hasilkan.
Terlalu dalam dendam kita torehkan. Tidakkah kita menafikan rakyat
Aceh?

Marilah kita bertanya pada nurani kita sendiri, adakah kita adil dalam
hal Aceh? Adakah kita jujur? Adakah kita benar? Dan padamu prajurit,
sekali-sekali pandanglah putramu, istrimu, ibumu, dan orang-orang yang
kau cintai. Dan pada malam-malam sepi, saat kau kecup putramu, saat
kau dekap istrimu, saat kau tatap langit-langit kamarmu, ingatlah
sejenak jejak langkahmu di Aceh. Pulot, Cot Jeumpa, Krueng Geukuh,
Idi, Beutong Ateuh, dan lembah permai Tangse, Geumpang sampai rimba
raya Aceh lainnya. Dan ketika hari-hari ini kau sematkan rangkaian
medali di dadamu, adakah kau bangga dengan medali Acehmu?

Negara Kesatuan Republik Indonesia ini tidak pernah ada tanpa Aceh.
Kita tidak lagi cukup hanya minta maaf.


Oleh : Syaifuddin Abdullah

emoticon-No Sara Please
Diubah oleh Pang.Nanggroe 17-02-2014 12:53
0
2.5K
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923KThread83.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.